Senin, 30 Desember 2013

MENUJU AMUK SILAM


Karya Nazar Shah Alam
sumber: Serambi Indonesia

Demi pagi yang menghentikan nyala
tubuh-tubuh lelah, wajah-wajah takut
Demi mendung yang mengumpulkan zikir
Ratib yang tak terkutip dan berserempangan bersama
kematian
Demi lidah kematian yang menjulur dari laut
telah kami tunaikan kenangan penuh derai
Telah kami saksikan kekalutan
Telah kami pelajari air raya
Telah kami terima

K.J Desember 2013
Nazar Shah Alam, Pegiat di Komunitas Jeuneurob

Read more…

Senin, 23 Desember 2013

Puisi-Puisi Zab Bransah



NYANYIAN  GELOMBANG UNTUK   NEGERI SAKURA


Nyanyian anak gelombang mengisahkan antara benteng indra patra
Nyanyian anak gelombang menceritakanan anak gelombang  tentang negeri sakura
Nyanyian anak gelombang gemuruh bak tamboe peringatan
Nyanyian anak gelombang bak petikan kecapi rindu pada anak negeri
Nyanyian anak gelombang mengisahkan perjalanan ini sangat menyedihkan
Nyanyian anak gelombang menyanyikan petikan gitar
Mengalunkan pada siapa saja melintas
Nyanyian gelombang seperti legenda rindu untuk kembali ingin pulang
Nyanyian anak gelombang suatu pertanda cerita para leluhur untuk mengabdi pada Nya
Nyanyian anak gelombang bak pertanda cerita-cerita untuk mempersiapkan diri bagi yang tinggal

Oh anak gelombang kasihan kepada kami yang belum siap pulang
Oh anak gelombang berilah kepada kami kesempatan untuk berterima kasih kepada pencipta
Oh anak gelombang bisikanlah nyanyian gitaro dan seruling anak negeri  bak rapai
Oh anak gelombang jangan siksa kami seperti ini
Oh anak gelombang mengalirlah pada hati suatu nurani bak suara perih antara kita

Menceritakan pengalaman pendahulu
Menceritakan kisah cinta bak diri ocin
Menceritakan kisah cinta dua sejoli
Menceritakan kisah pada anak negeri yang sedih ditinggal pergi
Menceritakan kisah ayah bunda yang tidak kembali
Menceritakan kita bak peristiwa terjadi anak gelombang menari-nari
Membawa pergi bagi setiap yang melintas
Membawa pergi jati diri untuk mengingat kembali
Membawa pergi harga diri pada pengasih Membawa diri kepada penyanyang.

Langsa Atjeh. 4 April 2011



Waktu II


Lama sudah tak kupertanyakan tentang dirinya
Lama sudah ku ingin menyebut namanya
Lama sudah inginkudendang nyanyian rindu untuknya
Lama sudah kumelihat senyumnya
Lama sudah kita tak berjumpa
Lama dalam perjalanan untuk kembali padanya
Lama kita bermain-main pada malam dia sambut kita tersenyum
Lama sudah dia tak menyapa
Lama sudah dia tidak berkempatan bertanya
Lama sudah semua perbuatannya tidak pernah ada
Lama sudah tidak terlihat dia untuk menyendiri pada seperti pada malam sebelumnya
Lama untuk pulang walau sudah tiba pada janji.

LANGSA, 1  Mei 2011


Nyanyian jalanan


anak jalanan kembang masa depan belum tantu arah kehidupan
anak jalanan jasa perjuangan
perjuangan penuh pengormanan
cinta abadi belum pasti
kasih sayang akan mencari jati diri
pertahanan diri semakin menyendiri
nyanyian itu mulai belum pasti
kasih ada pada diri untuk mencari makna kehidupan
perjalan masih panjang
ada cinta mari mencari kasih dan sayang
anak jalanan penuh percaya diri memberi arti kasih belum pasti
kasih ada pada semua
satu kata pada cinta
makna pengorbanan
janji setia demi kehidupan
mari bernyanyi
kita bersama-sama kita kasih kasih sayang
anak jalanan perlu perhatian
anak jalanan kasih hati cinta yang abadi

12 Desember 2013

Zab Bransah adalah Alumni Institut Seni Indonesia  Yogyakarta (ISI) Fakultas Seni Rupa Dan Disain.

