Kamis, 30 Mei 2013

PADA TIKUNGAN BERIKUTNYA


Karya : Musmarwan Abdullah

Aku berjalan kaki menempuh jalan pinggiran kota menuju ke kantor redaksi. Cerpenku kali ini dimuat pada saat yang tepat, di saat aku membutuhkan uang sesedikit apapun. Nah, cuma itu yang ingin kusampaikan padamu, kawan.
Selebihnya, tak ada yang dapat kuceritakan. Di ruang langit menggelantung awan-asap mesiu. Di hamparan tanah, darah berpercikan di batu-batu jalan. Dan, kemanapun wajah kupalingkan, yang kulihat hanya tentara-tentara.
"Berhenti!" tiba-tiba berteriak sekelompok tentara yang berdiri di tepi jalan yang tengah kulewati. Dan, begitulah aku wajib berhenti setiap tubuh kerempeng ini berpapasan dengan tubuh-tubuh mereka yang gagah dalam uniform militer yang megah.
"Angkat bajumu!"
Dan, aku mengangkat bajuku. Mereka meneliti sekeliling pinggangku. Tak ada pistol-rakitan yang terselip di sana. Tak ada sebilah rencong yang menantang di situ.

"Keluarkan kartu pendudukmu!"
Ya, kukeluarkan kartu pendudukku. Mereka membaca dengan suara agak tinggi: "Nama lengkap: Musmarwan bin Abdullah! Jenis kelamin: laki-laki! Tempat/tanggal lahir: Tanjong, sembilan-belas-enam-tujuh! Agama: Islam! Pekerjaan: penulis cerita pendek!" Sampai di sini mereka berhenti. Tentara yang membaca itu melihat ke arah temannya.

"Coba buktikan!" kata temannya itu.
Lalu mereka memberiku selembar kertas dan sebatang pena. Sambil tetap berdiri di situ aku menulis, "Tak ada yang dapat kuceritakan padamu, kawan, di saat inspirasi telah menjadi langka di ruang kontemplasi para tukang tulis cerita. Dialog telah gagal antara pemerintah dan kaum pemberontak. Pemerintah mengakui, mereka telah bikin melarat propinsi ini selama berpuluh-puluh tahun. Tetapi pemberontak tetap bersikukuh; ingin propinsi ini lepas dari republik. Maka pemerintah menetapkan propinsi ini dalam status darurat militer...."

"Hentikan!" teriak mereka. Dan begitulah aku wajib menghentikan tulisanku. Tentara yang berteriak itu melihat ke arah temannya. Teman itu mengangguk, "Orang ini dapat dipercaya," katanya. Lalu menyambung, "Darurat militer diberlakukan untuk menumpas pemberontak yang ada di seluruh propinsi ini, kau tahu?!"
Aku mengangguk. Dan, aku dilepaskan untuk meneruskan langkahku. Di tikungan berikutnya aku berpapasan dengan sekelompok tentara yang lain. "Berhenti!" teriak mereka.
Dan, aku berhenti.
"Angkat bajumu!"
Aku mengangkat bajuku.
"Mana Ka-Te-Pe-mu!"
Aku menyerahkan KTP-ku. Mereka membaca dengan suara agak tinggi, "Nama: Musmarwan bin Abdullah! Tempat/tanggal lahir: Tanjong, sembilan-belas-enam-tujuh! Kawin/tidak kawin: kawin! Pekerjaan: penulis cerita pendek!" Sampai di data ini mereka berhenti. Tentara yang membaca itu melihat ke arah temannya.
"Coba buktikan!" teriak temannya itu. Dan aku pun disuruh menceritakan sesuatu dengan lisan.
Sambil tetap tegak di situ aku berkata: "Tak ada yang dapat kuceritakan padamu, kawan, di saat inspirasi adalah ilham yang hampa di ruang kontemplasi para tukang tulis cerita. Aku tak punya keinginan untuk menembak tentara dan membunuh polisi karena aku bukan orang-orang pemberontak itu. Aku malah menyesal pada cerita-cerita ciptaanku yang tidak mampu memberikan pencerahan pada orang-orang kampung agar mereka tidak lagi memusuhi tentara dan membenci polisi, terutama di tengah darurat militer seperti ini. Atau barangkali selama ini memang ada yang tidak beres pada dua institusi ini?"

