Sabtu, 30 November 2013

TENTANG SENJA TUA



:: Rayhan Hayati dan Nazar Shah Alam


Dan sekali lagi senja tiada kunjung menua
hanya elang sesekali pulang ke entah tanpa arah
mengais duka lampau adalah kerja celaka
sudikah kau berduka dalam genang sejarah dan air mata?

Dan sekali lagi senja tiada menua
tiga ekor camar bersayap hujan berkitar-kitar di atap rumah
Melawat lara kacau di mesjid hijau
Masihkah ada yang larut dalam cerita peluru dan pisau?

Tiada yang mengerti tentang duka
hanya kita
Dan sekali lagi (rasa-rasanya) senja sudah tidak tua
Tapi mati

Jika senja sudah mati, bagaimana dengan malam?
Malam akan datang pada saat serupa
Tanpa senja (lagi)

Banda Aceh, 7 Juni 2013

Rayhan Hayati, siswa kelas IX SMA Labschool Unsyiah

Nazar Shah Alam, Komunitas Jeuneurob

Read more…

Rabu, 27 November 2013

Puisi-Puisi Putra Al Khaidir



TAUBAT


Ternyata aku memang tidak bisa jauh
darimu dan melupakan
telah kucari jalan lain
tapi di ujungnya aku melihatmu lagi
aku kembali ke jalan semula
aku melihatmu juga

maaf
aku tak bisa dan sama sekali tak mampu
bila harus berjalan di arah yang tak kau suruh
dan kini nyatanya aku harus kembali
ke jalanmu
terimalah kepulanganku

K.J, 25 Oktober 2013


TIRAI


Saat tirai-tirai itu kubuka
Kuizinkan hujan masuk kedalamnya
Kurelakan tubuh ini dibasahinya

Saat siang menghampiri
Matahari memancarkan cahayanya
Dengan ketulusan tanpa imbal

Saat malam menyapa
Rembulan memantau segala gerak-gerikku
Bintang melindungiku dari kegelapan

Sesuatu yang tak kuharapkan: debu
Akan kubersihkan ia dari dinding kutemu

Dan tirai-tirai itu kututup
Semua lenyap; semua hilang
Aku tak melihat lagi semua kesukaan dan kebencian


KJ, 28 Oktober 2013

* Putra Al Khaidir, Pegiat di Komunitas Jeuneurob dan Pekerja Pabrik Batu Bata.

Read more…

Minggu, 24 November 2013

Rahasia Malam


Karya Vina Sabila
Sumber The Atjeh Times, Senin, 08 April 2013


AKU tidak boleh menciptakan suara sekecil apa pun. Apa saja yang ada di sekitar, aku lewati dengan was-was. Jangan sampai tanganku malah menyenggol sesuatu, lalu menciptakan bunyi. Aku harus hati-hati. Aku tidak mau lelaki itu bangun. Kalau sampai terjadi, mungkin aku duluan yang akan mati.

Malam ini aku merasakan senyap yang tidak biasa, bahkan jangkrik pun tidak bersuara, anjing-anjing yang biasa melolong di tengah kesunyian malam bungkam.

Dalam kegelapan, aku masih bisa melihat beberapa lukisan pahlawan yang tergantung di dinding ruang tamu. Rumah ini seperti museum. Lukisan Cut Nyak Dhien, Iskandar Muda, Teuku Umar menghiasi dinding, sedangkan di almari sarat kitab-kitab kuno. Aku bisa melihat semuanya meski tidak begitu jelas. Sesekali rasanya gambar-gambar itu memelototiku. Mata mereka bengis dan tajam. Tatapan para pahlawan itu membuat aku mulai kesulitan mengendalikan diri. Tapi, cepat-cepat aku meyakinkan diriku bahwa ini bukan dunia dongeng di mana lukisan bisa hidup dan berbicara. Lukisan-lukisan para pahlawan itu tidak akan pernah bisa menjadi saksi.

Aku hampir mencapai tujuanku. Pintu itu sudah di depan mata. Aku bisa melihatnya dengan jelas. Kali ini aku tak boleh tergesa. Langkahku harus tetap.  Jangan sampai aku terlalu menggebu sehingga mengurangi kesadaranku.

Keringat dingin mengucur deras dari pelipisku, tapi bukan karena aku gugup atau takut. Bukan. Aku sama sekali tidak merasakan hal tersebut. Yang aku rasakan…mungkin sedikit menggebu-gebu sehingga jadi tak sabar.

Kudorong perlahan pintu kamar Pakcik Husen –  lelaki tua pemilik rumah ini. Lama juga rupanya untuk membuka pintu ini. Kalau aku tidak berhati-hati, maka pintu akan berderit, dan kemungkinan besar Pakcik Husen akan terbangun dari tidur lelapnya. Segalanya mesti dilakukan dengan cermat.

