Minggu, 24 Juni 2012

Penjual Sayur

Oleh T. Muntazar
Di pagi-pagi buta. Saat tetesan embun masih terasa. Cek Nurdin telah beranjak dari nyenyaknya tidur semalam. Nurdin sosok kepala keluarga yang bertanggungjawab terhadap anak dan istrinya. Pun bagi keluarganya yang sederhana itu, mereka menganggap Nurdin bagai seorang pekerja keras dan tak kenal lelah terhadap profesi yang sedang dijalaninya. Pagi-pagi sekali, Nurdin selalu bangun lebih cepat daripada anak-istri. Segera ia menuju beranda depan usai melaksanakan shalat Shubuh dan mulai membersihkan perkarangan rumahnya dari guguran daun jambu akibat angin semalam. Nurdin tak takut terhadap pagi yang basah, dan tak pernah lari dari cuacanya yang dingin, bahkan ia tak mengenal waktu untuk mengurungkan niatnya dalam berjualan sayur-sayur memasuki desa ke desa dan dusun ke dusun berikutnya.
“Sayur…sayur…yurrr…sayurrrrr”??? begitulah suara yang membahana tiap paginya saat ia mendagangkan sayuran dengan mendayung sepeda ontel tua peninggalan Almarhum Ayah. Diatur melingkar dan ditata rapi sayur-sayur segar itu pada keranjang yang terbuat dari rotan. Beragam jenis sayur-mayur yang ditawarkan Nurdin, diantaranya ada bayam, sawi, kangkung, daun singkong, daun melinjo dan beberapa jenis sayuran lainnya.
Anehnya, Nurdin cukup akrab dengan Ibu-ibu rumah tangga, para pembantu, dan gadis-gadis desa tempat ia menjajakan dagangannya. Pernah sesekali kaum ibu-ibu tak membayar langsung sayurnya pada Nurdin (berhutang) Namun hal demikian tak sedikit pun menjadi permasalahan baginya. Nurdin dikenal bagai pahlawan bagi ibu-ibu yang sedang kekurangan uang belanja.
Sangking fansnya para ibu-ibu terhadap budi dan kemurahan hati yang berselimut dalam jiwa Nurdin, mereka memberi sebuah julukan baru baginya, yaitu “Sayurudin”. Sungguh sepucuk nama yang sangat berarti bagi ibu-ibu yang merasa tertolong oleh jasa Nurdin, ia pun menerima pemberian gelar untuk dirinnya dengan lapang hati, tak menganggap sebagai pencemaran nama baiknya. Lagipula nama itu sudah terbentuk, dan tak mungkin diremove.
“Sayurudin”. Itu panggilan barunya sekarang. Sungguh nama yang diadopsi dari bidang pekerjaannya. Dan ia hanya tersenyum dan terus tersenyum mendengar panggilan itu. Kini, tak perlu heran dan ternganga atas sebuah nama atau gelar pemberian dari orang yang tak kita sadari mengagumi karakter kita. Memang begitu kekhasan yang terdapat dan telah membudaya pada masyarakat Aceh, seperti kata kleng yang melekat pada orang berwarna kulit hitam pekat, dan kata marra menempel pada orang berkebiasaan tingakah laku aneh. Mereka tak perlu banyak menimbang, memikirkan resiko untuk memberi segaris gelar baru terhadap orang-orang yang mereka anggap unik.
Monjen, 24 Juni 2012

Read more…

Sabtu, 23 Juni 2012

Puisi-puisi Cahya Maulizati Burhan

IMAJI
Mati tertelan kata
Ah, masih jua ingin menukik tujuh langit
Tabur mimpi di bawah temaram neon
Lintasi nun segitiga cakrawala dunia
Ah, kelanalah bagai pilar sajak lanang pada sekat batu


BUNTU
Fikiran menggelayut
Tak dapat serap semua ide

Miliki khayalan
Tak sampai logika
Dan aku hanya bisa diam


RENUNG
Merindu matahari terbit
Mengundang para muadzin
Lafalkan adzan subuh pagi-pagi

