Minggu, 27 Januari 2013

Puisi Rayhan Hayati: Lentera



Seiring mentari beranjak: kau berpijak
Hingga neon Tuhan kembali ke peraduan
Lalu kembali ke gazebo usang cinta kita

Bagaimana aku mencintai
Jika cintamu melebihi cinta para pecinta
Bagaimana jiwa berkasih
Jika kasihmu tiada terpilih
Bagaimana hati bersayang
Jika sayangmu semakin besar

Kau tarik ulur mimpi yang kulempar ke lembah duka
yakinkan jiwaku melangkah dalam nyata
Kau janjikan mimpi hariku terajut dalam bingkai masa depan

Ayolah, buat mereka murka dengan lembut dengungmu
Buat mereka berkata "kau Bunda terbaik yang pernah ada"
Kau bunda terbaik yang pernah ada?
Sebab kau mampu rebahkan asa dalam cita

Kau bunda terbaik yang pernah ada?
Sebab kau bangga tuntun jiwaku menuju surga

Rayhan Hayati
Siswa kelas X1 SMA Labschool Unsyiah dan tercatat sebagai siswa SMR-Jeuneurob angkatan pertama kelas puisi.

Read more…

Sabtu, 26 Januari 2013

Undangan Peluncuran Buku Negeri Dalam Sepatu


















Salam sejahtera
Kami undang saudara-saudara sekalian untuk berhadir di acara peluncuran dan bedah buku antologi cerpen Negeri Dalam Sepatu. Acara dilaksanakan pada Minggu, 3 Februari 2013. Pukul 9.00-12.00 WIB. Silakan datang beramai-ramai ke Toko Buku Dokarim lt. 2, Lamgugob Banda Aceh.
Pembicara: Azhari Aiyub (Cerpenis Nasional), Budi Arianto (Dosen Sastra Unsyiah), dan Taufik Abdullah (Dosen FISIP Unimal)
Acara ini gratis dan terbuka untuk umum.
Bagi yang berkeinginan datang, silakan konfirmasi ke,
0852 6177 8367 (Roka)

Read more…

Jumat, 25 Januari 2013

Puisi Nadiya Ulfa: Denganmu, Aku



Tak sedetik pun jejak dan
derap langkahmu
tak pernah tak mengiringi hidupku
matamu memancarkan tajamnya kehidupan
untai katamu terangkai indah dan lembut
sentuhanmu menghangatkan beku hati dan
bakar semangat yang pendam
raut wajahmu menggambarkan manifestasi hidup
cintamu tak lelah temani masa lebamku
mengarahkan aku menuju jalan penuh bebatu
bebatu yang dewasakan pekerti


aku jatuh dan terluka di jalan itu
kau menggenggam tanganku
kau bangkitkan aku dan
menggugurkan kerikil-kerikil hitam
lekat di badan


Aku melihat bayangmu dulu
kau membangunkanku dan
jadikan fatamorgana ke nyata
inilah hidupku
inilah duniaku denganmu
dengan segenggam awan penuh cita
kita gapai bersama


Nadiya Ulfa, siswi SMA Labschool Unsyiah kelas X-4. Tercatat siswa kelas puisi SMR-Jeuneurob angkatan pertama.

Read more…

Senin, 21 Januari 2013

Memulangkan Senyum

“Kau ingat tentang Tara yang melukiskan senyum untuk Harry?” 

Sinar mentari merambah terik di sela-sela ranting pepohonan. Mengibaskan kain kerudung yang terurai indah di kepala Tara lewat angin yang terhempas. Tara dan teman-temannya berdiri termangu menunggu kedatangan Harry di bawah pohon rindang yang ada di depan kelas mereka.
“Harry adalah teman yang baik. Tapi ia tak bisa menciptakan senyum untuk kita, bahkan untuk dirinya sendiri.” 