"Sudah! Cukup!" teriak mereka. Lalu menyambung, "Darurat militer digelarkan untuk menumpas pemberontak yang ada di seluruh propinsi ini, kau tahu?!" 
Aku mengangguk. Selanjutnya aku bebas meneruskan langkahku. Dan, pada tikungan berikutnya aku berjumpa lagi dengan sekelompok tentara yang lain. Hal yang sama terjadi. Aku disuruh bercerita. Dan, aku bercerita. Dan, pada kalimat-kalimat terakhir ceritaku kubilang, "Aku bukan penganut rasisme. Waktu kaum pemberontak membunuh dan mengusir orang-orang transmigran, aku malah menangis sambil memeluk anakku karena terbayang pada anak-anak mereka yang terseret-seret di semak-semak belukar seraya mulut mendesis memanggil ibu atau ayah mereka yang terbunuh hingga tidak dapat menuntun mereka mengarungi belantara demi belantara."

"Sudah! Cukup! Sedih sekali kau bercerita!"
Dan, aku dibiarkan meneruskan jalanku. Di tikungan berikutnya lagi nasib yang sama menimpaku pula. Dan, aku bercerita lagi. Pada sepanjang kalimat terakhir kubilang, "Dulu waktu zaman DOM banyak orang kami yang mati tak wajar kendati kesalahannya sangat kecil dan cukup patut untuk dimaafkan. Sekarang ketika salah satu dari kelompok masyarakat propinsi ini mau benar-benar merenggut tanah kaya ini dari rangkulan republik, eee, semua mau pamer wajah dan jasa di sini. PMI dengan mayat-mayatnya, Komnas HAM dengan bukti-bukti orang matinya, Kontras dengan data-data orang hilangnya, televisi dengan liputan perangnya, LSM dengan jasa makelarnya, para cendekiawan dengan komentar-komentar empatinya. O, indah nian. Semua yang di ibukota kebagian job bagus di propinsi ini. Dulu waktu kami menggelepar-gelepar bagai binatang-binatang tak berharga di bawah matahari DOM, kemanakah mereka semuanya? Di propinsi malang ini, setiap tragedi kemanusiaan akan selalu tertutupi oleh tragedi kemanusiaan berikutnya. Lingkaran siklus itu telah membuktikan, ternyata mereka tidak berarti apa-apa bagi kami."

"Sudah! Cukup!" teriak tentara yang berdiri di depanku. "Baik! Jalan!" Dan, aku kembali meneruskan jalanku. Di tikungan berikutnya lagi-lagi kutemui nasib yang sama. Kukatakan pada mereka, "Dalam setengah hari ini aku sudah delapan kali di-sweeping. Apakah itu belum cukup?" "Haa.. haa.. haa...!" mereka tertawa. Lalu aku disuruh membuktikan dengan jalan meceritakan kembali kronologi pemeriksaan pertama, kedua, ketiga, keempat, kelima, keenam, ketujuh dan kedelapan. Ya, kuceritakan. Panjang sekali. Berbusa kedua pinggir mulut ini. Dan, setelah itu aku disuruh lanjutkan jalanku.
Pada belokan selanjutnya aku berpapasan lagi dengan sekelompok tentara yang lain lagi. Peruntungan yang menimpa tiada beda. Aku lagi-lagi disuruh bercerita untuk membuktikan bahwa aku benar-benar tukang cerita. Kubilang, "Tak ada lagi yang dapat diceritakan."
"Ceritakan saja!"
"Ruang langit tempat turunnya ilham telah tertutup asap mesiu."
"Cerita apa saja!"
"Tak ada."
"Tentang apa saja!"
"Tidak."
"Apa saja yang melintas di pikiran!"
"Tidak."
"Baik! Jalan! Memang sudah beku otak pengarang kita ini!"
Kulanjutkan perjalananku. Langkah tak bisa kucepatkan karena lelah. Ketika tiba di kanto redaksi, hari sudah sore. Staf bagian keuangan sudah pulang. Aku gagal mengambil honorariumku. Di dompet sudah tidak tersisa sepeser pun. Aku teringat, makanan yang tersisa di rumah hanya cukup dimakan berdua oleh anak dan isteriku tadi pagi. Dan malam ini tak ada sesuatu yang akan kubawa pulang. Mau mengutang, tidak ada tempat untuk mengutang di saat semua tengah melarat.

Aku tiba di rumah manakala senja baru berganti malam. Di kamar kudapati isteri dan anakku sudah tertidur pulas. Aku tahu kenapa isteriku mengambil inisiatif membawa tidur anak kami lebih cepat dari biasanya, hingga ia sendiri jatuh terlelap tanpa sengaja.
"Tuk.. tuk.. tuk!!!" ketika aku mau ikut tidur tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk dari luar. Aku dengan malas membukanya. Seorang tentara bertopi baja menjengukkan wajahnya melalui renggang pintu yang terkuak setengah. "Darurat militer diberlakukan untuk menumpas pemberontak yang ada di seluruh propinsi ini, kau tahu?!" katanya.
Aku mengangguk. Ia menarik kembali wajahnya. Pintu sudah boleh kututup kembali.
Saat Subuh kurebahkan tubuhku pelan-pelan di samping isteriku. Aku mendesiskan kata-kata mesra padanya, kata-kata selamat tidur. Ya, tidurlah kalian dengan lelap meski perut tidak terisi apa-apa sejak siang tadi. Yang penting jangan memberontak. Di negeri ini memberontak dilarang. Dan, yang lebih penting lagi, jangan menangis. Di propinsi ini tangis tiada artinya.


