Kamis, 25 April 2013

Pengantar Singkat untuk Rencana Pembunuhan Sultan Nurruddin


Karya Azhari
Sumber: Koran Tempo, 12 Oktober 2008

TELAH diceritakan dalam kisah yang lebih panjang, bahwa sebuah sidang sedang menunggu dengan hati berdebar apakah Sultan Nurruddin memutuskan hendak membeli sebuah batu permata bernama Mutiara Tuhan atau tidak. 

Sidang itu terdiri dari para tukang nujum yang sedang berupaya mendorong Sultan untuk memiliki permata itu, sebab dalam nubuat yang mereka terima, hanya dengan batu mulia itulah ratusan tahun kemudian Lamuri dapat diselamatkan dari pendudukan Jenderal Mata Sebelah yang muncul dari seberang lautan sebagaimana halnya nasib Negeri Khurasan yang pernah ditakbirkan Al-Hadis. 

Berdiri di samping para ahli nujum adalah seorang jauhari yang sangat berpengalaman. Jika tukang nujum mampu menghapal ratusan hadis, maka sang jauhari dikaruniai ingatan untuk mengetahui riwayat ribuan jenis permata, pun firasatnya mampu menentukan permata mana yang mengandung kutukan dan mana yang membawa keberuntungan. Limpahan kekayaan membuat sang jauhari dapat meniru apa saja yang menjadi kegemaran Sultan Nurruddin, juga dalam hal mengumpulkan batu mulia.

Bahkan tak jarang ia bersaing dengan Sultan untuk memburu permata langka yang sama, dan kenyataan ini kadangkala membuat Sultan Nurruddin sakit hati kepadanya. Tapi kalau dia disingkirkan, kepada siapakah lagi Sultan harus memastikan bahwa sebuah manikam terbebas dari kutukan?

Kali ini, pengetahuan sang jauhari kembali membuat majelis kagum sekaligus terguncang. Dia paparkan riwayat Mutiara Tuhan yang sangat panjang, yang mampu menyeret dua nabi Allah yaitu Khaidir dan Sulaiman pada sepertiga cerita. Entah karena ingin memiliki Mutiara Tuhan untuk dirinya sendiri atau karena nyawa Sultan Nurruddin lebih berharga, dia menyimpulkan di ujung ceritanya bahwa Sultan Pelindung Kaum Beriman dan Penumpas Kaum Murtadin
ini tidak pantas menyerahkan takdirnya pada batu yang penuh kutukan ini.

Tak jauh dari Sultan Nurruddin berdiri seorang perempuan dengan air muka yang tak tersangka-sangka karena cadar telah menutupi hampir seluruh wajahnya. Dialah Ainul Mardiyah, perempuan pembawa Mutiara Tuhan.

Di belakang Ainul Mardiyah berbaris sembilan laki-laki yang menyaru sebagai pengiringnya, namun sesungguhnya mereka adalah sisa terakhir anggota Persaudaraan Rahasia Kura-kura Berjanggut, musuh utama Sultan Nurruddin yang telah diselamatkan oleh Si Ujud. Dengan kutukan batu permata itu, sebagaimana pesan terakhir Si Buduk (satu dari sembilan pemimpin puncak Kura-kura Berjanggut yang telah dibinasakan oleh Sultan) mereka berencana membunuh Sultan melalui utusannya Si Ujud.

Di dalam barisan itu pula terdapat enam lelaki lainnya, utusan sebuah puak pemburu harta yang mendiami muara tersembunyi di Kepulauan Sulu. Mereka tidak ada urusan dengan segala macam rencana pembunuhan Sultan, mereka hanya menghitung seberapa banyak keuntungan yang bakal dibawa pulang andai Sultan lebih memilih saran para tukang nujum daripada sang jauhari.

Berdiri pada saf yang sama dengan para tukang nujum dan sang jauhari adalah Si Ujud. Dia termasyhur sebagai syahbandar Lamuri namun ia lebih banyak bekerja sebagai kepala mata-mata rahasia Sultan Nurruddin. Pamornya dalam menumpas persaudaraan Kura-kura Berjanggut membuat Sultan Nurruddin tak ingin menggantinya dengan orang lain sebagaimana yang lazim ia lakukan selama ini, tentu setelah terlebih dahulu membunuh semua kepala mata-mata sebelumnya.

Sesungguhnya Si Ujud sendiri sudah lama memendam dendam-kesumat untuk membunuh
Sultan. Ia hendak membunuh Sultan dengan kutukan Mutiara Tuhan, sementara kita lihat dia berdiri dekat sekali dengan junjungannya itu.

Mutiara Tuhan tidak akan datang dengan kakinya sendiri ke Lamuri dan bukan pula dengan perantara sejenis kegaiban, melainkan berkat pertemuan yang langka seorang perempuan dengan Tuhannya pada suatu hari dan peran sejenis bumbu masak kegemaran awak kapal penangkap perompak pada hari yang lain. Saya kutip lagi cerita itu, cerita yang pernah dituturkan Si Buduk kepada Si Ujud, yang kemudian diceritakan kembali oleh Si Ujud kepada persaudaraan rahasia Kura-kura Berjanggut agar komplotan itu membawa Mutiara Tuhan ke Lamuri.

Pertemuan yang Langka
BERABAD-ABAD silam, bagai ingin menandaskan kembali di hadapan umat manusia bahwa Tuhan dapat melakukan apa saja, Dia yang satu ini pergi ke Barat pada suatu pagi. Kepergian-Nya yang penuh makna itu membuka pintu takdir yang berbeda-beda bagi tiga golongan umat-Nya.

Golongan pertama adalah sebagian besar umat-Nya yang hanya menunggu kepulangan-Nya, oleh sebab Dia memang berjanji untuk kembali pada suatu hari nanti. 

Andai muara, cadas, dan beting karang di teluk itu Dia beri kemampuan bertutur, maka mereka adalah saksi yang paling terpercaya dan tua untuk mengungkapkan bagaimana sehari setelah kepergian-Nya ratusan orang berlomba-lomba mengayuh perahu mengikuti alur perahu-Nya, oleh sebab telah Dia janjikan keabadian kepada siapa saja yang dapat bertemu dengan-Nya dalam perjalanan-Nya menuju Barat. Inilah golongan kedua, mereka yang sampai sekarang dikenal sebagai para pemburu keabadian dari Timur.

Golongan ketiga adalah sebuah wangsa terpandang yang pernah menyelenggarakan sayembara menangkap burung ajaib dengan hadiah seorang perempuan rupawan. Sayembara itu sendiri mengawali kemunculan-Nya untuk pertama kali dari tempat-Nya yang gaib setelah Dia saksikan tak ada satu pun manusia yang mampu menangkap si burung. Dia muncul sebagai seorang yang buruk rupa serta lemah bagai tidak mampu menolong diri sendiri. 

Barangkali penyaruan ini mengandung maksud agar umat manusia tidak terguncang oleh wujud asli-Nya. Tapi ketika Dia berhasil menangkap si burung, wangsa yang memalukan ini sama sekali tidak takjub oleh kemampuan-Nya, melainkan terpengaruh oleh wujud lahiriah-Nya, sehingga mereka merasa adil untuk menukar taruhan si perempuan rupawan dengan seekor babi hutan.

