Minggu, 16 Oktober 2011

Baju Lebaran Hitam

Oleh: Zahra Nurul Liza
Sumber: Harian Aceh

innoboy34.blogspot.com
Pagi ini riuh. Sirine ambulance dan polisi gaduh. Menjadi hiasan pagi yang utuh. Orang-orang berhambur mencari titik teduh. Aku pun tak ingin ketinggalan informasi tentang yang terbunuh. Serta tentang siapa pula yang tertuduh. Di rumah Aceh di ujung lorong itu kegaduhan sedang tercipta. Jerit tangis tengah meraja. Meraung-raung memanggil anaknya yang telah dipanggil dengan cara yang tidak terduga. Tak hanya warga yang berkumpul di sana menunggu berita, wartawan dari berbagai mediapun ikut meramaikan suasana.
*****
Dingin dan sepi adalah selimut tubuh ini. Rintik hujan yang jatuh perlahan menerpa bumi. Kurma menjadi makanan pembuka magrib ini. Azan adalah tanda akan dialog dengan Tuhan segera. Selepas itu, barulah melahap makanan-makanan selanjutnya. Tak banyak selang waktu antara magrib dan insya. Taraweh pun telah tiba. Kini saatnya setan-setan merayu hamba ditambah mendapat dukungan cuaca. Walau hamba tau ini adalah taraweh terakhir dalam ramadhan kali ini. Sebab mulai besok malam, takbir akan berkumandang. Tawa riang insan dari setiap sudut adalah hiasan. Tapi, tak perlu terlalu banyak cerita dulu tentang esok malam. Biarlah itu menjadi rahasia Tuhan. Malam ini akan dihabiskan dengan taraweh dan berdoa agar taraweh tahun selanjutnya masih bisa dirangkai bersama.
Kini malam mulai tua, walau tiga jam lagi akan kembali muda. Alunan ayat Tuhan terus dilantunkan berburu waktu tuk segera mengkhatamkan Al-Quran. Sebab esok terakhir ramadhan. Pikiran ini tiba-tiba melayang ke lain haluan. Ingin mencari tau sesuatu yang belum terselesaikan. Tapi, tak ingin juga dibilang mencampuri urusan orang. Harus bagaimana lagi. Hati tak sabar menunggu kabar besok di koran, itu pun kalau lah jelas diceritakan. Langkah kaki seakan memberi restu untuk mencari tau tentang kabar yang semua orang ingin tau. Tetangga keluarga yang menempati rumah Aceh di ujung lorong itu menjadi sasaran untuk diajukan beberapa pertanyaan mengenai kejadian kemarin malam. Tanpa ragu ia menceritakan.
Kemarin malam, ketika waktu taraweh cupo Minah, begitu akrab disapa warga membawa serta putri semata wayangnya yang berusia 5 tahun ke mejid yang tak seberapa jauh dari rumahnya. Cuacanya persis seperti malam ini. Memanglah gerimis masih setia menemani. Memanglah rutinitas seminggu tiga kali selepas salat insya, siraman rohani. Saat itu, anak cupo Minah mengeluh ingin pulang pada Mak tercinta. Sebab rasa kantuk sudah tercipta. Saat itu juga cupo Minah bersama anak semata wayangnya itu pulang ke rumah tanpa menuggu selesai ceramah. Sepanjang perjalanan cupo Minah mengendong anaknya. Semua warga mengerti dan memahami seberapa sayang cupo Minah pada anaknya itu. Mengingat lama penantiannya untuk memperoleh seorang anak. Sebenarnya cupo Minah sudah pernah melahirkan samapi dengan tujuh kali. Tapi, semuanya tak ada yang selamat.  Oleh sebab itu, tak berlebihan kurasa bila cupo Minah amat menyayangi putri semata wayangnya itu. Aku memang seorang pria. Tapi, setidaknya aku bisa menerka seberapa sakit melahirkan itu, walau pada nyatanya lebih sakit dari yang kuterka.
Sesampainya di rumah, cupo Minah langsung menidurkan putrinya di ayunan. Sembari bersalawat, secara perlahan cupo Minah mengayunkan ayunan itu. Hingga ia pun tertidur di bawah ayunan putrinya.
Semua terjadi begitu saja. Tak ada yang mampu menceritakan kisah itu tanpa terbata-bata. Sampai malam ini pun isak tangis masih terdengar dari cupo Minah. Meraung memanggil buah hati yang telah dipanggil Ilahi. Tak ada yang menyangka itu akan terjadi. Tak pernah tersirat dalam bayangan tentang kisah pilu ini. ‘ Nenek yang Menyembelih Cucunya Sendiri’ pasti menjadi judul besar di koran esok hari setelah wartawan-wartawan itu meliput tadi pagi. Ya, Mak cupo Minah telah menyembelih cucunya sendiri ketika tengah tidur lelap di ayunan. Semua warga memang tau kalau Mak cupo Minah memiliki penyakit jiwa keturunan. Tapi, tak tersirat di pikiran kalau itu akan terjadi.
Tadi pagi, ketika polisi hendak membawa pergi Mak cupo Minah ke jeruji besi. Cupo Minah melarangnya sembari berkata dari hati nurani.
Jangan bawa pergi Mak kami! Sebab dia tetap Mak yang tak akan terganti. Kami yakin kami akan mendapatkan anak lagi atas seizin Rabbi. Tapi, kalau Mak? Kami tak tau harus mencari dimana lagi. 

