Minggu, 31 Maret 2013

Puisi, Penulis Muda, dan Media


Karya Nazar Shah Alam
 
Saya pernah mendapat satu pesan singkat dari seorang siswa tentang bagaimana caranya melihat puisi yang bagus atau yang tidak bagus dan bagaimana caranya agar dimuat di koran. Saya tidak membalas pesan itu. Besoknya di sekolah saya mengganti materi dari semestinya tentang surat menyurat menjadi materi tentang puisi. Di ruang kelas yang pengap itu saya mencoba mengalihkan perhatian mereka dengan bertanya tentang pertanyaan salah satu dari mereka kemarin. Jawabannya sangat variatif, mulai dari enak dibaca (barangkali maksud mereka, diksi), tema yang bagus (standarnya tidak dijelaskan), berima, mudah dipahami, dan sebagainya.

Pada kesimpulannya, saya setuju pada semua pendapat mereka. Diksi, tema, rima, mudah dipahami memang hal-hal yang sangat menentukan dalam puisi. Namun itu, kemudian perlu dilihat bagaimana penggunaannya. Saya pernah membaca dan mendengar banyak sekali teori tentang puisi yang baik dan benar, namun saya simpulkan saja di hadapan mereka seperti ini.

Sebuah puisi yang bagus adalah puisi yang tidak pergi jauh dari unsur pembangunnya. Untuk menembus koran, salah satu caranya adalah dengan menciptakan puisi yang bagus. Bagaimana membuat sebuah puisi yang bagus, sebenarnya ini masalah selera. Orang acap berbeda selera bacaannya, bukan? Jadi untuk menentukan bagus atau kurang bagusnya sebuah karya sama saja seperti menentukan bagus mana lagu dangdut dan pop pada dua orang yang masing-masing menyukai salah satunya. Sulit sekali dan tidak memiliki titik temu yang jelas. Namun itu, setidaknya ada beberapa cara untuk menilai bagus-tidaknya sebuah puisi dengan berpijak pada landasan teori dasar penciptaan puisi sebuah puisi. Puisi memiliki aturan tertentu yang kadang acap dibelakangi oleh penyair-penyair sekarang. Di antara yang banyak yang sudah dibelakangi itu, ada  beberapa aturan yang mau-tidak mau tetap dituruti. Dari situlah kemudian kita mulai menilai sebuah puisi.

Diksi
Penggunaan diksi adalah seni dalam sebuah puisi. Kata-kata yang dipilih diharapkan bisa memperindah dan menegaskan puisi tersebut. Diksi erat sekali kaitannya dengan kata kongkret (kata yang mampu memunculkan imaji) dan permajasan (kiasan). Diksi yang digunakan tentu mesti sesuai dengan kebutuhan puisi, tidak berlebihan dan kemudian “menggelapkan puisi segelap-gelapnya” hingga sulit sekali dipahami. Perbandingannya seperti ini:

matahari jatuh ke pusat peradaban
menghancurkan geliat musafir jengah
seperti cerobong telinga menitih hamparan laut

Puisi tersebut menggunakan kata-kata yang dipilih dengan pertimbangan menggunakan kata-kata puitik. Namun sebenarnya puisi ini kurang baik karena terasa sangat berlebihan menggunakan diksinya. Pembaca kesulitan menemukan makna dari rangkaian kata-kata dalam puisi tersebut. Bandingkan dengan puisi ini:

Kabut saban waktu mengerubungi langit
saban waktu menggelapi matahari
berbenah pada musim ini
membuat tubuh sedikit melipir
sedikit menguras keinginan
Desau selalu terdengar
Menyeruak hingga labirin telinga
menyusupkan rayuannya
(Cerita di Musim Lindap, Afzhal Putra Armi, Serambi Indonesia, 18 September 2011)

Pemaknaan dari diksi yang digunakan boleh jadi penulis sedang ingin meninggalkan suatu masalah, namun tetap saja tergoda dengan masalah yang sama. Diksi yang terpilih dan bisa dimaknai secara gamblang atau tersirat. Inilah yang dimaksud penggunaan diksi yang tepat. Pada potongan puisi Kepada Tangse karya Makmur Dimila yang dimuat di Serambi Indonesia, 13 Maret 2011 berikut menggunakan kata kongkret dan permajasan yang bagus sebab mampu memunculkan imaji dan kesan yang bagus pada pembaca.

