Oleh: Nazar Shah Alam
Sumber: Harian Aceh, 10 Agustus 2011
Anjali dilanda gamang dan kesal. Maka ia mengirimkan para anggota Gank Apache surat. Surat itu berisi pengaduan tentang sikap orang kampungnya yang egoistis. Betapa tidak, Anjali yang pada dasarnya adalah seorang yang yang rajin beribadah, pada malam pertama dan kedua tarawih tidak dapat tempat untuk berdiri. Beruntung Samaun juga sedang berada di kampung sehingga ia mengajak Anjali pindah tempat ibadah ke kampung tetangga mereka, Gleumpang yang memiliki masjid lebih luas.
Dari kampung mereka, Durian Bahtera, Anjali dan Samaun berjalan dengan menggunakan sepeda motor Samaun yang batuk-batuk. Di tengah perjalanan sepeda motor Samaun bocor ban pula. Maka mereka menitipkan sepeda motor itu di sebuah rumah di kampung Gleumpang dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Berikut isi surat Anjali:
Saya kesal banget pada para jamaah kampung Durian Bahtera. Mereka yang pada shalat jamaah di hari-hari puasa di bukan bulan Ramadhan gak pernah nampak sandalnya di tangga masjid, malam ini malah menjadi pengisi shaf pertama. Maka saya tidak kebagian tempat. Pokoknya saya kesal banget. Apalagi kemudian pada malam ketiga puasa mereka sudah gak nampak lagi datang ke masjid, uh, dasar!
Pengko tersenyum membaca surat singkat kawannya yang memiliki rambut paling rumit itu. Fenomena ini memang sering terlihat di kampung-kampung Aceh. Jamaah akan meledak pada malam pertama tarawih dan pagi lebaran. Entah apa yang menyebabkan hal seperti itu terjadi. Yang jelas, semacam ada pemuliaan pada malam dan hari itu secara berlebihan.
“Bukankah shalat wajib berjamaah lebih besar pahalanya dibandingkan shalat sunat?” Tanya Pengko suatu hari pada Maksum. Kawannya itu mengangguk dan menjawab,”itulah kita, tidak tahu mendahulukan yang mana semestinya.”
Jika boleh dibayang-bayang, tentu sangat semarak masjid apabila pada tiap shalat wajib lima waktu jamaahnya meledak seperti pada malam pertama tarawih. Baiklah kalaupun tak sebegitu ramainya, tapi setengah dari itu. Namun, yang terjadi malah sebaliknya. Boleh juga, misalnya orang kita—kasarnya—lebih memilih datang berjamaah pada shalat sunat, pada shalat tarawih ini mereka datang tiap malam sehingga masjid juga semarak sebulan penuh. Namun, yang terjadi malah mereka hanya mengandalkan ibadah pada malam pertama dan kedua saja. Sungguh lucu dan penuh tanda tanya.
Pengko sendiri pada shalat tarawih selalu datang, tapi dengan sangat tahu diri—sebab pada shalat berjamaah lainnya ia jarang datang—maka ia lebih memilih berdiri di shaf kedua. Artinya, shaf depan diberikannya untuk para yang lebih rajin diripada ia. Memang tak ada peraturan yang mengatur demikian, tapi tahu diri itu lebih baik, bukan? Maka, mari tarawih hingga pulang bulan ramadhan tanpa sekalipun meninggalkannya agar masjid menjadi semarak nian, ujar Wak Lah pada Pengko malam pertama Ramadhan. Dan sejak malam kedua Ramadhan, Wak Lah pun rupanya sudah tak nampak lagi di antara jamaah hingga cerita ini diturunkan.
Dari kampung mereka, Durian Bahtera, Anjali dan Samaun berjalan dengan menggunakan sepeda motor Samaun yang batuk-batuk. Di tengah perjalanan sepeda motor Samaun bocor ban pula. Maka mereka menitipkan sepeda motor itu di sebuah rumah di kampung Gleumpang dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Berikut isi surat Anjali:
Saya kesal banget pada para jamaah kampung Durian Bahtera. Mereka yang pada shalat jamaah di hari-hari puasa di bukan bulan Ramadhan gak pernah nampak sandalnya di tangga masjid, malam ini malah menjadi pengisi shaf pertama. Maka saya tidak kebagian tempat. Pokoknya saya kesal banget. Apalagi kemudian pada malam ketiga puasa mereka sudah gak nampak lagi datang ke masjid, uh, dasar!
Pengko tersenyum membaca surat singkat kawannya yang memiliki rambut paling rumit itu. Fenomena ini memang sering terlihat di kampung-kampung Aceh. Jamaah akan meledak pada malam pertama tarawih dan pagi lebaran. Entah apa yang menyebabkan hal seperti itu terjadi. Yang jelas, semacam ada pemuliaan pada malam dan hari itu secara berlebihan.
“Bukankah shalat wajib berjamaah lebih besar pahalanya dibandingkan shalat sunat?” Tanya Pengko suatu hari pada Maksum. Kawannya itu mengangguk dan menjawab,”itulah kita, tidak tahu mendahulukan yang mana semestinya.”
Jika boleh dibayang-bayang, tentu sangat semarak masjid apabila pada tiap shalat wajib lima waktu jamaahnya meledak seperti pada malam pertama tarawih. Baiklah kalaupun tak sebegitu ramainya, tapi setengah dari itu. Namun, yang terjadi malah sebaliknya. Boleh juga, misalnya orang kita—kasarnya—lebih memilih datang berjamaah pada shalat sunat, pada shalat tarawih ini mereka datang tiap malam sehingga masjid juga semarak sebulan penuh. Namun, yang terjadi malah mereka hanya mengandalkan ibadah pada malam pertama dan kedua saja. Sungguh lucu dan penuh tanda tanya.
Pengko sendiri pada shalat tarawih selalu datang, tapi dengan sangat tahu diri—sebab pada shalat berjamaah lainnya ia jarang datang—maka ia lebih memilih berdiri di shaf kedua. Artinya, shaf depan diberikannya untuk para yang lebih rajin diripada ia. Memang tak ada peraturan yang mengatur demikian, tapi tahu diri itu lebih baik, bukan? Maka, mari tarawih hingga pulang bulan ramadhan tanpa sekalipun meninggalkannya agar masjid menjadi semarak nian, ujar Wak Lah pada Pengko malam pertama Ramadhan. Dan sejak malam kedua Ramadhan, Wak Lah pun rupanya sudah tak nampak lagi di antara jamaah hingga cerita ini diturunkan.
0 komentar:
Posting Komentar