Oleh: Makmur Dimila
Sumber: Harian Aceh, 6 September 2011
Lebaran tinggal menghitung hari. Dalam merayakannya, ada beberapa hal unik yang dilakukan orang Aceh, terutama untuk Idul Fitri. Mulai dari belanja pakaian baru, pangkas rambut, bikin bolu untuk mertua, persiapan malam tot karbet, tukar uang, merangkai ucapan selamat, dan berjuang menyembuhkan sakit.
Bermula, seperti tak sah berhari raya jika belum pangkas rambut, baik di kepala, dagu, atas bibir, dan di bagian lainnya. Misal Je cs yang memotong rambut dengan berbagai gaya sampai-sampai tukang pangkas harus buka usahanya ketika malam meski demikian tak lazim di Aceh.
Lalu, lebaran seakan tak jadi kalau belum bikin kue lebaran. Mungkin merasa tak enak ketika disambangi tamu. Seperti Po Ramlah dan anaknya: Aya. Selama sepuluh hari terakhir puasa mereka asyik bikin kue kering atau penganan untuk lebaran, semisal seupet, bret, bhoi, aneuk reuteuk, kueh cheurlop, seumprit, peukarah, wajeb, dan dodoi, sampai-sampai lupa untuk salat sunat tarawih berjamaah.
Tapi itu jenis kue kuno, bagi sebagian orang. Kini kuenya sudah “gaul”. Tak banyak lagi bernuansa tradisional. Kalau pun ada, banyak tamu tak suka lagi kue tradisional. Kini, seperti yang Je cs lakukan saat berkunjung ke rumah-rumah saat lebaran, mereka akan mengambil kue semisal bolu black forest, kue nastar, cantik manis, cinamon cookis, batik nescafe, resimbal, cornflaks dan lain dari itu yang namanya kebarat-baratan.
Berikutnya, sangat mentradisi. Seakan-akan tak siap merayakan hari kemenangan bila tanpa pakaian baru sehelai pun. Karenanya, orang dengan segala tingkat kemampuan, setidaknya akan membeli salah satu dari jenis pakaian untuk berhari raya. Dibelinya sesuai kemampuan. Ada orang yang setelah membeli tak berani pakai, dengan berbagai alasan. Ada pula orang-orang yang belinya berlembar-lembar. Kasihan yang tak sanggup belinya satupun.
Agak tumben bagi orang-orang yang bersih-bersih hanya ketika menjelang hari raya saja. Ya, sebagian orang Aceh, beberapa hari sebelum lebaran akan membersihkan rumah. Mulai dari mencabut rerumputan di halaman, menyapu, mengecat, mengelap jendela dan kaca, membuang rambideuen (laba-laba) di loteng, mengepel lantai, dan menata bovet (lemari untuk peralatan rumah tangga). Ditambah mencuci kendaraan.
Kemudian menukar uang. Nah, yang ini, kerap dilakukan Abu Toy Sijoy, Abu Pakeh, Pak Bus, Pak Sule, dan orang-orang berpenghasilan lainnya yang banyak anak-anak, keponakan, tetangga, dan orang-orang yang patut diangpaukan atau disalamtempelkan. Maka jelang lebaran, Bank Indonesia kewalahan melayani masyarakat yang menukar uang.
Di lain pihak, akan merayakan malam hari raya dengan “perang-perangan”. Tak berasa jika menanggalkannya. Misal anak-anak masakini yang beli petasan dan mercon—dulu era 90-an, anak-anak akan bakar lilin, kembang api ketika malam hari raya dengan berkeliling kampung, sementara orang-orang dewasa bertakbir di meunasah.
Yang amat menyita perhatian, adalah “perang-perangan” antar kedua kubu. Seperti di Indrajaya dan Delima Kabupaten Pidie. Hampir saban malam pertama Idul Fitri, dua kampung yang terpisah sungai dari masing-masing kecamatan selalu adu kekuatan. Mereka tot karbet (membakar karbit) dan bude trieng (meriam bambu).
Pada malam itu, ribuan orang dari Pidie bahkan luarnya datang menyaksikan, bak menonton konser, lebih malah, terutama yang di daerah Keubang VS Kong Kong. Konon Je mendengar, dana yang dihabiskan untuk acara itu puluhan juta yang dikumpul dari pemuda rantauan. Tak tertutup peluang jatuh korban. Jika menontonnya, tampak melebihi saat konflik bersenjata di Aceh, seperti Perang Dunia mungkin tepatnya.
Paling positif, tak sedikit yang merayakan hari kemenangan dengan mendekatkan diri kepada Allah. Satu-dua orang pasti ada yang menangis ketika ditinggal Ramadhan. Mereka akan berdzikir dan bertakbir di malam hari raya, baik secara sendiri, berjamaah, maupun mengikuti lomba takbir dengan berkeliling kampung dan mendapat hadiah uang tunai—lebay ya, untuk mendekatkan diri kepada Pencipta terkesan harus diberi uang.
Dan sedih bagi yang sedang sakit. Sangat pahit bagi korban kecelakaan, terutama yang terjadi ketika mudik (pulang kampung). Apalagi bila si korban sudah lama tak berjumpa orangtua. Alhamdulillah jika masih bernyawa, karena pada hari raya akan banyak tamu menjenguknya dan memberikannya uang. Namun “keperawanan” tubuhnya tak lagi sempurna.
Namun di antara semua realita sosial itu, yang paling banyak dilakukan adalah mengucapkan selamat hari raya di malamnya. Segala orang merangkai kata sebaik atau selucu mungkin, meneruskan punya orang lain dengan menggantikan namanya di bawah, mengarang sendiri dengan pantun dan kiasan atau menyuruh pada ahlinya, lalu mengirim ucapan itu melalui pesan pendek atau kartu ucapan. Dikirim kepada siapa saja yang dikenal dan diingat, terutama yang ada “rasa” bagi lawan jenis.
Umpama akan ditulis: bila ada kata terucap salah, tangan silap meraba, gerak kaki salah melangkah, lirikan mata yang menggoda, tersengaja ataupun sebaliknya, minal aidin walfaizin, mohon maaf lahir dan bathin. Jailani yang belum berkeluarga. Selamat Hari Raya Idul Fitri.
0 komentar:
Posting Komentar