Rabu, 17 Agustus 2011

Istriku Masuk Koran


Oleh: Makmur Dimila
Sumber: Harian Aceh, 14 Agustus 2011

Bahwa jaman tak berubah. Hanya wajah dan pikiran manusia saja berganti. Orang-orang di negeriku juga telah alami itu, seperti koran-koran yang berinovasi dan perempuan-perempuan yang menginginkan tubuhnya tampil di surat kabar itu.

Sebenarnya mereka tetap pada jaman usang. Namun penampilan, pikiran dan cara bertindak yang berbeda, sehingga orang-orang berpikir bahwa jaman telah berubah. Sehingga lembaga-lembaga, media-media, gadis-gadis, pemuda-pemuda dan usia segala usia berinovasi supaya tampil beda lalu dipuja-puja.
Nur tak mau begitu. Ia perempuan desa. Dibiarkan dirinya alami ibarat buah terbungkus dedaunan. Ia tunaikan hari-harinya di kaki bukit dengan sesering mungkin membaca Al-Quran, seperti yang sudah dilakukan saat subuh tiba—ia lebih bahagia jika orang negerinya mau baca kitab suci itu di selain dalam bulan Ramadhan.
Rutinitas Nur adalah memandikan kerbau. Seperti suatu pagi yang dingin ia memandikan kerbau milik ayahnya; jantan dan betina. Mungkin saja di pagi hari remaja putri seusianya sedang larut merias diri depan cermin, lalu berangkat ke kampus atau tempat kerja: mereka siap melayani dan barangkali dilayani. Atau barangkali masih dalam selimut di atas kasur springbed yang empuk—perempuan malas!
Air sungai menyapu betisnya dengan kaki berpijak pada bebatuan lebar nan licin. Ia mencari-cari pijakan kasar sembari terus menyiram badan dua kerbau berkulit hitam pudar dengan guratan merah jambu—peternak sapi meyebutnya gapi—di berbagai bagian tubuhnya. Warna seperti warna orang yang ditiru orang-orang negerinya itu menempel di bawah perut, tepi mulut, sekeliling paha, dan sedikit di kaki.
Tubuhnya basah oleh guncangan tubuh kerbau jantan, seperti basahnya orang-orang di negerinya oleh tipuan janji-janji pemimpin dan calon pemimpin yang sebentar lagi bakal dicontreng yang mungkin contrengannya kena di hidung jambu mereka, mata licik mereka, kepala dangkal mereka.
Sinar mentari mencuri kesempatan guna panasi kulit putih gadingnya di sela-sela percikan air oleh hentakan ekor kerbau betina. Buru-buru digaruk-garuknya tubuh kerbau dengan busa-busa sabun sehingga menyisakan wewangian, mungkin sekali seperti dilakukan gadis-gadis seusianya supaya tampak berkilau dan barangkali bisa terlihat seperti model lalu dilirik sorotan mata dan lensa kamera wartawan, kemudian diwawancarai dan esoknya berpose di halaman koran dengan memegangi produk orang-orang berkulit seperti kulit kerbau ayahnya. Dengan itu, mungkin mereka bakal sombong.
“Dek Nur, bagah (cepat). Rombongan linto baro katroh (mempelai pria sudah tiba),” seperti suara Kak Nong di atas sana, di antara kicauan burung rimba. Ya ternyata. “Get(baik),” sahutnya keras, supaya tak terkalahkan oleh gemericik derasnya aliran sungai.
Kemudian Nur segera pulang. Tak butuh banyak waktu sampai di kandang kerbau, cuma lima menit jalan kaki, tambah dua menit lagi karena menarik kerbau dengan tambang yang mengalung simpul lehernya.