Read more…

Jumat, 13 Desember 2013

Puisi Eka Mauliddin Syah


AKU TERBAKAR

 
Da, katakan pada batang itu aku terbakar
Jangan panggilkan hujan untuk memadamkannya
Karena hujan sudah turun tadi siang

Da, katakan pada batang itu aku terbakar
Ini bumi kemarau
Jangan coba mainkan api di tanah kering
Karena hujan ingin mengujiku tanpanya
K.J Desember 2013
Eka Mauliddin Syah, Pegiat di Komunitas Jeuneurob dan mahasiwa TIN USM

Read more…

Senin, 09 Desember 2013

World Book Night: Alasan Sepuluh Penulis untuk Membaca Buku



Untuk merayakan hari buku, berikut ini kami sajikan sepuluh kutipan dari para penulis tentang kenapa mereka membaca buku. 

• “Buku yang bagus akan memberimu banyak pengalaman, dan sedikit saja kelelahan di saat akhir. Kau menjalani beberapa kehidupan saat membaca.”
William Styron

• “Dalam peradaban tertinggi, buku tetaplah puncak kegembiraan. Orang yang tahu seberapa besar kepuasan yang didapatkannya dari buku-buku, akan memiliki sumberdaya untuk menghadapi malapetaka."
Ralph Waldo Emerson

• “Ada beberapa tindakan yang lebih jahat ketimbang membakar buku. Salah satunya adalah tidak membacanya.”
Joseph Brodsky

• “Memiliki kebiasaan membaca adalah membangun sendiri tempat berlindung dari hampir seluruh penderitaan hidup.” 
W. Somerset Maugham

• “Setiap orang yang tahu cara membaca memiliki kekuatan untuk memperbesar dirinya, melipatgandakan jalan bagi keberadaannya, dan membuat kehidupannya utuh, signifikan, dan menarik."
Aldous Huxley

• “Membaca buku tak ubahnya dengan tindakan menulis ulang buku itu bagi diri sendiri. Kau mengusung ke dalam sebuah novel, apa pun novel yang kaubaca, semua pengalaman hidupmu. Kau mengusung sejarahmu dan kau membacanya dalam konteksmu sendiri.”
Angela Carter

• “Yang terkasih sepanjang waktu, kawan paling kokoh bagi jiwa—BUKU.” 
Emily Dickinson

• “Kita tidak memerlukan daftar benar dan salah, tabel tentang apa yang boleh dan yang terlarang: kita membutuhkan buku-buku, waktu, dan kesunyian. Perintah dan larangan akan segera dilupakan, tetapi cerita akan bertahan selamanya.”
Philip Pullman

• “Membaca adalah satu-satunya cara di mana kita bisa tergelincir, tanpa sadar, dan sering tak berdaya, ke dalam kulit orang lain, suara orang lain, jiwa orang lain."
Joyce Carol Oates

• “Saya pikir kita hanya perlu membaca jenis-jenis buku yang sanggup melukai atau menusuk kita. Jika buku yang kita baca tidak membangunkan kita dengan hantaman di kepala, untuk apa kita membaca? Bukankah dengan demikian kita akan bahagia, manakala kau menulis? Demi Tuhan, kita akan sangat bahagia jika tidak punya buku, dan jenis buku yang membuat kita bahagia adalah yang kita tulis sendiri jika diperlukan. Tapi kita memerlukan buku-buku yang mempengaruhi kita seperti bencana, yang memberi kita kesedihan mendalam, seperti kematian seseorang yang kita cintai melebihi cinta kita pada diri sendiri, seperti dicampakkan ke dalam hutan jauh dari siapa pun, seperti tindakan bunuh diri. Sebuah buku semestinya menjadi kapak bagi laut beku di dalam diri kita. Itulah keyakinan saya.”
Franz Kafka

