Sumber: Harian Aceh, 08 September 2011
Hari raya di kampung Pengko berjalan begitu meriah. Walaupun dalam penentuan waktu tepat lebaran terjadi kesimpangsiuran, namun kemudian diputuskan juga akan dilaksanakan pada hari Rabu.
Alasannya sama, musabab mendung anak bulan tak nampak. Padahal, ketika pada malam keempat hari raya bulan muncul, terlihat bentuknya sudah serupa lima. Tapi sudahlah, tohPengko telah berpuasa pada hari Selasa itu. Baginya, segala keputusan para ulama tentu jelas dalilnya.
Sepulang dari shalat ied Pengko dan keluarganya segera menuju ke pusara sang ayah. Ini adalah kebiasaan mereka. Konon hal demikian pernah berkembang di kampung Koeta Ganteng. Para masyarakat yang merasa telah menguburkan keluarganya pertama sekali akan mengunjungi pusara itu, baru kemudian akan berkunjung ke rumah-rumah kerabat. Namun, setelah zaman berhasil menggilas segenap keadaan, ritual mengunjungi pusara pada hari pertama lebaran pun menjadi kian hilang. Jika masyarakat dianggap gulai kambing, maka yang tersisa melaksanakan ritual demikian sekarang hanyalah leukek(kuah penghabisan).
Di depan pusara ayahnya Pengko yang semakin rupawan itu memimpin doa. Ia berpakaian jubah seperti orang India. Sungguh tepat rupa dan namanya, Muhammad Pengko Khan. Dengan fasihnya ia berdoa di sana. Dan sepulangnya ia bersegera mengunjungi rumah para kerabat. Di setiap rumah yang ia datangi selalu saja ia mendengar puji pada wajahnya yang tampan dan sikapnya yang bersahaja.
Saat matahari sudah di atas ubun, Pengko pulang ke rumahnya. Duduk di depan rumah ia memerhatikan tingkah anak-anak kampung. Ada sebuah keresahan yang menyelinap di hati anak muda itu. Sekelompok anak-anak di bawah umur mengepulkan asap rokok, tepat seperti pesta awak Barat. Di tangan mereka rata-rata memegang Coca-Cola atau Fanta. Ah, mirip sekali seperti perayaan di party-party atau di cafe-cafe Amrik. Suara musik mengalahkan suara azan di masjid terdengar dari rumah tetangganya. Beberapa dari anak-anak itu mengangguk-angguk seperti mabuk.
Semakin jauh saja gilasan zaman pada sikap anak-anak kampungnya. Pengko resah sekali. Ia ingat pada masa kecilnya dulu. Kala itu mereka bahkan tidak boleh terlihat di kawanan para perokok pun, yang diminum hanyalah air Limun yang telah dimasukkan ke plastik dan dihisap dengan sedotan. Demi melihat anak-anak kampungnya bermain senjata mainan, Pengko malah membayangkan dulu ketika ia kecil, perang mereka lakukan dengan senapan dari pelepah pisang. Suara musik bahana, pada zaman Pengko kecil yang terdengar hanyalah tabuhan rebana pada malam pesta pernikahan orang kampungnya. Ya, suara rebana itu biasanya dibawakan oleh grup Seulanga Ria. Salah satu dari mereka termasuklah umi Pengko waktu muda.
Pengko masuk ke dalam. Diraihnya handphone yang tadi terdengar menjerit, ada ucapan selamat lebaran. Ia ingat, dulu mereka mengucapkannya lewat surat menyurat, maka mereka pandai sekali bertutur dalam tulisan. Zaman memang demikian buas memamah kebudayaan. Pengko duduk di atas sofa ruang tamu rumahnya. Mengenang bahwa ia pernah berdosa, lewat tulisan ini Pengko minta maaf semaaf-maafnya. Minal aidin wal faizin.
Mantap!
BalasHapus