Kamis, 29 Mei 2014

Janda Kampus


Karya : Lien


          Tatapan seorang gadis yang memiliki bola mata biru ini mampu menyihir setiap lelaki yang menatapnya. Mala, gadis asal Kampung Pasi yang sudah dikenal sejak dulu sebagai bunga desa di tempat asalnya. Wajahnya yang cantik jelita berhasil mencuri setiap mata untuk memandangnya. Tapi, semenjak kejadian itu, Mala terus terdiam, wajahnya pucat, bola matanya putih pasi. Pudarkah pesona Mala?

            Aku kembali melanjutkan tugas yang masih menumpuk ditemani batik panjang pemberian Ibu, ayahku sudah tiada sejak dua tahun silam. Ibu sangat berharap banyak padaku, hanya aku yang masih berkeinginan untuk kuliah. Abangku sudah sepuluh kali menikah dan ia selalu menipu ibuku yang tak paham dengan persuratan tanah. Sudah sepuluh surat tanah ia gadaikan. Itu abangku. Aku membencinya? Ya, tapi bagaimanapun ia abangku.

            Jam dinding kamarku sudah mengetuk beberapa kali. Malam terlalu sunyi untuk dilewatkan dalam kamar yang sepi ini. Aku harus segera menyelesaikan skripsiku. Besok aku akan sidang untuk judul skripsiku yang pertama. Skripsiku membahas tentang pergaulan bebas di kalangan mahasiswa. Sesekali aku tersenyum terkekeh membaca kembali bahan-bahan yang kucari untuk penelitian. Tidak sulit bagiku,  tapi hatiku yang sulit untuk menulisnya.

            Matahari tampak membangunkanku dengan sinarnya yang memaksa masuk ke bilik kamarku. Aku menatap jam dinding yang membuatku tergopoh-gopoh meraih handuk dan gayung mandi berisi perlengkapan mandi. Aku mulai mengejar waktu. Aku tak sempat lagi memadupadankan warna pakaian yang kukenakan. Aku segera meluncur ke kampus.

            Saat memasuki ruangan, tanganku mulai kedinginan menatap meja dengan empat orang dosen yang kukenal. Mereka mempersilakanku untuk duduk dan mempresentasikan judul yang kupilih untuk skripsiku. Aku berusaha menenangkan diriku. Delapan mata mulai menatapku dengan berang, sedari tadi aku hanya diam, pikiranku tiba-tiba kosong, aku tak tahu harus mulai dari mana.

            Hpku tiba-tiba berbunyi, aku lupa untuk mematikannya. Dering yang tak pernah kuinginkan. Saman! Ia berusaha menghubungiku lagi, setelah apa yang dia pernah lakukan padaku dan ia kembali lagi. Laki-laki tak tahu malu.

            Aku sudah lama mengenal Saman, tiga tahun yang lalu aku bertemu dengannya di belakang taman, saat ia sedang latihan untuk sebuah pementasan tunggal. Aku sangat menganguminya, lelaki berbadan tegap dengan kumis tipis dan rambutnya yang cepak. Bibir tipisnya selalu membuatku jatuh hati saat ia tersenyum.

            “Tolong, matikan hpnya!” titah seorang lelaki dengan kacamata bulatnya.
            “Apa judul yang ingin kamu ajukan?” Tanya salah seorang dosen dengan suaranya yang berat.
            Diam.
            “Kenapa kamu terus diam? Kami tak punya banyak waktu untuk melihatmu duduk seperti patung” celetuk seorang wanita dengan bibirnya yang merah merona.
            “Judul saya …” jawabku terbata-bata.

            Aku semakin khawatir dengan keadaan jiwaku saat ini. Saman terus memenuhi pikiranku. Sialan! Kenapa dia datang saat aku sudah melupakannya. Amarahku mulai tak karuan, aku berusaha menenangkan diri. Tanganku mulai putih pucat akibat ruangan yang dingin ditambah rasa kesalku pada Saman.

