Kamis, 29 September 2011

Surat darinya untuk ibu

Oleh: Rahmad Nutihar
Sumber: Kompasiana 

Terdiam sendiri dalam keheningan malam, sapa sang bulan basuh keningku. Keseharian ku dipenuhi dengan aktifitas yang melelehkan dan kini kurebahkan tubuhku diatas kasur. Sebagai pengusir kepenatan juanya ku mengambil secarik kertas yang berada di rak buku. kemudian kutumpahkan tinta dipermukaannya. pena lama dan tak lazim digunakan ku pakai untuk menulis di secarik kertas itu. seraya menulis sepucuk surat tapi tak jelas akan kusurati kemana. Kata demi kata kususun hingga menjadi sebuah kalimat. Serentetan huruf telah membanjiri kertas, tanpa terasa jelang beberapa saat kemudian lembar kertas itu penuh terisi dengan tulisan yang tidak jelas. Tak ayalnya genggaman tanganku tidak bisa memisahkan diri dari pena itu. Pena berdawat hitam tepatnya adalah kini merasuki jiwaku memaksa untuk mengerakkannya membentuk aksara hingga di judul atas tertulis

Read more…

Selasa, 27 September 2011

Alhamdulillah Yaa


Oleh: Makmur Dimila
Sumber: Harian Aceh,  26 September 2011
Bercita-cita menjadi artis ibarat pungguk merindukan bulan bagi Sonia. Mustahil. Beberapa kali ikut audisi, temannya Aya itu tak lulus. Daripada daripada, ia pun memilih ikuti saja budaya artis ibukota. Apa yang artis pakai dan ucapkan, ditirunya.
Tingkah artis Indonesia tak jarang membuat fansnya tergila-gila, tak terkecuali Aceh, seperti Sonia juga Aya. “Alhamdulillah yaa,” kata mereka juga remaja atau pemuda Aceh sesama

Read more…

Sabtu, 24 September 2011

Tidak Hanya Lulus Belaka

Oleh: Iqbal Perdana



Kembali Universitas Jantoeng Hatee Rakyat  Aceh wisudakan mahasiswa-mahasiswa terbaik dalam memenuhi dan menyempurnakan bangsa, khususnya Aceh.Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) yang dicapai juga sangat memuaskan,mahasiswa yang sangat memuaskan dan terpuji (Cumlaude) mendominasi persentase nilai kelulusan ketimbang memuaskan. Pendidikan yang ditempuh selama sekian tahun dibayar lunas oleh kegigihan dan kecakapan selama menjadi peserta didik,di temani keluarga serta kerabat, juga baju toga khas wisudawan, ini adalah hari yang paling sempurna dalam hidup.
Adalah impian setiap mahasiswa dapat lulus dengan nilai terbaik, di dampingi keluarga dan kerabat dekat. Puji-pujian dan bersuka-suka, karna telah berhasil menaklukan segala badai yang

Read more…

Jumat, 23 September 2011

Lupa Jalan Pulang

Karya: Ferdian A Majni
Sumber: Harian Aceh

Yang segala indah kau sebut berhala
menyadarkan kegalauan hati ini yang tergores duka
kuingin mengeja hati tak terbatas waktu
seperti kemerlap malam yang di rampas mentari senja
aku rapuh dengan sejuta kesedihan yang tak berkesudahan
seperti airmata yang melanda kampungku sepekan setelah bandang
entah kapan aku bisa melanjutkan perjalan ini
setelah aku tertatih di ujung jalan pulang

Darussalam,  17 Maret 2011

Read more…

Ketika Bersaman

Karya: Ferdian A Majni
Sumber: Harian Aceh

Lintasgayo
Aku terpana pada tangan yang bersaman di ujung Gayo
berpentas seribu harapan pada tarian yang terluka
ketika ia terkenal dan aku yang bersaman dilupakan
aku tak juga rapuh, bahkan menentang kekuasaan itu
kadang tanah kelahiranku diabaikan atau terhapus goresan peta
tatkala aku mengadu nasib pada jantung negeri malam
mengarak awan hitam itu menyangga puing bahagiaku
yang masih tersisa dari kebersamaan yang kelam
namun aku  tersadar, betapa indahnya saman kita
tatkala seribu jemari hentakkan bumi yang sedang kemarau
menembus jarak yang tak terukur, mengukir jejak di jagat raya
untuk jiwa yang bertelanjang kaki
untuk raga yang bertelanjang jari
mengajarkan kita kesederhanaan, kebersamaan dan harapan untuk bersaman lagi

Darussalam, 20 Maret 2011

Read more…

Negeri Pesakitan

Karya: Ferdian A Majni
Sumber: Harian Aceh

Aku terusik lagi dengan tingkah penguasa
yang membunuh jiwaku bertubi-tubi
aku takluk lagi dengan tipu penguasa
yang menindas ragaku berpuing-puing
aku makin terperosok dalam jurang tajam
memagutku diam lidah yang kelu
untukmu kuasah luka yang tak pernah sembuh
kuniscayakan tanpa sebab yang harus diperdebatkan