Dengan paras yang kusam, Rira mentitahkan kalimat itu pada Tara. Sudah berulang kali kalimat itu berlabuh pada daun telinganya. Hal itu memang benar. Ia tak bisa memungkirinya. Tara hanya bisa tersenyum ketika mendengar ucapan tersebut dari Rira.

Seorang lelaki dengan memakai topi, berkacamata hitam, mengenakan baju yang tidak tersetrika mendekat ke arah Tara dan juga teman-temannya. Tara yakin kalau lelaki itu ialah Harry. Teman lelakinya yang mungkin tak pernah terurus. Bagi Tara, Harry adalah pria yang tampan. Hidungnya mancung, kulitnya putih, bertubuh tinggi, dan juga memiliki rambut seperti gaya artis Korea. Tapi sayang, ketampanan Harry hilang di mata Tara maupun teman-teman wanitanya yang lain hanya karena ia tak pernah tersenyum. Parasnya selalu saja kusut. Tak pernah tersenyum bahkan tertawa. Kadang Tara membatin, ada apa dengan Harry hingga ia bisa seperti itu. Dia selalu saja bersikap dingin pada siapapun termasuk pada Tara, teman sebangkunya dan juga tetangganya di rumah. 

“Tara, yang lainnya mana? Kita sudah janji kan kalau siang ini kita latihan paskibraka sepulang sekolah!”
Harry mendelikkan matanya pada Tara. Pertanda bahwa Harry akan marah.
“Aku sudah memberitahu pada semuanya perihal itu. Tapi Aku juga tak tahu dimana mereka. Sudahlah Harry, sabar saja sebentar. Mungkin mereka sebentar lagi datang.”

Tara selalu berusaha bersikap lembut dan tersenyum pada Harry dalam keadaan apapun. Walaupun Harry tak pernah membalas semua senyum Tara. Disetiap suasana, Tara selalu mengharapkan senyum Harry. Karena baginya, Harry adalah sahabatnya. Dan ia ingin membuat sahabatnya itu merasakan kebahagiaan dengan senyum.

Lima belas menit berlalu, Tara melihat kegeraman pada wajah Harry. Harry memang anak yang cepat marah dan tak bisa banyak bersabar. Ia selalu saja bersikap kejam pada siapapun yang bersalah. 
“Aku sudah muak menunggu yang lainnya. Mereka tak peduli untuk latihan ini. Jika mereka datang, akan ku marahi mereka satu persatu.”

Semuanya terdiam. Rasa takut mencekam batin Tara dan juga teman yang lainnya. Tak ada yang berani membantah perkataan Harry. Ya, Harry memang menjadi pemimpin mereka dalam paskibraka. Tapi bukan hanya semata-mata karena itu, Harry juga bisa menghardik setiap orang yang membantahnya.

Tiba-tiba saja, mereka yang kami tunggu kehadirannya muncul dengan tawa dan senda gurau yang membahana. Aldo, Bayu, Reza, Dian, Nida, dan juga Santi. Paras Harry yang semula tenang berubah menjadi merah padam tak karuan. Tara tak tahu apa yang akan dilakukan Harry pada mereka. Yang ada dalam pikiran Tara, bahwa Harry tak akan melakukan sesuatu yang berbahaya. 

Harry melangkahkan kakinya menuju tempat Aldo, Bayu, dan Reza berdiri. Dengan rasa takut, Tara mencoba mengikuti langkah sahabatnya yang dingin itu. 

“Dari mana saja kalian ini, hampir setengah jam kami menunggu kalian tanpa kepastian. Kalian pikir kalian bisa seenaknya bersikap seperti itu.”
“Harry, kamu tahu kan kalau ini sudah siang. Kami lapar. Butuh energi untuk latihan. Kamu tidak bisa seenaknya melarang kami begitu.”

Reza sangat suka membantah setiap kalimat yang keluar dari mulut Harry. Reza sama sekali tak menyukai sifat Harry yang seperti itu. Bukan saja Reza yang tak suka akan sikap Harry. Tapi semua teman yang tahu akan sifatnya yang seperti itu, tak akan pernah suka padanya selama ia tak merubah sikapnya itu. 