Kembang Tanjong, 27 Juni 2003

Read more…

Jumat, 24 Mei 2013

Puisi-Puisi Reza Idria


Kepada Azhari
By Reza Idria

Kawan, naga itu menggeliat sudah
mengaum merah memerahkan peta
kita lalai melenakannya dengan irama
zikir dan dalae di meunasah-meunasah
kau, aku dan mereka semua
hanya nganga duka yang punya
sejauh tangkapan mata
hanya puing poranda, jasad-jasad tanpa nyawa
kawan, ini musim naga
serupa yang kau ceritakan dalam serita
dan “Nuh” yang kau reka
terlalu sunyi, gugup dan tersesat
terlambat mengabarkan akan datangnya air raya
dari laut yang surut
kulihat orang-orang tercinta kita
beriring bergandengan,
mereka bergumam
“naga hanya menggeliat belum terjaga
buat dia kembali terlena”


Krueng Raya-Lhok Nga
Oleh: Reza Idria
                                               (Dari punggung “El Poderrosa” BL 3010 AT)

Krueng Raya. Pada tiang-tiang masam kusam lumut
labuhan renta yang tak kuasa dimangsa laut
dari sini ku awali ingatan sejumput.
Dari sudut ke sudut, mata memungut sisa tanda setelah digerus maut

Pelanting kerikil, tapi tak setajam peluru
kepul debu namun tak sesangit mesiu dulu
dimamah gelinding roda-roda, membumbung
merabun murung usai bala melipat kampung

Tebing kering pupus setengah lamping
isyarat tegak ombak menabas karang beting.
Betapa sulit mengikat, memahat ingat
bahwa di sela bebatuan bukit itu kapal-kapal pernah tersesat

Indra Patra. Bentara uzur yang pongah gagu
debur asin angin buramkan cungkil kata pada batu
Berserulah kau, ini hanya reka hikayat-hikayat bisu
yang memaksa kekal dari waktu ke waktu

Ujong Batee. Jejar beberapa sisa cemara menghentikan
berkelebat bayang, di sini cinta-cinta pernah menebar bualan
menjelma jadi taman yang membuat kita kadang lupa lahir di tanah duka
Usai senapan. Samudera kemudian berlomba dan kita tak lagi tertawa

Alue Naga. Terlalu berat beban sejarah yang kita usung.
Hingga di sini, naga ingin kembali dikenang memintal gelung.
Peluknya telah membawa perempuan-perempuan pemecah tiram
yang senantiasa bergegas melawan gigil malam
......
Teman, kembali kau membayang pada bekas rumahmu telah apung
menjuntai di bayang pohon asam yang kara dan canggung
di mana kau dan aku pernah reguk uap candu mengepung
Hampir larut, tapi rihlah ini tidak boleh urung

Syiah Kuala, makam tua yang tak jadi karam
Mati kedua kali mungkin menjadi haram
Mungkin pula sebagai ingatan
Bahwa di sini ada banyak tanya yang tak menyedia jawaban
Segumpal badai belia coba mengaum dari laut.
Sekawan telanjang dada masuk tenda dengan berebut
rupa-rupa kecil yang dihardik lekas memeluk lutut
meski belum paham betul sebenarnya makna takut

Lam Pulo menebar wangi amis pahit
Susuranku masih sejajar garis langit
ada kapal besar di atas rumah masih betah
“Telanlah ludah, saat kita memang harus kalah”

Peunayong. Tak seriuh dulu, berbondong merindu rapat deru perahu
kerling perawan malam dalam piting lengan
kewajaran kelam satu labuh persinggahan.
Kita kerap berpura-pura tak bersaksi atas itu

Lampaseh. Ini kerumun aneh yang pernah kita sebut kota
tinggal jejak bungkah rumah dan gulita setelah senja
hempang udara basah terus menerus meradang
sempurna sudah pandang mata telanjang ke pantai terpentang

Ulee Lheu. Apa lagi yang harus kuikat tentangmu?
Palung masa tak hendak beranjak keluar pusaran itu.
Berpuak singgah mengadu cinta, dendam dan peruntungan
bungkam kini dalam kesendirian, hanya satu rumah tuhan yang terselamatkan