Usai mengandangkan kerbau di belakang rumah, ia masuk lewat pintu belakang agar tak terlihat tamu, bukan malu, tapi tak enak dengan ibunya. Pun begitu, nyaris saja ibu melihatnya.
Kemudian mandi sekejap di kamar yang terletak jauh dari ruang tamu. Sudah itu memaki baju terbagus yang dipunya. Kebaya merah jambu. O, bukan merah jambu, sebab itu warna kulit orang-orang yang digemari orang-orang di negerinya. Ia mengenakan kebaya putih, tapi warnanya mulai menguning oleh air sungai saat dicucinya dua kali dalam setahun selama tiga tahun terakhir—memakainya saat lebaran Fitrah dan Haji saja.
Kemudian bercermin: ia melihat wajahnya bulat dan putih gading, hidung mancung, gigi rata, mata lentik, rambut panjang lurus, pipi oval dan dagu belah tengah, alhamdulillah. Kemudian ia duduk di kamar dengan ibu dan kakaknya. Sementara di ruang tamu, abangnya sedang menjadi wali pernikahannya. Ia mendengar suara Sulaiman—namaku, hari itu sebentar lagi jadi suaminya—mengucapkan ijab kabul. Senang dirinya tapi penasaran bagaimana wajahku.
Begitu akad nikah usai, ia diminta keluar untuk melihatku yang pertama kali. Sebelumnya kami tak pernah ketemu, kecuali ia mendengar suaraku saja saat berbicara dan kupinangnya di balik kain hijab di rumahnya beberapa hari sebelum pernikahan. Dari suaraku, ia berpikir kalau aku tak ganteng, tapi ah, ia tak peduli itu. Ia cuma mengharapkan aku punya kekayaan seperti Nabi Sulaiman, sesuai namaku. Mungkinkah?
Ternyata dilihatnya, aku berhidung mancung, kulit kuning langsat, tinggi tegap, mata coklat, berbulu rebah. Begitulah aku—kemudian hari ia tahu bahwa aku seorang toke kerbau dan membuatnya kian bahagia. Ia tersenyum-senyum dengan berdiri di antara ibu, keluarga dan tamu. Ia menyatakan makin mencintaiku. Lalu diciumnya tanganku di antara senyuman tamu.
Hari itu tak ada yang memotret, tak ada kilatan sustel atau kamera digital, sesuai permintaan Nur, karena ia perempuan paling antikamera. Mungkin cuma dia perempuan antikamera di dunia ini.
Namun seketika itu, dua lelaki masuk rumah. Mereka seperti membawa kamera. Bergantung sesuatu di leher. Ia gamang. Juga aku. Tapi tamu malah senang. Siapa mereka? “Kami wartawan sebuah media lokal. Ingin mewawancarai kedua mempelai. Kami melihat banyak keunikan di sini. Dan cuma ada di sini! Apa boleh?” kata seorang di antara mereka.
Nur segera melepas tanganku. Keluar rumah. Ambil sandal. Ia lari. Aku panik sebentar. Aku, abangnya, dan beberapa orang kampung mengejarnya kemudian. Kami meliuk-liuk dalam sela-sela rimba sekitar kampungnya yang terpencil—sinyal hape saja susah dapat. Kami berteriak, memanggilnya.
Hari itu, aku sangat sedih dan seperti dihujam dengan timah panas di dada andai tak melihatnya lagi.
Tapi sejam usai mencari, akhirnya kami dapatkan juga. Tapi ah, Nur di bawah sana. Di atas batu besar di sisi jatuhnya air terjun yang menderu dan deras. Nur tergeletak kaku. Kami kemudian mendapatinya tak bernyawa, kepalanya berdarah. Padahal aku ingin sekali melantunkan Al-Quran bersamanya, apalagi dalam bulan Ramadhan. Demikian cerita ini, seperti diberitakan sebuah suratkabar tahun lalu.