Merindu matahari terbenam
Ditelan suara lantang kalimah tuhan
Puan sambut maghrib
Di ujung hening malam

Dan,
Aku sampai pada watas renungi diri

Read more…

Phon Kematian


Oleh Iqbal Gubey
 
Inilah tradisi di kampung Samin, Sigli. Tradisi ini sudah berakar pada masyarakat di desa tersebut. Tak di kampungnya saja, beberapa kampung/daerah lain juga ada hal semacam ini, caranya berbeda dan ada juga yang sama. Itu bergantung pada kesepakatan perangkat gampong. "phon kematian" namanya.
Phon kematian merupakan proses pengumpulan padi/uang dalam setiap tahun untuk biaya orang meninggal—kafan, papeun kerenda, perlengkapan pengafanan, dan lain-lain. Gunanya jika ada orang meninggal dan pihak keluarga tidak ada persediaan uang atau pun ada. Maka uang yang sudah terkumpul diberikan kepada keluarga almarhum..  
Peraturan phon kematian setiap kampung berbeda-beda. Misalnya kampung Samin, padi dikumpulkan setiap tahun sebanyak 1 naleh atau uang seharga senaleh untuk satu kepala keluarga setelah panen. Phon kematian yang berlaku pada kampung Samin hanyalah menanggung ija kafan, papeun kerenda, perlengkapan pengafanan dan beberapa keperluan lainnya. Tidak ada perbedaan miskin dan kaya di sini, setiap ada orang meninggal selalu diberikan oleh  pihak panitia phon kematian.
 Karena di kampung Samin phon kematian itu dikumpulkan setiap tahun sedangkan yang meninggal hanya beberapa orang dalam setahun. Maka uang itu digunakan juga untuk keperluan lain dengan kesepakatan bersama.
Berbeda lagi dengan kampung Maimun yang bersebelahan dengan kampung Samin. Dikampungnya padi dikumpulkan setiap tahun yang jumlahnya tak berbeda dengan kampung Samin. Bedanya mereka juga memberikan uang operasional pada hari pertama untuk keluarga almarhum. Jikalau jumlah dan waktu pengutipannya sama saja.
Jika itu peraturan kampung Samin dan Maimun, ini dia peraturan kampung Taleb. Mereka hanya mengumpulkan sedekah setiap ada orang meninggal. Semua sedekah yang telah terkumpul diberikan kepada pihak keluarga untuk membeli semua keperluan. Tujuannya sama saja, hanya pelaksanaannya yang berbeda.
Inilah tradisi beberapa kampung di Sigli. Mungkin hal yang sama juga dilakukan oleh beberapa kampung pada daerah lain, atau semua daerah melakukan semacam ini khususnya di Aceh. Sebenarnya kita perlu berterimakasih kepada nenek moyang karena telah mewariskan hal semacam ini bagi anak-anak cucunya. Kerjasama dan tolong-menolong saat musibah ditumbuhkan sejak dulu untuk setiap insan. Dengan ada semacam ini, keluarga almarhum yang ditinggalkan tidak harus memikirkan perlengkapan mayat lagi.
Jika kita pasang teropong dan memantau ke perkotaan, sudah jarang yang seperti ini. Hidup sudah nafsi-nafsi. Jika pun ada, hanya beberapa lurah saja. Manusia tidak lagi peka pada hal-hal yang kecil, sampai-sampai untuk menggali kubur saja harus dibayar. Bagitu miris hati Samin jika melihat tradisi-tradisi kampung mulai luntur di perkotaan.

