Kamis, 22 Maret 2012

Polem Brahim

Oleh: Putra Hidayatullah
Sumber: Serambi Indonesia

limpingen.blogspot.com
“Bertahanlah Ayah!” Aku berdiri di hadapan tubuh yang terbaring setengah kaku. Sesekali ia menatap dengan pandangan sayu, tak ada daya. Pembuluh oksigen masih melekat di hidungnya. Empat jam sekali perawat masuk mencatat sesuatu yang tak kuketahui. Terkadang memberi suntikan. 

Ayah menggerakkan bola mata perlahan ke wajah kami satu per satu. Kami berdiri di sisi ranjang yang terbuat dari aluminium itu. Perban putih membalut kepalanya. Sudah 22 hari ia terbaring di rumah sakit ini, RSU Zainal Abidin. Penyakit yang sama hadir. Tahun lalu ibuku juga meninggal. Aku curiga. Jangan-jangan penyakit ini ingin membunuh anggota keluarga kami satu per satu. 

Beberapa minggu lalu, aku bicara dengan tetanggaku, Cupo Ramlah. Awalnya ia bertanya tentang kondisi ayah dan entah mengapa tiba-tiba pembicaraan mengarah pada sesosok laki-laki tua di Gampong Meukuta. Hanya beberapa orang saja di kampungku yang tahu. Mereka memanggilnya Polem Brahim.

“Sering kudengar ia sakti. Suka memelihara jin.” Po Ramlah risih, tapi terlihat bersemangat bercerita.    

“Dulu aku pernah melihatnya dia berjalan menunduk sambil menyeret sepotong bambu  kering. Kata suamiku, itu tanda-tanda orang yang punya ilmu hitam. Tak berani lihat muka perempuan.”  Ia mencoba meyakinkan.

“Kalau dia meludah, kita harus meludah juga. Kalau tidak, iblis-iblis tak kasat mata itu bisa menggerayangi kita. Ia akan mencekik, membuat kita tersiksa berhari-hari atau bahkan bertahun-tahun.” Ia tampak serius.

Seketika itu pula almarhum ibu berkelebat dalam ingatanku. Beberapa malam sebelum meninggal, ia juga sering merintih seperti ada yang mencekik. Pernah suatu ketika aku menjaganya di rumah sakit, ia berkata setengah berteriak.

“Allah… Allah… Allah…” Matanya memerah meminta belas kasih. Raut wajahnya berkerut merasakan sakit. Setiap kali begitu aku membuka Alquran dan mengulang-ngulang surat Yasin beberapa kali. Ia pun tenang dan damai. Perlahan ia terlelap selama beberapa jenak setelah cukup lama tak memejamkan mata. Empat hari kemudian, ibu pun ‘pergi’.

Ketika mendengar cerita tentang Polem Brahim itu, sarafku bekerja liar. Aku mencoba membayangkan kembali sosok itu. Lamat-lamat ia berkelabat dalam ingatan. Ia pernah ke rumah saat ibu meninggal dulu. Memakai kopiah putih dan tongkat bambu. Umurnya sekira 70 tahun. Selintas pandang ia tak seperti orang jahat. 

Tapi aku selalu percaya manusia punya seribu cara untuk menipu orang lain dengan penampilan luarnya. Semenjak sore itu, setiap kali aku membayangkan Polem Brahim, aku murka, darahku mendidih.

“Bang, cepat panggilkan dokter!” Aku tersentak dari lamunan. Kulihat ayahku bergerak-gerak ingin melepaskan infus. Ia seperti tersiksa dengan pembuluh-pembuluh buatan itu. Adikku Qafrawi dan Azizah langsung memegang tangan kanan dan tangan kirinya. Tanpa menunggu lama aku langsung berlari menuju pintu depan ruang ICU. Kubangunkan perawat yang sedang pulas di meja dengan berbantalkan kedua lengan. “Kak, ayahku, Kak.” Aku kalap.