Ini adalah beberapa kutipan favorit kami tentang suka dan duka membaca. Sila menambahkan sendiri. [*]

(Diterjemahkan oleh A.S. Laksana dari artikel The Guardian "World Book Night: Ten writers' reasons for reading", untuk memperingati Hari Buku, tanggal 23 April 2013)



Read more…

Minggu, 08 Desember 2013

Puisi-Puisi Rakhmad Hidayat



KAU ANJUR TERBANG

Kau anjur terbang
Haruskah aku terbang?
Selain asa menua
Aku tak mendapatkan apa-apa

Kau anjur terbang dan aku terbang
Menyusuri, meneroka khatulistiwa
Jejak-jejak kutemui, kuteliti, lalu
Apa yang kutahu?
Terbangun atau  lelap di tempat serupa
Aku tak mengerti dengan ini semua
Setan-setan telah mengepung isi kepala

Kau anjur terbang aku telah terbang
Dengan jiwa dipenuhi setan
Tatih raga terus meneroka
Dan semua sia-sia


 KJ, Desember 2013


NISRINA

Mata, senyum, dan parasmu
Telah menyamarkan muslihat

Di ruang sepi tak berkilat
Segala tipu kau semat?

Kau sekumpulan debu
Mengumuhkan tubuh

Dan aku kekakuan embun
Yang olehmu telah lusuh


KJ, Desember 2013
Rakhmad Hidayat, Pegiat di Komunitas Jeuneurob dan mahasiswa gemasastrin angkatan 2012 

Read more…

Senin, 02 Desember 2013

MUKJIZAT-MUKJIZAT YANG KITA RENCANAKAN: YANG GAGAL




Karya Hamdani Chamsyah


Kelak akan tiba masanya
Kita menjadi pemuda yang patuh pada bantal dan keajaiban
Menanti mukjizat sembari mencatat rencana demi rencana
Sementara benih yang harap bulan lalu
masih tertinggal di lapik bantal berbau keringat
:pada mimpi yang tak selesai
Dan kita masih saja berencana?

Kita adalah orang-orang setia menunggu pemberian
Tanpa mencoba melakukan perubahan
Akhir bulan menjadi tempat mengutip rencana gagal yang belum dikerjakan
Dan tak terkutip
Kelak rencana itu berserak lagi. Direncanakan dikutip lagi
Dan tak terkutip

Kelak bila bangun pagi hari
Tiba-tiba kita ingat dongeng tentang negeri dan para wali
Tentang istana aneh. Tentang segala yang terjadi
Tanpa bersemangat mengubah. Tanpa semangat bergerak
Lalu tidur lagi

Bantal-bantal busuk
Dan mukjizat-mukjizat kosong
Kita masih saja tertidur pulas dengan segala perencanaan melompong
Kita masih mengharap dengan tangan kosong.

Sama sekali kita tidak pernah mencoba untuk bangun dari tidur
Dan orang-orang melaju. Kita tertinggal di tempat serupa
Di meja batu. Di hadapan layar semu
Orang-orang telah menjelang mimpinya yang terang
Sementara kita masih lelap dan bermimpi memanjat bulan
Lalu meloncat ke bulan. Hingga akhir bulan
dengan sejumlah perencanaan

Kalender di dinding membusuk
Busuk dengan rencana hampa
Bantal tua berjamur
Dan kita masih dalam berencana
Orang-orang sudah berdiri di garis pencapaian
Kita masih tidur dan membiarkan tahun datang dan pergi
Dengan kepala penuh rencana gagal

Banda Aceh, 27 November 2013
Hamdani Chamsyah, Pegiat di Komunitas Jeuneurob dan tukang gali kubur.

Read more…

Sabtu, 30 November 2013

TENTANG SENJA TUA



:: Rayhan Hayati dan Nazar Shah Alam


Dan sekali lagi senja tiada kunjung menua
hanya elang sesekali pulang ke entah tanpa arah
mengais duka lampau adalah kerja celaka
sudikah kau berduka dalam genang sejarah dan air mata?