Kepergian-Nya ke Barat barangkali tak ada hubungannya dengan sikap tak senonoh wangsa ini, namun kemudian mereka sungguh menyesali perbuatan mereka kepada-Nya dalam sayembara itu, dan mereka percaya bahwa kemuliaan mereka akan kembali tegak apabila ada salah seorang dari mereka yang dapat membujuk Dia untuk kembali pulang ke Timur. Itu sebabnya, sambil beradu keberuntungan dengan para pemburu keabadian, wangsa ini mengutus sejumlah perempuan mereka ke arah matahari tenggelam untuk membawa Dia pulang.

Oleh rangkaian takdir seperti itulah aku berjumpa dengan Ainul Mardiyah pada suatu hari di Tumasik pada waktu pertemuan tahunan Sembilan pemimpin puncak Persaudaraan Kura-kura Berjanggut. 

PERSAUDARAAN rahasia seperti Kura-kura Berjanggut yang berniat mengakhiri hidup seorang Sultan penguasa lautan tidak akan mungkin berumur panjang apabila tidak berlindung pada aturan. Menyelenggarakan pertemuan tahunan di sebuah bandar yang kotor, menghindari untuk pergi bersama dan pulang dalam waktu berbeda adalah sebagian dari aturan itu. Kupikir kepatuhan pada aturan telah menjaga aku sedemikian rupa, sehingga tidak kusadari ada seseorang yang terus mengawasiku sejak turun di pintu gerbang bandar.

Pada malam hari sebelum pertemuan, seseorang di antara kami menyelia keadaan di sekeliling penginapan dan dia melihat seorang perempuan duduk di kursi ruang tunggu. Sambil mengawasi orang-orang yang naik-turun tangga, seketika dia berprasangka bahwa perempuan itu pastilah mata-mata Sultan Nurruddin. Kami semua setuju dengannya. Kami menunggu sampai kokok ayam pertama terdengar. Lalu seseorang lain di antara kami turun ke bawah dan dia melihat hal yang sama. Malam itu juga kami putuskan untuk membatalkan pertemuan sebelum akhirnya kami keluar satu demi satu.

Aku keluar pada giliran kelima, aku ingat hari hampir terang tanah, dan dia tepat menghadangku di pintu penginapan.

“Tuan Tuhan kami!”
Bukan panggilan lirihnya yang membuatku terpukau, tapi semata-mata kejelitaannyalah.

“Tuan Tuhan kami!”
Tak mendapat tanggapanku sekali lagi dia ulang kata-kata itu dengan lebih keras. Aku lantas berpikir, bahwa Sultan Nurruddin tak kehabisan akal untuk menjebak musuh-musuhnya bahkan kalau perlu memanggil mereka sebagai tuhan. Aku telah terbiasa menghadapi kecerdikan seperti yang kuhadapi sekarang, jadi aku tidak akan menghindar.

“Ikutlah ke mana langkah Tuhan jika demikian!” Aku berpikir kalau dia percaya bahwa aku adalah Tuhannya tentu dia mau mengikuti ke mana saja aku membawanya, dengan demikian aku dapat mengulur waktu agar delapan pemimpin yang lain dapat mencapai tujuan mereka masing-masing. Kalaupun terjadi sesuatu, itu hanya akan menimpaku seorang.

Perempuan ini pasti gila. Tapi seorang perempuan gila pun terlalu menarik perhatian untuk berjalan di samping seseorang yang mengenakan jubah Arabia. Maka sebelum aku mampu menjelaskan bahwa aku bukan Tuhannya, kuminta dia untuk bertukar busana dengan setelan pengembara Arabia. Cadar coklat yang menutup wajahnya itulah yang membuat Si Ujud tidak dapat melihat rupanya yang jelita.

Lalu perlahan-lahan mulai kujelaskan bahwa aku adalah seorang pedagang dan bukan Tuhannya. Tapi dia tidak percaya. Dia tetap berkata,

“Tuan Tuhan kami.” Aku memang tidak mempunyai bakat untuk meyakinkan orang gila, tapi aku percaya orang gila pada umumnya cepat bosan terhadap sesuatu hal. Jadi aku berharap barangkali esok atau lusa dia akan pergi dari sisiku ketika telah dia lihat Tuhan pada wajah orang lain.
Semuanya di luar dugaanku.
“Tuhan, mari pulang ke Numfur.” Itulah yang terucap dari mulutnya setelah lima hari bersamanya aku hanya mendengar,
“Tuhan tuan kami.” Aku tak menjawab ajakannya melainkan bertanya,
“Kau orang Numfur?”
“Bukan, Tuhan.”
“Jadi kau dari mana?”
“Labuan.”
“Pernah tinggal di Numfur?”
“Tidak, Tuhan.”
“Bisakah kau tidak memanggilku dengan sebutan Tuhan? Kau boleh memanggilku Kadi.”
“Bisa, Tuhan.” Lantas dia mendekap mulutnya dan mungkin tidak akan dia lepaskan kalau aku tidak menarik tangannya dari sana.. 

Aku tak mungkin terus bertanya padanya. Perempuan ini hanya mau menjawab apa yang aku tanyakan, barangkali dia berpikir aku mengetahui segalanya tentang dirinya. Maka aku minta dia untuk menceritakan siapa dirinya.

Dia telah enam tahun mencari Tuhannya yang pergi pada suatu masa ketika orang belum mengenal penanggalan. Umurnya sekarang dua puluh satu. Setiap tahun dia selalu merangkak kian ke barat, singgah dari satu bandar ke bandar lain sambil bekerja sebagai apa saja untuk mempertahankan entah hidupnya entah kutukannya. Hal inilah yang membuat dia mengetahui banyak hal sekaligus mengalami banyak sekali kejadian. Dia selalu mencari orang-orang dengan kudis di tubuh karena itulah satu-satunya tanda yang ditinggalkan Tuhannya. Dari sekian banyak orang dengan penyakit kudis yang ditemuinya hanya akulah yang menurut dia bisa dipastikan sebagai Tuhannya.

Kukatakan padanya bahwa aku harus pergi sedikit lagi ke arah barat. Sebagai Tuhan ada banyak tugas yang harus kuselesaikan, baru setelah itu aku akan pulang ke Numfur bersamanya. Apa yang Tuhan katakan tentu harus dipatuhinya. Begitulah dia menerima semua ketentuan yang aku gariskan. Untuk menjaga harapannya kuberikan dia beberapa tugas yang awalnya tak lebih dari hal remeh-temeh, seperti mengawasi orang-orang yang bakal berkunjung ke Lamuri dan memasok seluruh keterangan yang menyangkut dengan Sultan Nurruddin. Sebagai Tuhan yang baik kuberikan dia nama Ainul Mardiyah dan aku berjanji untuk datang menjumpainya setahun sekali.

Persaudaraan Kura-kura Berjanggut sungguh beruntung mempunyai seorang Ainul Mardiyah di Tumasik. Tentu aku ingin mendapat lebih.. Pada tahun ketiga kuminta dia menghimpun pengikut. Pada tahun keempat, yaitu di saat kau menumpahkan bubuk hitam itu, dia sudah mampu membangun sebuah majelis yang kuat di sana.

