Jumat, 26 Desember 2014

Puisi-Puisi Tiara Rizkina




Tuan Saya

Tidak bosankah tuan mengirimkan saya warna-warna angkasa?
Sedang tuan sendiri tahu, saya pemuja hujan
gemar melekap kelabu
di cumbu bau tanah masa lalu

Samasekali saya tidak tertarik
menemani tuan semalaman mengelilingi kota
Walau tuan selalu benar bahwa saya terlampau mengagumi malam
Menaksir pecahan inersia
Lalu rebah dalam dekap kelam alam

Tak mesti tuan nyalar bercerita sabda mimpi
kita belum tentu ada disana.
Tuan terlalu senang mengira-ngira
sedang aku, asik dengan mimpi semalam
seorang penari setia merayu
penari merias lara bermalam-malam
Tuan bahkan tak sudi singgah

Awal-awal sekali tuan mengetuk jendela kamar saya
Tanpa percaya saya selalu lebih dulu terjaga
penari mencipta mimpi nan buruk
Tuan hanya datang membawa apel berkeranjang
dan meletakkannya di meja tulis
Ketika saya makan, ternyata mulut saya yang busuk

2014


Sisa Hujan

Entah sejak kapan, tawamu menyelinap dalam sela gerimis malam celaka
Dadaku basah, bau tanah bercampur desah nafasmu
Angin menodongku dengan pisau setajam matamu
Bagian kiri tubuhku amis, merahnya dimana-mana
Merahnya seperti bibirmu yang kesumba
Aku harus bagaimana?
Atau kau yang harus kemana?

2014


Taksa

Hanya ingin ada walau benar-benar tidak dilihat.
Sebegitu murka kah mata yang anggun itu?
Hingga tidak diperbolehkannya ketakutan mengetuk
dan mengertilah ia lebih lagi bahwa pintu itu tidak akan pernah rela dibuka lagi.
Lalu guna apa sapa biru musim itu?
Ritus angin yang tak sanggup kuraba?
Atau hanya sekedar siang yang menghibur kelam malam?
Aku telah jadi debu dimusimmu
November lindap
lekap yang lalu tak juga lenyap
Aku kalap

2014


Tabu

Selain sebagai sesuatu yang telah lama dilupakan
Untukmu, aku seperti dilahirkan sebagai pengingat yang terlampau baik.
Yang tetap begitu sayang meski telah di buang.
Begitu mencinta hingga harus sebegini terluka. 

Ketika nanti aku telah begitu lelah mengingat
datanglah di suatu petang yang mengambang.
Setidaknya sekali saja, katakanlah sesuatu yang sering kamu ucapkan dulu
Sesuatu yang tak harusnya kekal dalam ingatan.


2014


Tiara Rizkina, mahasiswa Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia Universitas Pendidikan Indonesia dan anggota kelas menulis puisi di Komunitas Jeuneurob Banda Aceh.

Read more…

Rabu, 10 Desember 2014

Saat Hujan Turun Deras



Karya Muhadzdzier M. Salda

Entah kenapa setiap hujan tiba, perempuan setengah abad itu akan berdiri di jendela rumah panggungnya berlama lama menatap rintik hujan yang membasahi setiap jengkal tanah. Ia akan mencium bau tanah yang menyengat dibasahi hujan. Perempuan itu akan berdiri di jendela sampai hujan reda. Begitu terjadi saat hujan tiba. Aku sering melihatnya berkali kali atau setelah lebih setahun aku tinggal di rumah kontrakan ini. Kerap kali kulihat perempuan itu akan menatap rintik hujan dengan wajahnya yang muram. Mulutnya sekali kali berkomat kamit seperti sedang mengeja sesuatu. Sesekali juga kulihat ia tersenyum, seakan terlintas di pikirannya suatu hal yang menyenangkan dan perasaan bahagia.

Sore itu hujan sangat deras.. Aku pulang dari kantor dengan badan basah kuyup. Dingin menyelimuti seluruh badan. Sudah menjadi kebiasaan setiap waktu hujan kala sore tiba, aku sengaja pulang dalam hujan. Sengaja berbasah basah menikmati rintik hujan. Ini memang sudah menjadi kegemaranku mandi dalam hujan. Kubiarkan ini terjadi bersebab sampai di rumah istriku sudah memasak air panas untuk mandi bersih.