Banda Aceh, 22 Februari 2011 

Read more…

Keyakinan

Karya: Ferdian A Majni
Sumber: Harian Aceh


Pada sebuah hati
yang semestinya aku tenggelam
dalam pusara nadi
namun keteduhan baitmu
membuatku terlena bak kecupan cinta
tak pernah henti kureka-reka
bayangmu dalam munajat doa
agar gemuruh rindu tak pongah dijamah senja
namun aku tertatih mengeja hati
dalam kembara hari-hari esok

menengadah pada langit
mengarak segala doa yang tak bersyair
aku masih tetap bertasbih di sewaktu hari
ketika perang menabuh luka bertalu-talu
namun tak pernah bisa menjungkirbalikkan warasku
dalam benci yang menghujat akidah
jangan pernah menduakan hati
biar negeriku bergejolak
Tuhanku masih tetap Yang Maha Esa

Banda Aceh, 10 Februaru 2011

Read more…

Setelah Esok

Karya: Ferdian A Majni
Sumber: Harian Aceh


Seperti senja yang bergelayut malu pada temaram hati
aku enggan memejamkan mata pada ujung malam
menyekat jejakmu yang semakin jauh kujamah
menyambut usiamu yang datang tak pernah jenuh
yang terangi langit pekat tatkala purnama malam itu

Kugores bahagia ini pada kedua sayap patahmu
hingga kau terbang tak terwatas menara langit
antara mengurai makna bahagia dan duka di sanubarimu
lewat bahasa sajak yang terpatri dalam hidupmu
ingatan kita tetap merangkul luruh tak tertahan
fakta yang  kau tulis tak pernah bunuh diri, sobat!
andai kau telah tiada esok

Banda Aceh, 04 April 2011

Read more…

Kamis, 22 September 2011

Senyum yang Kembali di Negeriku

Tlah lama kesengsaraan terbiar
menekam raga yang bertelanjang kaki maupun jari
menghantui nadi yang tak henti mendegupkan
kematian

Tlah lama senyum hilang ditelan amarah
dalam peluh mereka
tatkala kembali dalam pelukan angin malam
membawa dinar dari gurun pasir yang pongah
melukiskan senyum indah untuk mengisi
kemerdekaan

Kutaradja, 31 Juli 2011

Read more…

Begitu Melelahkan

Senja semakin kelam ditelan risau wajahnya
aku pun terhanyut dalam peluhnya, perih
tak ada langkah yang ku sesali
ku biarkan waktu berjalan memakan kesedihan
hanya ada tangis yang membalut malam
tersentuh jari yang bermusim di tengah badai, pilu
dan raga terhempas terbawa semilir angin
yang mencabik, tanpa pisau teraliri darah

Kutaradja, 24 Agustus 2011

Read more…

Filosofi Warna

Oleh: Nazar Shaha Alam
Sumber: Harian Aceh, 22 September 2011

Terkadang, tak jarang, ada manusia yang memiliki warna kesukaan atau warna favoritnya. Biasanya mereka akan berfilosofi sendiri atas warna-warna yang dipilihnya. Bisa jadi seseorang memilih warna tertentu karena suka melihatnya semata, bisa jadi karena memiliki satu kenangan yang indah dengan warna tersebut, bisa jadi pula karena ikut-ikutan filosofi orang.
Perihal warna, genk Apache juga mempunyai tabiat memfavoritkannya. Mereka masing-masing memiliki warna kesukaan. Maksum yang tampan dan penulis itu, misalnya, ia memfavoritkan warna merah muda. Ketika Samaun yang berbadan besar dan pembingung bertanya mengapa, Maksum menjawab, karena warna merah muda identik dengan perawan. Usut punya usut,

Read more…

Ilmu Perasaan

Oleh: Nazar Shah Alam
Sumber: Harian Aceh, 18 September 2011

Pengko pulang ke kampungnya demi suatu kepentingan. Orang tuanya mendadak menyuruhnya pulang untuk bertanya kapan ia akan benar-benar mengajak emaknya melamar Maryam. Pengko dilanda dilema. Ia sekarang juga sedang merajut kasih dengan Cornelia, perempuan asal Australia. Pengko dan Cornelia berkenalan saat mereka sama-sama mengikuti pertemuan penulis di Bali. Cornelia bahkan mengatakan pada Pengko jika nanti mereka bisa menikah ia bersedia menjadi mualaf.
Maka, kemudian Pengko berkali-kali melaksanakan shalat Istiqarah, meminta petunjuk dari Allah. Ia mulai terlihat suka merenung. Dan suatu pagi, Pengko duduk di warung kopi Di Langit Senja Berbianglala. Di sana terlihat Wak Lah duduk bersama Nasir pada satu meja yang sama. Bujang lapuk jika sudah duduk sebangku rupanya ceritanya macam-macam saja. Wak Lah membuka kisah tentang perjuangannya mendapatkan Aminah. Lama kelamaan berkembang jauh hingga perjalanannya ke

Read more…

Kita

Karya: Fira Alhaura



Kita
ialah awan yang selalu mengindahkan langit
ialah mentari yang menghangatkan bumi cinta
ialah tangis air mata yang memecah gemuruh ombak
ialah musin gugur yang meruntuhkan kegalauan
dan menggantinya dengan ketulusan hati
ialah lumba-lumba yang terus mengejar nafas kelembutan
ialah jiwa yang bertahta pada kemilau menara Eiffel
ialah puisi yang menerbangkan senyum di atas
Arc de Triomphe

Kita
adalah mimpi

Pemimpi romantisme negeri
gadis musim gugur
Paris

Banda Aceh, 22 Mei 2011

Read more…

Arti Sesuatu

Karya: Fira Alhaura

Bukannya aku tak bisa menggoreskan pena untuk
menghapusmu dari aku
sebab kau, wanita
kau tak bisa mengambil lentera malam ini untuk
terangi perih dalam gundah
biarkan aku menyelimutinya dengan raga yang
bertelanjang jari
yang pernah kita temui dalam sebuah rinai hujan
sebelum kau dan dia berhenti menatap angin yang
menghempas gelombang, malam itu