…..
Kemarin, kamu menangis
air mata cokelatmu mengalir deras, begitu maha,
menyapu tuan-tuanmu sampai mereka tak berdaya bergulir ke ujung kakimu
dan dengan liur kuning, kamu jilat tuan-tuanmu hingga mereka singsing celana mau mengungsi; entah ke mana
….

Selain itu, dalam penggunaan diksi, anomatope (tiruan bunyi) yang berlebihan juga agak mengganggu. Barangkali banyak orang tidak mempermasalahkan hal ini, sebab ini masalah selera kembali. Namun, tentunya hal tersebut rasanya puisi tersebut asal-asalan. Puisi adalah sebuah karya sastra yang menginginkan keindahan, kelugasan, dan kesan di dalamnya ketika dibaca. Maka menggunakan diksi yang sesuai dan tak berlebihan dengan keinginan puisi tersebut sangat menentukan bagus atau kurang bagusnya puisi tersebut.

Tema
Sebenarnya dalam puisi mana pun tema yang diangkat tidak terlalu perlu dipermasalahkan. Mungkin bila tujuannya adalah koran, tentunya puisi yang diciptakan mengikuti selera koran. Tema cinta sedikit sekali ruang untuk koran, tentunya. Namun hal tersebut tidak mutlak, sebab ada juga puisi bertema cinta yang dimuat di koran. Sebut saja salah satunya puisi  Surat Cinta karya Sulaiman Djaya yang dimuat di Koran Tempo, 08 Januari 2012.
 …
Bayangkan, di sebuah taman,
aku duduk menunggu
dan kau tersenyum, berpayung hitam,
meski tak ada hujan.

Di sebuah langit yang mendung
atau di sebelah November yang agak ungu,
kita sekedar bertukar kata, tentang apa saja:
tentang seorang malaikat, yang, entah kenapa
ingin menjual sepasang sayapnya
karena bosan mengembara seperti kita.
…..
Tentu saja tema cinta tersebut mesti diracik sedemikian rupa agar mampu menembus dominasi tema sosial di koran-koran. Puisi cinta yang berbicara tentang diri memang banyak sekali ditemui, apalagi pada para remaja. Walaupun demikian, puisi cinta yang puitik tetap memiliki ruangnya sendiri dan tetap mesti patuh pada aturan. Tema puisi yang baik adalah tema yang tidak melihat kepentingan diri belaka di dalamnya, melainkan juga bisa menggugah orang lain yang membacanya.

Rima
Pada dasarnya puisi kontemporer sudah tidak lagi terikat dengan rima, irama, persajakan, atau bait. Hanya saja, kemudian puisi itu menjadi lebih indah dibaca bila rimanya teratur dan rapi. Penggunaan rima dalam puisi kontemporer tentu berbeda dengan penggunaan rima pada puisi lama. Untuk puisi kontemporer, rima yang digunakan lebih terbuka dan tidak begitu mengekang. Kita bisa lihat contohnya dalam puisi Sajak Sebelum Tidur, Nash Al Mayra yang dimuat di Serambi Indonesia, 26 Juni 2011 berikut:

Bersama sepotong sepi, hujan pecah jadi puisi
Buntal awan gerayangi langit jengkal ke jengkal
Bersama sepotong sunyi, malam pulang sendiri
Dan awan mengajak ruh memintal mimpi
Aku melihat puisi membaca dirinya sendiri
Dan di sana ia jadi apa pun jadi

Puisi tersebut berima, tapi tidak secara keseluruhan. Sangat berbeda dengan puisi lama yang diketahui salah satunya pantun. Rima dalam puisi lama bersifat mengikat dan mutlak.