Read more…

Kangkung di Rawa Lintah

Oleh: Zahra Nurul Liza
Sumber: Harian Aceh

innoboy34.blogspot.com
Jingga. Pancaran warna bunga kangkung yang semakin merona. Pertanda kalaulah kangkung sudah lewat masanya. Tak ada lagi yang menghiraukannya. Sebab kau yang saban hari memetiknya sudah tiada. Telah habis waktunya.
***
Matahari terbit. Ayam dan burung menjerit-jerit. Menjadi hiasan pagi yang rumit. Kau, memulai hari dengan pergi ke rawa-rawa sempit. Mencari sedikit duit dari mereka orang-orang pelit. Tanpa pernah peduli pada sebagian orang yang jijik. Serta matahari yang sungguh pelik. Kau, yang sebenarnya Makku sendiri selalu menghabiskan hari di rawa-rawa ini untuk mencari beberapa suap nasi. Kemudian, akan kau sulangkan pada kami, anak-anakmu ini.
Pagi ini, kau mulai lagi harimu dengan melangkahkan kaki ke dalam rawa yang penuh lintah. Memetik satu persatu batang kangkung yang sebagian patah. Aku adalah anakmu yang hanya memperhatikanmu dari jendela ini. Tak lebih. Sebab hanya itu yang bisa kulakukan untuk menjaga semangatmu agar tak patah. Mak, sesekali kau berikan senyuman itu untukku, yang memperhatikanmu dari jendela ini. Seakan kau tegaskan bahwa tak ada lelah letih dalam jiwamu itu.
Matahari, perlahan-lahan pasti mendaki ke puncak hari. Jengkal demi jengkal tanpa kita sadari. Ah, Mak masih saja setia pada hari. Tekat untuk memperbaiki nasib walau hanya untuk hari ini. Sayang, aku hanya bisa memandang dari kejauhan. Sebab kaki tak mengizinkan. Sekarang, yang hanya bisa aku lakukan adalah berdoa pada Tuhan agar Mak diberi kekuatan.
Mak pulang membawa kangkung beberapa ikatan. Diletakkannya di hadapan. Mata ini hanya bisa memandang kesegaran dan kenikmatan kangkung dari kejauhan. Hingga hadir bayangan semangkuk kangkung dihidangkan. Tapi, sayang itu hanya angan. Sebab telah lama aku tak pernah lagi menjadikan kangkung sebagai hidangan. Setelah malam itu, kebetulan kangkung Mak tak habis laku. Kalau bukan sebab itu maka tak pernah aku makan kangkung seumur hidupku.
Dari masjid, muazzin memberitahukan bahwa telah sampai waktu bercumbu dengan Tuhan. Yang harus segera dilaksanakan sebab tak ada yang tahu kapan  nyawa hilang. Mak, segera memulai puji-pujian yang hanya dipersembahkan kepada Tuhan. Dan setelah itu Mak akan melanjutkan hari dengan berjualan. Kangkung yang sudah dipetiknya dari rawa-rawa sempit itu akan dijajakan di pasar tradisional dengan harga seribu rupiah perikatan. Setelah habis berjualan, Mak beranjak pergi untuk memberi jatah kepada pemilik rawa lintah, yaitu setengah upah.
Memanglah mereka bak lintah. Menghisap darah menghasilkan nanah. Rasa telah pergi sudah. Meninggalkan raga yang telah basah. Tak peduli pada dosa yang terus menebal, sebab sudah terlanjur takut pada kenistaan yang diciptakan sendiri dalam resah.
Rawa yang dipenuhi lintah. Tak ada yang mau memanfaatkannya hingga menghasilkan upah. Hanya Mak sendiri. Demi kami mengabaikan  sakit gigitan lintah. Memetik kangkung saban hari dari rawa lintah. Tak pernah Mak pulang dengan kaki yang tak berdarah. Selalu saja satu dua lintah menempel  dengan kuat di betis yang basah. Hingga Mak bak menjual darah untuk mendapatkan upah. Demi anak-anaknya yang terlanjur lemah.
Pernah suatu hari. Kumembatatkan diri ikut Mak pergi. Walau dengan merangkak tak bisa berdiri aku nekat pergi. Tapi, yang terjadi Mak memarahiku dengan berani. Tak seperti biasa lagi, Mak memarahiku sepanjang hari. Padahal aku hanya ingin membantunya walau hanya untuk hari ini. Tapi, Mak tak mau mengerti. Tetap saja dia memarahi. Ya, aku pahami. Pada rasa sayang Mak yang berlebih pada kami. Jadi, kuturuti saja semua keinginan Mak. Sebab, aku tak mau melihat Mak mengeluarkan air mata lagi setelah mengeluarkan darah untuk lintah saban hari.
Sekarang, pagi telah kembali. Tak ingin banyak basa basi tentang pagi ini. Sebab kutakut muak pada cerita basi. Sama seperti pagi-pagi sebelumnya, Mak telah pergi ke rawa lintah yang sebenarnya tak jauh dari rumah. Tepat kuceritakan letak rawa lintah di belakang rumahku ini.
***
Petang. Hati dingin. Berdialog dengan angin. Tuhan, telah memindahkan Mak ke sisi lain. Dengan sebab kecil yang diiming-iming. Terpeleset ketika di rawa lintah adalah penyebab Mak berpindah. Meninggalkan kusendiri dalam gelap. Aku. Mencoba menjalani hidup dengan harap perlahan-lahan bisa menghapus awan gelap.