Muka Harry semakin memerah. Tangannya digenggam sekuatnya. Tara memegang lengan Harry. Ia menghadap wajah Tara. Tara pun tersenyum melihatnya pertanda jangan teruskan kegaduhan ini. Dengan pelan, Harry melepas tangan Tara yang memegangnya. Lalu ia maju selangkah bertatapan dengan Reza.
“Baiklah kalau begitu. Karena aku peminpin di sini. Sekarang patuhi perintahku. Kalian semua yang merasa telat hadir pada latihan siang ini, berdiri berbaris di depanku dan keraskan perut kalian yang sudah terisi itu.”
Tara tak mengerti dengan apa yang dikatakan Harry. Tara dan teman-teman yang lain hanya bisa menyaksikan kemarahan Harry dalam bisu yang mencekam sampai ke urat nadi. 

Aaaaa. Suara teriakan dari mulut Reza memecah keheningan. Harry baru saja mendaratkan pukulan genggaman tangannya tepat pada perut Reza. Reza jatuh terlentang di atas rerumputan dengan tangan yang memegangi perutnya itu. Disusul dengan teriakan dari Aldo dan juga Bayu yang mengalami nasib yang sama seperti Reza. Mereka bertiga merintih kesakitan karena tonjokan Harry di perut mereka. Aldo, Bayu, dan juga Reza merintih kesakitan dan berteriak-teriak tak karuan, tak sanggup menahan perihnya. Dian, Nida, Santi beserta yang lainnya mengangkat mereka bertiga ke koridor kelas. Rira memegang erat lengan Tara yang kaku tak tergerak. Mereka berdua sama sekali tak beranjak dari tempat dimana mereka melihat peristiwa sadis itu. Tara tak tahu harus bersikap bagaimana dengan kejadian yang baru saja ia lihat. Harry melakukan sesuatu yang tak pernah Tara pikirkan. Harry yang menjadi pemimpin paskibraka menonjok perut temannya sendiri hanya karena suatu kesalahan kecil. 

Harry berdiri mematung di tempat ia melakukan perbuatan keji itu. Tara memandangnya dari jauh. Tara tak tahu apa yang dirasakan Harry saat ini. Tara benar-benar bingung dengan kondisi seperti ini. Tara sangat marah pada Harry atas perlakuannya itu pada Reza, Bayu, dan Aldo. Ia melepas tangan Rira yang mencengkeram tangannya. Ia melangkah ke tempat Harry dengan rasa kesal yang teramat sangat.

“Paaaammm… Puas kamu Harry dengan apa yang kamu lakukan tadi. Lihat mereka di sana. Mereka kesakitan karena ulahmu yang tak pernah mau mengerti keadaan. Kamu selalu saja egois. Aku benci sama kamu Harry. Selama ini aku selalu saja lembut dan tersenyum padamu di setiap kelakuanmu. Baik itu menyenangkan atau tidak. Aku ingin kamu bisa tersenyum seperti lelaki yang lain. Aku selalu berusaha akan itu. Tapi siang ini, Aku tak akan bersikap seperti itu lagi pada kamu Harry. Aku tidak pernah mau lagi tersenyum padamu. Aku menyesal telah bersifat baik padamu. Aku benci kamu Harry.”

Tara menampar pipi Harry. Ia menangis dan lari meninggalkan Harry. Harry terdiam dalam kebingungannya. Ia menatap Tara yang pergi meninggalkannya. Rira menghiraukan Harry yang tak berkutik. Ia membantu temannya yang lain membawa Aldo, Bayu, dan Reza ke UKS. 