Berhasil! pintu terbuka dengan sempurna. Dengan langkah terjaga aku menggapai tempat tidur Pakcik Husen yang menempel di dinding putih. Dasar gila! Di dinding itu pun tergantung gambar pahlawan.

Aku menatap tempat tidur itu sekilas, lumayan luas. Setidaknya dapat ditempati oleh dua orang. Harusnya saat ini Makcik Keumala sedang berbaring di samping Pakcik Husen. Tapi Makcik Keumala tidak di sini. Tidak di tempat tidur ini, atau di rumah ini, atau di kota ini. Tidak. Dia tidak di sini. Bahkan dia tidak di dunia ini. Dia sudah di sana, jauh, dan, sial, aku merindukannya.

Aku menggeleng beberapa kali, berusaha menjernihkan pikiran dan kembali fokus pada apa yang sedang kulakukan. Rambutku yang panjang ini agak mengganggu. Aku memutuskan mengambil karet di kantung celana dan  mengikat rambutku. Kuperhatikan wajah Pakcik Husen yang sudah dimakan usia. Sungguh, wajahnya menjijikkan sekali. Ia sudah keriput. Kulit putihnya  sudah kusam, pipinya bergelambir, sedangkan rambutnya tak pernah berubah, keriting, berantakan bagaikan semak. Uban mulai memenuhi kepalanya. Raut wajahnya sungguh tidak enak ditatap.

Perlahan aku merapat ke tempat tidurnya. Dengan sigap aku tutup mulutnya dengan tangan kiriku, sedangkan tangan kirinya kutekan dengan lutut. Tangan kanannya? Biarkan saja, tangan itu sudah lumpuh. Bajingan ini terbangun, memelototiku dengan tatapan penuh tanda tanya. Wajahnya ketakutan. Dia berontak. Aku semakin kuat mendekap mulutnya. Dia terus menatapku, mendelik tajam, dan mungkin tidak percaya pada apa yang disaksikannya.

Ketika gerakannya kurasakan mulai menyeimbangiku, segera kurogoh pinggangku. Sret! Pisau dapur yang kupersiapkan sejak tadi sore menusuk lambungnya. Tiga kali. Aku mendengar suara kesakitan. Pelan dan menyerupai lenguh. Menjijikkan sekali. Dia belum benar-benar mati. Kenapa bangsat ini lama sekali matinya. Aku bosan menunggu tanpa melakukan apa-apa. Maka, aku membuat semacam lingkaran besar di perutnya.

Suara erangan itu pun lenyap. Dia mati. Aku menatapnya sebentar dan kebencianku tidak surut. Kutusuk-tusuk perutnya. Seperti yang kulihat di film, kujilat darah yang ada di ujung pisauku. Aku tertawa dan cepat-cepat mendekap mulut agar tidak ada yang mendengarku. Ini lucu sekali. Senang sekali melihat kematian bangsat ini. Simbahan darah memenuhi sekujur tempat tidur dan tentu saja terciprat ke bajuku. Bau amis memenuhi kamar.

Sebagai penutup atas tindakan ini, aku mencoret wajahnya. Ini bagian sangat menyenangkan. Oh, aku hampir lupa. Tentu akan jadi lebih dramatis jika aku menancapkan pisau ini ke bola matanya yang mendelik. Aku melakukannya. Hatiku dilanda kepuasan yang hebat. Setelah semua ini aku merasa sedikit lelah.

Di bawah tatapan para pahlawan aku berjalan keluar dari kamar bagai seorang pejuang yang baru saja memenangkan perang.

****

SETELAH merapikan rumah aku duduk di ruang tamu. Di sana ada selembar koran yang memberitakan tentang seorang pengumpul benda kuno yang tewas terbunuh. Aku membacanya dan tersenyum puas. Polisi menduga, pelakunya adalah keluarganya sendiri. Tapi polisi tolol itu, waktu mereka memeriksa tempat kejadian perkara, hanya sibuk dengan hal-hal yang tidak berguna. Meneliti tubuh korban, ceceran darah di sprei, mengambil semua pisau di dapur, tapi mereka tidak mendapati sebuah petunjuk pun. Semua orang di rumah ini diperiksa, termasuk ketiga anak laki-laki korban. Ketika polisi-polisi itu menginterogasiku mereka hanya mendapatkan kesedihan dan dusta.

Di ruang tamu aku menyesap teh hangat – keberhasilan harus dinikmati dengan santai dan tanpa perasaan bersalah. Apa yang baru saja aku lakukan adalah pembunuhan berencana. Orang yang aku bunuh mengajariku dua tahun lalu dan kini aku mengulanginya.