Kutaradja, 20 Agustus 2011

Read more…

Awal Sebuah Pertemuan

Karya: Fira Alhaura


Sebuah titah yang mengatakan
kalau kau telah datang tapi
ku tak temui bayangan itu pada
pondok hening
punyamu.
ku cari mengitari halamanmu dengan
gundah ku berulang-ulang terus menyabat
tiap tirai pengganggu haluan tapi
tetap tak ku temui bayanganmu pada ujung
benang yang telah ku rentangkan

Kutaradja, 7 Agustus 2011

Read more…

Senin, 19 September 2011

Kriteria Cowok

Oleh: Nazar Shah Alam
sumber: Harian Aceh, 13 September 2011

Alkisah, ini cerita berulang kembali ke beberapa tahun lalu. Tentang sekawanan perempuan yang akrab sekali berkawan-kawan. Suzanna, Maryam, Jeniffer,dan Maysaroh. Lazimnya gadis jika sudah melipir dari panas siang, mereka akan membicarakan banyak hal; serupa menggunjing.
Siang itu mereka duduk di tempat biasa, yakni di bawah rindang mahoni depan kampus lama mereka di Universitas Shah Alam. Sekian lama di sana mereka membicarakan banyak sekali tentang diri dan kuliah. Banyak masalah yang menyangkut dosen dan proses perkuliahan mereka saat itu. Dosen-dosen yang monoton dalam mengajar, yang melucunya sudah basi, idealis, oportunis, dan

Read more…

Sang Perisau

Oleh: Nazar Shah Alam
Sumber: Harian Aceh, 18 September 2011

Dalam cenung, terkadang aku merasa sekali bahwa aku adalah seorang perisau. Risau akan semua keadaan yang pantas dan bahkan hingga yang tak pantas kubawa risau. Maka, bila risau datang dengan gelagat paling menakutkan dalam hatiku, aku menjadi seorang penyendiri. Terasing dan, kemudian jadilah aku pengumpat. Ya, untuk kampung yang penuh racau, kacau-balau, selain mengumpat, apalagi yang bisa memunahkan risau? Hanya dengan mengumpat saja segenap masalah dalam diri akan musnah; hancur berkeping-keping.




Jika tiba saatnya, jadilah aku si tukang umpat. Selain mengumpat, tak ada lagi yang bisa kita lakukan untuk sekedar mengubah cara pikir orang-orang dekat, para kerabat, dan beberapa kawan sesama pengumpat. Ya, kita memang wajar menjadi pengumpat. Mengumpat para politisi, para birokrat, para artis kampung yang over acting; yang suka sekali kejar-mengejar seperti tikus dan kucing, sutradara yang kehilangan kreativitas dan monoton, penyanyi kampung yang plagiat, anak muda yang masih menghembuskan asap rokok walau telah terdengar beduk imsak; bahkan hingga shalat subuh usai, para pengguna jalan tak ada etika, para muda di jembatan hura-hura, para ibu-ibu kampung yang sok ikut trend berpakaian kota, para dara banyak gaya, para tua yang duduk di emperan kedai hingga azan jumat usai, para mahasiswa sok idealis; sok aktivis sehingga tak tahu meletakkan di mana lagi idealismenya, para kawan yang merasa sempurna dan tahu banyak hingga nampak lebih bodoh dan konyol, para yang suka menjatuhkan pamor orang lain, para iri, para picik, para, ah, banyak sekali.



Maka, jika tiba saatnya, kukira aku pantas menjadi perisau. Bahkan, wajar pula menjadi pengumpat. Sebab, menulis sebuah hikayat untuk sebuah isyarat tentu tak cukup kertas, tak cukup dawat. Mengubah mereka. Ah, apa yang bisa kita lakukan selain dari hanya mengumpat belaka? Menulisnya di koran-koran. Sia-sia. Mereka tidak pernah membaca koran. Kalaupun ada, maka mereka tak acuh saja.



2

Matahari masih sangat panas tersiram di atas rambut. Siang semrawut. Kota besar untuk sebuah daerah kecil ini terlihat begitu hiruk. Tak ada aturan. Sembari menunggu seorang kawan, aku menyapir ke sebuah emperan toko pakaian perempuan. Kawanku sedang mencari baju bayi untuk kawan kami yang lain yang baru saja dikaruniai seorang bocah kecil laki-laki. Dasarnya aku tak begitu dekat dengan emak bayi itu. Hanya saja, ia begitu akrab dulu berkawan dengan kawan perempuanku. Mereka dulunya, semasa sekolah, adalah kawan se-gank. Ah, gank!



Aku paling tidak suka pada yang mengotak-ngotakkan pertalian. Seolah mereka hanya hidup dan bergantung sesamanya saja. Bukankah kita diciptakan berbeda-beda untuk kemudian kita tidak jenuh pada hidup ini? Tuhan maha tahu. Dan untuk hidup, diciptakannya kita berbeda-beda adalah untuk membuat semacam perpaduan warna. Bayangkan jika pelangi itu hitam semua, jika yang tumbuh di dunia pohon apel semua, jika rumah di dunia rumah panggung semua, jika tari di dunia tari saman semua, jika lagu di dunia adalah dangdut semua. Mana indahnya?