Read more…

Mobil Pribadi

Nazar Shah Alam
Semenjak putus dari Maryam, Pengko terlihat lebih banyak menghabiskan waktunya dengan membaca dan berkunjung ke panti asuhan. Dia seorang dermawan yang tidak pernah berpikir perut sendiri. Tanpa malu-malu Pengko akan menangis bila melihat seorang fakir miskin sedang makan seadanya. Maka demi membantu orang banyak, ia banyak menyumbang hartanya. Selain itu, Pengko juga lebih banyak menghabiskan waktu di rumah Shakir, kawannya. Dia tidak malu-malu mengakui Shakir sebagai kawan akrabnya, walaupun banyak sekali yang mengatakan mereka umpama siang dan malam bila sedang berdua.
Suatu hari Pengko datang ke rumah Shakir. Begitu terburu-buru ia. Shakir yang baru saja bangun pagi segera tersenyum pada kawan baiknya. Pengko menceritakan tentang keinginannya membelikan Shakir sebuah mobil baru. Senang betul hati kawannya itu. Serta merta ia melonjak dan memohon agar mobil itu kelak berwarna jingga. Pengko mengangguk saja. Terbang hati Shakir dan berulang kali berterimakasih.
Namun, siapa nyana, bahwa kebaikan akan dibalas kebaikan pula. Pemilik Universitas Shah Alam rupanya juga memiliki sebuah rumah sakit umum nun di pinggir kota. Rumah sakit ini diberi nama yang sama dengan nama universitas tersebut, Rumah Sakit Shah Alam. Pengko ditawari bekerja di sana. Lelaki tampan itu menyetujuinya dengan satu syarat. Ia tidak mau pekerjaannya dibayar dalam bentuk apapun. Ia ingin beramal. Jatuh air mata sang pemilik rumah sakit.
Berbulan-bulan kemudian, Pengko belum juga memenuhi janjinya kepada Shakir. Ia kelewat sibuk dengan pekerjaan dan kuliahnya. Shakir tidak memaksa kawannya itu. Dia bisa paham. Walaupun di kampus Shakir sudah menyiarkan kabar itu, ia tetap menunggu. Hingga kemudian ia menjadi gunjingan. Shakir terus tenang.
Namun, sungguh luka hati Shakir kala ia mengetahui bahwa Pengko telah memiliki mobil mewah baru. Ia menjauh. Sejatinya itu bukan mobil Pengko. Tapi Shakir terus merajuk. Mobil yang dipakai Pengko adalah mobil seorang perempuan yang diam-diam mengaguminya. Pengko belum menanam rasa apa-apa. Dia hanya tidak menolak saja ketika gadis itu menawarkan jasa untuk menjemput dan mengantarnya saban hari.
Bukankah sudah wajar seorang gadis nan jelita mengagumi lelaki tampan nan beriman? Begitulah, Pengko disukai sebab pesonanya. Gadis itu sepupu pemilik universitas dan rumah sakit Shah Alam.  Namanya Halimah. Ia cantik dan baik sekali. Kilau matanya sebiru lautan yang mampu memesona pandangan siapa saja. Pengko sedikit tertarik, sebenarnya. Hanya saja ia tidak mengutarakannya. Ia menyimpan segan walaupun sudah mutlak dipastikan Halimah akan menerima cintanya.
Karena kekaguman yang tidak sanggup lagi tertahan, akhirnya Halimah mengakui perasaannya. Dalam hujan sore itu ia datang ke rumah mewah milik Pengko. Di sana Pengko hanya tinggal sendiri. Ia mempersilakan masuk tamunya yang datang dengan Honda Jazz biru itu. Di dalam rumah sembari menangis, seolah mengemis, Halimah mengakui semuanya.
Pengko tidak memeluk gadis itu seperti di film. Sang rupawan tidak ingin semua ibadahnya sia-sia sebab nafsu durjana. Mungkin laki-laki lain akan segera menerima. Namun, Pengko tersenyum ke arah Halimah pertanda akan mempertimbangkan semuanya. Gadis itu puas hatinya dan langsung pulang.
Dua hari setelah kejadian itu, pagi-pagi Shakir datang ke istana Pengko. Di depan pintu ia hanya berdiri. Pengko merangkul kawannya. Tanpa basa-basi ia membawa Shakir ke sebuah showroom mobil. Seperti janjinya, ia akan membeli mobil pribadi untuk kawannya itu. Sesampai di sana, Pengko menawarkan pilihan pada Shakir. Lelaki tak tampan itu memilih-milih semaunya. Tiba di hadapan sebuah mobil ia berhenti.
“Setelah kulihat-lihat, hanya ini saja yang berwarna jingga. Terserahlah, aku memilih ini, boleh?” tanya Shakir pada Pengko. Sang rupawan ternganga. Mana wajar ini dinamakan mobil pribadi? Pengko tidak berkutik. Ia tetap membayar lunas mobil yang dipilih Shakir. Dengan bangga kawan Pengko itu naik ke mobilnya. Ia sudah bisa mengendarai mobil sebab sudah belajar mengemudi sejak kabar akan dibelikan Pengko sebuah mobil mewah.
Dia membawa mobil itu ke jalan raya. Semua orang menatapnya. Shakir melambai tangan ke orang-orang di jalanan. Senang betul ia sebab sudah mendapatkan mobil dengan warna kesukaannya, jingga. Pengko mengikuti Shakir dari belakang. Aneh, bukankah mobil itu warnanya merah, hanya sedikit saja jingga di bagian belakangnya? Shakir bangga sekali mengendarai mobil itu. Ia sama sekali tak sadar bahwa mobil pribadinya itu adalah mobil pemadam kebakaran.[]