            Masa itu, aku mulai masuk dalam kehidupan Saman. Aku mulai mengenalnya, ia selalu memuji kecantikanku, Saman adalah pemuda yang paling baik yang kukenal, dia selalu membuatku salah tingkah jika sudah di hadapannya. Aku mulai bergantung padanya, kemanapun ia pergi aku selalu dibawanya. Tak jarang, ia menghadiahkanku berbagai barang-barang bagus, awalnya aku tak begitu tahu apa latar belakang pekerjaannya. Tapi, cinta telah membutakanku, ia telah membuatku menutup mata hingga aku tak pernah bertanya apa pekerjaannya selama ini.

            Malam itu, ia mengajakku bertandang pada sebuah rumah kecil di belakang bangunan besar di tengah-tengah kota. Ia mengaku ingin bertemu temannya sebentar, aku mengangguk mengiyakan ajakannya. Aku mengenakan baju kaos putih dan kardigan merah muda. Aku berusaha berdandan secantik mungkin saat berjalan bersamanya.

            Suasana remang-remang yang kulihat, bukan seperti rumah biasa. Aku berusaha masuk dan bersikap santai, aku tak pernah mengenal tempat ini. Saman dengan celana jeans birunya yang tampak robek pada bagian lutut mulai menyambar gagang pintu dan membukanya perlahan. Saat itulah aku mencium aroma yang sangat menyengat dari dalam. Aroma yang sangat kubenci- alkohol. Seorang wanita dengan pakaian seksi mengajak kami masuk. Hatiku mulai berprasangka buruk pada Saman. Tapi, senyumannya selalu berhasil menenangkan hatiku.

            “Mana temanmu?” Aku bertanya penasaran.
            “Tenang dulu, mari kita duduk sebentar, kamu sangat cantik malam ini, Mala” Saman berusaha merayuku.
            “Tempat apa sebenarnya ini?” Aku duduk dan kembali bertanya.
            “Inilah tempatku dan tempatmu juga” jawab Saman meyakinkanku.
            “Maksudmu? Kamu mengenal wanita itu?” Aku menunjuk pada wanita seksi itu yang sedari tadi melihatku sinis.
            “Ya, dia temanku dan temanmu juga” kembali seperti jawaban sebelumnya.

            Percakapan yang selalu saja membuatku kebingungan ditambah tempat asing yang sangat tidak nyaman bagiku. Botol-botol anggur tergelatak di mana saja, ditambah asap rokok yang membuatku sesak dibuatnya. Banyak kamar di sana, aku melihat beberapa wanita keluar-masuk dari sana. Saman menyodorkan gelas padaku. Aku berusaha menolaknya, tapi ia terus memaksa untuk mencobanya. Ia selalu berhasil meyakinkanku. Akhirnya, aku meneguk air dari gelas yang membuat retak kesucianku.

            Malam semakin larut, bulan berahi berusaha tertawa dalam mimpi burukku. Malam yang panjang sepanjang ingatan kelamku. Aku benar-benar lupa dan terlupa oleh apa yang terjadi. Benar-benar ingatan yang buruk untuk gadis seusiaku.

         Saat terbangun. Aku berharap tak ada yang terjadi sebelumnya. Saman tampak tersenyum menyapaku. Kepalaku terlalu sakit untuk mengingat kembali apa yang terjadi. Kardiganku entah kemana. Pakaianku?

            Pemuda jahat! Mulai detik ini, aku mulai membencinya, entah ia atau siapapun itu yang berusaha masuk dan memecahkan gelasku. Hari yang tak pernah kuinginkan.