Sementara, Tara mengambil sepeda motornya di parkiran sekolah. Ia mengendarai sepeda motornya dengan kebencian dan tangis yang membahana. Seketika, Tara kehilangan konsentrasinya. Sepeda motornya menabrak trotoar dan ia terpelanting ke sudut jalan dengan kepala bersimbah darah. Masyarakat disekitarnya langsung membawa Tara ke rumah sakit terdekat. Tapi sayang, nyawa Tara tak tertolong karena kepalanya mengeluarkan banyak darah.

Harry dan teman-teman yang lain yang masih berada di sekolah sama sekali tak mengetahui kejadian yang menimpa Tara. Setelah Tara pulang, Harry juga pulang. Ia tak peduli terhadap apa yang ia lakukan. Tapi syukurlah, Rira menelepon Harry dan mengabarkan kalau Aldo, Bayu, dan Reza baik-baik saja. 

Keesokan paginya, tersiar kabar seantero sekolahan bahwa Tara sudah meninggal sepulang sekolah kemarin akibat kecelakaan. Harry mendengar kabar tersebut tanpa rasa bersedih. Ia tetap menjadi seorang Harry yang dingin dan tak punya rasa apa-apa. Sekarang dan untuk hari-hari berikutnya, ia akan duduk sendiri tanpa Tara.

“Harry, kamu sudah dengar kan kalau Tara meninggal? Apa kamu tidak merasa kehilangan? Selama ini Tara menganggap kamu sebagai sahabatnya. Tara selalu ingin membuat kamu tersenyum. Membahagiakanmu dengan senyum yang terlukis di bibirnya. Kamu ingat kalau Tara selalu melukiskan senyum untukmu? Di setiap keadaan senyum Tara selalu untukmu Harry. Walaupun kamu bersikap dingin, marah atau sebagainya senyum Tara tak pernah pudar. Ia sangat ingin melihat kamu tersenyum Harry.”

Rira mengutarakan semua itu dengan bergebu-gebu. Ia sangat kehilangan Tara. Setelah ia mencoba menyadarkan Harry atas sikapnya selama ini, ia pergi dan menjauh dari Harry. Harry hanya bisa termenung memikirkan perkataan Rira. 

Seharian setelah kabar itu tersiar, seluruh penghuni sekolah membicarakan tentang perginya Tara dan kejadian yang terjadi kemarin siang. Termasuk seluruh teman Harry yang sekelas dengannya. Harry sama sekali tidak nyaman dengan keadaan seperti ini. Dengan amarah yang tinggal di ujung tanduk, ia melangkah keluar dari kelas menuju tempat dimana ia terakhir kali bertemu dengan Tara. Di tempat itu, ia duduk termangu menatap langit yang cerah. 

“Tara, Aku tahu bahwa kamu sudah tenang di alam sana. Tapi jujur, hari ini dan untuk selamanya Aku takkan pernah lagi melihat senyummu. Aku merindukan kehadiran dan senyummu Tara.”
Tak ada yang mendengar titah Harry kecuali malaikat dan juga Allah. Harry bangun dari tempatnya dan berjalan untuk mencari Rira. Sepanjang koridor kelas, ia berusaha mencari Rira tapi tak ditemuinya jua.

“Ra, apa kamu mau menemaniku untuk berziarah ke makam Tara? Aku mohon!”
“Mau apa kamu ke makam Tara, ingin membuatnya semakin sedih akibat kelakuanmu?”
“Tidak, Ra. Sungguh. Aku ingin membahagiakan Tara. Kamu mau, kan ?”
“Baiklah. Sepulang sekolah, ku tunggu di sini.”
“Terima kasih Rira.”

Harry membalikkan badannya dan menuju ke kelasnya kembali. Hatinya mungkin sedikit tenang karena Rira mau menemaninya. Tapi, bibirnya belum juga bisa menciptakan senyum. Sepulang sekolah, Harry dan Rira berangkat bersama menuju makam Tara menggunakan mobil Harry. Sesampainya di pemakaman tempat Tara terbaring dengan damainya, Harry berjongkok di sampingnya. Lalu tak disangka, air mata Harry menetes membasahi pipinya.