Read more…

Cahaya di Bawah Ranjang

Oleh: Zahra Nurul Liza

sukmajoeyjordison.blogspot.com
Cahaya di bawah ranjang.  Tiba-tiba ada tanpa diundang. Tak tahu asal muasal dia datang. Yang jelas sekarang. Cahaya sudah beku di bawah ranjang. Entah karena kedinginan atau sudah mendapatkan tempat lain yang lebih terang dibandingkan di bawah ranjang. Hingga ruh meninggalkan jasad yang terlanjur tenggelam.
*****
Malam. Lagi-lagi dimulai dengan kata kelam. Hitam, legam. Tak ada putih. Tak ada hiasan. Tak ada teman, juga tak ada lawan. Sendiri sepi merangkai malam. Semuanya padam hingga tak bisa terawang. Menunggu pagi adalah sebuah pekerjaan yang saban malam dilakukan. Walau kadang-kadang sedikit membosankan. Tapi, apa yang hendak dikatakan. Nasib telah terukir di hadapan. Tak tahu kemana harus mengadu. Satu dan lainnya saling beradu. Mempertotonkan satu yang sedang diadu. Siapa yang menang maka kesitulah mengadu. Walau acap tak peduli pada yang mengadu.
Seperti malam-malam sebelumnya. Sepi masih menyelimuti diri. Panas seakan pergi. Dari bawah ranjang ini cerita akan dimulai. Cerita yang kadang-kadang membuat orang tak percaya akan benarnya. Walau sebenarnya benar-benar terjadi. Bukan hanya sekedar cerita untuk membuang emosi. Damai malam seakan beranjak pergi. Tak pernah kembali mengunjungi. Walau hati sangat rindu pada damai itu. Tapi, tetap tak ada yang peduli.
Cahaya di bawah ranjang, akan selalu ada saban malam. Bagaimana tidak. Sebab tak ada tempat lain untuk Cahaya selain di bawah ranjang. Hanya di bawah ranjang. Mungkin untuk selamanya di bawah ranjang. Sebab hanya di sanalah dia bisa menanggalkan sejenak kenangan pahit bersama Mak dan Bapaknya. Ya, kenangan pahit yang terjadi 2 tahun lalu. Tepat ketika dia bermur 5 tahun. Malam itu, Mak dan Bapaknya dipanggil ilahi. Karena gempa terjadi. Hingga membuat rumahnya ambruk, dan yang terjadi dinding rumah menimpa kepala Bapaknya. Hingga pecah hancur di depan matanya. Lain lagi dengan Maknya, atap rumah dari seng itu membelah muka Mak Cahaya tepat pula di depan matanya. Oleh karena kejadian itu sampai saat ini dia trauma. Ya, si kecil itu ketakutan ketika malam datang. Ketakutan ketika menatap dinding dan atap. Ketakutan seolah-olah semua yang terekam diputar kembali di hadapan. Sayang seribu sayang, tak ada yang peduli padanya siang dan malam. Tak ada yang menghiburnya dikala malam. Walau sebenarnya tak butuh hiburan. Tak ada menemaninya dikala seorang diri. Walau dia sebenarnya sangat butuh teman.
       Tinggalkan sejenak cerita tentang malam. Walau sebenarnya tetap tak bisa lepas dari malam. Tinggalkan sejenak cerita tentang latar belakang. Biar akan dilanjutkan cerita ke depan.