            “Apa judulmu?” bentak lelaki berdasi dengan kemeja putihnya.
            Aku tersontak kaget, jantungku masih ketakutan mengenang kembali apa yang terjadi.
         “Waktu anda satu menit lagi dari sekarang. Jika tetap diam, maka terpaksa sidang ini kami tutup.” Ancam salah satu dosen.
            Aku kembali ketakutan  mendengar ancaman mereka. Akhirnya aku memberanikan diri.
        "Janda kampus … ” Setelah lama berkelit, akhirnya dua kecup bibir ini mengeluarkan kata yang memuakkan itu.
            “Coba kamu uraikan sedikit deskripsi tentang judulmu itu!” Dengan nada nyaring yang meremehkan.
            “Begini Ibu dan Bapak …” Aku berusaha menarik napas dalam-dalam.
            “… sebenarnya banyak sekali gadis yang berkedok janda di kampus kita yang tercinta ini. Mereka terlihat seperti gadis biasanya, seorang mahasiswi dengan pakaian yang tertutup, tapi sebenarnya …” Aku kembali memikirkan apa yang kukatakan.
            
            Wanita yang memakai baju senada dengan bibir merahnya mulai mengernyutkan dahinya. Ia tampak menyimak baik-baik apa yang aku katakan.
         
          “Saudari Mala, cepat lanjutkan!” celetuk lelaki paruh baya yang berusaha membetulkan kaca matanya.
            “Maaf Pak. Baik saya akan melanjutkannya. Begini Bapak dan Ibu. Pergaulan bebas yang marak terjadi di kalangan mahasiswa ini terjadi diakibatkan pengaruh lingkungan sekitarnya …” Aku berusaha menjelaskan dengan lancar dan tenang.
        
       Suasana ruangan mulai memanas dengan apa yang aku paparkan. Aku menjelaskan bagaimana pergaulan bebas itu- lingkungan, seks, obat-obatan, ekonomi, dan semua hal yang terlibat di dalamnya. Mereka mulai tertarik dengan apa yang aku paparkan. Tapi, aku kembali terdiam di pertanyaan berikutnya.
     
         “Dari mana Anda mendapatkan ide untuk mengambil judul ini?” Tanya lelaki berdasi dengan wajah yang sangat penasaran.
  
          Suasana ruangan kembali hening. Aku berusaha berpikir dengan keras, apa yang harus kukatakan. Aku kembali memikirkan Saman. Aku akan menyebut namanya? Tidak akan!

            “Saudari Mala…” Bentak wanita itu.
            “Hmm… Saya mendapatkan ide ini dari…” Aku kembali menjawab dengan terbata-bata.
            “Dari mana Mala?” lelaki itu bertanya dengan lembut, berusaha menenangkanku.
  
       Aku kembali duduk termenung. Sebenarnya, mudah bagiku untuk mengatakan bahwa aku mendapatkan ide itu dari hasil browsing di internet. Dengan maraknya pergaulan bebas di antara mahasiswa dapat dipastikan bahwa setengah persen tidak lagi gadis. Mereka masih bisa berkeliaran dengan status janda mereka. Siapa yang melarang? Tapi, bibir ini terlalu kelu untuk mengatakannya, hati ini terus meronta mengingat kejadian silam.
  
          Tanganku kembali berkeringat, aku tak tahu apa yang harus kukatakan, kejadian itu terlalu menusuk hati ini untuk mengingat segalanya. Wajah-wajah tak sabaran mulai hadir di depanku. Mereka mulai gusar menunggu jawaban dariku.

            Tepat di bingkai jendela itu. Aku menatap bola mata yang kukenal, rambutnya yang gondrong dan brewokan tampak menyembul dari sana. Dia datang! Pemuda yang kulupakan.

            “Saudari Mala…!” tukas lelaki berkacamata.
            “Sepertinya, sidang ini harus kita tutup..” jawab wanita itu kembali memanaskan suasana.
            “Aku mengenal seorang janda di kampus dan dia bercerita banyak padaku” jawabku cepat.

            Sidang ditutup. Judulku- entahlah diterima atau tidak. Mata liar itu terus menatapku. Aku menatap berang padanya.

            AKU BUKAN JANDA. Jawabku dalam hati.

***


Sumber lomba seleksimi (Seleksi Mahasiswa Seni) tingkat Unsyiah, juara 2.