Keluarga ini keluarga bahagia pada awalnya. Sekalipun punya kesibukan masing-masing, mereka mendapatkan kemesraan di malam hari. Makcik Keumala adalah perempuan berhati mulia. Dia yang mengubah hidupku. Sejak umur sepuluh tahun dia mengasuhku seperti seorang ibu. Aku sangat senang  ketika Makcik Keumala mengambilku dari panti asuhan. Katanya dia ingin sekali mempunyai anak perempuan. Sejak itu aku menghuni rumah ini.

Ketika Pakcik menuduh Makcik Keumala selingkuh dengan karyawannya di toko baju, keadaan rumah ini menjadi runyam. Aku tidak begitu yakin dengan tuduhan Pakcik. Selain dari umur Makcik yang sudah mendekati kepala lima, selama ini dia juga tidak nampak gatal. Tapi kepala Pakcik Husen terlanjur dirasuki Setan dan ia tidak bisa menahan amarahnya. Suatu sore dia mendatangiku untuk memintai bantuan. Dia mengancam akan memperkosa dan membunuhku jika aku menolak. Aku ketakutan luar biasa. Pakcik Husen menjelaskan beberapa hal yang perlu aku lakukan pada malam harinya.

Tengah malam, Pakcik masuk kamarku dan memintaku bergegas. Setelah itu dia masuk dengan tenang ke kamarnya. Sejenak aku berdiri di depan pintu. Dia menyeretku dan dengan bahasa isyarat dia memintaku melakukannya sebagaimana pelatihan singkat yang diberikannya sore tadi. Aku menarik kaki Makcik dan menekan sekuat tenaga. Tubuhku yang gemuk bisa membuat kaki itu tak berkutik. Aku melihat dengan nyata perlawanan Makcik. Namun tangan kekar Pakcik Husen di leher Makcik Keumala membuat badannya lemah, lalu mati. Manusia jahanam itu menangis dan dengan segera memerintahkanku menghubungi tetangga. Paginya, tanpa begitu banyak pertanyaan, mayat Makcik Keumala dikuburkan.

Sejak pagi jahanam itu aku mulai bungkam. Berkali-kali Pakcik Husen mengingatkanku pada ancamannya. Aku tidak membantah. Bayangan kematian Makcik Keumala membuatku terguncang. Aku merasa dikejar-kejar oleh bayangan perempuan berjasa itu. Rumah ini menjadi sebuah museum mengerikan untuk ditempati. Setelah keadaan tenang dan orang-orang melupakan pembunuhan seorang pengumpul barang antik apa yang harus aku lakukan adalah pergi dari rumah terkutuk ini.[]

 * Vina Sabila, siswa kelas X Labschool Unsyiah dan tercatat sebagai murid kelas cerpen Sekolah Menulis Remaja Komunitas Jeuneurob (SMR-Jeuneurob).

Read more…

Jumat, 15 November 2013

UJIAN HARI KEDUA


Karya Bunga Nabilah
Sumber: Majalah Ijo Kotak-Kotak Edisi November 2013

Hari kedua. Bel berbunyi, ujian segera di mulai. Semua murid berebut memasuki ruangan kelas masing-masing. Aku berjalan enggan menuju kelas paling ujung sebelah utara di lantai dua. Kelas sudah penuh ketika aku tiba. Bangku telah tersusun sedemikian rupa. Dua pengawas mengelilingi kelas sembari membawa sebah keranjang. Satu persatu handphone memenuhi keranjang itu. Aku duduk di bangku tersudut ruangan. Diam-diam aku telah menyediakan sobekan kopekan yang kuselip dibawah tali pinggang.

Pengawas berjalan membagikan lembar soal dan lembar jawaban. Aku melihat ke arah beberapa teman. Satu persatu kertas mulai tergores penuh keyakinan. Aku termenung, kupandangi seluruh ruangan kelas ini. Setengah jam telah berlalu, Abdul-teman di sebelahku sedang fokus dengan soal-soalnya. Lain halnya dengan mustar yang duduk di depanku, dia sibuk celingak-celinguk mencari ilham dan dengan wajah memelas ia menatap kawan-kawan bekerja, berharap di bantu menyelesaikan pekerjaannya. Sedangkan dua orang pengawas di depan-seorang perempuan tambun dan yang kurus berlipstik tebal-sibuk dengan bahasan sendiri tanpa begitu peduli. Dan sesekali perempuan tambun menyebut nama eyang subur. Sialan.

Barangkali sebab lama termenung dan salah seorang pengawas berbadan tambun itu rasanya terus menerus mengawasiku, aku kelimpungan. Tidak tahu mesti melakukan apa. Pandangan perempuan berjilbab modis itu lama-lama membuatku tidak tenang. Ketakutan. Aku tidak tahan lagi. Ini sangat membosankan. Kugebrak meja sekuat tenaga. Seluruh ruangan terbelalak. Persis seperti seorang tidak cukup tidur yang terkejut jaga sebab gempa.