Dan sekali lagi senja tiada menua
tiga ekor camar bersayap hujan berkitar-kitar di atap rumah
Melawat lara kacau di mesjid hijau
Masihkah ada yang larut dalam cerita peluru dan pisau?

Tiada yang mengerti tentang duka
hanya kita
Dan sekali lagi (rasa-rasanya) senja sudah tidak tua
Tapi mati

Jika senja sudah mati, bagaimana dengan malam?
Malam akan datang pada saat serupa
Tanpa senja (lagi)

Banda Aceh, 7 Juni 2013

Rayhan Hayati, siswa kelas IX SMA Labschool Unsyiah

Nazar Shah Alam, Komunitas Jeuneurob

Read more…

Rabu, 27 November 2013

Puisi-Puisi Putra Al Khaidir



TAUBAT


Ternyata aku memang tidak bisa jauh
darimu dan melupakan
telah kucari jalan lain
tapi di ujungnya aku melihatmu lagi
aku kembali ke jalan semula
aku melihatmu juga

maaf
aku tak bisa dan sama sekali tak mampu
bila harus berjalan di arah yang tak kau suruh
dan kini nyatanya aku harus kembali
ke jalanmu
terimalah kepulanganku

K.J, 25 Oktober 2013


TIRAI


Saat tirai-tirai itu kubuka
Kuizinkan hujan masuk kedalamnya
Kurelakan tubuh ini dibasahinya

Saat siang menghampiri
Matahari memancarkan cahayanya
Dengan ketulusan tanpa imbal

Saat malam menyapa
Rembulan memantau segala gerak-gerikku
Bintang melindungiku dari kegelapan

Sesuatu yang tak kuharapkan: debu
Akan kubersihkan ia dari dinding kutemu

Dan tirai-tirai itu kututup
Semua lenyap; semua hilang
Aku tak melihat lagi semua kesukaan dan kebencian


KJ, 28 Oktober 2013

* Putra Al Khaidir, Pegiat di Komunitas Jeuneurob dan Pekerja Pabrik Batu Bata.

Read more…

Minggu, 24 November 2013

Rahasia Malam


Karya Vina Sabila
Sumber The Atjeh Times, Senin, 08 April 2013


AKU tidak boleh menciptakan suara sekecil apa pun. Apa saja yang ada di sekitar, aku lewati dengan was-was. Jangan sampai tanganku malah menyenggol sesuatu, lalu menciptakan bunyi. Aku harus hati-hati. Aku tidak mau lelaki itu bangun. Kalau sampai terjadi, mungkin aku duluan yang akan mati.

Malam ini aku merasakan senyap yang tidak biasa, bahkan jangkrik pun tidak bersuara, anjing-anjing yang biasa melolong di tengah kesunyian malam bungkam.

Dalam kegelapan, aku masih bisa melihat beberapa lukisan pahlawan yang tergantung di dinding ruang tamu. Rumah ini seperti museum. Lukisan Cut Nyak Dhien, Iskandar Muda, Teuku Umar menghiasi dinding, sedangkan di almari sarat kitab-kitab kuno. Aku bisa melihat semuanya meski tidak begitu jelas. Sesekali rasanya gambar-gambar itu memelototiku. Mata mereka bengis dan tajam. Tatapan para pahlawan itu membuat aku mulai kesulitan mengendalikan diri. Tapi, cepat-cepat aku meyakinkan diriku bahwa ini bukan dunia dongeng di mana lukisan bisa hidup dan berbicara. Lukisan-lukisan para pahlawan itu tidak akan pernah bisa menjadi saksi.

Aku hampir mencapai tujuanku. Pintu itu sudah di depan mata. Aku bisa melihatnya dengan jelas. Kali ini aku tak boleh tergesa. Langkahku harus tetap.  Jangan sampai aku terlalu menggebu sehingga mengurangi kesadaranku.