Tipografi
Tata wajah (tipografi) puisi pada era kontemporer sudah sangat bebas. Untuk puisi-puisi tertentu tipografi memang sangat berpengaruh. Namun tipografi yang banyak digunakan adalah bentuk Spon, seperti pantun namun tidak terikat jumlah baris. Puisi pada masa kontemporer kadang hanya satu baris saja, satu kata saja, atau kadang isyarat dengan gambar saja. Namun itu, lazimnya penulis menulis puisi beberapa baris. Ini bergantung pada kemauan penulis atau perasaan penulis dalam menulis puisinya. Dalam puisi Tanya Bumi karya Hamdani Chamsyah, penulis memakai bentuk spon.

Salahkah jika kami murka?
Sedang kalian  menganiaya
Membunuh tanpa rasa
…..

Bentuk puisi yang bermain dengan tipografi lainnya adalah seperti puisi Makmur Dimila, Pesan Petir pada Kampus Biru yang dimuat di Harian Aceh, 8 Januari 2011 yang menggunakan gaya prosa.

Kau duduk merebah tubuh pada kursi goyang, mengepul awan rokok, di bibir jendela, mengarang kebahagiaan fana, pada malam muda. Kau lihat langit pekat membentang. Tak ada gemintang. Tiada pula bayanganku yang duduk bersandar di lengkungan bulan sabit. Sudah Januari, kau menanti sejak September. Penantianmu tergapai. Dan, petir meledak pada dinding langit. Kau tumbang. Mulut mengucap, aku tak dengar isinya. Hanya kutahu, cahaya petir menyampaikan pesan. Pesan yang sederhana: aku mulai membencimu petinggi kampus biru!

Bentuk wajah dalam penulisan sebuah puisi terkadang memiliki makna tersendiri: cara baca, ungkap, maksud, dan style. Secara keseluruhan bentuk wajah tidak begitu mengikat mesti seperti ini atau itu. Puisi sudah sangat luas dimaknai. Ini menyangkut selera, ruang, gaya, dan tujuan saja sebenarnya.

Agar Dimuat di Koran
Koran dalam perkembangannya menjadi media empuk untuk mengembangkan kreativitas menulis bagi para muda. Walaupun ruang yang disediakan sangat kecil dan porsi waktu hanya tersedia sekali dalam seminggu, namun penyediaan ruang itu bolehlah dikata sudah baik. Beberapa kawanku mengeluhkan pembagian ruang yang dinilai hanya diisi oleh beberapa nama saja atau puisi-puisi standar rendah menurut mereka. Mencoba berpikir realistis, bahwa semua orang punya selera yang berbeda dan tema yang diangkat koran juga acap berbeda pada setiap ruangnya, maka kemudian perlu ditekankan bahwa koran memiliki nilai tertentu untuk semua karya.

Selera redaktur terkadang jauh berbeda dengan selera penulis dan pembaca. Ini lumrah saja. Namun itu, selalu saja ada cara untuk menembus media tersebut. Koran lebih berpegang pada tema. Salah satu cara gampang untuk mengetahui karakter yang diinginkan redaktur adalah dengan membaca karya yang pernah dimuat di sana. Hal ini bermanfaat agar penulis bisa mengetahui bagaimana tema, bentuk, dan ukuran yang bisa diterima koran yang dituju. Selain itu, momen juga sangat berpengaruh pada akan atau tidak akan dimuatnya sebuah tulisan.

Masalah pada penulis muda adalah terlalu mengikuti idenya. Padahal, untuk koran, momen adalah hal yang boleh dikata sangat diutamakan selain daripada tema besar yang lebih cenderung kepada tema sosial. Bila sedang musim mangga, berbicaralah tentang mangga, itu akan memudahkan penulis menembus media. Kadang kala diksi yang lugas menjadi pilihan redaktur. Jadi bahasa yang berbunga-bunga kadang kala tidak perlu terlalu dimainkan di dalam sebuah karya yang tujuannya untuk koran atau rubrik majalah tertentu.[]

Sumber: http://nazaralam.wordpress.com/2012/03/11/sebaiknya-menulis-puisi/#more-342
Judul asli: Sebaiknya Menulis Puisi?