“Apa-apaan ini, kahar?” si tambun itu berdiri dengan raut kesal.

“Membosankan! Ini sangat membosankan!”

“Jangan coba-coba buat keributan, ya. Kurobek lembar jawaban kamu nanti,” dia mengancam. Langkahnya menujuku, hanya dua tapak.

“Ibu mau merobek ini?” kuambil lembar jawaban lalu kurobek dengan tenaga penuh. Kuhamburkan potongan-potongan sampah tak berguna itu. Mereka semua tercengang.

Aku berjalan menghampiri Abdul, dia memandangku dengan ketakutan. Tangannya sedikit gemetar.

“Bodoh! Untuk apa mengerjakan semua ini? Mau sok suci kamu? Apa ada yang peduli kamu jujur atau tidak, apa kamu yakin dengan kerja seperti ini nilai kamu bakal lebih bagus dari mereka?” Abdul mematung. “sekuat tenaga kamu berusaha, nilai mereka bakal lebih tinggi. Mereka punya uang yang bisa membeli kedekatan dengan nilai!” aku tertawa mengejeknya.

“Cukup kahar! Ikut ibu ke ruang kepala sekolah sekarang!”

Si tambun tua itu menarikku dengan paksa. Dia tak sadar tenaga tangan spidolnya tak cukup untuk menarik tangan kuli sepertiku. Kutepis tangannya dan berteriak di depannya.

“Aku tidak mau. Dasar sialan, seenak jidad saja kau beri kami aturan. Kami mesti datang kesini setiap hari untuk menumpuk tugas di kepala, tugas itu membuat kami tidak sempat memasak sambal pun. Kalian seenak perut memberi nilai pada kami. Kau tahu, otak kami jauh lebih berisi dibandingkan otak  kalian itu!”

“Jangan asal bicara, kahar. Dia guru kamu. Bisa kualat,” Abdul mencoba menenangkanku dari bangkunya.

“Kenapa memangnya? Tidak ada kutukan  jika membantah guru yang semata-mata bekerja demi uang, bukan mencerdaskan.”

“Bukan begitu…”

“Lalu apa? Kau mau ini?” kuambil kopekan yang tadi kusembunyikan di bawah tali pinggangdan kulemparkan ke meja Abdul.

“Ambillah, semoga kau lulus.”

Beberapa wajah Nampak ingin sekali mengambur ke meja Abdul mengambil kunci jawaban itu. Mereka sangat percaya pada tugas yang kubuatkan selama ini dan beberapa dari mereka menggajiku untuk menyelesaikan tugasnya. Hanya ada sebagian kecil dari mereka yang memandang sinis ke arahku. Orang-orang munafik.

“Kahar, apa yang kamu lakukan? Turun!” Kepala sekolah yang selalu terlambat datang ke sekolah seperti polisi di film india membentakku dengan suara serupa petir. Pasti guru kurus berlipstik tebal tadi yang memanggilnya. Dikiranya aku takut.

“Jangan mendekat! Atau aku akan melompat,”aku menuju jendela.

Mereka semua berteriak dan berusaha menahanku.

“Jangan macam-macam, Kahar! Apa yang kamu lakukan. Apa kamu tega melihat bagaimana sedihnya keluargamu?”

“Omong kosong! Apa pedulimu pak tua? Selama ini kau tak pernah peduli dengan masalah murid-muridmu. Tumben kali ini kamu baik.”

“Saya sangat peduli dengan masalah kalian. Bahkan saya selalu berusaha meningkatkan mutu sekolah ini,” kilahnya.

“Hei, kurasa kau terlalu sibuk menguras uang-uang kami. Jika iya, apakah kami mempunyai ruang untuk berkreasi disini? Aku terlalu muak dengan penjara yang kalian ciptakan. Aku tak mau menjadi seorang pengecut yang tunduk kepada orang yang bodoh. Aku pemberontak. Itu sebab aku lebih pintar dari kalian semua!”

“Jaga mulutmu!”

Si tua itu sudah mulai terpancing rupanya. “Ini kenyataan pak tua. Kau ingat saat kami meminta sedikit dana untuk menyalurkan kreativitas. Apa jawabanmu? Kau tak pernah mendukung kami, kau bilang itu bukan urusan sekolah dan segala macam alasan lainnya. Lalu, kemana semua uang-uang kami? Kupikir kalian memang ini memadamkan semua ini. Kau kira belajar itu cuma hal-hal di buku, hah?”

“Cukup, kahar. Mari kita selesaikan masalah ini dengan kepala dingin.”

“Kenapa? Kau takut semua kedokmu terbongkar,pak tua?”

Suasana sangat hening, tak ada yang berani berkutik. beberapa temanku menatap kagum padaku tanpa mau bersuara. Sebagian lainnya hanya acuh dan tentu saja ada yang menatap benci padaku.