Begitulah, kemudian aku mengumpat mereka. Ah, bukan, kukatakan itu pada mereka dengan terus terang. Namun mereka marah dan hanya ada satu orang yang sepikiran denganku; kawan perempuanku yang sedang mencari baju untuk bayi kawan kami itu. Maka kemudian ia menjadi seorang yang luas sekali pikirannya, tak ada picik sedikit pun. Setidaknya begitu, menurutku.

“Apa pula kau, bujang, mengatur kami? Apakah kau patah hati sebab ditolak salah satu dari awak kami ini?” sindir Nurbaya padaku ketika kusampaikan pendapatku itu. Yang lain terbahak-bahak mendengarnya.

“Oh, sama sekali tidak, puan! Hanya saja aku merasa dengan adanya gank, semakin sempitlah pergerakan perhubungan kita.” Jawabku membela diri.

“Sudahlah, bujang. Kami sedang tidak perlu siraman rohani. Sebaiknya kamu mencari saja perempuan yang bernama Rohani untuk kau sirami.” Sahut Laila. Sama seperti tadi, ucapannya disambut ledak tawa para awaknya.

3

Perempuan itu sedang sesunguk ketika kami tiba di rumahnya. Sebuah rumah sederhana. Konon, ia merasa tak diperdulikan sang suami yang bekerja sebagai sopir truk dan tak sempat pulang pada kelahiran anak kedua mereka ini, bahkan hingga hari kelima anaknya lahir. Ah, perempuan. Apa maksudnya, ia tidak diperdulikan? Bukankah lelakinya di sana sedang bekerja untuk dia dan anak-anaknya? Bukankah ia adalah seorang pengharap hidup kaya harta?



Aku ingat betul cerita Azalea; kawan perempuanku yang tadinya membeli baju untuk bayi kawan kami yang baru lahir itu. Bahwa dulu cita-cita mereka mendapatkan pasangan yang mapan dan kaya, sekarang mendapat kenyataan berbeda. Dari lima kawan berkawan mereka, tiga lainnya sudah berumah tangga. Tentu yang tiga orang yang sudah menikah ini adalah para jebolan dalam gank mereka dan terkenal cantik rautnya. Para mereka yang selalu saja berbicara dengan logat agak ditinggi-tinggikan dan dimentel-mentelkan, dulunya juga sering mengatakan,”tak ada kereta, sorry lah yaw” dan tertawa bersama keras-keras, menghina para bujang tak berharta orang tua, sekarang mendapatkan pasangan yang seperti mereka risaukan. Maka ingin sekali—jika mengingat hinaan mereka—aku tertawa terbahak-bahak, kalau perlu di muka mereka. Hahahahhahahahaha



4

Jika tiba masanya, aku ingin sekali tidak mengumpat. Hanya saja, jika kupikir berkali-kali, aku rasanya tak akan menghilangkan kebiasaan ini. Bagaimana mungkin aku diam, kampung ini adalah kampung penuh risau. Aku merisaukan pemimpin yang tak pandai berpidato; tak pandai membaca puisi; tak hafal lagu kebangsaan, aku merisaukan senior yang selalu ingin terlibat secara berlebihan; hingga kemudian terkesan para junior baru benar ketika nantinya ia sudah menjadi senior, kurisaukan bujang kampungku yang sudah sangat jauh bergesernya etika ke arah yang buruk, kurisaukan tayangan televisi yang kian menyesatkan, kurisaukan aktris film kampung yang kian berani mengumbar aurat, kurisaukan penegak hukum Tuhan yang kelewatan dan pandai sekali memilih siapa yang hendak dihukum dan siapa yang tak bakal, kurisaukan, ah, kurisaukan diri sendiri yang sekarang dilanda kerisauan.


Read more…

Jumat, 09 September 2011

Universitas Samping Unsyiah

Oleh: Makmur Dimila
Sumber: Harian Aceh

Ada beberapa pemain Timnas Indonesia bernama unik, kata kawan Je. Bambang ‘Pemangkas’ Rambut, Binatang ‘Boas’ Solossa, dan El ‘Locomotif’ Gonzales. Namun mereka tak menunjukkan tajinya sesuai nama. Bambang tak secermat dalam memangkas. Gonzales tak secepat lokomotif kereta api. Solossa tak sebuas binatang.
Komentar itu lahir setelah Indonesia ditaklukkan Bahrain dua gol tanpa balas di ajang Pra Piala Dunia 2014. Laga yang berlangsung di Stadion Gelora Bung Karno itu juga sempat dihentikan wasit karena ulah penonton, yaitu membakar petasan dan melempar botol air mineral ke lapangan. Bahkan ulah penonton itu membuat Presiden

Read more…

Hari Raya

Oleh: Nazar Shah Alam
Sumber: Harian Aceh, 08 September 2011



Hari raya di kampung Pengko berjalan begitu meriah. Walaupun dalam penentuan waktu tepat lebaran terjadi kesimpangsiuran, namun kemudian diputuskan juga akan dilaksanakan pada hari Rabu.
Alasannya sama, musabab mendung anak bulan tak nampak. Padahal, ketika pada malam keempat hari raya bulan muncul, terlihat bentuknya sudah serupa lima. Tapi sudahlah, tohPengko telah berpuasa pada hari Selasa itu. Baginya, segala keputusan para