*Lien, nama pena dari Lina Sundana. Lien merupakan gadis Aceh.
facebook: Lina Sundana
twitter dan instagram : @Lsundana
blog : kitabpelupa(dot)blogspot(dot)com

Read more…

Minggu, 25 Mei 2014

BATU



Karya Ernayati Zaifah
sumber: Serambi Indonesia 


benar katamu
kita jelmaan batu
terbentuk dari pasir mengeras 
ribuan tahun silam

kita serupa kerikil
ketika matahari merenggut, terbahak, terisak

benar katamu
kita jelmaan batu
menanti  lumut hijau menyelimuti kita dari waktu ke waktu

Banda Aceh, 27 Februari 2014 

* Ernayati Zaifah, mahasiswa Gemasastrin 2013 dan anggota Komunitas Jeuneurob.

Read more…

Kamis, 15 Mei 2014

Puisi-Puisi Mella Yunati






POTRET

Akan bicarakah aku di malam sepi
Tentang kita
Sayang, tak bisa lagi kita bertemu
Tak bisa lagi kita berkasih
Tersedu aku dalam daunan malam
Mengembara ingatan dalam hening

Aku dengar langkahmu
Ketika langit bersih menampakkan
Andromeda yang jauh

Telah ku berikan tulangku
Tapi kau patahkan
Dengan tak sabar kau renggut jantungku
Dari dada dengan darah bercucur
Kini kau minta kembali hatiku
Sedangkan tubuhku kau remukkan




Bagaikan daun kering kerontang
Jatuh bergerombol di atas
Tanah liat yang mencair

Bagaikan semut hitam
Yang menari-nari
Pada dinding yang lusuh

Ku pandang hidupku
patah,
Seperti ranting

Meninggalkan dahannya





Ku tulis kisah ini
Dikala hujan gerimis

Seolah menangis
Mengucur darah
Mendapar tanya : aku salah?

Aku berkaca dalam darah
Tetap kutulis kisah ini
Kala hati yang menjerit
Semuanya akan kulengkapi
Untai rangkaian seloka lama pun
Tak kuabaikan

Sebelum fajar terakhir ku tutup
Kan kubisikkan “ aku cinta kamu”


Mella Yunati, Mahasiswa Gemasastrin angkatan 2013.

Read more…

Sabtu, 10 Mei 2014

Prosesi Menyiapkan Musuh


Karya Siti Novia R




“Dan akhirnya aku putus dengan Zaki.” Aku tertawa. “Untuk merayakan hari putusku, kalian boleh pesan apa saja. Aku yang bayar!
Tiga wajah yang di depanku menunjukkan ekspresi kebingungan. Mereka terlanjur tahu bahwa hari ini adalah ulang tahun pertama hubungan pacaran kami.
“Kenapa bisa putus?” selidik Zahra dengan kerutan kening dan sedikit mencondongkan tubuhnya ke arahku. “Kalian sudah pacaran sejak semester pertama, kenapa tiba-tiba..”
Ingin sekali kubalas tanya, mengapa hubungan pacaran yang sarat masalah mesti dipertahankan? Aku dan Zaki telah berusaha menjaga hubungan ini dari keruntuhan. Tapi pada akhirnya kami harus mengambil keputusan untuk berpisah.
“Saling gak cinta lagi, ya?” sambungnya kemudian.
Bagaimana sebenarnya menandai masih cinta atau sudah tidak? Menyukai sikap-sikapnya belum tentu cinta. Cinta mestinya memberi kenyamanan, bukan malah melawan arus keinginan dan malah menjajah. Zaki melakukan penjajahan yang baik, seperti pacar-pacar orang lain juga.
“Siapa yang mutusin?” tanya Sarah dengan senyum yang kutebak sedikit dipaksa.
Tidak menjadi penting siapa yang memutuskan siapa. Karena yang terpenting adalah aku lepas dari penjajahan halus yang mengatasnamakan cinta.
“Terus, putusnya baik-baik, kan?” lanjutnya.
“Hubungan pacaran pada usia selabil kita, sesantun apapun cara yang dipakai untuk memutuskan, tetap akan menimbulkan perasaaan kesal. Keniscayaan yang tak bisa dibantah,” jawabku dingin. Mereka saling memandang lagi lalu matanya sama-sama mengarah tanya padaku.
“Mungkin kamu sedih atau semacamnya karena keputusan itu. Setidaknya cerita saja, ada kami yang akan dengar,” akhirnya Tiara bersuara.