Read more…

Musyawarahhh…

Oleh Makmur Dimila
Abi Lampisang seorang kandidat gubernur Aceh periode 2012-2017. Cara dia berpolitik agak lucu, bahkan menjadi hiburan bagi warga. Dalam berkampanye, jika kandidat lain beradu argumen, tidak dengannya. Ia malah berzikir di atas panggung kampanye. “Pasangan Zikir saja tidak berzikir,” kata seorang kawan atas keheranannya terhadap Abi. Zikir akronim Zaini-Muzakir.
Yang membuat Father in Banana—bahasa Inggrisnya Abi lam pisang—(kata Ari mengutip seorang aktivis) paling dikenang masyarakat, mungkin, pada malam debat kandidat gubernur yang disiarkan Metro TV. Masing-masing kandidat diberikan waktu satu menit untuk menjawab pertanyaan kandidat yang merupakan lawan debatnya.
Abi ketika ditanya lawannya, menjawab: tak perlu kita berdakwa-dakwi. “Yang peunteng musyawarahhh…” katanya. “Kepeue tameudawa ngen Dek Nazar, tanyoe meusyedara mandum, jelasnya ketika Cagub Muhammad Nazar menanyainya.

Dengan berjubah ala ulama Timur Tengah, pemimpin dayah asal Aceh Besar itu tampak berizikir di panggung debat, dengan kepala menunduk. Setiap ditanya, ia selalu bilang: hana perlee meudakwa-dakwi, watee na masalah, ta musyawarahhh.
Maka sejak acara debat kandidat usai, kata “musyawarah” menjadi trend setter bagi masyarakat Aceh. Sambil tertawa geli, orang-orang akan mengucapkan “musyawarah” ketika sedikit bermasalah atau masalah yang sengaja diciptakan agar ujung-ujungnya bisa mengucapkan musyawarah.

Abi Lampisang atau Teungku Ahmad Tajuddin, boleh saja meraih suara terendah. Tapi, “kami menang secara batiniah,” kata pasangan T Suriansyah pada media.
Terlepas dari bagaimana orang-orang menilainya saat debat kandidat, bagi Je, Abi tak kalah populer dengan artis top ibukota. Seperti Syahrini dengan ucapan “Alhamdulillah yaa” dan pertanyaan gombal “Kok tau?” dari Andre Taulani di Opera Van Java, secara tak langsung Abi mengudarakan trend setter milikinya: “musyawarah..”. Terima atau tidak, mari bermusyawarah! Ha-ha.[]

(written 3 Mei 2012)

Read more…

Janda

Oleh T. Muntazar
Dalam heningannya malam
Mimpi itu penuh kabut
Bayangmu tersemat antara ada dan tiada
Keheningan terpancak
Hati bisu, jiwa kaku

Janda, mengapa aku pilih kamu?
Dan mengapa mata tak berkedip kala dekat denganmu
Bukankah perselisihan umur kita berbeda?