Read more…

Puasa dan Etika Jalan Raya

Oleh: Sammy Khalifa
Sumber: Harian Aceh, 23 Agustus 2011



angingunungombaktinggi.blogspot.com
Inti dari berpuasa adalah menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkannya. Kriteria larangan yang dimaksudkan dalam berpuasa itu sangat jelas dikemukakan dalam Islam. Yaitu aktivitas-aktivitas yang berhubungan dengan pemuasan nafsu naluriah manusia seperti makan, minum, berhubungan suami-istri, dan lain sebagainya. Hal ini harus dilakukan mulai dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari selama sebulan penuh di bulan Ramadhan.
Jika salah satu perkara yang disebutkan di atas dilanggar, maka secara otomatis pula puasa seseorang akan batal. Kecuali apa yang dilakukannya itu tanpa disengaja. Misalnya seseorang yang baru bangun tidur siang di bulan Ramadhan, lalu tanpa sengaja ia menenggak segelas air putih. Namun kemudian ia tersadar bahwa ia sedang berpuasa, lalu ia menghentikan aktivitas minumnya saat itu juga. Hal-hal seperti ini masih diberikan toleransi ataupun pemakluman dalam berpuasa, sehingga

Read more…

Kamis, 08 September 2011

Haba Peuingat

Karya: Ferdian A Majni
Sumber: Serambi Indonesia, Minggu 13 Maret 2011

Krue seumangat Acèh lon tanôh mulia
nanggroe keuramat bak Syiah Kuala
nyoekeuh sabôh ceurita wahee teungku meutuah
bek na nyang teupeh bak sya’ee lon rawi
soe nyang na kuasa piyôh hai siat
takalôn nanggroe ka salah kiblat
lê that macam aneuk lahee di Acèh
na nyang peugah dröe geng motor
honda ayah bloe peuget keu judi
oh jula malam balap cöt ikue
na nyang peugah droe aneuk emo
beulanja ayah bri peuget keu gaya
uroe ngon malam sabee lam fesyen
na nyang peugah droe aneuk punk
leupah that ceubeuh agam ngon inong
tuböh Potallah meutindeik rata sagôe
na cit nyang dara wet-wet lam kota
aurat u lua tan diteupeu pakoe lê

Read more…

Makmeugang

Oleh: Iqbal Gubey
Sumber: Harian Aceh, 03 Juli 2011

Pelaksanaan makmeugang atau urau meugang sudah turun temurun dilaksanakan oleh semua lapisan masyarakat Aceh. Makmeugang dilaksanakan 3 kali dalam setahun yaitu meugang puasa, meugang urau raya puasa, dan meugang urau raya haji. Penamaan hari makmeugang itu berasal dari kata gang dalam Bahasa Aceh berarti pasar, di mana dalamnya terdapat penjual daging. Dan makmu, ada istilah yang sering diucapkan orang Aceh adalah makmu that gang nyan (makmur sekali pasar itu). Maka jadilah kata tersebut makmeugang.
Menjelang puasa kali ini Samin bersikeras untuk pulang ke kampung dan menikmati makmuegang bersama keluarganya. Meskipun usahanya di perantaunya sedang naik daun, tetap ditinggalkan Samin. Setahun lalu, kepadatan jadwal kuliahnya membuat Samin yang pernah menginjak kaki di Unsyiah tidak bisa pulang. Ia begitu kecewa. Di kamar kosya, ia menangis tersedu-sedu. Begitu pilu rasanya, jika mengingat kisah itu membuat hatinya geli dan giginya ngilu. Memang makmeungang ada nilai tersendiri bagi Samin.
Makmeugang sangat penting untuk diperingati, menghormati hari besar islam, mewujudkan kehagiaan karena telah mencari rezeki selama 11 bulan, dan untuk perbaikan gizi,” ujar Samin kepada Soleh yang sudah seminggu lalu dipersiapkan untuk

Read more…

Alkhamdulillah

Oleh: Nazar Shah Alam
Sumber: Harian Aceh, 01 Agustus 2011

Pada dasarnya, ini cerita lebih ingin membahas tentang bagaimana sebuah dialek bahkan mampu mengubah kata atau suku kata tertentu hingga yang menjurus pada pengucapan kata yang berbau religius sekalipun. Semisal menyebut “Allah” yang dalam dialek Jawa malah terdengar “Alloh”, “Potallah” diucap “Potalah”, “Bismillah” di Aceh diucap “Biseumillah”, dan—untuk sementara sampai di sini bahasannya—“Alhamdulillah” oleh sebagian orang Aceh Rayeuk menyebutnya dengan “Alkhamdulillah/alqamdulillah”.
Ide cerita ini bermula dari Wak Lah yang bertanah lahir di Aceh Rayeuk dan kemudian merantau demi membuang galau ke Aceh Paki-Paki II. Kebiasaan Wak Lah mengucap Alkhamdulillah ini kemudian diikuti oleh banyak pemuda di kecamatan Jari-Jari, lebih khususnya di kampung Kuta Ganteng. Maka ucapan Alkhamdulillah ini telah menjadi ucapan populer dalam pergaulan anak muda di sana. Inilah satu-satunya karya terbesar yang pantas dibanggakan Wak Lah selama hidupnya. Selebihnya tak ada.
Pada tidak dasarnya, ini cerita ingin memberitahukan kabar lebih lanjut tentang Pemira Himatukulbasin yang Pengko menjadi calon ketua warga di sana. Dalam Pemira Himatukulbasin kemarin terjadi ketegangan yang sangat dahsyat. Sejak awal pemilihan hingga usai penghitungan suara suasana tegang saja. Kedua kandidat terlihat tidak bisa menyembunyikan ketegangannya. Pengko dan—siapa ya nama adek saingan Pengko itu, lupa pula kami—duduk berdampingan di kursi kandidat