Wahai Si Ujud, waktu kau turun di Tumasik, sebelum berganti kapal dan melanjutkan perjalanan ke Lamuri, barangkali karena tergesa-gesa kau menabrak Ainul Mardiyah, perempuan bercadar yang tak kau kenal, dan kancut buntalan di tanganmu terlepas. Berhamburlah ratusan bubuk hitam dari wadahnya. Pada perempuan yang kausenggol dan membantumu meraup kembali hablur itu kau katakan, “Inilah bumbu hitam.”

Dari apa yang kautumpahkan itu dia lalu menyusuri jejakmu dan menuliskan penyelidikannya.

Bumbu Hitam Penangkap Perompak
PEROMPAK Kastilia pernah terkecoh karena tidak dapat membedakan bumbu hitam sebagai penyedap masakan dengan nama sebuah armada penangkap perompak. Bumbu hitam sebagai bumbu masak terbuat dari campuran kelapa dan cabe yang dibakar, dan ramuan ini telah lama menjadi teman setia orang Sulu di kesunyian lautan terutama karena keawetannya. Setiap mereka pergi melaut bumbu itu pasti diajak serta, baik untuk dikudap begitu saja maupun untuk penyedap masakan. Terilhami oleh kelezatan bumbu ini, Panglima Sama Banglani si penangkap perompak Kastilia dan datu pelindung orang Sulu, memberi nama armadanya Bumbu Hitam, armada yang sangat ditakuti sekalian perompak di lautan itu, terutama perompak Kastilia.

Tapi sejak perompak Kastilia berhasil menggantung Panglima Sama Banglani di bandar Zamboanga keadaan sudah banyak berubah. Jika dulu perompak ini menjadi sasaran utama perburuan Bumbu Hitam, maka sekarang adalah kebalikannya. Orang Kastilia bersumpah untuk memburu sisa-sisa armada Bumbu Hitam sampai ke ujung dunia. Orang Sulu, pemilik bumbu hitam sejati, begitu mengetahui kematian sang pelindung yang mereka cintai dan mendengar sumpah orang Kastilia itu, serentak menumpahkan bumbu hitam ke seluruh penjuru lautan. Inilah cara mereka untuk menyelamatkan sisa armada Bumbu Hitam dengan cara mengacaukan jalur pengejaran perompak Kastilia, sehingga masa itu pada sebuah bandar atau pangkalan sering ditemukan ceceran bumbu hitam tanpa sebab yang jelas.

Tapi tahun-tahun pengacauan jalur pengejaran itu sudah lama berlalu. Bumbu hitam kembali ke tempat asalnya, yakni panci dan kuali, bersama jahe, ikan atau ayam, menjadi sop hitam yang lezat. Armada penangkap perompak itu sendiri sudah lama tidak terdengar kabar beritanya. Maka aku sungguh penasaran ketika ada seseorang yang membawa-bawa bumbu itu di dalam buntalannya. Sehingga aku merasa tergugah untuk mengusut dari mana datangnya dan ke mana tujuan si orang dagang.

Apa yang kudapatkan membuat aku berbesar hati. Jika Kadi beranggapan bahwa salah satu tujuan melawat ke Barat adalah untuk mengakhiri hidup Sultan Nurruddin, maka orang yang kuselidiki ini juga mempunyai maksud yang sama. Dia adalah Si Ujud, nakhoda salah satu eskader Bumbu Hitam. Dia bukan orang Sulu, tapi berasal dari Lamuri. Tidak perlu heran apabila awak kapal Bumbu Hitam berasal dari negeri-negeri yang jauh. Untuk menangkap perompak Kastilia, Panglima Sama Banglani membutuhkan banyak sekali ahli dan para petempur untuk mengisi ratusan eskadernya, belum lagi tukang dayung dan pembersih geladak. Dia tidak mendapatkan seluruh tenaga itu dengan cuma-cuma. Sementara dia tidak seberuntung datu-datu penangkap perompak di masa silam, yang selalu dilindungi Mutiara Tuhan.

Dia mewarisi batu manikam itu tapi dia tidak mempunyai seseorang sebagai si penjaga batu. Sudah menjadi ketentuan bahwa Mutiara Tuhan harus diwariskan kepada seorang anak pilihan, sementara ibu yang melahirkan si anak adalah orang yang bertugas menjaga batu itu, yang hanya boleh dikeluarkan apabila si anak membutuhkannya. Hanya di tangan seorang perempuan terpilih itulah sang batu dapat ditundukkan. Masalahnya, Panglima Sama Banglani tidak mempunyai keturunan sehingga dia tidak dapat memilih salah satu dari istrinya sebagai si penjaga batu. Maka dia putuskan untuk menguburkan batu itu di dalam liang lahat ibunya, penjaga terakhir Mutiara Tuhan.

Dia lalu membuka sebuah cerita lama, yang disimpan rapat oleh datu-datu dan perempuan pilihan, cerita tentang Mutiara Tuhan, sebuah batu yang membawa keberuntungan bagi siapa saja yang dapat memilikinya bahkan walau dia hanya melihat pancaran cahayanya saja. Seperti kekuatan yang ditimbulkan oleh hembusan angin ekor duyung, cerita itu menarik orang-orang dari seluruh penjuru lautan untuk bergabung dengan armada Bumbu Hitam, terutama puak pemburu harta, sekalipun pertama-tama mereka harus berhadapan dengan perompak Kastilia, yang kata empunya cerita juga memburu batu manikam yang sama.

Si Ujud adalah salah seorang yang terhasut cerita itu dan dia ingin menggunakan Mutiara Tuhan untuk membunuh Sultan Nurruddin.

Dengan memperhatikan kebiasaan Panglima Sama Banglani menziarahi kuburan ibunya apabila dia mau atau usai menyergap perompak Kastilia, Si Ujud telah lama memikirkan sebuah kemungkinan bahwa sang Panglima menyembunyikan batu itu di dalam kuburan ibunya. Hal ini dia sampaikan kepada sang puak pemburu harta, pihak yang dia hasut kelak untuk menjual si batu permata kepada Sultan Nurruddin sebagai penawar tinggi.

Namun puak itu sendiri, ya Kadi, setelah kuselidiki, tidak pernah tahu di mana kuburan sang ibu Panglima Sama Banglani. Sementara Si Ujud, sejak armada penangkap perompak Bumbu Hitam dikalahkan perompak Kastilia, hilang entah di mana, hingga pada akhirnya dia menabrakku di bandar Tumasik ini. Bumbu hitam yang masih dia bawa-bawa itu menunjukkan betapa jauhnya dia bersembunyi selama ini, sehingga tidak dia ketahui bahwa masa pengacauan jalur pengejaran perompak Kastilia dengan tipuan bumbu hitam sudah lama berlalu. 

Azhari tinggal di Banda Aceh. Kumpulan cerita pendeknya adalah Perempuan Pala (2005).