Aku mundur beberapa langkah lebih dekat dengan jendela, kedua tanganku memegang pinggir jendela. Mereka berteriak terkejut, mengira aku akan melonpat. Mereka semua berusaha  mendekat kearahku.

“Jangan mendekat! Untuk apa aku disini? Tidak ada yang bisa dikembangkan di sini. Kreativitas dipadamkan dengan tugas-tugas buta. Hidup tanpa kreativitas adalah hidup yang membosankan. Dan kalian semua adalah orang-orang yang membosankan!”

Permainan sedang memanas, aku sangat menikmatinya. Semua orang sibuk mencari solusi. Sebagian orang berusaha membujukku. Siswa-siswa dari kelas lain berdesakan mengintip melalui jendela kelas kami, bahkan ada yang rela memanjat untuk menyaksikan kehebohan yang terjadi. Ujian dibatalkan sejenak, misiku berhasil sejenak.

Aku ingin mengakhiri permainan ini. Tiba-tiba si tua Bangka itu sudah ada di dekatku. Dia berusaha menggapai tanganku. Terkejut, aku sontak mundur. Pegangan tanganku lepas, aku terpeleset. Aku mendengar suara cukup keras memanggil namaku sekalian dentum yang kuat.

“Kahar, melamun saja kerjamu. Selesaikan cepat!” guruku menghantam meja.
Ah, mengganggu saja si tambun itu.


:: Bunga Nabilah, Pegiat di Komunitas Jeuneurob dan siswa SMA Labschool

Read more…

Rabu, 13 November 2013

Persekongkolan Mujair


Karya Nazar Shah Alam
Sumber: Serambi Indonesia, 3 November 2013


PENGUMUMAN pendek dalam aksara Arab-Jawi itu ditempel di sudut-sudut kota. Orang-orang yang membacanya tersengat bahagia dan menyebabkan wajah mereka berseri. Warga kota merencanakan penyambutan besar-besaran di pelabuhan. Para musisi, penari, pemain tonil, dan pelawak berjanji akan bersatu memeriahkan penyambutan pada hari yang belum ditentukan. Kota menjadi bergairah. Bendera kenegerian dikibarkan, umbul-umbul dipasang, dan rumah-rumah dipulas warna cerah. Kembalinya lelaki keramat itu kian santer saja dibicarakan.

Orang-orang meyakini kota mereka sudah dikutuk. Bertahun-tahun krisis melanda. Kejahatan demi kejahatan merajalela. Rakyat jelata terpuruk dalam kesengsaraan. Kota berdebu dan kotor. Sudah sejak lama orang memanjatkan doa berharap tibanya seseorang yang dapat menghapus kutukan. Konon, hanya lelaki itu, yang mampu menghapus kutukan. Dia keramat, tanah yang dipijaknya akan subur.
Mahaguru dimaksud pernah menetap di kota ini sebelum pergi ke negeri jauh. Dia seorang pemuda budiman. Kabar kekeramatannya dibawa oleh pedagang yang berdagang di Bandar Pinggir sekian tahun lalu. Para pedagang pula yang mengabarkan perihal kepulangannya dalam tahun ini.

Beberapa tahun sebelumnya, juga sempat tersiar kabar tentang kepulangan Mahaguru.. Namun setelah seberapa kali berita itu dihembuskan, dan warga kota menunggu,  sejumlah itu pula mereka harus menelan kekecewaan. Paling menyakitkan, Mahaguru katanya pernah hampir mencapai pelabuhan Bandar Pinggir. Namun dia mengurungkan pendaratannya. Penyebabnya, Persekongkolan Mujair, menghalangi kepulangan Mahaguru. Persekongkolan Mujair merupakan kawanan perompak yang menguasai perairan Bandar Pinggir.

Di sudut sebuah warung kopi di pinggir pasar ikan, duduk empat anggota perompak tersebut. Mereka mudah dikenali, sebab selalu berpakaian sama: jubah putih belel, ikat kepala hitam, dan tersampir badik di pinggang. Orang-orang yang ingin masuk ke warung tersebut mengurungkan niat mereka begitu mengetahui siapa yang sedang minum kopi. Raut wajah para perompak tampak serius.

“Kita harus berlayar empat hari sebelum Mahaguru mencapai pelabuhan,” kata Wak Lohor, perompak berkepala botak.

“Shakir, kau perbaiki rumah di Gunung Teureseh. Kali ini kita akan membawa Mahaguru ke rumah itu.”

“Bagaimana, Tuanku?” tanya Shakir dengan logat Bandar Besar yang kental kepada pemimpin komplotan.

“Lakukan saja yang terbaik, kita harus  lebih cepat dari orang kebanyakan,” ucap Pheng Ko, pemimpin Persekongkolan Mujair sembari mengeratkan karet yang membelit rambutnya.