       Kini malam, hanya malam. Tak akan berganti pada siang. Sebab kisah banyak pada malam. Cahaya seperti biasa, karena rasa trauma tidur di bawah ranjang. Sebab seperti yang sudah diceritakan, hanya di bawah ranjang dia bisa melupakan semua pahitnya kenangan. Hanya di bawah ranjang pula dia tak bisa menatap dinding dan atap. Hingga dia tak perlu takut untuk menatap. Walau entah sampai kapan dia takut pada tatap. Ketika di bawah ranjang Cahaya acap terlintas bayangan-bayangan di otak. Bukan bayangan tentang kisah hidupnya. Bukan pula tentang sifat buruk yang diterimanya dari ceceknya, sapaan untuk adik Bapaknya. Melainkan, Cahaya membayangkan kisah hidup yang penuh bayang-bayang. Bayang-bayang indah yang berhasil menghapus hitam nan kelam. Bayang-bayang dimana tak ada atap dan dinding di setiap tatapan. Bayang-bayang yang akan selalu terbayang-bayang dan bisa membuat malam menjadi damai walau hanya dalam bayang.
       Sebelum bercerita tentang bayang yang akan selalu terbayang-bayang. Walau hanya dalam angan dan akan tetap jadi bayang. Biarlah sedikit bercerita tentang hidup Cahaya yang kelam. Kisah hidupnya setelah Mak dan Bapaknya dipanggil Ilahi. Setelah malam itu terjadi. Cahaya menjadi barang rebutan untuk diasuh sampai nanti. Maksudnya sampai nanti ketika bantuan-bantuan yang diberikan kepada korban gempa itu habis digunakan saban hari hanya untuk kepentingan pribadi, bukan untuk kepentingan Cahaya di esok hari. Ya, begitulah yang terjadi.
       Sekarang, malam semakin kelam. Dia, merindukan setitik cahaya untuk menerangi malam. walau dia tak menyadari bahwa dia menginginkan dirinya sendiri, Cahaya suci. Tanpa dia sadari, angan telah sedari tadi menemani. Senyap dalam bayang diri. Perlahan membelai-belai nurani. Diliriknya ke kanan kiri. Tak ada sekat. Semua jelas terlihat. Diliriknya pula ke atas. Tak seperti biasa yang terjadi. Tak ada lagi papan-papan panjang yang digunakan untuk ranjang. Tak ada. Entah ke mana. Sekat tak ada lagi. Garis-garis pembatas telah hilang pergi. Sekarang, sesuatu telah terjadi. Entah sihir atau anugerah dari Rabbi. Bintang terlihat jelas di awan. Kabut yang sedari tadi menutup bulan perlahan-lahan mengundurkan diri. Seakan empunya malam telah datang menepi. Kesabaran Cahaya selama ini menghadapi hari telah dibalas oleh Rabbi.
       Gelap malam tak terlihat lagi. Terang benderang hadir di sini. Seuntai senyuman perlahan hadir dari dua garis bibir. Mata, menyaksikan keagungan yang hadir. Inilah tempat impian Cahaya. Kuasa menatap tanpa harus takut pada tatap. Kuasa melihat, tanpa harus takut pada dinding dan atap. Kini, malam bukan sesuatu yang menakutkan lagi. Melainkan sesuatu yang diidami. 

