Kamis, 19 Juni 2014

GENDIS



Karya Ekawati

Setelah penyakit Ayah kambuh, keluarga kami menjadi limbung. Banyak kebutuhan yang diperlukan. Belum lagi obat ayah yang bermacam-macam modelnya. Dan uang sekolahku yang sudah menunggak tiga bulan yang lalu. Aku mempunyai seorang kakak laki-laki tapi dia sibuk dengan dunia kerjanya. Aku tak bisa mengharap banyak dari dia. Aku pun memutuskan untuk mencari kerja. Ya, setidaknya aku bisa membayar uang sekolah sendiri.

Aku pun melangkah tanpa ragu memasuki kawasan sekolah yang kubaca di koran sedang membuka pekerjaan sebagai guru. Disana aku harus mendidik anak-anak tunarungu. Aku mengajarkan mereka bagaimana cara membaca dan menulis. Sekolah itu tergolong mahal. Siswa-siswa di sana memiliki segala perlengkapan, dicukupi semua kebutuhan. Mereka mempunyai segalanya, kecuali ketidakdunguan.

Saat libur tiba. Aku kira aku tak akan bertemu mereka lagi untuk sementara waktu. Ternyata tidak, ada satu orang anak yang orang tuanya tak kunjung datang menjemput karena alasan sibuk.Ya, mereka orang tua yang super sibuk. Mungkin kalian tak akan percaya. Selama aku mengajar disini aku hanya sekali bertemu dengan orang tuanya. Itu saja aku bisa menghitung berapa detik. Mereka diam saja dan tak acuh. Selebihnya ketika liburan anak itu hanya menjumpai kesepian. Walau begitu semangat jua yang mengantarkan ia dalam keramaian.

Pada hari itu aku hanya duduk seharian memikirkan anak itu. Suatu kali aku iseng bertanya, tentang keberadaan keluarganya. Ia hanya diam sambil mencoba membuka lembaran-lembaran kertas. Saat itu aku tak berani menyinggung lagi tentang keberadaan orang tuanya.

Gadis kecil itu bernama Gendis. Rambutnya panjang tergurai rapi. Kulitnya putih seperti keturunan Cina. Tapi matanya tidak begitu sipit. Walau kehidupannya dijauhi oleh kasih sayang orang tua, tapi ia tetap selalu bersih dan cantik. Gendis juga memiliki bakat dalam melukis. Disela-sela belajar ia selalu mengajak binatang kesayanganya berbicara. Seolah-olah hanya kucing itulah yang mampu menembus kesepiannya. Rasanya aku ingin mengajak dia pulang ke rumahku.

Aku ingat, dulu pada saat seusia Gendis, setiap petang dari kejauhan suara ibu telah terdengar olehku. Ia selalu memanggil-manggil kami untuk masuk rumah. Padahal aku masih ingin bermain diluar bersama teman-temanku. Ibu tidak pernah membiarkan kami makan sendiri-sendiri. Dia memerhatikan semuanya. Tapi Gendis?

Orang tua Gendis memang misterius. Aku tidak tahu bertanya pada siapa sebab semua yang kutanyai tidak berani menceritakannya. Maka ketika sekali aku menelpon Ibu, kukabarkan padanya tentang segala kemisteriusan orang tua Gendis yang kaya itu. Sudah kuduga ibu pasti akan banyak bertanya dengan penuh kecurigaannya.


Dari ibu aku tahu, di tempat orang tua Gendis tinggal, pernah terjadi kekisruhan dimana pribumi banyak membantai anak-anak tunarungu. Maka mereka mendiamkan semua kedunguan anak-anaknya. Menyimpan anak itu ke suatu tempat yang jauh. Mereka tidak akan menjenguk anak yang dititipkan sampai telah masanya anak itu boleh pulang. Anak-anak dungu di kampung Gendis akan dibunuh. Kupingku mulai terasa panas karena handphone yang begitu lama menjulurkan suara ibu. Aku mulai terhenyak perihal gendis yang dungu.

***

*Ekawati,merupakan peserta kelas menulis Komunitas Jeuneurob angkatan 2.

Read more…

Kamis, 05 Juni 2014

Puisi-Puisi Apit Jambang




Karya Apit Jambang



Fitnah

Di ujung peta tanah hijau
Angin kian mengantarkan khabar
Daun-daun cemara berbisik lirih
Tentang kecurigaan dalam dendam
Ranting mengayun menahan terpa

Di ujung peta tanah hijau
Kata menjadi serapah bersimpul
Menggumpal terangkai
Di atasnya lalat bertaring menari
Mahsyuk dalam melodi angin coklat

Di ujung peta tanah hijau
Angin bertopeng malanda
Menggerayangi awan berhantu
Pekik srigala manjadi dogma
Hingga mata domba memerah

Di ujung peta tanah hijua
Akar cemara bergidik
Menanti hujan di tengah terik

Banda Aceh, 05 Juni 2014



Cermin Cinta 

Bila pada ini aku patah kalam
Menggali kata-kata dalam diam
Menukilkan sejuntai tamsil sebagai pesan
Namun jari dan nalar tak seiya sepaham
Yang ku tuju cahaya bulan

Bagaimana bisa pelukis kata didera kelu
Patutnya puji dan sanjung biasa padamu
Dalam biduk lara aku menunggu
Sepatah rayu berbalut rindu

Kian kupaham anggun pesona
Sopan nan santun budi bahasa
Pelipur lara penyejuk jiwa
Padamu cinta bila merela

Jangan kau hujam hati yang asa
Jika sang bulan sebagai umpama
Yang demikian sudah biasa
Tengadah jiwa pada Sang Esa

Banda Aceh, 19- 05- 2014



*Apit Jambang, pendiri Komunitas Seni Rajut Unsam Langsa


Read more…