Sore hari Rabu itu, lebih tepatnya sore sudah menjelang waktu Magrib. Awan mendung hitam pekat. Aku pulang kantor dengan suasana yang lelah bukan kepalang. Seluruh sendi otot seakan kaku, tak sanggup bergerak. Mataku lelah dan sayu menatap layar komputer untuk membuat laporan perusahaan akhir bulan. Selepas sembahyang Magrib malam Rabu itu, aku memilih tidak keluar rumah. Cuaca memang sedang buruk. Suara gumuruh menggelegar dari langit arah selatan lalu ke timur. Sekali kali petir menyambar dengan suara menggelegar. Sewaktu kecil nenekku pernah bercerita, kala petir itu datang pertanda langit murka. Tuhan sedang mengejar iblis yang terkutuk. Kalau suara petirnya besar ini pertanda si iblis yang dikejar kena tepat sasaran. Entah benar adanya cerita nenekku itu. Tapi yang pasti ketika petir dengan suara besar, aku lebih memilih duduk di dalam rumah dan mematikan pesawat televisi serta perangkat elektronik lainya.

Malam itu ternyata hujan benar benar turun selepas suara petir ribut lalu gemuruh riuh. Istriku sedang tugas ke luar daerah. Karena sendiri membuat suasana benar benar sepi. Sunyi sekali. Hujan mulai turun sangat deras. Rintik suara dari atap rumah jelas terdengar keras. Aku sengaja mengintip lewat celah jendela kamar. Benar adanya memang, setiap hujan tiba perempuan yang menjadi tetangga rumahku itu akan berdiri di jendela menatap bayang hitam rintik hujan. Apa ia orang yang mencintai hujan? Tidak. Kalaupun benar, ia akan berlari dan berbasah basah dalam hujan. Hujan di luar masih saja deras sekali. Angin kencang mulai membuat suasana semakin kacau. Tepat jam sembilan aku bergegas menuju ke tempat tidur. Di luar masih hujan deras. Sekali kali petir terdengar sangat keras.

Besok pagi, seperti biasanya aku bangun dengan memasak air hangat untuk bekal mandi pagi. Suasana pagi yang dingin menyusup sampai ke tulang. Rasa malas untuk mandi benar benar adanya jika ada ada air hangat. Sayup sayup dari luar kudengar suara ramai orang-orang berkumpul di jalan kompleks perumahan. Aku membuka jendela ruang tamu. Deg! Orang orang sedang menatap seuatu hal yang dikerumuni orang ramai. Aku melihat kepala kompleks sedang berbicara dengan telepon genggamnya. Lalu kulihat seorang polisi sedang berbicara dengan handy talk.

Aku keluar dengan wajah penuh penasaran. Menerka nerka pada apa yang terjadi di tempat kejadian itu. Dengan memakai kain sarung dan berbaju kaos, aku melangkah perlahan dengan wajah penasaran mendekati tempat kejadian. Rasa ingin tahu akan apa yang terjadi. Orang orang saling berbicara satu sama lain. Mereka bertanya dengan harapan mendapat jawaban yang meyakinkan. Mataku terbelalak menatap sesosok mayat yang tak asing bagiku. Walau dari wajahnya sudah gosong seperti terbakar. Bukankah itu Ramulah, tetanggaku yang setiap hujan tiba akan berdiri di jendela rumahnya menatap keluar rumah?

Orang orang saling menatap. Ada yang diam seakan tak percaya pada apa yang terjadi. Wajahku pucat pasi menyaksikan sosok mayat perempuan itu. Wajahnya seperti tersenyum. Beberapa anggota polisi sibuk menyiapkan kantong jenazah. Kuberanikan diri bertanya pada seorang penduduk. Ramulah disambar petir semalam. Itu jawaban yang kudapat. Suami Ramulah tak ada yang tahu di mana rimbanya. Sepuluh tahun sudah meninggalkannya. Ramulah hidup sendiri menjadi seorang janda. Mereka tidak punya anak sama sekali. Kabar yang kudengar dari desas-desus orang orang kampung, Ramulah kerap berdiri di jendela rumahnya kala hujan tiba. Dia menunggu suami pulang dari rantau. Ketika pertama kali suaminya berangkat merantau, suasana memang hujan deras. Suaminya berjanji akan pulang saat hujan deras tiba, seperti juga saat dia pergi meninggalkannya.