“Tara temanku, maafkan Aku. Aku yang menyebabkan kamu meninggal. Aku menyesal atas perbuatanku Ra. Sekarang Aku tahu, bahwa selama ini kamu adalah seorang teman yang sangat menyayangiku, kamu selalu ingin membuat Aku bahagia dengan senyummu. Tapi Aku tak pernah menyadari hal itu Ra. Aku sama sekali tak pernah menghargai senyummu untuk kebahagiaanku. Sekarang, Aku sadar, hariku hampa tanpa kehadiran seorang teman sepertimu. Tara, Aku merindukan senyummu. Aku merindukanmu Tara. Aku berjanji, mulai detik ini Aku akan tersenyum, mengubah segala sikapku, dan menjadi Harry yang lebih baik dari sebelumnya. Disetiap munajatku, Aku akan selalu menghadiahkan seuntai senyum untukmu. Aku menyayangimu Tara.”

Rira mengusap-usap pundak Harry. Harry pun menghapus air matanya dan tersenyum pada Rira. Setelah berdoa dan menaburi bunga untuk Tara, mereka berdua bangkit dan pulang. Meninggalkan Tara yang sedang tersenyum di alam sana karena melihat Harry tersenyum.

Keesokan harinya, Harry menepati janjinya pada Tara. Ia memulai pagi dengan senyum dan menjadi seorang Harry yang lebih baik dari hari sebelumnya. Semua temannya bangga dan senang atas perubahan Harry. Sehari setelah Tara pergi, Harry tak lagi sendiri. Ia memiliki teman yang banyak karena keramahan dan sikapnya yang baik.

Disetiap suasana, Harry berjanji akan senantiasa tersenyum untuk Tara. Sama halnya seperti Tara yang selalu melukiskan senyum untuk Harry. Dalam batinnya, ia selalu merasakan bahwa Tara masih ada di sampingnya. Karena baginya, Tara adalah senyum yang tak akan pernah hilang walau di telan asa. 

Fira Al Haura, siswi SMA 3 Banda Aceh kelas X-I. Tercatat sebagai pelajar di Sekolah Menulis Remaja-Jeuneurob angkatan pertama.

Read more…

Minggu, 20 Januari 2013

PUISI SITI SARAH KESALAHAN DIRI



Bingung selimuti
Karena sesuatu yang kuimpi

                        Minggu berguling diganti Minggu yang lain
                        Kebohongan terpancar di bibir
                        Mimpi dihalangi oleh tabir

Apakah diriku ini berdosa dan
Dosa-dosa itu tak termaafkan?

Ada ketakutan temani hari
Bagaimana bila segala kebohongan diketahui dan
Dosa-dosa itu tak termaafkan?
Bagaimana dengan mimpi yang
Barangkali tak bisa kuraih?

Allah
Jalan mana yang harus kulangkahi?
Kebohongan sekarang atau kegagalan nanti
Tunjukkan sebelum segalanya terjadi


Siti Sarah, siswa MAN Darussalam kelas X-I. Tercatat sebagai pelajar di Sekolah Menulis Remaja-Jeuneurob angkatan pertama.

Read more…

Jumat, 18 Januari 2013

Rainer Maria Rilke, Surat Untuk Penulis Muda



Surat ini merupakan surat pertama dari kompilasi sepuluh surat yang ditulis oleh seorang penyair Jerman, RAINER MARIA RILKE, kepada seorang calon penyair muda bernama FRANZ KAPPUS yang berusia 19 tahun dan bingung memilih antara karir sebagai anggota militer atau penulis. Saat itu Kappus memutuskan untuk mengirimkan puisi-puisinya kepada seorang penyair ternama berusia 27 tahun. Tak disangka, gayung pun bersambut.

Diterbitkan dalam format buku pada tahun 1929, tiga tahun setelah kematian Rilke, rangkaian surat tersebut ditulis dalam periode 6 tahun (1902-1908).