Kiranya tak perlu kujawab itu
Biarkan saja hati yang berbasa
Aku memilihmu
Dan aku berjuang untukmu

Monjen,23 Juni 2012

Read more…

Ubat Gampong

Oleh Iqbal Gubey
Ketidakberuntungannya pada dunia menulis, melemparkan Samin ke sebuah toko yang menjual rumuan-ramuan tradisional semacam ubat gampong (obat kampung). Berbagai jenis ramuan gampong tersedia di tempat itu. Mulai dari sakit kepala, keseleo, kemasuan setan hingga obat sakit parah pun ada. Hebatnya lagi, seorang Samin nan polos itu sudah bisa meracik obat yang berkhasiat untuk menyembuhkan berbagai penyakit. Obat itu ditemukan Samin secara kebetulan saat menunggu pelanggannya datang. Dari pada terkantuk-kantuk, lebih baik meracik obat yang bisa bermanfaat bagi semua orang, pikirnya saat itu. Alih-alih, obat itu bermanfaat untuk semua jenis penyakit.
“Peminat ubat gampong itu dari berbagai kalangan, musabab harganya yang murah manfaat pun terjamin,” cerita Samin pada Soleh. “Lebihnya lagi, ubat gampong tidak mengandung bahan-bahan kimia sedikit pun, Sehingga tak akan menimbulkan efek negatif bagi konsumen.” Tambahnya lagi, “Penyajiannya bermacam-macam, direbus lalu minum airnya, melekatkan ramuan tersebut pada bagian yang sakit, dan juga bisa dijadikan bubuk layaknya menyeduh kopi nantinya”.
Jaman sudah maju, segala teknologi menghidangkan kepraktisan yang tidak menghiraukan efeksamping konsumen. Inilah salah satu sebab terpikir oleh Samin untuk bekerja di tempat ini. Ia sebenarnya merasa sayang kepada orang-orang yang sudah kecanduan/ketergantungan kepada obat modern. Memang cara kerja yang cepat dan praktis. Tetapi jika ditilik dalam-dalam dan dilihat dengan kacamata  kesehatan, itu memang sudah jelas-jelas bahayanya sudah dipaparkan pada kotak kemasan. Walaupun kesembuhannya lebih terbukti pada sebagian obat modern.
Samin bercerita panjang lebar saat hujan itu, Soleh menyimak dengan sangat seksama. ”Lihat saja Leh, saat kita di kampung dulu. Jika bisul menguak pori-pori, bukan salap yang harganya mahal pilihannya, tetapi hanyalah geutah rubek.” Soleh tawa terbahak-bahak saat mendengar cerita Samin. Soleh juga bercerita, “jika kita diare karena kebanyakan makan semangka hanyalah boh meuria inong/geutah pisang penawarnya, bukan Neo Entrostop atau mugkin Nonstop.
Kelangkaan ramuan di hutan salah satu sebab orang lari ke obat modern. Kini tumbuhan-tumbuhan yang berkhasiat itu sulit diperoleh, kelestarian tak lagi terjaga. Samin berpesan kepada Soleh saat hujan  mulai reda, kala masih meninggalkan jejak pada genangan air, sedikit saja tapi. “Leh jika memang sakit yang masih bisa disembuhkan dengan ubat gampong, tak salah mencoba itu dulu. Tetapi jika pilihan memaksa untuk memilih jalan kedua yaitu obat modern, maka pilihlah pilihan yang kedua.”