Read more…

Senin, 08 April 2013

Rumah


karya Toni Lesmana

AKU sedang telanjang di sebuah kamar hotel. Ponselku berdering. Aku bangkit dan kekasihku merengut. Aku mendapat telpon dari tetangga yang mengabarkan kepergian istri dan anakku. Katanya mereka pergi membawa koper besar. Konon hendak pergi ke kota yang lain. Ia tak menyebutkan dengan persis kota apa. "Katakan pada suamiku, aku pergi!" begitulah tetanggaku berusaha meniru titipan kalimat istriku.
Tentu aku seperti disambar petir. Aku mencoba menghubungi nomor istriku namun tak diangkat. Berkali-kali tak diangkat. Panik. Meraih kunci mobil. Hampir aku menampar wajah kekasihku yang menahan kepergianku dengan cekikikan, rengekan, dan tangisan serta mengingatkan janji pertemuan dengan seorang rekan usaha. Aku berlari menuju tempat parkir. Mengambil kendaraan. Dan seperti seorang pembalap aku memacu mobil. Menerobos lampu merah. Mengambil jalan-jalan kecil untuk menghindari kemacetan. Disumpahi, diludahi, sampai dilempar para pemakai jalan lainnya. Namun kemacetan mencegat di mana-mana. Kemacetan membuatku ingin meledak. Juga telepon yang tak juga diangkat oleh istriku. Sebuah panggilan yang masuk malah berisi suara kekasihku langsung kumarahi habis-habisan dan kumatikan. Aku memukul-mukul klakson. Memaki. Berteriak sepanjang jalan.
Aku tahu bahwa ini akan terjadi. Gila. Aku ditinggal istri dan anakku. Namun aku tak bisa menerimanya. Aku tahu ini akan terjadi. Tapi tidak sekarang. Aku belum siap. Aku tidak pernah siap. Aku tak tahu apa artinya rumah tanpa meraka. Neraka. Apa artinya kepulangan tanpa mereka. Neraka. Tak kumungkiri aku sendiri biang keladinya. Kegilaanku pada kekasih-kekasihku di luar rumah barangkali sudah diendus oleh istriku. Sudah diketahuinya. Aku memang tak dapat menahan diri dari perempuan jika berada di luar rumah. Kesibukan kerja dan kesibukan selingkuh bagiku hampir sama. Aku tak dapat bekerja tanpa berselingkuh. Barangkali aku memang telah gila sejak dulu. Selama ini kupikir aku dapat menyimpan rapat-rapat semua kegilaanku itu dari istri dan anakku. Namun telepon tentang kepergian mereka segera saja menghancurkan keyakinan itu. Barangkali istriku sudah mengetahuinya dan marah. Tentu saja istri mana yang tak akan marah jika mengetahui kelakuan suami seperti aku. Aku akui itu. Tapi aku tak mungkin hidup tanpa mereka. Tidak. Kegilaanku ini selalu menyeretku untuk bunuh diri. Dan obat untuk bunuh diri itu adalah rumah. Adalah istri dan anakku. Untuk mereka itulah aku hidup. Kekasih-kekasihku hanyalah ledakan-ledakan yang tak pernah dapat kubendung dan kadang tak kumengerti.
Dalam perjalanan aku mengingat stasiun. Kupacu mobil sambil kubayangkan istri dan anakku sedang menunggu kereta sambil melihat-lihat nama kota dalam jadwal kedatangan dan keberangkatan. Istriku barangkali dengan mata sembab berusaha menerangkan pada anakku tentang kepergian mereka. Ia akan bercerita tentang sebuah liburan, untuk menutupi segalanya. Istriku adalah perempuan lembut dan bijak. Kata-katanya selalu lembut dan menyejukkan. Ia tak pernah marah. Tak pernah mengeluh. Tak pernah bertanya macam-macam. Ia selalu tersenyum. Aku selalu menganggapnya anugerah dan pintu bagiku untuk mengenal Tuhan. Sekalipun di luar rumah aku selalu lepas kendali. Bagaimana aku bertahan menempuh hidup tanpa cahaya. Jika cahaya satu-satunya kini pergi.
Sampai di stasiun dengan suara rem yang mendecit panjang. Aku membanting pintu mobil dan berlari ke pintu masuk. Menerobos penjaga yang seperti tersihir. Aku menyusuri seluruh stasiun. Memperhatikan semua wajah yang menunggu kereta. Memasuki kantin-kantinnya. Bertanya pada para pedagang, pengamen. Namun nihil. Tak ada yang menjawab pertanyaanku. Semua wajah berpaling dan menyingkir. Istri dan anakku tak kutemukan. Yang kutemukan hanya wajah-wajah yang memperhatikanku dengan sorot mata yang ganjil. Dan ketika sebuah kereta datang, Orang-orang keluar dan masuk ke dalam kereta. Aku melompat ke dalam sebuah gerbong. Lantas memeriksa setiap gerbong. Dari satu kursi ke kursi yang lain. Tetap nihil. Cepat aku melompat kembali dan berlari kembali menuju mobil.
Terminal adalah tempat selanjutnya. Satu-satunya terminal di kotaku tak terlalu jauh dari stasiun. Namun kemacetan akan membuatnya seperti perjalanan menuju neraka. Kupikir lebih baik jalan kaki melalui gang-gang yang masih kuingat. Hanya sebentar akan segera sampai. Aku keluar dari mobil. Membanting pintu lagi. Larilah aku di trotoar lantas masuk ke sebuah mulut gang. Sedikit berliku. Padat oleh pejalan dan pengguna motor. Beruntung orang-orang yang kulalui seperti memberi jalan. Mereka minggir dan merapatkan diri ke tembok gang. Sepertinya enggan bersentuhan denganku. Sebagian malah berlarian seperti takut. Tak berapa lama aku sudah keluar dari labirin kota itu. Nampak di seberang jalan. Terminal sedang ramai-ramainya. Tanpa melihat kiri kanan. Aku melesat menyeberangi jalan. Terdengar bunyi rem dan klakson seperti musik yang mengiringi langkahku. Kegaduhan dan caci maki.
Di Terminal. Seperti di stasiun. Mataku begitu liar menatap semua wajah. Terminal yang luas yang aku susuri tanpa lelah. Menaiki bus demi bus yang masih menanti jadwal berangkat. Semua bus aku periksa. Setiap sopir dan kondektur aku tanyai. Kios-kios dagangan. Bahkan hingga WC umum dan musala. Aku ingat kau tak pernah meninggalkan waktu salat. Dan ketika itu tepat ketika azan Asar berkumandang. Tapi tak kutemukan. Tak. Yang kutemukan hanya tatapan-tatapan ganjil ke arahku. Kasak-kusuk dan cibiran. Bahkan tangan-tangan kasar yang menghalauku pergi.
Hampir putus asa. Aku berdiri di bawah jembatan penyeberangan. Ingin marah dan menangis. Tak tahu mesti mencari ke mana lagi. Istriku adalah orang yang pendiam. Dia nyaris tak mempunyai teman di kota ini. Ia tak pernah ke mana-mana. Hanya tinggal di rumah. Mengurus rumah dan anak. Ah, anakku yang baru berusia tiga tahun itu. Sama pendiamnya dengan ibunya. Wajahnya pun begitu mirip. Beruntung ia tak mewarisi kegilaan ayahnya. Pikiranku semakin mati saja rasanya. Aku tak tahu mereka berangkat ke mana. Aku dan istriku adalah manusia rantau di kota ini. Kami berasal dari pulau-pulau yang jauh. Menyeberangi lautan jika hendak pulang ke kampung halaman. Dulu, kami bertemu sama- sama dalam keadaan sebatang kara di kota besar. Seperti awan di langit. Aku awan hitam dan ia awan putih.