Keringat dingin mengucur deras dari pelipisku, tapi bukan karena aku gugup atau takut. Bukan. Aku sama sekali tidak merasakan hal tersebut. Yang aku rasakan…mungkin sedikit menggebu-gebu sehingga jadi tak sabar.

Kudorong perlahan pintu kamar Pakcik Husen –  lelaki tua pemilik rumah ini. Lama juga rupanya untuk membuka pintu ini. Kalau aku tidak berhati-hati, maka pintu akan berderit, dan kemungkinan besar Pakcik Husen akan terbangun dari tidur lelapnya. Segalanya mesti dilakukan dengan cermat.

Berhasil! pintu terbuka dengan sempurna. Dengan langkah terjaga aku menggapai tempat tidur Pakcik Husen yang menempel di dinding putih. Dasar gila! Di dinding itu pun tergantung gambar pahlawan.

Aku menatap tempat tidur itu sekilas, lumayan luas. Setidaknya dapat ditempati oleh dua orang. Harusnya saat ini Makcik Keumala sedang berbaring di samping Pakcik Husen. Tapi Makcik Keumala tidak di sini. Tidak di tempat tidur ini, atau di rumah ini, atau di kota ini. Tidak. Dia tidak di sini. Bahkan dia tidak di dunia ini. Dia sudah di sana, jauh, dan, sial, aku merindukannya.

Aku menggeleng beberapa kali, berusaha menjernihkan pikiran dan kembali fokus pada apa yang sedang kulakukan. Rambutku yang panjang ini agak mengganggu. Aku memutuskan mengambil karet di kantung celana dan  mengikat rambutku. Kuperhatikan wajah Pakcik Husen yang sudah dimakan usia. Sungguh, wajahnya menjijikkan sekali. Ia sudah keriput. Kulit putihnya  sudah kusam, pipinya bergelambir, sedangkan rambutnya tak pernah berubah, keriting, berantakan bagaikan semak. Uban mulai memenuhi kepalanya. Raut wajahnya sungguh tidak enak ditatap.

Perlahan aku merapat ke tempat tidurnya. Dengan sigap aku tutup mulutnya dengan tangan kiriku, sedangkan tangan kirinya kutekan dengan lutut. Tangan kanannya? Biarkan saja, tangan itu sudah lumpuh. Bajingan ini terbangun, memelototiku dengan tatapan penuh tanda tanya. Wajahnya ketakutan. Dia berontak. Aku semakin kuat mendekap mulutnya. Dia terus menatapku, mendelik tajam, dan mungkin tidak percaya pada apa yang disaksikannya.

Ketika gerakannya kurasakan mulai menyeimbangiku, segera kurogoh pinggangku. Sret! Pisau dapur yang kupersiapkan sejak tadi sore menusuk lambungnya. Tiga kali. Aku mendengar suara kesakitan. Pelan dan menyerupai lenguh. Menjijikkan sekali. Dia belum benar-benar mati. Kenapa bangsat ini lama sekali matinya. Aku bosan menunggu tanpa melakukan apa-apa. Maka, aku membuat semacam lingkaran besar di perutnya.

Suara erangan itu pun lenyap. Dia mati. Aku menatapnya sebentar dan kebencianku tidak surut. Kutusuk-tusuk perutnya. Seperti yang kulihat di film, kujilat darah yang ada di ujung pisauku. Aku tertawa dan cepat-cepat mendekap mulut agar tidak ada yang mendengarku. Ini lucu sekali. Senang sekali melihat kematian bangsat ini. Simbahan darah memenuhi sekujur tempat tidur dan tentu saja terciprat ke bajuku. Bau amis memenuhi kamar.

Sebagai penutup atas tindakan ini, aku mencoret wajahnya. Ini bagian sangat menyenangkan. Oh, aku hampir lupa. Tentu akan jadi lebih dramatis jika aku menancapkan pisau ini ke bola matanya yang mendelik. Aku melakukannya. Hatiku dilanda kepuasan yang hebat. Setelah semua ini aku merasa sedikit lelah.