Read more…

Metalika

Oleh Rahmat Rohadi
Malam itu gelap, kelam. Sebab listrik padam dan bulan tidak menampakan dirinya. Aku, dan kawan-kawan di teras rumah sedang mendengarkan cerita dari seorang tetangga, cerita semasa ia muda. Namanya Sukiahadi, tapi kerap disebut Pak Kia.
***
Konon dua puluh tahun silam, Pak Kia bekerja sebagai sopir labi-labi. Waktu itu, dia mempunyai seorang penumpang langganan seorang gadis cantik berkulit putih, dan berambut pirang. Namanya Metalika. Metalika yang lebih akrab disapa Meta oleh teman temannya itu adalah seorang mahasiswa di Akademi Kebidanan dalam kotanya.
Meta memiliki wajah ayu, anggun, dan peramah. Hal itu membuat banyak lelaki muda tergila-gila padanya. Hampir setiap pemuda yang mengenalnya ingin menjadikan Meta sebagai pacar mereka. Akan tetapi, Meta selalu tak mau, sebab ia beralasan masih ingin serius kuliah dulu. Namun, bagi Pak Kia, Meta tidaklah lebih seorang perempuan mata keranjang, yang selalu melihat lelaki dari dompetnya.
Suatu hari, Pak Kia merasakan seperti ada yang kekurangan. Gadis ayu, yang biasanya setiap hari duduk di dekatnya dan selalu bergurau dengannya itu, tidak kelihatan lagi. Pak Kia bertanya pada seorang  teman Meta, yang kebetulan juga langganannya. “Adik, hari ini Meta kok gak ikut?” tanya Pak Kia. Singkat saja seraya mencocorkan kata bahwa, “Meta sekarang di penjara.” Lalu, Pak Kia menambah pertanyaan, “Kenapa?” temannya itu senyum senyam, dan berujar, “Biasalah masalah lelaki.”
Air mata mengalir di pipinya, suaranya terisak-isak, dan tersedu-sedan. Meta tak pernah membayangkan akan terjadi seperti ini, jika ia memainkan perasaan lelaki. Sekarang Meta sadar dengan semua kejadian yang telah menimpanya itu. Apa hendak dikata, sudah terlambat untuk Meta. Hukuman telah dijatuhkan, yaitu 6 tahun penjara. Dia berkata pada Pak Kia yang datang menengoknya di tahanan. “Bang, maaf jika ada kesalahanku selama ini, ya!” Pak  Kia tersenyum kecil, dan menganggukkan kepalanya. Lalu Meta melanjutkan kronologis kejadiannya.
Malam itu, malam minggu. Meta sedang bersiap siap ingin pergi malam mingguan dengan Agus pacarnya. Setelah Isya, Meta dijemput oleh Agus. Kemudian mereka terus melaju dengan duduk berbonceng mesra. Tiba tiba, di persimpangan jalan mereka dihadang oleh seorang pemuda yang bertubuh tinggi besar. Tanpa ada kata, pemuda bernama Roni ini langsung menerjang Agus. Kala itu, terjadilah perkelahian hebat antara Agus dan Roni. Meta menjerit minta tolong dengan tangisnya.
Roni adalah seorang anak saudagar kaya, dan berkuliah di Fakultas Kedokteran. Ternyata, dia juga pacar Meta. Roni marah. Dia emosi melihat Agus berani membonceng pacar yang sangat dicintainya. Malam itu, Meta tak tahu kalau Roni juga bakal menjemputnya. Karena yang Meta ketahui Roni sedang keluar kota untuk berlibur dengan keluarganya.
Roni tergeletak, wajahnya tampak digelumuri darah. Tak sengaja, demi memnyelamatkan diri, Agus memukul kepala Roni dengan sebongkah batu, sehingga Roni terpaksa menghembuskan nafas terakhir, hanya karena seorang perempuan yang telah mempermainkannya.
Meta dan Agus dibawa ke kantor polisi. Sementara Roni, dia dipulangkan ke rumah orang tuanya untuk dilaksanakan fardhu kifayah atasnya. Setelah melaksanakan proses persidangan, Meta mendapatkan jatah hukuman selama 6 tahun penjara, dan Agus selama 15 belas tahun penjara.
Berselang dua hari, setelah Pak Kia menengoknya di tahanan, terdengar kabar bahwa Meta sudah hengkang dari dunia ini. Meta bunuh diri, sebab ia malu pada keluarganya, orang tuanya, teman temannya, dan pada semuanya. Pak Kia merasakan sesuatu yang berbeda, sedih, gundah dan kecewa, acapkali Meta memberi semangat untuknya, dan Pak Kia juga sudah menganggap Meta seperti saudaranya. Tak enak rasa karena berita itu, Pak Kia mendatangi tempat penahanan Meta untuk menanyakan kepastian berita itu. Dia makin sedih, pilu dan balau saat mengetahui bahwa berita itu benar.
***
Listrik pun hidup. Kami yang hanyut dalam cerita Pak Kia, semua kembali tersenyum. Lalu, lelaki yang umurnya hampir mencapai enam puluh tahun itu menambahkan kata kata nasihat untuk kami. Katanya, janganlah karena seorang pacar sampai merusak diri, ingat pacar bukanlah segalanya, dan jodoh kita ada pada Rabbi. Lepas itu, dia pun mengajak ke rencana awal kami, yang tertunda karena mati lampu, yaitu memasak mie dengan kepiting.  
Baet, 30 Mei 2012 