Read more…

Catatan Seorang Terbuang

Karya: Nazar Shah Alam

Sumber: Harian Aceh, 14 Agustus 2011


Judul               :Catatan dari Bawah Tanah
Penulis            :Fyodor Mikhailovitsy Dostoyevsky
Tahun              :1979
Cetakan          :Ketiga, Desember 2008
Penerbit          :Pustaka Jaya

Novel karya Fyodor Dostoyevsky ini benar-benar tersuguh selaiknya catatan biasa namun dibumbui dengan pelbagai persoalan dengan bagus dan menarik. Sudut pandang orang pertama yang digunakan di dalamnya disajikan secara gamblang. Tokoh aku dalam novel Catatan dari Bawah Tanah ini seolah ingin menelanjangi semua tentang dia hingga pembaca bisa tahu betul sifat dan sikap sang tokoh tersebut sejelas-jelasnya. Cerita pun dimulai dengan gambaran bagaimana sifat sang tokoh yang digambarkan begitu tidak baik dan acap menjadi celaan dalam pergaulan.
Novel Catatan dari Bawah Tanah ini tergolong ke kategori novel psikologis. Bahwa sang tokoh adalah seorang yang menarik diri dari hiruk pikuk masyarakat sekitarnya setelah mengorbankan cin dan bakatnya. Sang tokoh yang merasakan bahwa ia memiliki keunggulan inteligensia dibandingkan orang lain dalam masyarakatnya ini merasakan semacam ada penolakan untuknya dari lingkungannya hidup. Karya yang menyoroti kejiwaan secara falsafi seorang yang diasingkan oleh masyarakatnya ini memiliki kekuatan dalam pendeskripsian suasana dan keadaan yang ada dalam tulisan tesebut.
Kekuatan lain adalah bagaimana kemudian Fyodor, sang penulis cerita benar-benar mampu menelanjangi keburukan sang tokoh dalam catatan pribadinya sendiri. Sang tokoh yang diciptakan Fyodor menjadi sangat terbuka dengan catatannya saat lingkungan sekitar menolaknya. Ini adalah sorotan yang jarang sekali dilakukan oleh para penulis masa kini.
Latar belakang tempat dalam novel ini adalah Rusia, dan dari sini juga bisa kit ketahui bahwa—menurut pandangan tokoh aku—bangsa Rusia sama sekali tidak memiliki kaum romantik transendental yang berlebihan semacam Jerman atau lebih lagi Prancis. Sebaliknya, sifat kaum romantik Rusia adalah suatu kebalikan langsung dan mutlak dari kaum romantik transendental tipe Eropa tadi. Tokoh aku kemudian menilai kata ‘romantik’ sebagai kata kolot yang sangat dihormati oleh orang lain dan bahkan setiap orang lain, kecuali ia.
Novel psikologis ini juga sangat sarat dengan pengetahuan-pengetahuan baru yang diantar oleh tokoh aku. Dari itu kita tahu bahwa tokoh aku memang seorang yang cerdas namun kurang percaya diri karena factor psikologisnya. Ia juga tokoh yang tidak memiliki kelabilan emosi. Suatu waktu ia menjadi orang yang terbuka dan sangat bersahabat, namun di waktu yang lain ia menjadi sangat tertutup dan suka merasa bahwa ia begitu buruk.
Tokoh aku adalah seorang yang lebih suka menghabiskan waktu di rumah dengan membaca. Ia melakukan itu untuk menekan emosi dan nafsunya yang selalu saja menggelegak. Namun, terkadang perasaan bosan dan jenuh dalam dirinya memaksanya untuk bergerak. Nafsu jahatnya, yang menurutnya adalah dunia bawah tanahnya itu kemudian memaksa sang aku meloncat keluar demi menyusuri tempat-tempat gelap. Ia melakukannya dengan malu-malu dan ia menceritakannya dengan sangat jujur.
Seorang yang pandai dan begitu sastrawi tersebut merasakan bahwa lingkungan mereka yang anti romantik transendental ini juga ikut tidak menyukai mereka yang berbicara dalam bahasa sastra. Kaumnya akan merasa bahwa mereka itu keperancis-perancisan pada orang yang berbahasa sastra. Maka ia tidak menyukai kaumnya.
Dalam Catatan dari Bawah Tanah ini, pembaca baru menemukan percakapan pada bab 5. Hal ini boleh jadi adalah sebuah kelemahan dari novel tersebut. Bagaimanapun, pembaca akan bosan dengan pemaparan tentang diri tokoh aku yang sepanjang empat bab itu. Walaupun memang di dalam pemaparan tersebut penulis mampu mengantarkan pembaca dalam satu ruang paling sunyi yang diderita tokoh aku hingga ke cerita-cerita paling menggelitik sekalipun, namun tetap saja ada semacam pemaparan yang berlebihan.
Cerita yang berkutat pada pribadi sang tokoh aku ini kemudian terkesan lebih seperti curhat penulis atau tokoh aku. Hanya saja di dalam curhat itu disisipi dengan pelbagai pengetahuan dan gaya bercerita yang asyik. Selanjutnya, ditilik dari pelbagai sisi, sungguh menarik bisa membaca kisah ini dan membayangkan seorang terbuang yang merasa tidak lagi mampu mencintai dan tidak lagi dicintai sang aku kemudian mengasingkan diri dengan tujuan depostisme yang ditulis dengan jujur sekali.



Read more…

Selasa, 16 Agustus 2011

Bambu Runcing

Karya Hamdani Chamsyah
Sumber: Serambi Indonesia, Minggu, 14 Agustus 2011


Mari tanam 
Mari mengingat
Bambu runcing di tangan pejuang
Membawa Tanah Air bebas berkuasa

Mari tanam 
Mari mengingat
Merah Putih di ujung tombak

Bambu runcing senjata tuan
Pengusir musuh negeri tuan

Bambu runcing pusaka tuan
Tancap depan rumah tuan
Merah Putih dikibarkan

Blok C, 7 Agustus 2011


Read more…

Rabu, 10 Agustus 2011

Spirit Sosial Puasa


Oleh Sammy Khalifa
Sumber: Serambi Indonesia, Rabu, 10 Agustus 2011
MENJALANKAN ibadah puasa selama sebulan penuh di bulan Ramadhan adalah sesuatu hal yang niscaya. Suatu kewajiban yang diperintahkan Allah SWT sebagai wujud ibadah yang hanya dipersembahkan kepada-Nya. Namun hal ini tak berarti bahwa ibadah puasa hanya dipahami dalam dimensi spiritual atau ubudiyah (ritual) saja. Puasa tak hanya diartikan dalam dimensi ritual semata. Ia begitu utuh menyeluruh, sebagaimana juga Islam sendiri yang nilai-nilainya begitu universal, “membumi” dalam realitas kehidupan manusia sehari-hari.
Islam mengatur semua hubungan dan keterkaitan dalam kehidupan manusia dan tidak berbatas dalam dimensi spiritualitas. Begitu juga dengan ibadah puasa. Puasa dimaknakan sebagai aktivitas menahan diri dari segala hal, yang dalam istilah Sigmund Freud disebut sebagai “Id”, atau prinsip dorongan kesenangan yang bersumber dari keinginan dan kebutuhan dasar manusia, seperti makan, minum, seks, agresi serta kebutuhan lain yang yang dipicu oleh

Read more…