Bau amis ikan berhembus masuk dan menguap begitu saja di warung kopi ini. Seorang pengemis kecil bermata cekung mendekati meja mereka. Dengan tersenyum Shakir menyodorkan selembar uang ke tangan mungil si pengemis. Pengemis kecil itu keluar. Pheng Ko menghantam meja.

“Sialan, orang-orang kota ini akan merasakan pembalasan. Ayo cepat!”

Tak lama setelah anggota Persekongkolan Mujair meninggalkan kedai kopi itu, sekelompok tentara memenuhi pasar. Wajah mereka beringas. Tangan mereka siaga menggenggam senjata yang siap diletuskan. Warung-warung mereka periksa dengan seksama.

***

Mahaguru akan tiba pada 15 Dzulqaidah. Dua hari sebelumnya warga kota sudah berkumpul di pelabuhan. Betapa cepat mereka membangun dan merias panggung. Rencananya, ketika Mahaguru tiba, barisan Barzanji akan mulai melantunkan senandung selamat datang, setelah itu giliran para penari yang akan mempersembahkan tarian penyambutan. Adapun para bijak bestari, akan menyambut Mahagur dengan pidato-pidato penghormatan. Baru pada malamnya Mahaguru diminta membacakan doa-doa keberkahan.

“Kapal Mahaguru sudah berlayar, Tuan!” begitu laporan Hamdaniah ketika dia tiba membawa bekal kenduri dari kota ke Pulau Tengah, “Para serdadu  telah menyebar di seantero  pantai dan kapal perang mereka ikut berjaga-jaga di laut lepas.”
Pheng Ko si Cina menatap tajam lelaki berambut keriting di depannya.

“Sampai begitu mereka menjaga kedatangan Mahaguru?” tanya Pheng Ko sambil tersenyum dan menggeleng-geleng kepalanya, ”Berlebihan sekali. Sekarang berlayarlah kau ke kota. Hembuskan kabar bahwa aku dan Wak Lahor sudah mati dibunuh atas suruhan Mahaguru tadi malam. Jangan lupa, katakan, Shakir pun telah ditawan. Mahaguru akan tiba pada saat yang dijanjikan.”

Hamdaniah melarung sampannya ke laut dengan kecamuk tawa yang tak kuasa ditahannya.

Hamdaniah mengayuh sampannya membelah arus laut malam hari. Pantulan cahaya bulan menggenangi air laut serupa kilatan permata. Hamdaniah diselimuti kenangan. Betapa komplotan ini, Persekongkolan Mujair, dulunya tak lebih dari para pemancing miskin yang sering dicurangi di pajak ikan. Pasar ikan dikendalikan oleh seorang pengusaha kapal-kapal besar dan semua pedagang ikan mesti membayar pajak yang mahal.

Pheng Ko si Cina dan Wak Lahor akhirnya mencetuskan perlawanan melawan tengkulak kaya raya itu. Mereka menciptakan Persekongkolan Mujair, yakni serikat tempat berkumpul para pemancing dan pedagang ikan. Persekongkolan Mujair sering meraih kemenangan dalam setiap perundingan dengan si tengkulak. Hal ini bisa terjadi karena Persekongkolan Mujair dibantu perompak lintas negara mencegat kapal-kapal sang saudagar di laut lepas sebagai jaminan bahwa perundingan di darat berlangsung dengan adil.  Pasar ikan kemudian dibagi dua: setengah untuk si pengusaha kaya, setengah untuk nelayan miskin, dan sekarang tidak ada lagi pajak yang dikutip dari si miskin.

Walaupun sudah dibagi, pasar ikan tetap tidak berpihak kepada para nelayan dan pedagang ikan. Si tengkulak menjual ikannya lebih murah. Itu sebabnya, Persekongkolan Mujair memutuskan menjadi perompak sekalian. Tidak semua anggota mereka setuju. Merompak di negeri yang dijaga ketat oleh marinir tidak baik untuk dijadikan pilihan hidup. Selain itu, menjadi perompak kapal dagang juga akan dimusuhi orang-orang kota, karena mengganggu masuknya pundi-pundi uang mereka dari kapal dagang. Persokongkolan Mujair tinggal sedikit dan dimusuhi warga kota. Mereka terusir dan menetap di Pulau Tengah. Pulau ini tidak tersentuh pemerintahan mana pun sebab berada di perairan bebas.

Kapal Mahaguru digiring ke Pulau Tengah lepas Zuhur 15 Dzulqaidah. Lelaki berjubah rapi turun dari kapal diikuti Wak Lahor dan para pengawal. Setelah menghembsukan desas-desus, Hamdaniah tiba dan membisikkan betapa warga kota girang mendengar kabar kematian Pheng Ko dan Wak Lahor. Mereka menghubungkan kematian kedua bandit ini dengan kedatangan Mahaguru yang penuh tuah.