Seketika perempuan muda itu menuju tempat ayah berbaring. Kulihat ia masih meronta  meminta dilepaskan selang infus. 

“Tidak apa-apa, dilepaskan dulu sebentar, nanti kita pasang lagi,” kata perawat. 

“Saya mau pergi,” kata Ayah, dengan nada berat. Ia terlihat lebih tenang sekarang kendati wajahnya masih pucat. Ia melepaskan sendiri selang-selang itu. 

“Saya ingin pergi.” Ayah memejamkan matanya. Membukanya lagi, lalu untuk terakhir kalinya ia pejam. Dan ia pun pergi untuk selama-lamanya. Denyut nadi telah berhenti. Di ruang ICU itu isak kami menyeruak, meraung memecah kesunyian malam.

***

Aku berlari terengah-engah. Dadaku kembang kempis.  “Dia tidak bisa juga Cek!” Aku memegang kedua lututku menopang tubuh. Wajahku pucat karena sedih dan letih. “Apa? Tidak bisa juga?” Pak Cek, adik ayahku, seakan tak percaya. “Coba kau tanya sama Pak Marwan. Dia sudah mengambil S2. Sepertinya untuk sekadar memandikan mayat, ia bisa.”

Akhir-akhir ini, mencari orang yang bisa memandikan mayat cukup susah. Sosok itu semakin langka, apalagi di kampungku. Semenjak Teungku Rasyid dan Teungku Ilyas meninggal, tidak ada lagi yang bisa meneruskan prosesi sakral itu. Aku mendesah. 

“Baiklah!”

Aku berlari lagi menyusuri lorong-lorong rumah warga yang berimpitan menuju rumah Pak Marwan. 

“Maafkan aku Dek Gam, bukan aku tak mau. Tapi aku tak bisa, tak ngerti” Aku menghela nafas putus asa. Dalam hati berkecamuk luka, amarah, dan penyesalan. “Kenapa dulu tak kau pelajari caranya. Kenapa kau tak peduli ketika teungku mengajarimu!” Aku protes pada diri sendiri. 

Kubayangkan mayat ayah yang kian tersiksa. Sejak pukul 01.35 dini hari hingga siang ini, mayatnya belum dikubur juga. Aku teringat pesan teungku dulu; mayat tak boleh lama dibiarkan. Ureung deuk peureulee keu bu, ureung meuninggai peureulee keu kubu. Petuah itu terngiang-ngiang. Tapi apa daya, tak ada yang bisa memandikannya.

“Coba kau pergi ke kampung sebelah, Dek Gam!” Pak Marwan akhirnya angkat bicara. “Di sana ada seorang yang paham agama dan biasa memandikan mayat. Namanya Tu.” 

Tanpa berpikir lama aku pulang mengambil sepeda di rumah. Aku mengayuhnya sekuat mungkin. Sesampai di sana, kutanyakan pada seorang bocah kecil berdiri setengah telanjang di pinggir jalan. Dia menunjukkan sebuah rumoh Aceh  yang sudah reot.

“Assalamualaikum”

“Waalaikum salam”

Tak berapa lama pintu berdecit. Lelaki tua keluar. Ia tersenyum ramah.     

“Ada apa Neuk, ada yang bisa saya bantu?”

Tiba-tiba aliran darahku serasa beku. Ada sesuatu bergolak kencang dalam hati dan pikiran. Seolah ada gempa, ada tsunami yang merobohkan tembok prasangkaku hingga berkeping-keping. Tangan kanannya memegang butiran tasbih. Aku baru sadar, Tu adalah panggilan lain untuk Polem Ibrahim yang selama ini kuanggap tukang sihir. Itu hanya gosip manusia awam yang tak paham. Ia seorang yang taat, seorang yang terkucilkan zaman. Oh, betapa banyak orang yang tak bisa membedakan mana bejat mana mulia. Maafkan aku Tu Brahim.