Read more…

Sabtu, 08 Oktober 2011

Keumala

Oleh :Zahra Nurul Liza
Sumber: Serambi Indonesia, Minggu 9 Oktober 2011


MATAHARI duduk manis di singgasana langit. Menerangi bumi yang sungguh pelik. Pancaran panas amat menyengat. Syair yang sejuk pun tidak bisa membunuh penat. Walau sebenarnya hari tinggal seperempat. Tiap paras melukiskan kepiluan dan kegembiraan tentang diri sendiri. Tiap badan hanya sanggup untuk menanggung beban sendiri. Tiap mata hanya bisa memancarkan nasib sendiri. Semuanya serba sendiri. Anai-anai pun menari-nari sembari melahap hidangan lezat dengan bangsa sendiri. Menikmati siang yang
tinggal sebentar lagi. Sebab petang sudah menepi.

Duduk di ayunan adalah pilihan. Mengisi waktu untuk menciptakan sedikit kenangan. Kenangan yang nantinya akan dikenang dan mungkin juga akan ditulis dengan pena sebatang. Orang yang berlalu lalang adalah pemandangan. Yang memamerkan berbagai raut wajah penuh kenangan. Tapi, tetap harus berhati-hati dalam artian sesekali harus melihat tali yang mengikat ayunan pada pohon sebatang. Jangan sampai putus dan menghancurkan semua kenangan di tengah jalan.

Sedikit tercengang ketika Keumala hadir di hadapan. Menceritakan kegembiraan hati sembari tertawa riang. Dengan dandanan yang begitu cantik dipandang, hanya bagi dirinya sendiri maksudnya. Rambut Keumala tertutup oleh kerudung kuning keemasan yang agak miring dikenakan. Maklum Keumala tidak lebih mengerti akan dandanan.

Keumala yang sebenarnya sudah berumur empat puluh enam tahun itu masih bak gadis tujuh belasan. Sayang, belum sempat Keumala menceritakan kegembiraan hatinya itu. Sebab azan telah berkumandang pertanda dialog dengan Tuhan. Dengan polos Keumala mengajakku sembahyang.

Sebenarnya ini bukan pertama kalinya aku melihat Keumala shalat. Hanya saja untuk pertama kalinya aku memperhatikan dia shalat. Sebetulnya ini bukan untuk pertama kalinya aku bertemu Keumala. Hanya saja baru-baru ini aku menaruh perhatian lebih padanya. Ah, tanpa kusadari, Keumala telah sedari tadi memperhatikanku dengan sifatku ini.

Kubiarkan Keumala shalat lebih dulu. Maklum, mukena hanya satu. Jadi, haruslah aku menunggu Keumala selesai shalat dulu. Benar-benar aku tidak pernah mempedulikannya selama ini. Kukira selama ini Keumala shalat penuh khusyuk dan rapi. Tapi, ternyata tak seperti yang diduga. Tak ada doa dalam shalat Keumala. Bibir terkunci rapi. Hanya sesekali tersenyum ketika melihat diriku ini. Ya, Ketika shalat mata Keumala menari melihat ke sana ke mari. Hingga ketika mataku dan matanya saling memandang dia akan tertawa seperti sedang tak shalat lagi. Selain itu, Keumala shalat tak hitung rakaat. Karena memang dia tak bisa baca dan hitung. Walau demikian, aku bangga pada diri Keumala. Dengan kekurangan yang terus mengelilingi sekitar pinggang. Dia tetap tak pernah melupakan Tuhan. Walau sebenarnya tak tahu cara memuja Tuhan.