Sedih? Kenapa mesti meratapi kepergian penjajah? Pacar itu penjajah. Mereka menuntut kita menuruti semua keinginannya. Atau kalau memang benar sedih, haruskah dinampakkan padanya agar dikasihani lalu menjadi pacar lagi dan dijajah lagi? Sangat bodoh namanya jika kita melakukan kekeliruan untuk kedua kali.
Aku merasa sedikit tidak tenang memang. Bukankah itu wajar? Dan seperti juga kehidupan, semua orang berbahagia menyambut kelahiran dan bersedih ketika menemui kematian. Kelahiran adalah ketika pacar datang menyatakan perasaan, dan kepergiannya anggaplah kematian dan layak untuk disedihkan. Tapi, bukankah kelahiran dan kematian juga suatu yang sudah pasti dalam hidup seperti juga pertemuan dan perpisahan? Kenapa harus susah-susah meyelipkan sedih yang amatir dalam kesedihan nyata yang akan ada?

“Iya, kami siap dengerin kok..” jawab Sarah mencoba meyakinkan di sela dia mengunyah kerupuk.

Sejujurnya aku bukan tidak yakin pada tiga manusia yang ada di depanku ini. Tetapi aku rasa mereka akan tak sejalan dan tak paham jika kukatakan bahwa pacaran pada usia baru belasan tahun ini adalah salah satu langkah awal untuk menyiapkan lawan bertikai serta menjalani sebuah rutinitas yang monoton. Bahwa pacaran hanyalah hubungan sekumpulan masalah yang dibalut dengan embel-embel saling cinta. Ritualnya selalu sama: kami jadian, lalu berbahagia, kemudian ribut, baik lagi, ribut lagi, akhirnya putus, beberapa kembali baik, beberapa mencari pengganti.

Hubunganku dan Zaki semata-mata rasa yang tak punya arti. Selain dari kekangan, ego, dan tidak memberikan ruang kepada yang lain. Kami konon menjadi sunyi dan seolah tidak lagi membutuhkan manusia lain. Omong kosong! Zaki membutuhkan teman-temannya, aku juga. Tapi kami sibuk seolah-olah mencintai dan menyelesaikan masalah-masalah sepele setiap hari. Zaki membutuhkan ruangnya, aku juga. Tapi kami membuat ruang sendiri yang tiap hari harus kami jenguk bersama. Kami saling punya urusan, tapi menciptakan pertikaian agar masalah bertambah-tambah.

“Hmm, baiklah. Jadi begini kawan-kawan..”

Kriiiinggg

Ponsel Sarah berbunyi. Di layar tertera nama panggilan pacarnya, Cayank. Dasar alay! Sarah tersenyum. Dia tidak berpindah sehingga kami dengar percakapan ia dan kekasihnya. Pembahasan memuakkan, terus berkutat pada persoalan yang lazim diperdebatkan remaja jika berpacaran. ‘lagi dimana, sama siapa, kok gak bilang-bilang, selesainya jam berapa’ dan beberapa kata cinta dan cemburu yang terkesan palsu.
Aku yang melihat tragedi di depanku memilih kembali diam. Heran. Semangat sekali menguasai satu sama lain. Pacaran hanya untuk menguasai?  Atau memang kita senang dikuasai?  Harusnya tidak.
Beberapa menit kami diam dan hanya Sarah yang berbicara dengan seseorang di seberang telepon sana. Akhirnya pembicaraan mereka selesai dan kami tetap diam. Kami paham bahwa suasana hati kawan yang satu ini sedang diusik. Kami semakin yakin hatinya rusuh ketika melihat ekspresi wajahnya yang manyun. Bibir sedikit maju dan kening berkerut.