Di bawah tatapan para pahlawan aku berjalan keluar dari kamar bagai seorang pejuang yang baru saja memenangkan perang.

****

SETELAH merapikan rumah aku duduk di ruang tamu. Di sana ada selembar koran yang memberitakan tentang seorang pengumpul benda kuno yang tewas terbunuh. Aku membacanya dan tersenyum puas. Polisi menduga, pelakunya adalah keluarganya sendiri. Tapi polisi tolol itu, waktu mereka memeriksa tempat kejadian perkara, hanya sibuk dengan hal-hal yang tidak berguna. Meneliti tubuh korban, ceceran darah di sprei, mengambil semua pisau di dapur, tapi mereka tidak mendapati sebuah petunjuk pun. Semua orang di rumah ini diperiksa, termasuk ketiga anak laki-laki korban. Ketika polisi-polisi itu menginterogasiku mereka hanya mendapatkan kesedihan dan dusta.

Di ruang tamu aku menyesap teh hangat – keberhasilan harus dinikmati dengan santai dan tanpa perasaan bersalah. Apa yang baru saja aku lakukan adalah pembunuhan berencana. Orang yang aku bunuh mengajariku dua tahun lalu dan kini aku mengulanginya.

Keluarga ini keluarga bahagia pada awalnya. Sekalipun punya kesibukan masing-masing, mereka mendapatkan kemesraan di malam hari. Makcik Keumala adalah perempuan berhati mulia. Dia yang mengubah hidupku. Sejak umur sepuluh tahun dia mengasuhku seperti seorang ibu. Aku sangat senang  ketika Makcik Keumala mengambilku dari panti asuhan. Katanya dia ingin sekali mempunyai anak perempuan. Sejak itu aku menghuni rumah ini.

Ketika Pakcik menuduh Makcik Keumala selingkuh dengan karyawannya di toko baju, keadaan rumah ini menjadi runyam. Aku tidak begitu yakin dengan tuduhan Pakcik. Selain dari umur Makcik yang sudah mendekati kepala lima, selama ini dia juga tidak nampak gatal. Tapi kepala Pakcik Husen terlanjur dirasuki Setan dan ia tidak bisa menahan amarahnya. Suatu sore dia mendatangiku untuk memintai bantuan. Dia mengancam akan memperkosa dan membunuhku jika aku menolak. Aku ketakutan luar biasa. Pakcik Husen menjelaskan beberapa hal yang perlu aku lakukan pada malam harinya.

Tengah malam, Pakcik masuk kamarku dan memintaku bergegas. Setelah itu dia masuk dengan tenang ke kamarnya. Sejenak aku berdiri di depan pintu. Dia menyeretku dan dengan bahasa isyarat dia memintaku melakukannya sebagaimana pelatihan singkat yang diberikannya sore tadi. Aku menarik kaki Makcik dan menekan sekuat tenaga. Tubuhku yang gemuk bisa membuat kaki itu tak berkutik. Aku melihat dengan nyata perlawanan Makcik. Namun tangan kekar Pakcik Husen di leher Makcik Keumala membuat badannya lemah, lalu mati. Manusia jahanam itu menangis dan dengan segera memerintahkanku menghubungi tetangga. Paginya, tanpa begitu banyak pertanyaan, mayat Makcik Keumala dikuburkan.

Sejak pagi jahanam itu aku mulai bungkam. Berkali-kali Pakcik Husen mengingatkanku pada ancamannya. Aku tidak membantah. Bayangan kematian Makcik Keumala membuatku terguncang. Aku merasa dikejar-kejar oleh bayangan perempuan berjasa itu. Rumah ini menjadi sebuah museum mengerikan untuk ditempati. Setelah keadaan tenang dan orang-orang melupakan pembunuhan seorang pengumpul barang antik apa yang harus aku lakukan adalah pergi dari rumah terkutuk ini.[]

 * Vina Sabila, siswa kelas X Labschool Unsyiah dan tercatat sebagai murid kelas cerpen Sekolah Menulis Remaja Komunitas Jeuneurob (SMR-Jeuneurob).

Read more…