Read more…

Asmara Suboh

Oleh: Makmur Dimila
Sumber: Harian Aceh, 04 Agustus 2011 
Asmara, kata yang banyak makna. Beda usia, tempat, suasana, akan beda penafsirannya. Dalam bulan puasa Ramadhan, orang Aceh sepertinya setiap hari mendengar kata ‘asmara’ kala subuh tiba. Lebih-lebih bagi muda-mudi, nyaris saban hari menikmati asmara subuh dengan jalan-jalan di jalan negara dalam kampungnya, sehingga populer dengan sebutan asmara suboh.
Ada tujuh tipe penyuka rutinitas ini. Pertama, orang yang tak salat subuh berjamaah—bahkan tak salat sendiri di kediamannya. Seperti Si Tus. Begitu jamaah pulang dari meunasah, ia keluar rumah dengan roda dua yang bunyi knalpotnya seperti trieng teuplah (bambu pecah). Lalu temui Isan yang sudah janjian malamnya.
Kemudian mereka susuri jalan pelan-pelan. Mengekori setiap gadis-gadis yang masih mengenakan silukom (mukena) di badan, atau, gadis-gadis dengan pakaian olahraga tempat ia menuntut ilmu. Dirayu-rayu. Begana-begini. Macam-macam dah.
Kecuali merayu wanita, pemuda demikian pergi ke tempat balapan liar. Di sana mereka berlomba-lomba jadi yang tercepat sehingga dapat perhatian penonton. Apalagi bila banyak dara-dara yang menyaksikan, para pembali (pembalap liar) itu senang sekali dengan harapan dara-dara kampung atau yang baru pulang dari kota menaruh rasa suka padanya, padahal dara itu cuma suka melihat ia buang-buang bensin motornya. Kasihan sekali para pembali itu ketika tak dilirik si dara, atau mati di jalanan usai tabrakan juga terpeleset di jalan aspal hingga berdarah-darah.
Kedua, muda-mudi yang sengaja salat berjamaah di meunasah, seperti Si Him. Usai itu, ia juga asmara suboh bareng kawan-kawan yang sepaham dengannya. Ketiga, sengaja salat subuh berjamaah, namun kejamaahannya tak tuntas, sebab langsung pamit dari surau begitu imam selesai mengucapkan salam pertama. Lalu buru-buru pulang ke rumah, antara memilih tidur lagi atau pergi asmara suboh.
Keempat, sengaja salat jamaah ke meunasah atau masjid, dengan harapan dapat menemui kekasihnya di sana, seperti Je. Lalu begitu usai salat, keduanya jalan-jalan dengan penuh kemesraan di atas motor. Bagi yang sudah kawin, asmara suboh adalah momen tepat untuk bermesraan; memadu kasih atau menyambung ‘cerita’ semalam.
Kelima, ibu-ibu yang memang sangat ikhlas memanfaatkan salat subuh berjamaah selama puasa Ramadhan sebab kesempatan itu nyaris tiada selain pada bulan suci itu. Ibu-ibu ini, seperti Po Ramlah emaknya Aya, setelah asmara suboh sebentar yang bertujuan hilangkan rematik, mereka biasanya ke sungai untuk mengutip batu-batu kecil di pantai. Batu itu akan ditabur di makam keluarga atau diruah ke halaman rumah.
Keenam, orang-orang yang tertidur usai makan sahur, dan terjaga sekitar jam 6 pagi atau bahkan sampai siang nanti, terbuka peluang untuk bangun sore hari, agar tak terasa lamanya tahan lapar dan haus. Mereka mesra lam tika eh.
Ketujuh, sebagian bapak-bapak memilih berkebun atau bertani begitu pulang dari berjamaah subuh di meunasah. Mereka akan berasmara suboh dengan tanamannya. Ada juga tetua yang memilih cang panah atau poh cakra (cuap-cuap) di balai jaga setelah salat berjamaah. Mereka mesra dengan perdebatan cara-cara orang melakukan salat barangkali, seperti perselisihan jumlah rakaat salat sunat tarawih: 8 atau 20 atau 36?
Dari beberapa tipe orang Aceh dalam momen subuh setiap Ramadhan, sepertinya yang keempat paling banyak. Namun begitu, misalnya keluar ide melarang asmara suboh, kiranya tak perlu. Sebab asmara suboh, setidaknya jamaah salat subuh penuh, sehat, dan semangat dalam menjalankan puasa meski pagi-pagi sudah harus cuci mata yang kemungkinan membatalkan pahala berpuasa.