Seperti kebanyakan perempuan lain, Ramulah selalu percaya pada lelaki yang telah menikahinya. Sekarang, tak ada seorangpun yang tahu dimana rimba sang suami.Ada yang menyebut kabar buruk, suaminya telah masuk penjara dengan kasus perampokan anak seorang pejabat di ibukota.Apa pun kata orang, Ramulah selalu menanti sang suami pulang, saat hujan deras, sampai petir kemudian menjemput ajalnya.


Muhadzdzier M. Salda, murid Sekolah Menulis Dokarim, Banda Aceh.

*Sumber: Serambi Indonesia, Minggu, 11 Desember 2011.

Read more…

Kamis, 04 Desember 2014

Puisi-Puisi Ummira Salvi Alamsyah




November

Dering arloji
Ungkap seremoni
November menunjuk hari jadi

kusuguh alun merdu jelang pagi, sayangku
dia telah hadir
mengucap ambisi bahagia
padamu, pada pencipta
pada  jagad raya

larut kuketuk bahagiamu
nikmatilah November dariku




Sebab Masa

Aku,
Batu bawah sengat
Kuat tak peka
Lama berdiam

kau berlebih tak kuasa
masa mengubahku biasa

kau semena
alsebab kau memula
dulu kau sia

kini aku melepas
mengerti lunas


Ummira Salvi Alamsyah, Gadis yang berasal dari Abdya ini lahir pada tanggal 6 Februari 1998 dan masih menduduki bangku kelas 2 SMA Tunas Bangsa Abdya. Sibungsu hitam manis dari 3 bersaudara berzodiak Aquarius sedikit pemalu dan manja. Ummira salah satu murid puisi Ernayati Zaifah dan sekarang, Ummira aktif belajar di Komunitas Jeuneurob melalui jejaring sosial.

Read more…

Jumat, 28 November 2014

AMEK BARLI RESMI MENJADI KETUA KOMUNITAS JEUNEUROB YANG KE 4



Banda Aceh – Komunitas Jeuneurob (KJ) kembali memilih ketua baru untuk periode keempat. Pemilihan dilakukan oleh semua pegiat secara langsung di belakang gedung AAC Dayan Dawood, Jum’at (28/11/14) sore.  Amek Barli terpilih dan dikukuhkan di hadapan beberapa pendiri yang hadir di sana. Pergantian ini ditandai dengan penyerahan sebatang jeuneurob (tiang pancang pagar) dari ketua periode sebelumnya yaitu Nazar Shah Alam.

“Selama menjadi pegiat, Amek menunjukkan konsistensi dan dedikasi yang tinggi untuk KJ. Saya yakin dia bisa melakukan lebih banyak setelah menjadi ketua. Dia bisa lebih baik,” ujar Nazar Shah Alam.

Amek Barli merupakan mahasiswa FKIP Unsyiah angkatan 2012 yang berasal dari Kota Langsa. Sebelum menjadi ketua, ia menjabat sebagai sekretaris umum di Komunitas Jeuneurob. Selain itu, Amek juga tercatat sebagai ketua pertama di komunitas Jeuneurob yang bukan pendiri.

Sebelumnya Komunitas Jeuneurob telah dipimpin oleh Sammy Khalifa, Makmur Dimila, dan Nazar Shah Alam. Sebagai pemimpin baru, Amek Barli mengajak seluruh pegiat untuk kembali bersemangat membangun Komunitas Jeuneurob di berbagai bidang kreativitas yang selama ini telah mereka laksanakan. Selain itu ia juga berharap agar seluruh pegiat terus menjaga semangat berkarya demi mempertahankan pergerakan Komunitas Jeuneurob.