Read more…

Rabu, 27 Maret 2013

Panas Dingin


Maile Meloy

Ingatan pertamaku tentang musim dingin mengacu pada momen di mana aku ditinggal di dalam mobil van, di tengah gurun salju di Montana; sementara kedua orangtuaku, yang sedang pergi main ski, dikejar oleh seekor beruang.

Aku juga curiga sebenarnya; apakah ingatanku itu nyata. Karena rasanya seperti mimpi yang buram. Usiaku empat tahun kala itu, dan adikku berusia dua tahun. Mobil van yang kami tumpangi berwarna merah dan bermerk Volkswagen; jendelanya ditutupi tirai berbunga serta bagian belakang mobil diubah menjadi tempat tidur-tiduran. Bersama kami di dalam mobil itu adalah seorang pengasuh bernama Ann Amouski—bukan nama sungguhan, tapi yang kuingat mirip-mirip dengan itu—gadis cantik yang masih duduk di bangku SMA. Dia pengasuh yang baik, tapi aku kebosanan. Ann mengadakan permainan untuk mengisi waktu. Dia akan menyembunyikan sebuah permen di salah satu sudut dalam mobil, lalu memintaku untuk menebak-nebak tempat persembunyian permen itu. Kalau aku semakin dekat dengan obyek pencarianku, dia akan bilang ‘panas’; kalau aku semakin menjauh, ‘dingin’. Di belakang kursi? Dingin. Di dalam laci dashboard? Hangat. Dekat pedal gas? Membara. Di bawah kopling! Di situlah tempat persembunyiannya—permen butterscotch yang bulat dan mulus serta terbungkus dalam plastik bening; sesuatu yang takkan pernah dibeli oleh kedua orangtuaku kecuali untuk perjalanan macam ini.

Kami bermain di salju, mengenakan jaket musim dingin kami, sementara sang pengasuh menyalakan mesin mobil dan pemanas di dalamnya. Kami duduk di dekat ventilasi udara yang menyemburkan udara hangat sambil menyeruput coklat panas dari dalam tutup termos. Jendela mobil tampak keputihan bercampur dengan hembusan napas kami.

Sementara itu, nun jauh di sana, di turunan bukit yang tak bisa kami lihat jelas dari tempat kami berada, kedua orangtuaku dengan asyik meluncur di atas papan ski mereka. Sepasang sejoli yang masih terikat status pernikahan. Mereka mengenakan celana, sweater dan topi yang terbuat dari bahan wol; dan dari kejauhan mereka tampak meluncur santai tanpa banyak kendala. Namun, dari dekat, olahraga itu membuat mereka berkeringat, dan kacamata yang dikenakan ayahku pun berembun. Hidung dan pipi mereka berubah kemerahan. Ayahku baru saja melontarkan lelucon yang membuat ibuku tertawa. Udara pegunungan menguarkan harum salju dan pohon pinus.

Lalu mereka melihat seekor beruang. Mereka tak sengaja mengagetkan beruang itu, yang tengah menggali salju mencari akar-akar pepohonan; dan kini beruang itu menghadang mereka dengan pandangan penasaran. Beruang tersebut berdiri menggunakan kedua kaki belakangnya; matanya tak bisa melihat jelas, maka ia menggunakan indera penciumannya untuk mencari tahu mahluk apa yang berdiri di hadapannya.

Kedua orangtuaku berhadapan langsung dengan beruang itu selama beberapa menit, lalu si beruang kembali membungkuk dan menggunakan kedua kaki depannya untuk terus menggali. Ayahku, tidak tahu harus bagaimana, segera meluncur mengitari si beruang dalam usaha melarikan diri, diikuti oleh ibuku.

Namun, saat mereka telah melewati si beruang dan bergerak menjauh, ibuku menoleh ke belakang dan mendapati beruang itu tengah menyusul mereka. Ternyata papan ski yang mereka gunakan meninggalkan jejak lebar di atas salju. Ibuku teringat bahwa ada dua tangkap roti isi ayam di tas ransel yang terselempang di punggungnya. Ia memanggil ayahku. Ayahku menoleh ke arah istrinya.

“Meluncurlah lebih cepat,” kata ayahku. “Tapi jangan terlalu cepat. Dan kita harus bernyanyi.”