Buku ini dianggap sebagai “panduan bagi penulis” oleh kalangan sastrawan dan penikmat sastra dunia, karena kualitas nasihat yang sifatnya sangat mendalam.


—————–


Rainer Maria Rilke

Paris,

17 Februari 1903

My dear sir,

Surat yang Anda kirim baru tiba di tangan saya beberapa hari lalu. Saya ingin mengucapkan terima kasih atas kepercayaan yang Anda berikan kepada saya lewat surat tersebut. Rasanya sulit bagi saya untuk membalas lebih daripada itu.

Saya tidak bisa mengomentari karya Anda; karena saya bukan orang yang suka mengkritik karya orang lain. Bagi saya, kritikan terhadap karya seni adalah bentuk apresiasi yang paling kerdil: karena lumrahnya kritikan selalu melahirkan kesalah-pahaman. Tidak semua hal di dunia ini dapat kita mengerti atau sampaikan dengan baik, terlepas dari apa yang dikatakan orang selama ini. Sebagian besar hal penting di dunia ini juga sangat sulit untuk dijelaskan, dan di atas semua itu karya seni adalah hal yang paling sulit untuk dimengerti. Seni adalah hal yang misterius, namun berbeda dengan hal-hal duniawi, ia terus hidup dan bertahan sepanjang masa.

Setelah menyampaikan pembukaan, sekarang ijinkanlah saya untuk mengatakan bahwa bait-bait puisi yang Anda kirimkan tidak memiliki kepribadian, meskipun saya melihat adanya sebuah awal yang cukup menjanjikan. Sesuatu yang sifatnya sangat personal. Saya sangat merasakan ini terutama di puisi terakhir, “My Soul.” Dalam bait-bait yang Anda tulis, saya merasakan ada sesuatu dalam diri Anda yang ingin Anda tunjukkan lewat kata dan nada. Lantas dalam puisi yang bertajuk, “To Leopardi” saya melihat adanya rasa kagum yang ingin Anda haturkan bagi sang penyair kenamaan, Giacomo Leopardi. Beliau dikenal sebagai seorang penyendiri semasa hidupnya.

Meski begitu, puisi-puisi yang Anda kirimkan masih belum bisa berdiri sendiri, belum mandiri, termasuk puisi yang Anda dedikasikan untuk Leopardi. Surat yang Anda tulis juga menandakan kelemahan-kelemahan yang sama seperti yang saya temukan dalam bait-bait puisi yang Anda susun.

Anda tanya apakah menurut saya puisi-puisi Anda bagus. Anda bertanya pada saya. Anda pasti sudah pernah menanyakan hal yang sama kepada orang lain. Anda mengirimkan bait-bait ini ke berbagai majalah dan berharap mereka bisa diterbitkan. Anda membandingkan bait-bait ini dengan bait-bait karya orang lain; dan Anda merasa terganggu saat ada seorang editor yang menolak karya Anda. Sekarang (karena Anda telah meminta nasihat saya) saya minta Anda untuk menghentikan semua itu.

Selama ini Anda hanya melihat keluar, dan pada saat ini hal itu adalah satu-satunya yang mengganggu kreativitas Anda. Tidak ada orang yang bisa menasihati Anda atau membantu Anda untuk menjadi penulis yang lebih baik—tidak seorangpun. Hanya ada satu cara bagi Anda untuk melakukannya: Anda harus melihat ke dalam diri Anda sendiri. Carilah alasan kenapa Anda ingin menulis; rasakan apakah alasan itu telah menanamkan akarnya jauh ke dalam diri Anda, hati Anda, hingga Anda lebih baik mati daripada diharuskan berhenti menulis. Di atas semua itu, Anda perlu memberanikan diri untuk bertanya kepada diri Anda sendiri: haruskah Anda menulis? Carilah jawabannya di dalam diri Anda. Jika jawaban dari pertanyaan itu sifatnya positif; atau bila Anda menjawab pertanyaan itu dengan lugas dan sederhana: “Saya harus menulis,” maka saya sarankan bagi Anda untuk mulai membangun hidup Anda sesuai dengan jawaban tersebut. Setiap momen dalam hidup Anda harus Anda dedikasikan untuk menulis. Ini adalah kesaksian Anda.