“Sebagai penerus, saya ingin mewujudkan beberapa cita-cita komunitas ini yang belum terwujud. Saya memang harus banyak belajar lagi, tapi saya akan melaksanakan tanggung jawab ini dengan maksimal,” ujarnya mantap setelah acara pengukuhan selesai.


Read more…

Senin, 03 November 2014

Kompetisi Menulis


KJ- Komunitas Jeuneurob mengadakan lomba menulis cerpen dan puisi dengan tema "No Time No Moment". Lomba ini dikhususkan untuk murid Sekolah Menulis Remaja Jeuneurob (SMR) semua angkatan, murid Prosa/Puisi semua angkatan dan murid Prosa/Puisi yang belajar online. Lomba ini tertutup untuk umum.

  • Persyaratan

  1. Khusus dan wajib bagi semua murid Sekolah Menulis Remaja (SMR) dan semua murid Kelas Prosa/Puisi Jeuneurob.
  2. Naskah Berupa cerpen dan puisi
  3. Naskah harus karya asli (sebagian atau seluruhnya), juga bukan terjemahan atau saduran.
  4. Naskah belum pernah dipublikasikan di media cetak, elektronik dan online dan tidak sedang diikutsertakan sayembara lain.

  • Ketentuan
  1. Tulisan bebas tema
  2. Peserta boleh mengirimkan lebih dari 1 karya terbaiknya.
  3. Panjang tulisan
  4. Cerpen: 3-5 halaman, spasi 1,5, TMR 12
  5. Puisi: 1-4 halaman, spasi 1,5, TMR 12
  6. Kirim via email: jeuneurob@gmail.com

  • Pengumuman dan Hadiah
  • Pengumuman
         Tanggal, 20 November 2014

  • Hadiah
          Cerpen
  1. Juara I: Uang tunai 250.000, Tropi dan Piagam Penghargaan
  2. Juara II: Tropi dan Piagam Penghargaan
  3. Juara III: Tropi dan Piagam Penghargaan
         Puisi
  1. Juara I: Uang Tunai 250.000, Tropi danPiagam Penghargaan
  2. Juara II: Tropi dan Piagam Penghargaan
  3. Juara III: Tropi dan Piagam Penghargaan

Lomba ini dimulai tanggal, 27 Oktober - 15 November 2014
Lomba berupa Cerpen & Puisi

Note: Lomba ini tertutup untuk umum.

Read more…

Selasa, 14 Oktober 2014

Puisi-Puisi Mella Yunati






Kusebut Ini Alegori Rindu

I/
Langit masih mendung, ketika pelangi hadir.
Tepat pukul 9:45 di musim hujan,
saat kunantikan sibisu pulang.

II/
Lewat kabut malam
kupandangi trotoar penyeberangan
tanpa sosok yang mengintai
hanya debu-debu malam yang terbang menembus paruku
atau salahkah jika aku menanti?
Jika tidak, maka izinkan aku menunggunya di penghujung jalan

III/
Setibanya aku disana, jangan berhentikanku
Lepaskan, seperti dulu saat membenci
Jika tidak, kau akan melihat aku karam
Karena rindu telah menyatukan alam

Banda Aceh, 6 september 2014




Sepasang sepi

I/
Ku terawangi mimpi
Di pelupuk maghrib
Ku cari pena
Kutulis selembar kesaksian
Dalam sajak
Tentang sepasang sepi
Yang merindu
Pada Tuhan
Yang lama tak ditanyai
Tentang pembunuh kerikil tempo lalu

II/
Tentang kesaksian yang pilu
Apakah aku saksi yang kau janjikan rubi
Apakah aku saksi yang kau sodorkan permata
Yang kau hadiahkan bidadari

III/
Aku adalah perindu yang sepi
Dan kau adalah bayang sepi
Bukankah kita sepasang sepi

Banda Aceh, 13 September 2014




Pelindung sejati

I/
Taukah kau
aku adalah terpal
Yang singgah
di bawah telapak kakimu

II/
Sempat kutindih pasir
dalam rangkak telusurimu
Sempat kutulis pasir
dalam retak kaca berlapis