“Perlu menunggu waktu berapa lama lagi untuk putus?” tanyaku. Mata mereka belalak.

Mereka terlalu sering ribut, seperti aku dan Zaki. Cinta kami hanyalah ritual menyiapkan musuh paling ampuh. Hanya sebagian kecil saja yang bisa menuntaskan hubungan dengan cara baik-baik. Tapi pada usia belasan, ketika kita kerap bernafsu untuk melakukan pembuktian, putus cinta adalah ruang menunjukkan bahwa aku masih laku.
Suasana di warung kecil ini terasa canggung. Entah perasaanku saja. Tetapi Kami sudah diam dalam waktu lebih lama. Semua kawan melihatku. Mereka tidak akan sepaham, aku yakin.

“Eh, sudah jam tiga,  aku pamit duluan ya. Ada janji soalnya,” Tiara tiba-tiba bersuara lagi.
“Mau kemana?” tanya Zahra.
“Biasa, janji sama dia” jawab tiara saat bangun dari duduknya meninggalkan sedikit senyum.
”Ini kamu yang bayar, kan, Pi? Terimakasih dan jangan sedih-sedih lagi,” sambungnya lagi sambil menepuk pundakku dan kemudian berlalu pergi dengan rona sumringah.

Selama bersama Zaki, aku juga sempat segembira itu. Ketika pertama kali didaulat menjadi sepasang kekasih. Ketika kami merayakan banyak hal bersama. Kami melintasi tanggal-tanggal penting dengan perasaan suka berlipat-lipat. Sehingga rasanya aku melihat waktu yang pendek dan sama sekali tidak mengerti tentang keinginanku terus bersama lelaki itu.

Ah, bagaimanapun. Kebahagiaan dalam pacaran hanya sepertiga dari adanya kesedihan. Pacaran itu sewujud paket lengkap penjajahan. Zaki, dia senantiasa menuntut supaya aku menyampaikan semua kabar dan mengatur semua urusanku entah ketika sedang bersama, di luar dan sebagainya. Aku bukan lagi anak kecil yang harus diurus sampai ke urusan buang air kecil sekalipun.

“Aku rasa, perhatiannya udah overdosis. Apa terlalu perhatian itu bisa dikategorikan cinta? Aku gak nyaman sama hubungan yang seperti ini. Tiap keluar, selalu saja aku yang salah. Gak inilah, gak itulah. Mesti ya? Aku setia kok sama dia. Bundaku saja gak segitunya bikin aturan,” Sarah mulai menunjukkan ketidakbahagiaan.
“Kamu coba ngomongin baik-baik sama dia, mungkin dia paham. Iya kan?” Zahra menanggapi curhatan Sarah dengan bijak seraya meminta persetujuanku atas sarannya. “Ups, jangan bilang kamu sudah direcoki paham pacar si Zaki,” sambungnya melihatku.
“Mantan pacar!” tegasku.
Zahra tertawa bahkan dengan mulut masih aktif mengunyah.
Ya, semoga dia paham. Soal setia dan baik, aku juga sudah berusaha setia pada Zaki. Bahkan usaha yang sangat keras. Namun penjajahan tetap tak kunjung surut. Dia sulit percaya jika kukatakan sedang bersama teman. Dia minta kukirimkan foto, kalau perlu video di mana aku sedang berada. Gila.
“Entahlah..” Sarah pasrah dan melanjutkan makannya.
“Jadi, Pi, bagaimana urusan kamu sama si Zaki? kan kamu belum cerita.” Zahra bertanya padaku.
“Kalian tidak akan paham pada apa yang kupikirkan”
“Sudah cerita saja. Paham atau tidak itu belakangan.” Bantah Zahra.
“kok bisa sih?” sarah tiba-tiba bertanya.
“Sarah, aku mau tanya. Kamu pernah gak tanya sama pacar kamu itu, kenapa dia bisa ‘cinta’ sama kamu?” aku bertanya pada sarah sambil menaruh tekanan pada kata cinta dan gerakan dua jari bermakna tanda kutip.
“Pernah, sering malah”
“Sering ya? Terus apa jawab pacarmu itu?”
“Ya katanya karena aku ini baik, bisa bikin dia nyaman, dan kadang-kadang cantik.” Sarah menjawab sambil mesam-mesem.
 “Terus, kamu terima gitu aja?”
Sarah terdiam.

