Minggu, 13 Juli 2014

Puisi-Puisi Sulaiman Djaya








Ghazal April

Hanya dalam puisi kata-kata jadi gerimis
dan sepasang matamu adalah senja
yang khusuk membaca hujan.

Sebagai peziarah kata, tak apa-apa
sesekali tersesat. Aku pernah mencoba
menghitung anugerah

dan ternyata
telah lama jadi doa dan munajat
yang memberiku sejumlah sajak.

Hamparkan sajadahmu, sayang,
seumpama kau hamparkan
hidup dan mautmu tanpa beban.

Di dua matamu, waktu senanatiasa kagum
dan kuibaratkan burung-burung yang hijrah
selepas hujan

adalah kau dan aku
nun saling merindu. Dan misalkan
aku terlelap di dadamu

itu lebih baik
ketimbang pikiran yang tak menemu kata
dan nama Tuhan yang hanya diteriakkan.

(SD, 2014)



Pengakuan

Di hutan-hutan malam alis matamu,
aku adalah angin yang singgah pada daun.
Aku tulis senja pada dinding hujan,
kesepian menjegalku seperti badai yang tiba-tiba.

Di kotaku saat kau datang, selepas isya,
raut lampu dan gerimis yang antri
seperti senar-senar gitar yang kaupetik
berkejaran bersama baris-baris sajak. 

Seandainya, dengan keraguan atau keikhlasan,
selalu dapat kucium aroma rambutmu.
Sebagaimana seorang ibu menitipkan
sejumlah kenangan anak lelaki

yang tak bahagia.
Begitulah kutulis sajak ini sebagai kesaksian
saat aku selalu tahu
pada ketidakmengertianku

kenapa seorang lelaki acapkali memahami
tasbih musim dan zikir akhir Januari
sebagai sepi yang intim
di pelupuk magrib.

(SD, 2014)



Dalam Dingin Malam

Dalam dingin ini, seperti dalam dingin-dingin
yang lain, aku pun terlena pada sebentang sepi
yang tak beranjak. Tetapi seseorang tengah bercerita
dan melangkah, teramat lambat dan pelan.

Seseorang tengah menggenggam bara
di hatinya, panas dan dingin.
Seseorang tengah pergi, dan aku
tak sempat mencegahnya barang sejenak.

Seseorang tengah menyanyikan bait-bait mimpinya,
dan aku tak ingin mengganggu jeda nafas-nafasnya
yang lelap. Seseorang tengah memeluk tubuhnya
sendiri, dan aku meninggalkannya dalam diam.

(SD, 2005)



Ketika Gerimis Terus Berbisik

Dik, jika kaudengar gerimis berbisik, buatlah secangkir kopi
dan bayangkan aku membacakan baris-baris puisi untukmu
tentang apa saja. Tentang betapa sepi
sebenarnya hanya alegori
bagi sepasang bibirmu
yang mungil.

Sepasang matamu adalah kawah rimbun bagi rindu,
dan sebelum maut menjemput, tak ada salahnya
kita bayangkan sejenak engkau dan aku
seumpama Ariadne dan Theseus
saling menerka hari-hari kita
di lembar-lembar kertas.

Segala tentangmu adalah anugerah bagi kata-kata,
sungguh aku ingin selalu jatuh cinta pada rambutmu,
tanganmu, dan sepasang misteri di dadamu.
Engkau adalah perumpamaan senja
yang rindang, sebelum malam
direbut kegundahan.

Ketika sepi jadi teramat runcing, dan gerimis terus saja
berbisik, duh Adik, aku hanya membayangkan
kau membuatkanku secangkir kopi,
dan aku menulis sebuah kegembiraan
seorang lelaki yang jatuh cinta
sekali lagi.

(SD, 2013)



Amsal Sajak

Jika kau adalah bahasa purba
yang menyimpan malapetaka,
aku adalah hujan
yang tak beranjak.
Jika kau adalah bayang-bayang
dari pepohonan dan cuaca,
aku adalah sebuah umpama.

Jika kau adalah laut dan tanjung
yang diceraikan ombak
dan karang, aku adalah seekor camar
yang riang melambung
dan membentang
sehabis gerimis siang
di antara gugusan bakau dan pantai.

Jika kau adalah kesedihan dan do’a
perempuan jalang
di sebuah sudut metropolitan,
aku adalah selampu bohlam
yang jadi tungku bagi lembab.
Bagi sepasang matamu,
aku adalah sebentang ingatan.

Di sejumlah sajak,
kau dan aku menjadi tiada.

(SD,2013)




Sulaiman Djaya lahir di Serang, Banten 1 Januari 1978. Buku puisinya berjudul Mazmur Musim Sunyi (Kubah Budaya 2013). Puisi-puisi dan esai-esainya dipublikasi media-media nasional dan lokal. Acapkali diundang di acara sastra dan budaya tingkat nasional dan bilateral.
 

Read more…