“Tuan Mahaguru, saya dengar Tuan orang keramat. Negeri yang Tuan pijak akan bertuah. Orang-orang kota percaya Tuan bisa menghilangkan kutukan di tempat yang Tuan singgahi,” Pheng Ko menyindir tamunya.
Shakir, Hamdaniah, dan Wak Lahor tergelak.

“Kami bawakan kalian oleh-oleh persembahan orang Labuhan. Silakan dibagi. Apakah orang Bandar Raya berduka kalau saya tidak tiba?” tanya Mahaguru dengan suara lembut.

“Mereka paling akan saling menyalahkan. Dan sudah pasti mereka akan kecewa,”  ujar Wak Lahor.

Mahaguru menatap tajam empat anggota Persekongkolan Mujair itu. Mereka diam. Sebentar kemudian terdengar tawa membahana. Pulau Tengah yang terpencil sedang berpesta menyambut kedatangan anggota kelima mereka.  Di Pelabuhan Bandar Pinggir orang-orang berdiri di pinggir pantai, menunggu kedatangan Mahaguru dengan harapan lelaki bertuah itu bisa menghilangkan kutuk yang menimpa kota mereka. []

Rumah Jeuneurob, 19 September 2013


*Penulis adalah Ketua Komunitas Jeuneurob Banda Aceh.

Read more…

Senin, 11 November 2013

UJUNG


Karya Ernayati Zaifah


waktu itu segera tiba
ketika ia terbaring beku di hadapanmu
hanya bola mata retak dan jasad memucat

mungkin sebaliknya
kau akan menjadi mayat
ketika malaikat merajammu atau dia
tak ada bantahan; itu suatu keharusan

orang-orang membaca ayat
engkau disambut tanah; didekap.


Banda Aceh, 13 Oktober 2013
Ernayati Zaifah, mahasiswa Gemasastrin angkatan 2013. Peserta kelas puisi Komunitas Jeuneurob.


:: Sumber : Serambi Indonesia, Minggu 10 November 2013.

Read more…

Minggu, 03 November 2013

PERMINTAAN PERTEMANAN


Karya: Ichsan Mantovani


Bunyi “tlik” dari Facebook memecahkan konsentrasiku pada sebuah lagu sendu yang sedang kudengarkan. Rasanya seperti sedang duduk berpacaran, lalu di panggili oleh orang tua si pacar. Begitulah kira-kira. Lantas apa yang di lakukan banyak orang ketika sesuatu mengganggu keasyikannya? Mencaci maki, itulah yang aku lakukan saat itu. Cacian yang tak lain adalah menyebut isi dalam rok ibu.

Sekeliling dari tempat kududuk yang mendengarkan ucapan itu menatap segera. Ada yang marah, gelisah, gembira, dan ada juga yang menyuruh mengulang lagi ucapan itu. Aku tertawa ringan.

Aku buka wall Facebook, ada sebuah permintaan pertemanan. Kalau cewek cantik pasti segera kukonfirmasi. Tapi kalau cewek jelek, aku abaikan saja. Setelah aku teliti, ternyata cantik. Tetapi fotonya hanya satu, tapi tak apa, benakku. Aku konfirmasi saja. Oleh karena aku orang alay, jadi segala sesuatu yang terjadi aku tuliskan di status facebook. Isinya begini:

Dpat p’mintaan p’temanan dr CEWEK CANTIK...... yuhuuuuuu!!!!!!!!!

5 detik pertama, Harimau Pagi menyukai, hingga menit pertama 15 sukai menyelinap di bagian suka. Senang bukan main. Tetapi kesenangan itu hanya sesaat setelah melihat akun Facebook seorang dosen mengomentari.

“Presentasi besok udah bisa kuasai bahan, kan?”

Denyut jantung berdetak bukan main, kepala mulai menjalar ke seribu jalan untuk membalas komentar tersebut. Dalam hatiku, besok pasti akan diceramahi habis-habisan. Sebab jangankan kuasai bahan, tahu bahannya saja tidak. Tak mungkin jika aku bahas tentang permintaan pertemanan. Jalan terakhir, aku hapus saja status itu. Masalah selesai. Lega menghinggap lagi.

Sepuluh menit berlalu begitu saja, hanya pada putaran beranda dan profil. Sesekali kulihat pemberitahuan Twitter. Lumayan, sudah 78 followers. Daripada kawanku, sudah dua tahun bikin akun, followers-nya baru 40.