Aku menceritakan perkara yang menimpa. Menit itu juga ia langsung menuju rumahku. Ia memandikan ayah dengan telaten. Tidak hanya itu, ia menyalati, menguburkan, dan membacakan doa. 

Kini hari-hari perih itu telah berlalu. Namun, ada sesuatu dalam hati kecil yang sesekali menohok. Aku merasakan sepotong kekhawatiran. Aku gelisah.  “Jika Tu Brahim lebih dulu meninggal, siapa lagi yang akan memandikanku nanti?”

Read more…

Rabu, 21 Maret 2012

Rahasia Keluarga Qadria

Oleh: Ferdian A Majni
Sumber: acehcorner.com
Matahari meronta di batas langit timur. Semilir angin memungut embun yang berlomba membasahi daun segala daun. Rinai embun semalam juga masih lembap di atap gubuk tua itu. Aku masih dalam peraduan dengan posisi bersujud. Lalu aku bangkit dan meninggalkan selimutku.
Setelah bapakku mati terlindas bus, aku berhenti sekolah dan meneruskan kebiasaannya mencari uang. Sedangkan ibu kandungku sudah lama meninggalkan bapak. Tatkala umurku masih 1 tahun, ia pergi bersama sopir bus yang sering bapak tumpangi. Kabar terakhir yang kudengar dari orang-orang di terminal, aku punya adik tiri. Mereka menetap di Sumatera Utara bersama sopir bus itu.
Sudah tujuh tahun aku tinggal di gubuk tua dekat terminal. Setelah bapak mati, tak ada lagi anak-anak yang berkunjung ke sini. Biasanya setiap musim kemarau, anak-anak jalanan di terminal akan datang dengan membawa potongan bambu-bambu kecil, oleh bapakku  mereka diajari membuat layang-layangan. Aku tak pernah merasa kesepian. Bahkan aku tak pernah bertanya perihal keberadaan ibu. Hingga sehari menjelang ajalnya, aku mengetahui kenyataan pahit itu.
Pagi ini aku akan menerima buku rapor sekolah. Bapak tidak datang menemaniku, sejak subuh tadi ia sudah meninggalkan gubuk. Ia akan kembali menjelang petang atau paling telat pukul 10 malam. Di sekolah, kebanyakan siswa datang bersama orangtuanya. Mereka juga membawa pelbagai makanan yang disantap bersama-sama menjelang penyerahan buku rapor. Sedangkan aku datang bertangan hampa kecuali sebuah tas lusuh yang bergelantung dipunggung.
Hingga nama terakhir di absen itu disebutkan, tak juga terdengar panggilan namaku. Dari sudut ruangan itu aku masih berharap namaku dipanggil dan berjalan ke depan menerima buku rapor yang berwarna merah. Tempat  yang begitu gaduh itu lamat-lamat mulai hening.
“Qadria”. Ya, itu namaku, akhirnya giliran aku menerima buku rapor itu. Namun di dalam ruangan ini hanya tersisa aku dan wali kelasku. Yang lain sudah berpencar ke rumah masing-masing.
Perintah wali kelas, besok aku harus kembali ke sekolah bersama bapak. buku raporku disita sementara, Aku tak bisa mengetahui hasil ujianku. Maka aku diberikan sebuah amplop, di dalamnya terlihat selembar kertas yang ditujukan pada bapak. aku juga sempat mengintip tulisan dan angka-angka seperti yang ada di lampiran mata uang. Aku tak berani membukanya.
Hingga menjelang larut malam aku masih menunggu bapak, mataku belum juga mengantuk. Kulirik amplop yang terletak di atas ranjang tidur bapak. Ingin sekali membuka dan mengetahui isi surat itu tapi aku tak berani melanggar amanah wali kelas agar terlebih dahulu diberikan kepada bapak.