Setelah itu, dekatkan diri Anda kepada Alam. Lalu cobalah, seperti orang yang baru lahir, untuk menggambarkan semua yang Anda lihat, dengar, alami, cintai dan rindukan. Jangan menulis bait-bait puisi cinta; hindarilah bentuk-bentuk tulisan yang generik dan ‘cetek’: karena tulisan macam ini sangat sulit untuk dilakukan dengan sempurna. Dibutuhkan kemampuan yang sangat hebat dan dewasa bagi seorang penulis untuk menguasai tulisan seperti itu, karena sudah terlalu banyak yang melakukannya. Oleh sebab itu, hindarilah tema-tema generik dan cari tema yang berasal dari kehidupan sehari-hari Anda: jabarkan kesedihan Anda dan hasrat dalam hidup Anda. Jabarkan pikiran yang melintas di kepala Anda dan apa-apa saja yang menurut Anda indah. Jabarkan semua itu dengan penuh kasih sayang, dengan kesungguhan, dengan ketulusan dan kerendahan hati—dan selalu gunakan hal-hal yang ada di sekeliling Anda untuk berekspresi dalam tulisan. Gunakan imaji-imaji dari mimpi Anda, serta obyek-obyek dari memori Anda.

Jika keseharian Anda tampak membosankan, jangan salahkan keadaan, tapi salahkan diri Anda sendiri. Itu artinya Anda tidak memiliki kemampuan berseni yang cukup untuk menguak kekayaan dari kehidupan yang terkesan monoton; karena bagi seorang pencipta, tak ada kata bosan ataupun monoton.

Bahkan jika Anda sedang mendekam di dalam sel penjara, dikekang oleh empat tembok tebal, masih ada yang dapat Anda tulis—bukankah Anda masih memiliki kenangan masa kecil Anda? Memori yang diisi dengan segala hal unik dan menarik? Alihkan perhatian Anda ke sana. Angkat semua kesan yang Anda sematkan dalam masa lalu Anda; maka dengan begitu kepribadian Anda juga akan semakin kokoh, Anda akan tenggelam dalam kesunyian dan masa lalu Anda akan kembali—menelan suara-suara lain yang ada di sekitar Anda.

Dari perjalanan ini, melihat ke dalam diri Anda sendiri, menyerap semua sensori yang ada di masa lalu Anda—bait-bait itu akan datang dengan sendirinya. Kalau sudah begitu, Anda takkan repot-repot bertanya kepada orang lain apakah bait-bait itu bagus atau tidak. Anda juga takkan perduli apakah para editor tertarik atau tidak terhadap karya Anda: karena di dalam karya itu Anda akan melihat jati diri Anda, sebuah fragmen dan suara dari kehidupan Anda sendiri.

Suatu karya seni dianggap bagus jika datangnya dari sebuah kebutuhan. Oleh sebab itu, orang akan selalu berusaha menghakimi penciptanya. Tak ada cara lain untuk memahami suatu karya seni.

Karena itu, my dear sir, saya tidak punya nasihat lain untuk Anda, kecuali ini: lihatlah ke dalam diri Anda sendiri dan uji kedalaman hati Anda—jelajahi seluk-beluk kehidupan Anda, dan di tengah semua itu, Anda akan menemukan jawaban dari pertanyaan yang perlu Anda lontarkan: haruskah Anda menulis?

Setelah Anda menemukan jawabannya, terimalah dengan tangan terbuka. Jangan mempertanyakan jawaban itu sendiri. Mungkin Anda memang sudah ditakdirkan untuk menjadi seorang penyair. Maka terimalah takdir Anda dengan keberanian—pikul bebannya, dan rayakan kebesarannya…namun jangan pernah bertanya apa timbal baliknya dari orang lain.