Ada baiknya kudatangi saja rumah tetanggaku. Agar lebih jelas. Aku naik ke jembatan penyeberangan. Barangkali dari atas aku bisa menemukan sosok mereka. Tapi tak ada. Yang ada hanya para pengemis di atas jembatan penyebrangan yang cepat-cepat menyembunyikan tempat uang mereka dengan tiba- tiba ketika aku lewat. Setan. Dikiranya aku pencuri. Turun dari jembatan penyeberangan, aku melalui kembali gang yang tadi. Tanpa menghiraukan apa pun aku berlari secepatnya menuju mobil yang kuparkir di stasiun.
Muak sekali rasanya melihat tatapan orang-orang ketika kumasuki mobil menghidupkannya. Segera aku berlalu memasuki kembali kemacetan. Ponselku berbunyi. Kulihat nama yang muncul adalah nama yang mestinya kutemui. Keparat. Masih saja mengingatkan pekerjaan dalam keadaan darurat begini. Kemarahanku tiba-tiba seperti mendapat sasaran. Orang inilah yang menyuruhku terus bekerja. Padahal semakin giat bekerja semakin gila pulalah aku pada perempuan-perempuan di luar rumah. Bangsat sekali orang ini. Semakin gila, semakin jauh pula aku dari rumah. Semakin jauh dari rumah. Semakin sakitlah istri dan anakku.
"Mau apa lagi kau, bangsat!" teriakku setelah kutekan tombol bergambar telepon.
"Bagaimana urusan ini? Ini proyek besar!" orang itu malah balik membentak.
"Persetan! Kau gilaaa!" aku semakin mengeraskan teriakan dan setelah itu memutus percakapan.
Beberapa kali masuk lagi panggilan dan pesan singkat, tak kuhiraukan. Bayangan istri dan anakku yang berjalan menjauh dan mengabur memenuhi kepala. Hampir Magrib ketika aku sampai di rumah tetangga. Hanya tiga rumah dari rumahku. Aku tak berani melirik ke arah rumahku sendiri. Aku takut.
Pintu rumah tetanggaku tertutup. Kuketuk. Sepi. Akhirnya kugedor-gedor.
"Ya. Sebentar!" suara tetangga begitu khas dari dalam rumah.
"Cepatlah!" sahutku tak sabar.
Pintu terbuka. Aku menyeruak masuk, hampir menubruknya.
"Astagaaaa! Apa-apaan kau ini!" Tetanggaku terkejut. Berkali-kali mengusap wajahnya yang tampak basah, barangkali ia baru saja mengambil wudu. Ia berdiri mematung seperti melihat hantu. Kemudian berjalan mundur menjauhiku.
"Cepat katakan! Ke mana Istri dan anakku pergi!" aku memburunya sebab ia terus-terusan berjalan mundur hingga punggungnya menempel ke dinding.
Tetanggaku malah menutup wajah dengan tangannya. Kuguncang-guncang tubuhnya.
"Cepatlah katakan! Aku tak ingin kehilangan mereka!"
"Aku tidak tahu ke mana istrimu pergi. Sungguh, tadi aku hanya berpapasan di jalan. Hanya kalimat tadi itulah yang diamanatkan istrimu!"
"Kenapa tidak kau tahan! Kenapa kau biarkan mereka pergi!" Aku lepas kendali. Tubuhnya terus kuguncang-guncang. Dari dalam rumah muncul istrinya. Dan langsung menjerit. Dan mengusirku. Apa salahku. Aku hanya ingin mencari kabar tentang istriku.
"Pergi kau! Dasar tak tahu terima kasih! Istrimu pergi karena tak tahan dengan kelakuanmu yang gila itu! Pergi! Jangan kotori rumah kami!" istrinya menjerit-jerit sambil mengusirku tanpa melihat ke arahku ia malah memunggungiku. Sedang suaminya berbisik menyuruhku cepat pulang. "Carilah di rumahmu, barangkali mereka telah kembali. Carilah dalam dirimu." Tangannya dengan lembut melepas jari-jariku yang mencengkeram pundaknya, kemudian dengan halus mendorongku ke arah pintu.
Aku ditinggal istri dan diusir oleh tetangga. Aku keluar dengan perasaan yang sangat sesak. Tak ada kabar tentang istriku, yang ada malah usiran yang menyakitkan. Aku berjalan sambil menatap ke arah rumahku. Rumah yang tiba-tiba saja seperti rumah hantu. Begitu menakutkan. Melewati mobil yang kubiarkan terparkir di depan rumah tetanggaku. Suara ponsel dari dalam mobil. Kuraih. Semoga istriku, batinku. Tapi yang nampak adalah nama kekasihku. Kumatikan dan kupegang erat. Langkahku gontai menuju rumah.
Langkah demi langkah. Kenapa aku menjadi begitu takut memasuki rumah. Aku sangat takut istriku benar-benar meninggalkanku. Jika kumasuki rumah dan tak kutemui istri dan anakku. Aku tak tahu apa yang akan kulakukan. Bunuh diri.
Pintu itu. Tak dikunci. Istriku mungkin lupa menguncinya.
Ruangan ini gelap. Rumahku sangat gelap. Selepas kubuka pintu dengan terburu-buru. Masuk dan terkejut. Pintu terdengar menutup sendiri di belakangku. Kini di sekelilingku kegelapan. Kucoba berbalik dan meraih-raih ke arah pintu. Namun tak dapat kusentuh apa pun selain kegelapan. Aku tak tahu lagi kini sedang menghadap ke mana. Kiri, kanan, depan dan belakang hanyalah warna hitam. Atas dan bawah adalah pekat.
Rumah ini menjadi asing dan menakutkan. Hanya ruang gelap. Seperti juga pikiranku.
Kurasakan lantai yang dingin. Kakiku dapat merasakan dinginnya lantai, gigilnya kegelapan. Kenapa kakiku tak mengenakan sepatu dan kaus kaki. Dingin dan gigil itu merambat naik dari telapak kaki ke jari-jari. Menyusuri setiap sendi dan urat-urat. Kaki. Betis. Lutut. Paha. Selangkangan. Perut. Berputar di pusar. Menyebar ke tulang punggung. Punggung. Dada. Menyebar kembali ke lengan mencapai ujung-ujung jari lengan. Berkumpul di situ. Berbalik kembali ke pundak. Mengarah leher. Dagu. Merasuk. Bibir. Pipi. Hidung. Telinga. Kening. Mengelilingi kulit kepala. Rambut seperti beku. Turun kembali ke bawah. Dingin dan gigil sekujur tubuhku.
Dalam kegelapan tiba-tiba kusadari bahwa aku telanjang.
Sekujur tubuhku hanya berpakaian dingin dan gigil. Aku telanjang bulat ditelan kegelapan. Seluruh tulang-tulangku seperti bersuara. Berteriak. Tertawa dan menjerit. Tubuhku bersuara. Barangkali melawan gigil. Melawan sepi. Ketelanjanganku berteriak. Aku diserang suara-suara dalam tubuhku. Bibirku rapat. Namun seluruh tubuhku terus mengeluarkan suara. Mengeluarkan kata-kata. kata-kata dalam kegelapan. Entah untuk siapa. Tak ada apa-apa di sini selain kegelapan. Selain diriku yang kini bugil dan gigil. Terasing dan kesepian di rumah sendiri.
Tangan yang mengepal telepon bergetar bersamaan dengan suara pesan singkat masuk. Harapan terakhir. Cahaya yang menyilaukan dari layar ponsel. Kubuka dengan gemetar. Gemetar oleh cahaya. Gemetar oleh harapan.
"Sayang, pakaianmu tertinggal di hotel. Aku tahu kau telanjang di luar sana. Kembalilah ke sini. Muah...!" begitu isi pesan singkat itu. Pesan singkat dari kekasihku. Bukan dari istriku. Kubanting ponsel itu. Kubanting ke dalam kegelapan. Lalu tubuhku yang gigil dan bugil, semakin ramai bersuara. Berkata-kata. Kaki. Betis. Lutut. Paha. Selangkangan. Kemaluan. Perut. Pusar. Punggung. Dada. Tangan. Pundak. Leher. Dagu. Bibir. Pipi. Hidung. Telinga. Kening. Kepala. Rambut. Semuanya bersuara. Berkata-kata dalam kegelapan. Memanggil-manggil namaku sendiri. Seperti memanggil kegelapan. Sementara aku tak dapat bersuara. Aku ingin memanggil nama istri dan anakku.
***
*) Dimuat di  Tribun Jabar Minggu, 19 Februari 2012