Mereka mulai menyanyikan lagu “Si Beruang Melintasi Pegunungan” yang bercerita tentang seekor beruang ceria yang suka menolong; namun lagu itu tak mempengaruhi niat si beruang untuk terus mengejar mereka. Sosok beruang yang tinggi besar dan berbulu tampak tertatih mengikuti jejak kedua orangtuaku. Seperti beruang yang diceritakan dalam lagu, beruang ini pun tak terburu-buru. Ia dengan santai  mengikuti jejak yang ditinggalkan papan ski kedua orangtuaku. Dan tanpa sengaja kedua orangtuaku justru membimbing beruang itu kembali ke mobil kami—di mana aku, adikku dan si pengasuh berada. Namun mereka tak bisa berhenti.

“Kita harus berpencar,” kata ayahku setelah beberapa saat. “Supaya kita tidak meninggalkan jejak terlalu lebar.”

Mereka pun melakukan hal itu dengan napas memburu: kedua orangtuaku saling menjauh dan menciptakan dua jejak yang berbeda. Beruang itu berhenti ketika tiba di ujung jejak yang bercabang, lalu beralih mengikuti jejak ibuku.

Sekarang bagaimana?” tanya ibuku yang mulai panik.

“Terus meluncur,” kata ayahku.


Saat mereka sudah bisa melihat mobil yang kami tumpangi, kedua orangtuaku melambai, berusaha menyampaikan pesan agar kami tidak bermain-main di luar mobil. Lantas mereka menatap dengan wajah pucat saat aku, adikku dan si pengasuh justru melangkah mendekati mereka, hendak menyapa mereka—adikku di dalam pelukan Ann, siap untuk dijadikan snack oleh si beruang.

Kemudian aku mendengar teriakan ayahku: “Kembali ke dalam mobil!” Dan pada saat itulah kulihat beruang besar tersebut. Si pengasuh buru-buru mendorong adikku kembali ke dalam mobil; dan aku menatap dengan takjub ke arah kedua orangtuaku yang meluncur cepat ke arah kami, diikuti oleh si beruang.

Akhirnya, beruang itu melihat atau mencium bau kendaraan kami dan berhenti. Tubuhku diangkat oleh kedua tangan si pengasuh yang tercekat di bawah ketiakku. Kedua orangtuaku tiba dengan napas tersengal; buru-buru melepaskan kaki dari papan ski yang mereka kenakan sementara si beruang menatap dan mencermati kami. Pintu mobil dibanting dan ditutup rapat; lalu kami berkendara pergi darisana. Kami tidak ditakdirkan untuk dimakan oleh beruang; hidup telah memberikan kami kesempatan baru.

Aku menelepon ayahku untuk mencari tahu apakah ingatanku benar; dan dia justru berkata, “Apa? Kau bermimpi kali. Memang pernah ada seekor induk rusa yang mengejar kita dulu, tapi itu pun di musim panas.” Musim panas dan seekor rusa—aku yakin waktu itu musim dingin dan ada seekor beruang.

“Rata-rata beruang bersembunyi di musim dingin,” lanjut ayahku. Lantas ia mengingatkanku akan tiga adegan lain di mana kami pernah melihat beruang kecil.

Tidak satupun dari adegan itu yang terjadinya sebelum perceraian kedua orangtuaku, dan rasanya ingatanku tidak salah: mobil van, si pengasuh, salju yang menghampar. Aku ingat kedua orangtuaku memutuskan untuk meluncur terpisah demi menghindari bahaya yang mengancam kami sekeluarga, yang mengincar kami dari kejauhan. Aku juga ingat keluarga kami terselamatkan di detik terakhir, sementara bencana ditinggal di luar, di tengah kepungan dingin.