Seorang pencipta harus bisa menciptakan dunianya sendiri dan mencari semua yang dia butuhkan dari dalam dirinya, serta bersandar hanya pada Alam.

Namun ada juga kemungkinan bahwa setelah Anda melakukan perjalanan ke dalam diri Anda sendiri, Anda akan mendapati bahwa Anda tidak mau jadi seorang penyair (seperti yang sebelumnya saya katakan, jika Anda bisa hidup tanpa menulis, maka jangan coba-coba untuk jadi penulis). Meski begitu, saya berjanji bahwa perjalanan pencarian jati diri yang saya sarankan takkan sia-sia—apapun hasilnya. Anda akan menemukan jalan hidup Anda—dan saya harap jalan itu membawa Anda pada kemakmuran dan kesejahteraan.

Apa lagi yang bisa saya katakan kepada Anda? Menurut saya semua yang penting telah saya utarakan dalam surat ini. Lagipula saya hanya ingin menasihati Anda agar terus mengembangkan diri Anda tanpa ada campur tangan orang lain. Tidak ada hal lain di dunia ini yang bisa mengganggu proses tersebut kecuali keinginan Anda untuk mendapatkan persetujuan orang lain. Anda jangan sekali-sekali mengharapkan orang lain untuk menjawab pertanyaan yang hanya bisa dijawab oleh diri Anda sendiri. Carilah waktu yang tepat, yang sunyi, di mana Anda bisa berpikir jernih.

Adalah suatu kehormatan bagi saya untuk mengetahui bahwa Anda mengenal Profesor Horaček; saya sangat mengagumi beliau dan selalu mensyukuri kehadiran beliau dalam hidup saya. Jika Anda bertemu dengan beliau, tolong sampaikan rasa hormat saya. Selain itu, saya juga sangat tersanjung beliau masih mengingat saya—saya sungguh menghargai itu.

Bersama dengan surat ini, saya mengembalikan puisi-puisi yang Anda lampirkan sebelumnya. Terima kasih atas kepercayaan Anda terhadap saya; dan saya berharap bahwa lewat surat balasan ini, Anda juga merasakan kepercayaan yang sama dari saya. Saya harap surat ini dapat menjadi awal suatu pertemanan.

Yours faithfully and with all sympathy,

Rainer Maria Rilke

Sumber : www.fiksilotus.com

Read more…

Rabu, 16 Januari 2013

Telah Dibuka Kursus Menulis Opini dan Cerpen


















Kabar gembira! Telah dibuka kursus menulis untuk kamu-kamu yang ingin belajar menulis opini atau cerpen di media massa. Kelas ini akan diasuh oleh Makmur Dimila dan Nazar Shah Alam. Keduanya telah menulis buku dan lebih seratus tulisan di media massa. Kelas terbatas. Bagi yang berminat silakan segera mendaftar.

Syarat dan Ketentuan :

 1.  Pendaftaran dimulai sejak 17 Januari - 11 Februari 2013
 2.  Mendaftar ke Sekretariat Jeuneurob atau via facebook Komunitas Jeuneurob
 3.  Kelas dibagi dua. Kelas Opini dan Kelas Cerpen
 4.  Masing-masing kelas hanya menerima 15 peserta
 5.  Peserta adalah mahasiswa
 6.  Waktu belajar selama satu bulan
 7.  Mengikuti tes wawancara pada 12 atau 13 Februari 2013
 8.  Biaya belajar Rp. 250.000,-
 9.  Jadwal belajar,
      a. Kelas Cerpen, Senin&Rabu, 14.00-16.00 Wib
      b. Kelas Opini, Selasa&Kamis, 14.00-16.00 Wib

"Mahasiswa ideal adalah ia yang bisa membicarakan ilmunya dan menuliskannya."
                     ~ a proverb

Read more…