Read more…

Senin, 01 April 2013

Taruhan


Karya: Anton Chekov
(Judul Asli : The Bet)

Saat itu malam musim gugur yang gelap. Seorang bankir tua berjalan mondar‑mandir di ruang kerjanya terkenang pesta yang diselenggarakannya pada musim gugur lima belas tahun silam. Banyak orang pandai yang hadir dan percakapan‑percakapan yang menarik di sana.

Di antara hal‑hal yang mereka perbincangkan adalah masalah hukuman mati. Para tamu, tidak sedikit di antaranya adalah para sarjana dan jurnalis, sebagian besar tidak setuju atas pelaksanaan hukuman terse­but. Mereka menganggap hal itu sebagai suatu bentuk hukuman yang sudah kuno, tidak cocok untuk negara kristen dan amoral. Seba­gian dari mereka berpendapat bahwa hukuman mati hendaknya diganti saja dengan hukuman penjara seumur hidup secara universal.

“Aku tak sependapat dengan kalian,” kata sang tuan rumah. “Aku sendiri belum pernah mengalami hukuman mati atau penjara seumur hidup, tapi bila kita boleh mengambil pertimbangan berdasarkan kenyataan yang sebenarnya, menurut pendapatku hukuman mati lebih bermoral dan lebih manusiawi daripada penjara. Eksekusi langsung membunuh, sedang penjara seumur hidup membunuh perlahan‑lahan. Siapakah algojo yang lebih manusiawi, orang yang membunuhmu dalam beberapa detik ataukah seseorang yang mencabut nyawamu selama bertahun‑tahun?” “Keduanya sama‑sama amoral,” ujar seorang tamu, “karena tujuan keduanya sama, mengambil kehidupan. Negara bukan Tuhan. Ia tak punya hak untuk mengambil apa yang tak dapat diberikannya kembali.”

Di antara mereka terdapat seorang pengacara muda yang berusia sekitar dua puluh lima tahun. Ketika dimintai pendapatn­ya, ia berkata:

“Hukuman mati dan penjara seumur hidup sama‑sama amoral, tapi kalau aku disuruh memilih di antara keduanya, aku pasti memilih yang kedua. Bagaimanapun juga, hidup lebih baik daripada tidak hidup sama sekali.”

Terjadilah perdebatan yang seru. Sang bankir yang saat itu masih muda dan temperamental tiba‑tiba naik pitam, ia menggebrak meja dan berteriak kepada pengacara muda tadi:

“Bohong! Aku berani bertaruh dua juta kau takkan betah ngendon di sel walau hanya untuk lima tahun saja!”

“Kalau kau serius,” sahut sang pengacara, “aku bertaruh akan ngendon bukan hanya selama lima, tapi lima belas tahun.”

“Lima belas tahun. Jadi!” seru sang bankir. “Tuan‑tuan, aku mempertaruhkan dua juta!”

“Setuju. Kau bertaruh dengan dua juta, aku dengan kebeba­sanku,” kata sang pengacara.

Maka taruhan edan‑edanan itu jadilah. Sang bankir yang saat itu memiliki banyak uang tak dapat mengendalikan dirinya. Selama makan malam ia berkata kepada sang pengacara dengan canda:

“Sadarlah sebelum terlalu terlambat, anak muda. Dua juta tak ada artinya bagiku, namun kau akan kehilangan tiga atau empat tahun terbaik dalam hidupmu. Kubilang tiga atau empat, karena kau takkan kuat ngendon  lebih lama lagi. Juga jangan lupa, hai orang malang, bahwa sukarela lebih berat daripada melaksanakan hukuman penjara sesungguhnya. Pikiran bahwa kau punya hak untuk membebas­kan dirimu kapan saja, akan mengacaukan seluruh kehidupanmu di dalam sel. Aku kasihan padamu.”

Dan kini sang bankir berjalan mondar‑mandir mengenang ini semua dan bertanya pada dirinya sendiri:

“Kenapa kulakukan taruhan ini? Apa manfaatnya? Si pengacara itu kehilangan lima belas tahun kehidupannya dan aku membuang dua juta. Apakah ini akan meyakinkan masyarakat bahwa hukuman mati lebih buruk atau lebih baik daripada penjara seumur hidup? Tidak, tidak! Semua ini kesia‑siaan belaka. Di pihakku itu semata‑mata akibat pikiran mendadak dari seorang yang kaya raya; sedang bagi si pengacara, semata‑mata karena kerakusan akan harta.”

Ia mengenang lebih jauh tentang apa yang terjadi setelah pesta malam itu. Diputuskan bahwa sang pengacara harus menjalani masa kurungannya di bawah pengawasan yang sangat ketat di sebuah paviliun yang terletak di kebun milik sang bankir. Juga telah disepakati bahwa selama masa itu ia akan kehilangan hak untuk melintasi ambang pintu, melihat kehidupan masyarakat, mendengar suara‑suara manusia, dan menerima surat serta koran. Ia diijinkan memiliki sebuah alat musik, membaca buku‑buku, menulis surat, minum anggur dan menghisap tembakau. Berdasar kesepakatan ia bisa berkomunikasi dengan dunia luar, namun hanya dengan keheningan, melalui sebuah jendela kecil yang khusus dibangun untuk itu.

Semua kesepakatan itu telah tertulis secara rinci, yang membuat masa kurungan itu amat sangat sunyi dan terasing, dan sang pengacara diwajibkan untuk tinggal tepat selama lima belas tahun mulai dari pukul dua belas pada tanggal 14 November 1870 sampai dengan pukul dua belas tanggal 14 November 1885. Sedikit saja ia melakukan pelanggaran atas syarat‑syarat tadi, melepaskan diri walau hanya kurang dua menit dari waktunya, membebaskan sang bankir untuk membayarnya dua juta.