2011 © Hak Cipta. Fiksi Lotus dan Maile Meloy. Tidak untuk dijual, digandakan ataupun ditukar.
———————————-
# CATATAN:
> Kisah ini bertajuk HOT AND COLD karya Mailey Meloy. Diterbitkan pertama kali di jurnal sastra-politik AS, The New Yorker pada tahun 2003.
>> MAILE MELOY adalah seorang cerpenis dan novelis asalMontana, Amerika Serikat. Ia telah memenangkan berbagai penghargaan bergengsi untuk karya-karyanya, termasuk Guggenheim Fellowship di tahun 2004. Koleksi cerita pendeknya yang menuai kritik positif bertajuk BOTH WAYS IS THE ONLY WAY I WANT IT. Baru-baru ini ia menerbitkan novel berjudul THE APOTHECARY.

Read more…

Jumat, 15 Maret 2013

Pelajaran Mengarang


Karya Seno Gumira Adjidarma
      
Pelajaran mengarang sudah dimulai.

Kalian punya waktu 60 menit”, ujar Ibu Guru Tati.

Anak-anak kelas V menulis dengan kepala hampir menyentuh meja. Ibu Guru Tati menawarkan tiga judul yang ditulisnya di papan putih. Judul pertama “Keluarga Kami yang Berbahagia”. Judul kedua “Liburan ke Rumah Nenek”. Judul ketiga “Ibu”.

Ibu Guru Tati memandang anak-anak manis yang menulis dengan kening berkerut. Terdengar gesekan halus pada pena kertas. Anak-anak itu sedang tenggelam ke dalam dunianya, pikir Ibu Guru Tati. Dari balik kaca-matanya yang tebal, Ibu Guru Tati memandang 40 anak yang manis, yang masa depannya masih panjang, yang belum tahu kelak akan mengalami nasib macam apa.
Sepuluh menit segera berlalu. Tapi Sandra, 10 Tahun, belum menulis sepatah kata pun di kertasnya. Ia memandang keluar jendela. Ada dahan bergetar ditiup angin kencang. Ingin rasanya ia lari keluar dari kelas, meninggalkan kenyataan yang sedang bermain di kepalanya. Kenyataan yang terpaksa diingatnya, karena Ibu Guru Tati menyuruhnya berpikir tentang “Keluarga Kami yang Berbahagia”, “Liburan ke Rumah Nenek”, “Ibu”.  Sandra memandang Ibu Guru Tati dengan benci.

Setiap kali tiba saatnya pelajaran mengarang, Sandra selalu merasa mendapat kesulitan besar, karena ia harus betul-betul mengarang. Ia tidak bisa bercerita apa adanya seperti anak-anak yang lain. Untuk judul apapaun yang ditawarkan Ibu Guru Tati, anak-anak sekelasnya tinggal menuliskan kenyataan yang mereka alami. Tapi, Sandra tidak, Sandra harus mengarang. Dan kini Sandra mendapat pilihan yang semuanya tidak menyenangkan.

Ketika berpikir tentang “Keluarga Kami yang Berbahagia”, Sandra hanya mendapatkan gambaran sebuah rumah yang berantakan. Botol-botol dan kaleng-kaleng minuman yang kosong berserakan di meja, di lantai, bahkan sampai ke atas tempat tidur. Tumpahan bir berceceran diatas kasur yang spreinya terseret entah ke mana. Bantal-bantal tak bersarung. Pintu yang tak pernah tertutup dan sejumlah manusia yang terus menerus mendengkur, bahkan ketika Sandra pulang dari sekolah.

“Lewat belakang, anak jadah, jangan ganggu tamu Mama,” ujar sebuah suara  dalam ingatannya, yang ingin selalu dilupakannya.

***
    
Lima belas menit telah berlalu. Sandra tak mengerti apa yang harus dibayangkanya tentang sebuah keluarga yang berbahagia.

“Mama, apakah Sandra punya Papa?”

“Tentu saja punya, Anak Setan! Tapi, tidak jelas siapa! Dan kalau jelas siapa belum tentu ia mau jadi Papa kamu! Jelas? Belajarlah untuk hidup tanpa seorang Papa! Taik Kucing dengan Papa!”
Apakah Sandra harus berterus terang? Tidak, ia harus mengarang. Namun ia tak punya gambaran tentang sesuatu yang pantas ditulisnya.