Read more…

Lupa Ingat

Oleh: Makmur Dimila
Sumber: Harian Aceh, 20 Agustus 2011

Pagi bertanggal dan bulan kemerdekaan Indonesia yang mendung, Je mendatangi lapangan Blangpadang Banda Aceh untuk memantau keberlangsungan upacara bendera HUT RI ke-66. Sengaja datang karena sudah tahu kalau Inspektur Uparaca (Irup)-nya adalah Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, yang konon katanya tak pandai berpidato.
Mulanya, acara lancar saja. Tapi Je terpingkal-pingkal di suatu momen saat sang Irup memimpin lagu Mengheningkan Cipta. Seperti diberitakan kemudian, ketika lagu ciptaan T Prawit itu sedang memasuki reff dan belum berakhir, Irawandi Yusuf memberi komando mengheningkan cipta selesai.
“Hening cipta selesai,” kata Irwandi. Padahal, lagu masih berlanjut. Di akhir lagu (yang sesungguhnya), gubernur kembali mengucapkan, “Hening cipta selesai.” Satu lagu, dua kali heningkan cipta. Begitu tulis sebuah media nasional yang mengutip Harian Aceh.
Sontak saja, Je melihat, semua peserta upacara mengulum, menahan senyum. Je terpingkal-pingkal dengan nada kecil. Begitu juga dengan semua peserta. Kenapa pula seorang gubernur yang bertindak Irup tak hafal lagu Mengheningkan Cipta. Apa karena tak membaca liriknya pada secarik kertas—kebiasaan Irwandi berbicara depan umum, tanya Je hari itu.
“Maaf, keteledoran Irwandi itu memberikan citra bagi orang luar Aceh bahwa pemimpin Aceh terlihat agaknya bodoh, apalagi rakyatnya. Haha,” kata Je kemudian hari pada Ari.
“Apa Gubernur Aceh mengidap amnesia, penyakit lupa, sebagaimana mantan bendahara umum Partai Demokrat, Nazaruddin, yang setelah ditangkap ia lupa akan kasus menimpa dirinya?” tanya Ari. “Kadang pih nyo. Bisa jadi. Tapi lupanya Nazaruddin sudah jalan-jalan ke luar negeri dengan biaya negara, haha,” kata Je.
“Yaya, tidak dengan pemimpin kita. Lupanya Irwandi lupa ingat barangkali, seperti yang dimaksudkan Kuburan Band. Lupa, lupa lupa lupa, lupa lagi syairnya,” nyanyi Ari ke wajah Je. “Ah, kamu tak sikat gigi tadi pagi ya, bau amat. Bee naga. Kuning pula, bisa untuk cat boat.” Dijawab Ari, “Maaf, lupa juga. Hehe, tapi kamu kenapa pakai baju terbalik?” Oo, “lupa juga. Tapi ini, kata tetua Aceh, bertanda akan datang rejeki. Yaya,” sahut Je. Nyo kadang.

Read more…

Khutbah

Oleh: Nazar Shah Alam
Sumber: Harian Aceh, 05 Agustus 2011
Konon, dalam bulan Ramadhan ini Pengko berniat untuk memperbaiki kebiasaan ibadahnya. Paling kurang ia sudah lebih rajin shalat dan berbuat kebaikan. Di hati ia berniat jika Ramadhan selesai maka ia mesti menjadi orang yang lebih baik dari waktu sebelumnya, baik dari segi amal ibadah maupun dari segi sikap.
Maka mulailah ia rajin melaksanakan ibadah wajib dan sunnah. Dikuranginya kebiasaan yang selama ini  lebih banyak mendatangkan mudharat daripada manfaatnya. Ia mulai mengurangi tidur dan banyak-banyak bersalawat.
Tibalah pada hari Jumat. Di rantau, ia sangat sering meninggalkan ibadah yang satu ini. Musababnya sangat beragam. Ia merasa bahwa di kota Banda, sebagian pemuka agama tidak belajar tentang ilmu keefektifan, maka kemudian para pemuka agama itu sering keliru menjalankan tugasnya. Mereka kurang belajar ilmu rasa, atau lebih tepatnya ilmu merasa-rasa. Sehingga, bagi anak muda semacam Pengko yang belum begitu kuat beragama dan masih terus belajar, akan timbul keengganan dalam melaksanakan kewajiban agamanya.
Di kampung Kuta Ganteng, ketika Teungku Khatib naik mimbar untuk berkhutbah, sang Teungku seakan diwajibkan untuk tahu jatah waktu. Menjadi imam juga begitu. Misal, seperti Jumat ini, sang khatib tidak begitu panjang lebar menguraikan nasehat. Langsung-langsung saja dan bernasehat yang penting-penting saja. Beliau tahu bahwa para makmum bukanlah semua orang-orang yang kuat duduk dan rata-rata mesti kembali bekerja sepulang dari masjid. Maka di kampung Pengko, rata-rata orang tua dan pemuda senang untuk mengikuti ibadah berjamaah. Saat menjadi imam pada seluruh shalat berjamaah, para imam di kampung Pengko tidak membaca ayat-ayat yang sangat panjang. Para imam tahu bahwa makmum di belakangnya bukan semua orang kuat berdiri. Barangkali ada yang sakit, barangkali ada yang buru-buru mengerjakan sesuatu, barangkali ada anak muda yang semacam Pengko—belum kuat sekali agamanya dan masih belajar untuk kuat. Tentu apabila imam memaksa diri membaca ayat-ayat panjang maka ibadah sebagian makmum yang mengikutinya akan tidak ikhlas.
Jauh berbeda dengan di kota Banda. Jika khutbah Jumat, para khatib menguraikan nasehat sedetail-detailnya, sampai kepada hal-hal yang tak terlalu penting sekali pun. Khutbah sudah semacam kampanye. Maka, semenarik apapun, tetap saja akan membosankan. Apalagi di sana notabene makmumnya adalah pekerja. Sangat tidak efektif apabila bernasehat terlalu panjang lebar di mimbar. Imam-imam masjid terkadang sering tidak mengindahkan makmumnya. Tidak peduli apakah makmumnya ada yang tidak kuat berdiri karena mungkin mengidap suatu penyakit, buru-buru mengerjakan sesuatu, atau ada makmum yang seperti Pengko—belum kuat sekali agamanya dan masih belajar menguatkannya. Sangat tidak efektif apabila Imam membaca ayat-ayat yang terlalu panjang, padahal. Bahkan suatu kali Pengko sempat berujar pada Shakir,”Aku enggan sembahyang di masjid tertentu di kota Banda ini, imamnya tak tahu diri. Memangnya kita ini semua sama, apa? Banyak hal lain yang perlu kita kerjakan. Dia enak, sudah kaya. Nah, kita, kita mesti bisa mengerjakan hal yang lain setelah ibadah. Aku pernah diusir dosen karena telat sekali masuk ruangan kuliah hanya karena khatib yang terlalu panjang khutbah dan imam yang membaca ayat sepanjang satu juz dalam shalat Jumat. Sakit hati aku. Tak sah mungkin ibadah aku hari itu. Maka jika aku tak datang lagi shalat Jumat, itu murni salah teungku-teungku itu.”
Namun, ketika di kampung seperti ini, Pengko merasa bahwa di sini para teungku sangatlah pandai menarik minatnya untuk beribadah. Teungku-teungku yang baik dan tahu makmum adalah umpama gula pada kue cincin, kata Wak Lah ketika dibonceng Pengko dengan sepeda ontelnya sepulang shalat Jumat di kampung mereka.