Selama tahun pertamanya di penjara, sang pengacara, sepanjang kesimpulan yang dapat ditarik dari catatan‑catatan kecilnya, sangat menderita karena kesendirian dan kesepian. Siang malam dari kamarnya terdengar suara piano. Ia menolak anggur dan tembakau. “Anggur,” tulisnya, “membangkitkan keinginan‑keinginan yang merupakan musuh utama bagi seorang tahanan, lagi pula tak ada yang lebih membosankan daripada minum anggur yang baik sendirian, sedangkan tembakau mengotori udara di kamarnya.”

Selama tahun pertama itu sang pengacara mendapat kiriman buku‑buku tentang para tokoh, novel‑novel kisah percintaan yang rumit, cerita‑cerita kejahatan dan fantasi, komedi, dan sebagain­ya.

Pada tahun kedua tidak terdengar lagi suara piano dan sang pengacara hanya meminta sastra Yunani dan Romawi kuno. Dalam tahun kelima suara musik kembali terdengar dan sang tahanan meminta anggur. Orang‑orang yang mengawasinya mengatakan bahwa dalam waktu setahun itu ia hanya makan, minum dan berbaring saja di ranjangnya. Ia sering menguap dan bicara sendiri sambil marah‑marah. Ia tidak lagi membaca buku. Terkadang di malam hari ia duduk sambil menulis. Ia menulis dalam waktu lama kemudian merobek‑robek semuanya di pagi hari. Lebih dari sekali terdengar ia menangis.

Dalam pertengahan tahun keenam, sang tahanan mulai mempe­lajari bahasa‑bahasa, filsafat dan sejarah dengan penuh semangat. Ia menekuni bidang‑bidang ini dengan laparnya sehingga sang bankir bersusah payah mencari waktu untuk memenuhi kebutuhan buku‑bukunya. Dalam masa empat tahun telah sekitar enam ratus volume yang dibeli atas permintaannya.

Ketika gairah itu surut, sang bankir menerima surat berikut ini dari sang tahanan:

“Sipirku yang baik, kutulis baris‑baris ini dalam enam bahasa. Tunjukkanlah kepada para ahli. Biar mereka membacanya. Jika mereka tak menemukan satu kesalahanpun, kuminta kau memerintahkan orangmu melepas tembakan di kebun. Dengan keributan itu, aku akan tahu bahwa usahaku selama ini tidaklah sia‑sia. Para cendekiawan dari segala masa dan negeri berbicara dalam bahasa‑bahasa yang berbeda, namun dalam diri mereka semua menyala semangat yang sama. Oh, seandainya kau tahu betapa bahagianya aku kini karena telah mengerti bahasa‑bahasa mereka!”

Keinginan sang tahananpun terpenuhi. Dua tembakan dilepas di kebun atas perintah sang bankir.

Selanjutnya, setelah tahun ke sepuluh, sang pengacara duduk tak bergeming di depan mejanya dan hanya membaca Kitab Perjanjian Baru. Sang bankir merasa heran bahwa seorang pria yang selama empat tahun telah menguasai enam ratus volume ilmu pengetahuan, akan menghabiskan hampir satu tahun hanya untuk membaca sebuah buku saja, yang mudah dipahami dan sama sekali tidak tebal. Perjanjian Baru itu kemudian digantikan dengan sejarah agama‑agama dan teologi.

Selama dua tahun terakhir dari masa kurungannya sang taha­nan dengan edan‑edanan membaca luar biasa banyak. Sekarang ia menekuni ilmu‑ilmu alam, kemudian melahap karya‑karya Byron dan Shake­speare. Ia mengirim catatan‑catatan kecil minta dikirimi dalam waktu yang bersamaan sebuah buku tentang kimia, sebuah textbook tentang kedokteran, sebuah novel, dan beberapa risalah filsafat atau teologi. Ia membacanya seakan‑akan sedang berenang di lautan di antara kepingan‑kepingan kapal pecah, dan dalam perjuangan menyelamatkan nyawanya ia mencengkeram keping‑keping itu satu per satu dengan bersemangat.

Sang bankir mengenang semua ini dan berpikir:

“Pukul dua belas besok ia memperoleh kebebasannya. Berdasar kesepakatan, aku nanti harus membayarnya dua juta. Kalau kubayar, tamatlah riwayatku. Aku bangkrut selamanya….”

Lima belas tahun silam uangnya berjuta‑juta, tapi sekarang ia bahkan takut bertanya kepada dirinya sendiri manakah yang lebih banyak dimilikinya, uang ataukah hutang. Berjudi di pasar modal, spekulasi yang beresiko, dan kesembronoan yang tidak dapat dihilangkannya bahkan sampai tuanya, perlahan‑lahan telah mengan­tar bisnisnya kepada kehancuran. Dan pengusaha yang dulu pembera­ni, penuh percaya diri dan angkuh itu kini telah berubah menjadi seorang bankir biasa yang gemetar setiap kali terjadi fluktuasi harga di pasar.

“Taruhan terkutuk itu,” bisik pria tua tadi sambil memegangi kepalanya dalam keputusasaan. “Kenapa orang itu tidak mati saja? Umurnya baru empat puluh tahun. Ia akan membawa pergi sampai recehan terakhirku serta mengakhiri semuanya; pernikahanku, hidupku yang enak ini, perjudian di bursa saham, dan aku akan kelihatan seperti seorang kere yang iri dan mendengar kata‑kata yang sama darinya setiap hari: ‘Aku berhutang budi padamu untuk kebahagiaan hidupku. Biarlah aku menolongmu.’ Tidak, itu terlalu banyak! Satu‑satunya cara melepaskan diri dari kebangkrutan dan aib adalah pria itu harus mati.”

Jam baru saja berdentang menunjukkan pukul tiga. Sang bankir menyimaknya. Di rumah itu semua orang sudah tidur, dan yang terdengar hanyalah bunyi pepohonan beku yang menderu‑deru di luar jendela. Dengan berusaha agar tidak menimbulkan suara, ia mengeluarkan kunci pintu yang tidak pernah dibuka selama lima belas tahun dari peti besinya kemudian mengantongi di mantelnya lalu keluar dari rumah. Di kebun suasananya gelap dan dingin. Saat itu sedang hujan. Ada kabut dan hembusan angin yang menderu‑deru, membuat pepohonan tidak bisa diam. Meskipun telah memaksakan matanya, sang bankir tetap tak dapat melihat tanah, patung‑patung putih, paviliun ataupun pepohonan di kebun itu. Ketika sedang mendekati paviliun, ia memang­gil‑manggil sang pengawas dua kali. Namun tak ada jawaban. Agaknya sang pengawas telah mencari perlindungan dari cuaca buruk dan kini sedang tertidur di dapur atau rumah kaca.

“Kalau aku punya keberanian untuk menjalankan niatku,” pikir laki‑laki tua itu, “kecurigaan pertama kali akan ditujukan kepada si pengawas.”

Di dalam kegelapan ia meraba‑raba mencari jalan dan pintu kemudian memasuki aula paviliun. Selanjutnya ia meneruskan lang­kahnya melewati sebuah celah sempit dan menyalakan sebatang korek api. Tak ada seorangpun di sana. Terlihat dipan tanpa seprei dan selimut serta sebuah kompor besi samar‑samar di sudut ruangan. Segel yang tertempel di pintu masuk kamar tahananpun masih utuh.