Dua puluh menit berlalu. Ibu Guru Tati mondar-mandir di depan kelas. Sandra mencoba berpikir tentang sesuatu yang mirip dengan “Liburan ke Rumah Nenek” dan yang masuk kedalam benaknya adalah gambar seorang wanita yang sedang berdandan dimuka cermin. Seorang wanita dengan wajah penuh kerut yang merias dirinya dengan sapuan warna yang serba tebal. Merah itu sangat tebal pada pipinya. Hitam itu sangat tebal pada alisnya. Dan wangi itu sangat memabukkan Sandra.

“Jangan Rewel Anak Setan! Nanti kamu kuajak ke tempatku kerja, tapi awas, ya? Kamu tidak usah ceritakan apa yang kamu lihat pada siapa-siapa, ngerti? Awas!”

Wanita itu sudah tua dan menyebalkan. Sandra tak pernah tahu siapa dia. Ibunya memang memanggilnya Mami. Tapi semua orang didengarnya memanggil dia Mami juga. Apakah anaknya begitu banyak? Ibunya sering menitipkan Sandra pada Mami itu kalau keluar kota berhari-hari entah ke mana.

Di tempat kerja wanita itu, meskipun gelap, Sandra melihat banyak orang dewasa berpeluk-pelukan sampai lengket. Sandra juga mendengar musik yang keras, tapi Mami itu melarangnya nonton.

“Anak siapa itu?”

“Marti.”

“Bapaknya?”

“Mana aku tahu!”

Sampai sekarang Sandra tidak mengerti. Mengapa ada sejumlah wanita duduk diruangan kaca ditonton sejumlah lelaki yang menujuk-nunjuk mereka.

“Anak kecil kok dibawa kesini, sih?”

“Ini titipan si Marti. Aku tidak mungkin meninggalkannya sendirian dirumah. Diperkosa orang malah repot nanti.”

Sandra masih memandang keluar jendela. Ada langit biru diluar sana. Seekor burung terbang dengan kepakan sayap yang anggun.

***
Tiga puluh menit lewat tanpa permisi. Sandra mencoba berpikir tentang “Ibu”. Apakah ia akan menulis tentang ibunya? Sandra melihat seorang wanita yang cantik. Seorang wanita yang selalu merokok, selalu bangun siang, yang kalau makan selalu pakai tangan dan kaki kanannya selalu naik keatas kursi.

Apakah wanita itu Ibuku? Ia pernah terbangun malam-malam dan melihat wanita itu menangis sendirian.

“Mama, mama, kenapa menangis, Mama?”

Wanita itu tidak menjawab, ia hanya menangis, sambil memeluk Sandra. Sampai sekarang Sandra masih mengingat kejadian itu, namun ia tak pernah bertanya-tanya lagi. Sandra tahu, setiap pertanyaan hanya akan dijawab dengan “Diam, Anak Setan!” atau “Bukan urusanmu, Anak Jadah” atau “Sudah untung kamu ku kasih makan dan ku sekolahkan baik-baik. Jangan cerewet kamu, Anak Sialan!”

Suatu malam wanita itu pulang merangkak-rangkak karena mabuk. Di ruang depan ia muntah-muntah dan tergelatak tidak bisa bangun lagi. Sandra mengepel muntahan-muntahan itu tanpa bertanya-tanya. Wanita yang dikenalnya sebagai ibunya itu sudah biasa pulang dalam keadaan mabuk.

“Mama kerja apa, sih?”

Sandra tak pernah lupa, betapa banyaknya kata-kata makian dalam sebuah bahasa yang bisa dilontarkan padanya karena pertanyaan seperti itu.

Tentu, tentu Sandra tahu wanita itu mencintainya. Setiap hari minggu wanita itu mengajaknya jalan-jalan ke plaza ini atau ke plaza itu. Di sana Sandra bisa mendapat boneka, baju, es krim, kentang goreng, dan ayam goreng. Dan setiap kali makan wanita itu selalu menatapnya dengan penuh cinta dan seprti tidak puas-puasnya. Wanita itu selalu melap mulut Sandra yang belepotan es krim sambil berbisik, “Sandra, Sandra …”

Kadang-kadang, sebelum tidur wanita itu membacakan sebuah cerita dari sebuah buku berbahasa inggris dengan gambar-gambar berwarna. Selesai membacakan cerita wanita itu akan mencium Sandra dan selalu memintanya berjanji menjadi anak baik-baik.