Kebetulan malam sudah larut dan keramaian mulai susut. Aku pindah ke meja sudut. Di sana aku duduk dengan santai, dengan menghisap nikmat sebatang cerutu. Mata mulai menjalar, melihat sisi kiri-kanan, depan-belakang. Aman ternyata. Hal yang sering kulakukan sebagai seorang anak alay saat berada di depan komputer, yang di fasilitasi wifi dan dibantu oleh suasana yaitu membuka situs porno.

Badan mulai panas dingin apabila membuka situs itu, mata sering melirik sekeliling. Bosan dengan lokal, luar juga banyak. Sedang enak menonton, diganggu lagi oleh bunyi “tlik”. Kuusap muka, kutarik rambut ke belakang, lalu kuhela nafas, sepanjang-panjangnya. Padahal filmnya sudah hampir di klimaks.

Hal yang sama, permintaan pertemanan lagi. Cantik, aku konfirmasi lagi. Mikir seribu kali, untuk yang satu ini. Buat status apa tidak. Melihat dinding obrolan sang dosen masih aktif, biarkan saja terlewati tanpa status. Sesaat kemudian, keluar di pemberitahuan. Yang meminta pertemanan tersebut mengirim ke dinding facebook-ku dengan ucapan,

tq abg kece konfirnya, salam kenal ea J

Hatiku senang lagi. Aku tutupi jendela lain, biar notebook tidak berjalan lambat. Situs porno tinggalkan, demi perkenalan baru. Aku tertawa riang. Jemari mulai centil untuk mengetik papan tombol notebook.

sama2 adx manis, salam kenal juga

Balasan awal singkat saja, biar tidak terlihat berharap.
Sembari menunggu, dengar lagu jatuh cinta, biar dapat inspirasi untuk menggombal.

ah abg kece ni, manis darimananya? Bertemu saja tidak

Kubalas lagi

itu dia masalahnya, bertemu saja belum. Adx sudah menuaikan aroma manis di pikran abg, apalagi sudah bertemu. Sekujur tubuh adxx pasti dipenuhi semut. Kwkwkwkwkwkwk :D

Dibalasnya

ah abg ni, bisa aja deh.

Membaca komentar terakhir begitu, masalah mulai menghantui. Karena jika aku membalas lagi dengan bertanya, takut diduga berharap. Padahal memang iya. Ku balas saja lagi, biar percakapan tidak putus sampai disitu.

oia nama adx siapa?

Lanjutku pada komentar dinding itu.
Balasannya secepat kilat, seperti memang ingin berkenalan lebih lanjut. Kesempatan ini, pikirku.

abg ini gimana lu, buta atau bagaimana? Kan bisa liat sendiri di facebook.

Itu kesempatan bagus untuk mengeluarkan jitu menggombal, responnya seperti magnet utara dengan selatan.

sebenarnya abg tidak buta dx, tapi malam adx telah membutakan hati abg untuk tidak melihat yang lain. Hahahahahah. Tapi nama adx kenapa aku yang selalu ada untukmu?

Nampaknya dia senang.

mulai deh gombalnya abg ni. Karena aku akan selalu ada untukmu bg. Hahahahahaha. Emang abg aja yang bisa ngegombal, adx juga bisa tau.

Aku pula yang senang.

kata orang, kalau kita sama pandai menggombal, kita jodoh donk

Seperti tadi, dia membalas secepat kilat

emang abg mau berjodoh dengan adx?

Dengan penuh bahagia kubalas,

bisa menyesal tujuh keturunan kalau tidak mau berjodoh dengan adx.

Sampai juga aku pada titik kejenuhan, menunggu komentar  balasan, yang ditunggu-tunggu tak datang-datang. Setengah berputar pada beranda dan profil, tak ada pemberitahuan komentar juga. Buka profilnya, facebooknya masih aktif. Mau colek di statusnya, tapi tak ada status. Aku like saja fotonya yang hanya satu. Tak ada respon juga.

Kopi di meja sudah habis, cerutu tinggal sebatang lagi. Melihat layar tv, Arsenal menang melayan Liverpool. Panggilan alam membuat aku meranjak ke kamar mandi. Hal yang paling enak untuk merenung bahagia adalah di kamar mandi, apabila sedang di hadapkan kasmaran di warung kopi. Hingga wangi tak sedap tak terasa pun.

Lima belas menit berada di kamar mandi, 15 detik dalam perjalan dari kamar mandi ke meja. Belum sempat aku sampai ke meja, terasa handphone bergetar di saku celana, ku lihat di layar tertulis sebuah pesan dari “my love”. Ditulisnya...

Keren ya komentarnya, salut aku sama kamu. Benar kata kawan-kawan aku, kamu itu memang bangsat. Fuck.

Kugaruk kepala sejadi-jadinya. Perutku mulas lagi, aku harus kembali lagi ke kamar mandi.


Banda Aceh, 14 September 2013
Ichsan Mantovani, pegiat di Teater Gemasastrin dan lelaki yang terus mencari cinta.

Read more…