Ketika koreknya mati, pria tua itu, yang gemetaran karena gejolak di dalam dirinya, mengintip lewat jendela kecil. Di kamar tahanan terdapat sebatang lilin yang menyala remang‑remang. Sang tahanan duduk sendirian di depan meja. Hanya punggung, rambut dan kedua belah tangannya saja yang nampak. Buku‑buku yang terbuka berserakan di atas meja, kedua kursi, dan karpet di dekat meja.

Lima menit berlalu dan sang tahanan tak sekalipun menoleh. Lima belas tahun dalam kurungan telah mengajarkannya untuk duduk tak bergeming. Sang bankir mengetuk‑ngetuk jendela dengan jarin­ya, tapi sang tahanan tidak melakukan sebuah gerakanpun sebagai tanggapan. Lalu sang bankir dengan hati‑hati merobek segel pintu dan memasukkan kunci ke lubangnya. Lubang kunci yang berkarat mengeluarkan suara serak dan pintu pun berderit. Sang bankir mengharap segera mendengar seruan kaget dan bunyi langkah‑langkah. Tiga menit berlalu dan suasana tetap hening di dalam, sebagaimana sebelumnya. Iapun memutuskan untuk masuk.

Pria itu duduk di depan meja, tidak seperti manusia biasa. Nampak mirip tengkorak terbalut kulit yang berambut gondrong keriting seperti perempuan dan berewokan. Wajahnya kuning pucat karena tak pernah tersentuh sinar matahari, kedua belah pipinya kempot, punggungnya panjang dan kecil, dan tangannya yang dipakai untuk menopangkan kepalanya sangat kurus dan lemah sehingga menyedihkan sekali bagi yang melihatnya. Rambutnya sudah beruban, dan tak seorangpun yang melihat sekilas ke wajah tua yang peot itu akan percaya bahwa ia baru berusia empat puluh tahun. Di atas meja, di depan kepalanya yang tertunduk, tergeletak secarik kertas yang berisi tulisan tangan yang kecil‑kecil.

“Manusia malang,” batin sang bankir, “dia sedang tertidur dan barangkali sedang melihat uang jutaan dalam mimpinya. Aku tinggal mengangkat dan melempar benda setengah mati ini ke atas dipan, membekapnya sebentar dengan bantal, dan otopsi yang paling teliti sekalipun tak akan menemukan sebab kematian yang tidak wajar. Tapi, pertama‑tama, mari kita baca apa yang telah ditulisnya di sini”. Sang bankirpun mengambil kertas itu dan membacanya:

“Besok pukul dua belas tengah malam aku akan memperoleh kebebasanku dan hak untuk bergaul dengan masyarakat. Namun sebe­lum kutinggalkan ruangan ini dan melihat cahaya matahari, kupikir aku perlu menyampaikan beberapa patah kata kepadamu. Dengan nurani yang jernih dan Tuhan sebagai saksinya, kunyatakan kepada­mu bahwa aku memandang hina kebebasan, kehidupan, kesehatan, dan semua yang disebut oleh buku‑bukumu sebagai rahmat di dunia ini.”

“Selama lima belas tahun aku dengan rajin telah mempelajari kehidupan duniawi. Memang benar, aku tidak melihat dunia maupun orang‑orang, tapi dalam buku‑bukumu aku meminum anggur yang wangi, menyanyikan lagu‑lagu, berburu rusa dan babi hutan di rimba, mencintai wanita‑wanita….”

“Dan wanita‑wanita cantik, selembut awan, yang diciptakan oleh sihir kejeniusan para pujangga, mengunjungiku di malam hari dan membisikkan dongeng‑dongeng yang menakjubkan, membuat aku mabuk kepayang.”

“Dalam buku‑bukumu aku mendaki puncak Elbruz dan Mont Blanc dan dari sana menyaksikan bagaimana matahari terbit di pagi hari, dan ketika senjanya menutupi langit, samudera, dan punggung pegunungan dengan warna lembayung keemasan. Dari sana kulihat betapa di atasku kilat berkilauan membelah awan, kulihat hutan‑hutan yang hijau, ladang‑ladang, sungai‑sungai, danau‑danau, kota‑kota, kudengar nyanyian sirene dan permainan pipa‑pipa Pan, kusentuh sayap iblis‑iblis cantik yang terbang mendatangiku untuk berbicara tentang Tuhan…. Dalam buku‑bukumu kuterjunkan diriku ke dalam jurang tanpa dasar, membuat berbagai keajaiban, membakar kota‑kota sampai rata dengan tanah, mengajarkan agama‑agama baru, menaklukkan seluruh negara….”

“Buku‑bukumu memberiku kebijaksanaan. Semua pemikiran manu­sia yang tak jemu‑jemunya diciptakan selama berabad‑abad telah terkumpul di dalam otakku yang kecil. Aku tahu bahwa aku lebih pandai darimu dalam segala hal.”

“Dan aku memandang hina buku‑bukumu, memandang hina semua rahmat duniawi dan kebijakan. Semua itu hampa, lemah, dan khayali bagai bayang‑bayang. Sekalipun engkau hebat, bijaksana, dan tampan, kelak kematian akan menghapuskanmu dari muka bumi seperti tikus di bawah tanah. Dan keturunan, sejarah serta monumen kejeniusanmu akan menjadi ampas beku yang habis terbakar bersama bola bumi ini.”

“Engkau sinting, dan menyusuri jalan yang salah. Engkau menukar kesejatian dengan kepalsuan dan kecantikan dengan keburukan. Kau akan heran bila pohon apel dan jeruk menghasilkan kodok dan kadal, bukannya buah. Dan jika bunga‑bunga mawar mengeluarkan bau keringat kuda. Demikian pula aku heran padamu yang telah menukar sorga dengan dunia. Aku tak ingin memahamimu.”

“Kutunjukkan padamu kejijikanku atas cara hidupmu, kutolak dua juta itu yang pernah kuimpikan sebagai sorga, dan yang kini kuanggap hina. Aku cabut hakku atasnya, aku akan keluar dari sini lima menit sebelum waktunya, dengan demikian akan batallah perse­tujuan itu.”

Setelah membacanya, sang bankir meletakkan kembali kertas tersebut di atas meja, dikecupnya kepala orang asing itu, dan iapun mulai menangis. Ia keluar dari paviliun itu. Tak pernah sebelumnya, bahkan juga setelah mengalami kerugian besar di bursa saham, ia merasa begitu jijik kepada dirinya sendiri seperti sekarang ini. Setelah tiba di rumah, ia membaringkan tubuhnya di atas dipan, tapi gejolak batin dan air mata menahannya untuk tidur selama beberapa saat.

Pada paginya sang pengawas yang malang mendatanginya dengan berlari‑lari dan melaporkan bahwa mereka telah melihat pria yang tinggal di paviliun itu memanjat jendela dan turun ke kebun. Ia telah pergi ke pintu gerbang dan menghilang. Sang bankir segera pergi bersama para pembantunya ke paviliun tadi dan mendapatkan tahanannya telah melepaskan diri. Untuk menghindari desas‑desus yang tak diinginkan ia mengambil surat yang berisi pernyataan penolakan itu dari atas meja dan setelah kembali ke rumah menyim­pannya di peti besinya.


(*) Anton Chekhov (29 Februari 1860-15 Juli 1904) adalah seorang penulis besar Rusia yang terkenal terutama karena cerpen-cerpen dan dramanya.

Read more…