Setelah shalat, Keumala hendak mulai melanjutkan ceritanya lagi. Walau sebenarnya belumpun dimulai dari pertama kali. Sembari tersenyum-senyum sendiri dia mulai menceritakannya untuk yang pertama kali. Ya, dia bercerita tentang seorang pria bak seperti gadis usia dua belasan tengah jatuh cinta. Dengan penuh riang gembira dia menceritakannya. Aku pun mendengar dengan rasa penasaran yang merajalela. Tak kusangka dan tak kuduga. Dia jatuh cinta pada seorang pria yang saban hari menghabiskan waktunya di mushalla. Entah benar-benar dia mengerti akan arti cinta. Yang jelas dia sudah merasakannya.

***

Kini petang telah kembali menemani. Sebab siang telah mulai pergi. Sebentar lagi malam merajai. Kali ini sepi sendiri. Tak ada Keumala, tak ada kenangan lagi. Keumala telah pergi. Tapi, bukan maksudku pergi dan tak kembali. Seperti biasa yang terjadi setiap petang seperti ini dia acap keluar dan pergi. Walau tak jauh pergi dari sini. Ya, dia pergi sejenak ke lapangan bola kaki. Hanya sekadar lewat untuk melihat si pujaan hati. Seperti biasa yang terjadi. Setelah pulang dari sana, dia akan membawa banyak cerita. Entah kisah nyata atau hanya angan yang tercipta. Bukan bermaksud untuk meragukan ceritanya. Tapi, pernah suatu ketika aku pergi bersamanya. Walau tak jauh sebenarnya.

Sore itu aku hendak pergi hanya sekadar untuk berkeliling kampung ini. Ditemani Keumala, sebab aku malas apabila seorang diri. Terlihat jelas dari raut wajah betapa senangnya hati. Kebetulan kami melewati mushalla itu, tempat pujaan hati Keumala menghabiskan hari. Kebetulan pula, si pria berkulit sawo matang itu sedang di luar seorang diri. Tapi sayang, hanya senyum yang dipersembahkan. Walau begitu Keumala senang bukan kepalang.

Beda umurku dengan umur Keumala memang jauh. Tapi, tak terasa jauh. Walau bedanya mencapai angka tiga puluh. Aku juga salut pada Keumala, walau tanpa perawatan khusus dia memiliki raut wajah yang mulus. Putih kulitnya kadang juga membuat orang iri. Apabila kita melihatnya dari raut wajah maka sama sekali tak tampak seperti orang yang hampir berumur setengah abad. Itulah keadilan Rabbi.

Sekarang Keumala mulai lagi mencoba menceritakan kembali kisah tadi. Dengan sedikit tambahan yang terjadi di sana sini untuk membanggakan diri sendiri. Bukan maksudku untuk katakan kalau tak ada pria yang suka padanya. Tapi, waktu yang bersamaan aku lagi bersamanya. Jadi aku tahu persis bagaimana kejadiannya. Oleh sebab itu aku tahu jujur atau bohong yang lahir dari mulutnya. Tapi, tetap tak kupermasalahkan itu semua. Dengan setia aku akan tetap mendengar curahan hatinya. Aku mengerti bagaimana rasanya sedang jatuh hati. Bagaimana rasanya saat masa-masa remaja yang kuhadapi. Tapi, yang tak habis pikir masa itu terlambat datang pada diri Keumala. Mungkin karena penyakit keterbelakangan mental pada dirinya. Aku memakluminya dan kuanggap itu adalah kelebihan pada drinya. Semoga saja Keumala senang dan bahagia dengan cinta yang dimiliki dari dasar nurani. Walau sebanarnya aku iri. Iri karena ingin memilikimu di sepanjang hidup ini. Kekuranganmu akan kuanggap kelebihan dari Rabbi.

***

Mobil perlahan terus berjalan. seakan tak ingin mengerti bahwa hati masih ingin di sini. Agar selalu bisa melihat senyuman dan tawa riang Keumala itu sepanjang hari. Walau tak mungkin memilikinya seutuh diri ini.