III/
Kulihat musim begitu liar
Memainkan melodinya
Getar lukaku

Seirama dengan sayat kakimu
Akulah pelindung sejatimu

Banda Aceh, 16 September 2014





Hakikat diri

Ku dengar nama Tuhan yang kau teriakan di balik tirai merahmu
Senafas dengan bacaan yang kau lantunkan
Senandung merindu atau mengadu
Tapi aku enggan menindih dalam lantunanmu

Patutkah kau berkaca
Pada cermin yang membencimu
Sebab terlalu perih kata yang kau lontarkan
Lantaran sunyi meredamnya berkali-kali

Tak pandaikah kau menghitung anugerah?
Tak pandaikah kau bersyukur?
Kurang apakah Tuhan menghadiahkanmu usia?
Terlalu kau berlagak angkuh
Pada Tuhan kau menutup mata

Banda Aceh, 18 September 2014


*Mella Yunati, murid kelas Prosa/Puisi Komunitas Jeuneurob


(Sumber : Serambi Indonesia dan Koran Rakyat Aceh, Minggu, 21 September 2014) 

Read more…

Minggu, 07 September 2014

Puisi-Puisi Yulia Rahmah





*Rakyat Aceh, Minggu, 31 Agustus 2014

FANA

Lentera merah itu
tak mampu menjangkaunya
Kau keluarkan semua
Menggelegar dari laut suatu kala
dentuman demi dentuman
hantaran demi hantaran

semua yang tertawa
semua yang terlelap
semua yang menangis
semua terjaga dari mati.


LUKISAN TERAMBANG

Dia menyaran kutulis namamu di air
namun kutulis
di pasir

seperti
sandiwara yang
katanya
aku bermain di balik siluet
mengikuti gerakan lagu
dan beberapa ruh sedang mengendalikan jasadku


JAMUAN MINGGU PAGI

Jamuan paling nikmat
Kupakaikan
dasimu
Denting gelas beradu
Menggelitik
telingaku

Entah
ini milik kita
Kebahagiaan
Atau
suara dongeng lama
Bir
tua yang memabukkan


HATIKU SEBATANG ROKOK

Hatiku
sebatang rokok mendarat dan menetap di bibir
biarkan aku diam terhisap hingga akhir
Masih
ada hal lain yang selama ini senantiasa punah
Sekejap menyatu sebelum apimu padam
dan terganti dengan nyala kemudian


CATATAN PERJALANAN

Saat kuberjalan
Terasa tak akan pernah sampai
Melihat jalan tak memiliki ujung itu

Ketika kuberhenti dan menunduk
Ternyata semua tapak telah menginjak lembaran
demi lembaran menghitamkan kertas putihku

(Banda Aceh, 2014)


*Rakyat Aceh, Minggu, 7 September 2014

RUANG

Ruang tak miliki jendela
matahari. Cahaya terangi
apa Kau peduli?
Satu dari 8 roh itu aku

Kakak terlelap dalam tangis
Adik terbaring kaku
Kebun kuburan terasa lengang
Ruang ini terlalu luas untuk menghitung dunia


RIAK

Api telah padam
namun air masih
gelombang
Sunyi masih biru

say
ang udang tak sua batu.


PENUNGGANG

Memacu campin melintasi gulungan
Kuda Azamat bertatap dengan pusaran
Tuan telah lepaskan isyarat
Kapan dapat kampiun jadi


SAJAK CINTA

Lukiskan kisah pada batu
ketika
sajak tentang cinta berubah benci
kisah
cinta kecil dulu yang terbayangkan indah
beralaskan
cinta dan berlapiskan benci
bahkan
hilang tulisan yang tersapu badai


SULUH

Kau tak berhenti barakannya
Apa
karena kau api ?
Kau
salah
Kau
tak bias menyakiti
Tak
bias menghakimi
Tak
bisa menodai
Tak
bisa memaksa

lekuk
apimu semakin membara
Apa
karena aku air ?
Apa
karena kau takut melihat alir yang tenang itu
takut
baramu tak diselimuti
Atau



*Yulia Rahmah adalah murid kelas menulis puisi angkatan II Komunitas Jeuneurob Banda Aceh. Kuliah di PBSI FKIP Unsyiah angkatan 2013. Beberapa puisinya termaktup dalam antologi “Gudang Sampah” 2014.
 

 

Read more…