Aku juga pernah bertanya soal ini pada Zaki dan jawabannya nyaris sama. Karena aku baik, nyaman, dan kadang-kadang lucu. Aku masih belum paham, apakah baik, nyaman dan lucu bisa menjadi landasan atas cinta yang sangat dalam selayak cinta yang sering dia akui. Maksudku begini, kalau cinta ya cinta saja. Haruskah ada alasan untuk mencintai seseorang? Tidak semua tindakan itu membutuhkan alasan, aku kira. Kalau kamu temukan alasan mengapa kamu mencintai, ya itu bukan lagi cinta. Zaki terjebak!

“Terus, kenapa kamu bisa putus sama Zaki?” Zahra bertanya geram. Dia sudah penasaran berat rupanya.
“Karena alasan. Alasan mengapa dia cinta.” Jawabku datar.
“serius? Aku gak ngerti.” Jawab Zahra lagi sambil membenarkan letak kacamatanya.
Of course, she doesn’t understand, aku membatin.
Aku bilang juga apa.” Jawabku acuh sambil menyeruput minuman.

Di tengah pembicaraan kami, Tiba-tiba terdengar nyanyian Spongebob, itu ringtone ponselku. Zaki menelpon. Kuletakkan ponselku di atas meja, ragu untuk menjawab. Sarah dan Zahra menatapku, dan memberi isyarat bahwa pilihan ada padaku. Oh! Aku benci dihadapkan pada pilihan seperti ini.
Akhirnya, sebab tidak sanggup mendengar bunyi dering yang menerus, kuangkat juga, “Halo, Zak...”

Maafin aku, tolong kasih aku satu kesempatan lagi.”(*)

*Siti Novia R, merupakan mahasiswi Gemasastrin angkatan 2013 dan pegiat di komunitas Jeuneurob.

Read more…

Rabu, 07 Mei 2014

Puisi-Puisi Ernayati Zaifah




CANDU

Begitulah kau bagiku
Secangkir kopi malam hari
Larut bersama caffein
Dan kepul asap si putih

Jangan menatapku seperti itu
Puas kau buatku candu?
Menikmati hitam pekat matamu
Dan teruslah diam

Begitulah kau bagiku
Membuat si sayu belalak
Di saat semua pasang mata layu
Dan kau mulai kembali menyiksa


Geurugok, 17. 10. 2013




SILAM

Tak bisa ku tapaki lagi
Langkah kita membatu, melumuti penepian di seberang
Kita harus pulang serupa dulu

Serupa ketika kau air
Serupa ketika ku pasir
Serupa ketika kita di muara silam

Celakalah sungai yang memadu
Kutemui kau dalam riak keruh
Dan kita terhanyut sembari menanti-nanti

Aku akan pulang
Serupa dulu ke muara silam     

Banda Aceh 25 Desember 2013




KEMUDIAN

nyatanya sakitku tak sebanding engkau
mendekap liar hingga ke akar
mengusir janin–janin belum tertanam

esok dia bukan siapa-siapa
tapi tafsir kaummu?

mengering gersang
aku ladang yang tak bisa kau tanam
kau petani yang menerima
dan aku tanah yang durhaka

Banda Aceh. 5.12.2013

*Ernayati Zaifah, merupakan mahasiswi Gemasastrin angkatan 2013.

Read more…