Read more…

Korban Iklan

Oleh: Makmur Dimila
Sumber: Harian Aceh, 07 Agustus 2011
 
Asal puasa atau mau lebaran, beberapa iklan yang membuat anak-anak merengek-rengek, remaja-remaja termehek-mehek, orangtua capek, muncul di layar kaca. “Apa penyebab orang-orang dari menonton televisi bisa menjadi korban iklan?” tanya Je pada Ari. “Hom,” sahutnya, menggeleng kepala.
Sebelum Je beri tahu rahasianya, ia ingin menceritakan kebiasaan kawan-kawannya masa kecil. Ketika belajar berpuasa masa-masa SD, Si Him selalu merengek pada orangtua untuk membeli apa yang dilihatnya dalam iklan. Terutama iklan sandal yang kalau membelinya berhadiah mobil-mobilan, jam tangan atau gem bot.
“Mak, bloe lagee lam tivi (beli seperti yang di tivi),” rengek Isan pada ibunya. Permintaan demikian membingungkan si ibu. Sebab Isan tak tahu benda apa yang dilihatnya. Di kepalanya, yang penting seperti ditampilkan televisi. Sebagai ibu yang punya naluri keibuan, ibu Isan menyempatkan diri menyimak setiap iklan pada suatu hari dalam bulan puasa itu, sampai Isan kecil berkata lagi, “Mak, bloe lagee lam tivii.”
Tak lama kemudian, Isan menyerukan kalimat itu ketika iklan deodorant untuk ketiak tampil. Ia mengira itu permainan bola kecil yang digulir-gulirkan pada selangkangan lengan. “Alah hai Potalah,” komentar si ibu, “nyan kon mainan hai neuk,” sambungnya, “tapi, atom brok”. Sontak Ari menangis. Sedang si ibu menyumpal mulutnya dengan lughok (sejenis timphan) agar tak lagi menangis.
Lain pula dengan Ari. “Ah, kau Je, masa kecil kita tak usah diceritakan. Cukup mereka saja,” sergah Ari. Oke oke. Pun begitu, Je mengisahkannya jua di lain waktu, bahwa ketika kecil, Ari selalu meminta dibeli baju-baju superhero, seperti seragam Bat Man, Super Boy, Power Rangers, Ultra Men, Zorro, dan Spider Man.
Yang perlu dikata, “kita jadi korban iklan terkadang sampai dewasa, sampai hari ini,” kata Je lagi pada Ari di sela-sela ngopi di Dhapu Kupi. Bilamana melihat iklan yang penjelasan naratornya atau cerita dalam iklan, “kita mengiyakannya. Dan besok sudah membelinya. Apalagi perempuan, sangat tertarik dengan kosmetik yang diiklankan oleh gadis cantik-cantik dengan memamer bentuk tubuh.”
Kenapa semudah itu audiens (pemirsa) menjadi korban iklan? “Karena, seperti dikatakan senior saya yang menulis skripsi tentang iklan,” itu karena adanya ‘positioning’ dalam pesan iklan, yaitu mencari jendela dalam otak konsumen, sehingga apa yang diinginkan pembuat iklan (pemilik produk) masuk dalam otak manusia. Positioning itu agar tersambung dalam memori nudes manusia, yakni penyimpan informasi yang terletak dalam otak manusia. Barangkali sederhananya, “memposisikan pesan iklan dalam otak manusia.”
“Misal,” ada iklan yang menyampaikan, “cewek gampang bosan,” lalu sebagai solusi, “gunakan parfum yang wanginya berubah-ubah.” Nah, kata Je, pesan demikian sangat masuk akal, sehingga kaum cowok buru-buru membeli parfum yang wanginya berubah-ubah itu.
Atau contoh lain, iklan tentang obat pil/kapsul yang mencegah penyakit lambung selama berpuasa, maka disiapkan iklan yang diperankan aktor agak islami dengan berkata, “minum (nama obat disensor), agar puasa lancar.” Haha, Ari tertawa mendengarnya. “Yaya, saya paham,” katanya.
Nah, demikianlah sedikit rahasia mengapa masyarakat Indonesia atau Aceh khususnya ‘ditipu’ iklan, sehingga menjadi korban iklan. “Semoga bermanfaat di bulan yang penuh berkah ini,” kata Je.

Read more…