Hari-hariku mulai terasa penat, terkungkung aku dalam kesedihan yang melekat pada isi buku rapor dan surat untuk bapak itu. Suatu pagi aku kembali membuka amplop itu. aku mencoba membaca isi surat di dalamnya, aku lupa berapa kali sudah menjamah surat itu. Hingga aku bersungguh-sungguh belajar membaca. Dengan mengeja-eja huruf segala huruf, akhirnya aku mengetahui isi tulisan di dalamnya.
Aku terlalu lelah mengejar hari dalam sendirian. Malam itu tatkala aku sudah terlelap. Bapak pulang menjelang pagi, ia menemukan sebuah amplop tergeletak di ranjangnya, ia membaca seluruh isi dan sekelabat meninggalkan tempatnya.
Bapak masuk ke kamarku. Ia menyelimuti tubuhku dan mencium keningku untuk yang terakhir kalinya. Dengan mata menahan sedih dan kantuk ia menyusuri jalanan lengang. Bapak harus melunasi tunggakan biaya sekolahku yang mencapai ratusan ribu. Dan pihak sekolah memberi batas waktu selama tiga hari, jikalau bapak gagal melunasinya aku akan dikeluarkan dari sekolah.
Dengan hati remuk aku menyusuri jalan berdebu. Aku mengambil barang-barang dagangan yang kutitipkan pada Bang Leman. Bergegas aku menaiki sebuah bus yang hendak berangkat. Perlahan bus itu meninggalkan terminal menuju ke arah timur.
“Aqua, kacang, aqua, kacang….” Teriakku berkali-kali di dalam bus. Aku melayani beberapa pembeli yang terlihat akan pergi jauh sekali. Wajahku mulai berpeluh, pendingin di dalam bus ini tak mampu menutupi lelah tubuhku. Aku menoleh ke kaca depan bus ini ; Jakarta, aku akan turun di sana.
Setiba di Terminal Kota Medan, bus ini berhenti untuk makan dan minum para penumpang, sementara itu aku menyusuri koridor-koridor bus lainnya. Namun di salah satu bus aku bertemu dengan seorang wanita paruh baya yang terlihat menor. Wanita itu duduk di deretan paling depan. Lalu ia memanggilku hendak membeli sebotol Aqua.
“Nak, minumannya satu” panggil wanita itu.
Aku melangkah menghampirinya. Tatkala aku melihat wajahnya seakan aku sedang bercermin, ia sangat mirip dangan sketsa wajahku. Sepertinya ia juga merasakan hal yang sama. Setelah mengambil bayarannya aku cepat-cepat turun dari bus itu.
Aku ingin lari dari kenyataan ini, seperti terbangun dari mimpi panjang tatkala mengetahui wanita itu adalah ibu kandungku. Orang yang telah mencampakkan aku dan bapak. Bahkan aku begitu jijik melihat penampilannya. Tak bisa kubayangkan kalau seandainya ia benar-benar ibuku.
***
Hari ini aku pergi melawat wanita yang mengaku ibu kandungku itu, aku menemuinya di ruangan khusus rumah sakit ternama di Medan. Sudah setahun ini kondisinya semakin buruk. Perasaanku begitu miris tatkala melihatnya; bola matanya seakan menyembul keluar, rambutnya sudah dipangkas pendek sekali dan dari kelaminnya bau busuk menyeruak ke udara hingga badan tirus itu hanya menyisakan tulang yang terbalut kulit keriput.
Aku bersyukur wanita itu masih mengenaliku, ia tersenyum ke arahku. Aku meraih tanganya dan menyalaminya. Tangan kirinya mengelus kepalaku, ia tersedu-sedu sembari meminta maaf padaku. Waktu itu ia terpaksa meninggalkan aku dan bapak.  Ia hanya tak ingin menularkan penyakitnya pada bapak. Aku tak kuasa menahan tangis, pelan-pelan aku memeluknya untuk yang pertama dan terakhir kali.[]

Read more…