Banda Aceh, 15-09-2011

Read more…

Magifo


Oleh: Nazar Shah Alam
Sumber: Harian Aceh, 30 September 2011
Kabar terbaru yang berhembus di jambo temu gank Apache adalah tentang Syakir yang sedang dihinggapi virus berbahaya. M1GF atau magifo, atau virus Mahasiswa Gila Foto sedang menggerogoti lelaki berbadan atletis itu. Syakir yang memiliki wajah kurang bagus itu rupanya sedang sangat menyukai dunia modeling. Konon kabarnya juga ia hendak sekali menjadi bintang film. Tak tanggung-tanggung, ia yakin sekali akan mampu mengalahkan akting Shahrukh Khan dalam film Kuch-Kuch
Hota Hai yang terkenal itu.

Pengko yang rupawan terlihat tersenyum menanggapi kabar itu. Ia sendiri sebenarnya sudah dapat tawaran main film. Memang wajahnya tak jauh beda dengan Salman Khan, jadi sangat wajar bila pihak pencari bakat keaktoran merasa ia sangat pantas bermain film. Pengko dengan halus sekali menolak tawaran salah seorang pencari bakat. Ia tak mau memanfaatkan ketampanan yang diberikan Tuhan untuknya hanya untuk berbuat dosa.

Pengko dan Syakir memang bagaikan dua sisi mata uang. Syakir yang berwajah tak bagus menyukai dunia model—padahal sangat tidak pantas untuknya—sedangkan Pengko yang rupawan malah sebaliknya, walaupun wajahnya sangat mendukung.

Teringat juga Pengko pada hal yang sedang marak terjadi sekarang di Aceh. Banyak mahasiswa, khususnya perempuan yang menggilai dunia pose berpose. Dengan adanya media semacam facebook, tentu kegilaan mereka dengan mudah akan terealisasi. Dapatlah kita lihat betapa mereka kemudian menjadi sangat narsis, percaya diri yang berlebihan, sehingga mereka akan berpose dimanapun dan dengan gaya-gaya yang over tanpa ampun.

Para mahasiswa perempuan yang dihinggapi virus M1GF atau Magifo ini biasanya akan berpose dimana pun mereka berada. Di dapur, kamar tidur, taman, terminal, halte, pasar, lift, eskalator, warung, dan saat melakukan apapun. Semisal saat suntuk, mengantuk, pulang kuliah, sedang kuliah, sedang makan ayam penyet, sedang nonton, sedang di nyalon, sedang ngopi, ingin mandi, baru selesai mandi, mau tidur, bangun tidur, pokoknya di segala kegiatan yang menurut mereka perlu dinampakkan pada orang.

Virus ini memang hinggap pada orang-orang yang memiliki hobi pamer. Ingin diketahui orang kondisinya, atau pakaian yang dipakai, atau gaya saat sedang melakukan sesuatu, atau wajahnya dalam keadaan tertentu. Orang-orang yang telah terjangkit virus ini akan menjadi seorang yang sangat peduli dengan penampilan dan sama sekali tak menyaring budaya yang sedang berkembang sesuai artis ibukota.

Begitu juga yang sedang terjadi pada Syakir. Ia sekarang sangat peduli pada penampilannya dan berpakaian sudah seperti artis ibukota. Kamarnya yang bercat jingga penuh dengan poster-poster artis ibukota. Uniknya lagi ia mengedit fotonya sedang duduk  bersama Shiren Sungkar. Nampaklah mereka seperti pasangan suami istri. Namun itu, sungguh sangat sayang nasib Shiren dalam foto itu sebab bandingan wajah mereka adalah serupa langit dan bumi jauhnya.

Sore itu Syakir datang ke jambo temu Apache dengan sepeda ontel. Ia mengenakan jaket mewah, sarung tangan, dan kalung jingga. Sepeda ontel jingga dan celana jeans jingga, biar matching, katanya. Dan bila berbicara ia seperti sedang disorot kamera, maka lagaknya mulai berlebihan saja. Dan sekali saja ia tersenyum, nampak jelas kawat giginya yang berwarna jingga. Indahnya senyuman Syakir, benarlah mirip sekali wajahnya dengan Shahrukh Khan. Tapi Shahrukh Khan terkutuk menjadi rusak dan hancur lebur.

Read more…