“Berjanjilah pada Mama, kamu akan jadi wanita baik-baik, Sandra.”

“Seperti Mama?”

“Bukan, bukan seperti Mama. Jangan seperti Mama.”

Sandra selalu belajar untuk menepati janjinya dan ia memang menjadi anak yang patuh. Namun wanita itu tak selalu berperilaku manis begitu. Sandra lebih sering melihatnya dalam tingkah laku yang lain. Maka, berkelebatan di benak Sandra bibir merah yang terus menerus mengeluaran asap, mulut yang selalu berbau minuman keras, mata yang kuyu, wajah yang pucat, dan pager …

Tentu saja Sandra selalu ingat apa yang tertulis dalam pager ibunya. Setiap kali pager itu berbunyi, kalau sedang merias diri dimuka cermin, wanita itu selalu meminta Sandra memencet tombol dan membacakannya.
     
DITUNGGU DI MANDARIN
KAMAR: 505, PKL 20.00
     
Sandra tahu, setiap kali pager ini menyebut nama hotel, nomor kamar, dan sebuah jam pertemuan, ibunya akan pulang terlambat. Kadang-kadang malah tidak pulang sampai dua atau tiga hari. Kalau sudah begitu Sandra akan merasa sangat merindukan wanita itu. Tapi, begitulah , ia sudah belajar untuk tidak pernah mengungkapkanya.

***
Empat puluh menit lewat sudah.

“Yang sudah selesai boleh dikumpulkan,” kata Ibu guru Tati.

Belum ada secoret kata pun di kertas Sandra. Masih putih, bersih, tanpa setitik pun noda. Beberapa anak yang sampai hari itu belum mempunyai persoalan yang teralalu berarti dalam hidupnya menulis dengan lancar. Bebarapa diantaranya sudah selesai dan setelah menyerahkannya segera berlari keluar kelas.

Sandra belum tahu judul apa yang harus ditulisnya.

“Kertasmu masih kosong, Sandra?” Ibu Guru Tati tiba-tiba bertanya.

Sandra tidak menjawab. Ia mulai menulis judulnya: Ibu. Tapi, begitu Ibu Guru Tati pergi, ia melamun lagi. Mama, Mama, bisiknya dalam hati. Bahkan dalam hati pun Sandra telah terbiasa hanya berbisik.

Ia  juga hanya berbisik malam itu, ketika terbangun karena dipindahkan ke kolong ranjang. Wanita itu barangkali mengira ia masih tidur. Wanita itu barangkali mengira, karena masih tidur maka Sandra tak akan pernah mendengar suara lenguhnya yang panjang maupun yang pendek di atas ranjang. Wanita itu juga tak mengira bahwa Sandra masih terbangun ketika dirinya terkapar tanpa daya dan lelaki yang memeluknya sudah mendengkur keras sekali. Wanita itu tak mendengar lagi ketika dikolong ranjang Sandra berbisik tertahan-tahan “Mama, mama …” dan pipinya basah oleh air mata.

“Waktu habis, kumpulkan semua ke depan,” ujar Ibu Guru Tati.

Semua anak berdiri dan menumpuk karanganya di meja guru. Sandra menyelipkan kertas di tengah.

Di rumahnya, sambil nonton RCTI, Ibu Guru Tati yang belum berkeluarga memeriksa pekerjaan murid-muridnya. Setelah membaca separo dari tumpukan karangan itu, Ibu guru Tati berkesimpulan, murid-muridnya mengalami masa kanak-kanak yang indah.

Ia memang belum sampai pada karangan Sandra, yang hanya berisi kalimat sepotong:

Ibuku seorang pelacur…
                     
Palmerah, 30 November 1991

*) Dimuat di harian Kompas, 5 Januari 1992.  Terpilih sebagai Cerpen Pilihan Kompas 1993. 

Read more…