Read more…

Sepatu Raja

Oleh Nazar Shah Alam
Lelaki glamour itu—dari pelbagai ruang informasi—diberitakan sudah menghembuskan nafas terakhir. Musim memang sedang lain betul. Langit membuka pintunya kepada para raja dan punggawanya, pada para pahlawan, dan orang-orang bernama untuk terbang bersama Izrail ke muasal ruh mereka ditiupkan. Ini benar-benar tahun celaka bagi mereka yang berani melawan kaum yang memiliki telunjuk besar, tahun celaka bagi yang bersinar terang benderang sementara yang di sisi mereka sedang kelam.
Pada pagi hari, ketika membuka koran, mataku ditarik tulisan halaman depannya untuk memelototi sepotong gambar. Gambar sebuah sepatu boot hitam tanpa pasangannya dan tergeletak diam di bawah siraman matahari kota Sirte. Bagiku, daripada kabar lainnya, kabar tentang sepatu inilah yang paling menarik. Maka kemudian kucari-cari di beberapa halaman lain di media lain tentang kabar pasangan dari sebelah sepatu itu. Ya, sepatu terakhir yang digunakan sang penguasa. Tak ada pasangannya, hanya satu saja. Ah, mengapa sepatu itu, mengapa tak senjata emasnya, baju bagusnya, salah satu barang antik miliknya, mengapa sepatu itu yang kemudian mengganggu pikiranku bermalam-malam selanjutnya?
Dan aku rupanya tak begitu sanggup menahan nafsu untuk mendapatkan pasangan sepatu itu.  Maka segera kukabari Don H.C, kawanku yang kabarnya sedang berada di sana untuk meliput berita. Sialan, dia tak mengangkat telponku. Juan Rocha adalah sumber yang kurasa bisa menggantikan Don H.C menyampaikan kabar tentang sepatu itu. Ah, sama saja, nomornya tak bisa dihubungi.
Kuhubungi Shatal dan Maksalmina. Pada petangnya, di sebuah pojok warung kopi kota aku mengajak mereka ke Sirte, atau ke tempat dimana sepatu sang raja diletakkan. Kalau bisa yang sebelah kanan. Sebab di koran dan sumber lain hanya terpampang yang sebelah kiri saja. Kami akan ke sana untuk melihat, memungut jika tergeletak lepas, mencuri jika saja sepatu sebelah kanannya telah diamankan di satu tempat tertentu.
Dan ini adalah malam manakala besok paginya kami akan berangkat ke sana. Perjalanan ini tentu akan membutuhkan transit berkali-kali. Kami sudah siap dengan segala keadaan. Ke Sirte bukanlah yang pertama untuk Shatal, ia pernah ke sana bersama beberapa kawannya untuk berjihad. Namun ia kemudian pulang dengan alasan yang tak jelas. Maka kami terbantu dengan adanya dia sebagai penunjuk arah.
Kami duduk di depan rumahku, tepatnya di bawah sebatang pohon kersen rindang. Cahaya purnama tak sempurna berpendar di sisi-sisi rimbun daun dan jatuh ke tanah dengan lemah dan santun. Di sana gugusan asap rokok terlihat hitam diselimuti malam dan baru terlihat bergerak-gerak lalu pupus ketika sudah dibawa angin pelan ke bawah sinar bulan. Sirte duduk dalam gelas kopi kami yang pekat dan menanti regukan kami.  Aku menyukainya.
Kelak, bila sudah di tanah sang raja bercucur darah lahir dan darah kematiannya, kukabarkan bahwa perjalanan kami bukanlah sesuatu yang mengenakkan. Satu rezim memang sudah hancur berkeping-keping seperti rumah-rumah batu penduduk Libya yang kokoh dihantam bom hingga tinggal puing. Namun keadaan tentu tak serta merta pulang selaik sedia kala. Ada ketakutan tersisa, seperti di kampung kita kala baru saja perang dinyatakan berhenti geliatnya.
Aku melihat rakyat sedang lupa diri merayakan kematian sang raja yang selama ini mereka takuti. Mereka sedang lupa bahwa ancaman lain menguntit di belakang dengan niat lebih kejam. Namun aku tak ambil peduli pada pesta pejuang Misrata atas kemenangan mereka. Bagiku, yang lebih penting dari pesta mereka adalah sepatu sebelah kanan yang dikenakan sang raja kala hendak menemui ajalnya.
Di depan sebuah gedung di Tripoli, aku, Shatal, dan Maksalmina berdiri santai sembari sesekali mencuri lirik ke dalam. Ada sepatu sebelah kiri sang raja di sana. Hanya satu, kiri, diam, dan dibenci. Aku sedang dilanda hasrat mendapatkan pasangannya. Namun itu, aku tetap memberi isyarat pada Shatal agar masuk ke dalam gedung itu.
Lelaki kurus tersebut berhasil menaklukkan para pejuang yang berjaga di luar. Kami masuk dan aku langsung menuju sepatu kiri itu. Tak ada pasangannya. Aku mengherankannya. Kemana yang satunya? Aku menaksir telah ada yang menyembunyikannya untuk kelak mereka akan memamerkan atau menjualnya dengan harga mahal. Seorang Libya menghampiriku dan bertanya, apa yang kulihat. Dengan bermodal bahasa Inggris yang kacau aku menjawab bahwa aku sedang mencari sepatu kanan sang tiran. Dia tersenyum, cantik sekali, lalu berkata bahwa yang satunya telah dimakan anjing. Aku balas tersenyum dengan menyembunyikan rasa kesalku pada jawaban gadis itu.
Kami kembali ke Sirte, ke tempat sang raja ditangkap. Tak ada juga sepatu itu di sana. Kami bergerak lagi ke Tripoli, sama saja, tak ada. Berhari-hari di sana, dimana sepatu kanan sang raja tak jua kami tahu adanya. Dan kami putuskan untuk pulang. Ya pulang. Duduk di bawah batang kersen rindang pada malam berpurnama tak sempurna. Sirte tidur dalam gelas kopi kami yang pekat airnya dibalut rindang kersen, hitam malam, dan seduhan kopi yang masih hangat. Besok kami akan mencari sepatu lain di toko-toko di kota yang serupa dengan sepatu tuan raja.

Read more…