Peukan Bada. Lumpur menghembus wewangi purba
ada sulur kangkung menjulur pada tempat yang pernah kau sebut rumah, teman
jembatan ini kerap jadi perantara dan memabukkan kita
menyesap gemercik alur, hanyutkan laksa hayalan

Lhok Nga. Bahtera-bahtera telungkup, terdampar seperti Nuh
seperti berlari mendekap diri ke cadas-cadas tanpa mengaduh.
Di sini desah angin semakin sekarat, langit telah pudar benar.
Saatnya tetirah. Ini dulu juga bernama rumah, teman yang tak lagi berkabar

Serombongan burung putih melintas pulang
entah masih camar yang dulu, persaksian kala badai datang
atau mungkin kawanan baru yang juga hendak menggantikan, seperti kalian
tapi siapa yang sanggup membunuh kenangan?

                                                                                Desember 2005-Januari 2006

Kompas Minggu, 16 Juni 2006

Catatan: Krueng Raya - Lhok Nga adalah nama dua pesisir antara Banda Aceh dan Aceh Besar yang berjarak tempuh kurang lebih 55 km


Hikayat Kampung (Kini)
Oleh: Reza Idria

kami pernah berpeluh dan cemas
melangkah bergegas di ujung pagi
mencari ruang bernafas di jalan pintas
namun lekas di pesimpangan maut menanti

berkerejap mata setelah tempurung pecah
limbung muntah segenap yang ditahan
sekian masa malang dirundung gundah
kampung musnah menjelma lautan

kini kenduri digelar sekujur penjuru
menggantang deru nafas busung di dada
kuncup harap kian mekar merimbun perdu
denging peluru agar enyah dari telinga

berapa banyak rusuh, berapa banyak gaduh
rebah tubuh menyangga rindu kampung
hasrat masih penuh, apa daya wajah tinggal separuh
darah peluh jadi kenangan lahan bersabung

siapa simpan kini kami punya ingatan
bertukar lembaran selekas gumam mantra
belulang nancap nun di ngarai perbukitan
kabur perlahan berganti riuh tetabuh genta

gempita kampung menggelar hajat
desah umpat di sela riuh akad rujuk
berapa punah, berapa sekarat
ah, letih penat musnah dibelai peluk

perjamuan yang megah segera usai
dua mempelai mengusung keranda
terhumbalang dalam uap candu membadai
langkah gontai sisa mabuk ujung pesta


Ulee Kareng, 2007
Publikasi oleh Kompas, 22 Juli 2007


Stanza Jogja
Oleh: Reza Idria

Di tepi perigi ini, dari jemari kecil yang jauh
Melarung ke air penuh harap semoga lekas tumbuh

Sekepal tangkai seulanga dari ibu
Sekelumit doa tanpa tanda seru pagi itu

Ibu di sini, ibu di sana sama mengajar cinta
Anak di sana, anak di sini adalah anak-anak mereka

Saat duka tumpah dan ruah genang airmata
maka dari jauh ada lafal doa dan bunga-bunga

Ibu di sini:
Kami dengar Merapi mual dan tersengal
Ternyata laut jua yang terbelah lalu muntah

Ibu di sana:
Pagi sekarang gemar menghardik kita dengan duka
Bukan lagi kelam malam yang kerap menyimpan rahasia

Anak:
Ibu, setidaknya kita kembali disadarkan ada yang belum berhenti sebagai Tuhan

Kompas, Juni 2006

Reza Idria, Penyair Aceh pegiat di Komunitas Tikar Pandan

Read more…

Rabu, 22 Mei 2013

Telepon dari Aceh


-Seno Gumira Ajidarma

SEORANG koruptor zaman Orde Baru yang luput dari pengawasan Indonesian Corruption Watch duduk menghadapi meja makan. Di sana ia mengumpulkan istri dan anak-anaknya, dan sambil makan mulai bicara.

“Bapak sungguh-sungguh bersyukur, sampai hari ini Bapak masih selamat. Barangkali memang tidak mungkin menyapu seluruh koruptor yang ada di Indonesia. Koruptor nomor satu atau nomor dua memang tinggal ditunjuk, karena kekayaannya yang tidak bisa disembunyikan, meski juga tidak bisa dijadikan bukti, tetapi bagaimana dengan koruptor nomor dua ratus atau tiga ratus? Sedang Bapak saja, yang bisa korupsi sekitar Rp 200 milyar, ranking-nya cuma nomor 11.217. Pasti susah ‘kan, mencabut yang nomor 11.217 dari ratusan ribu koruptor? Jadi, barangkali untuk sementara kalian bisa tenang. Masih banyak koruptor kelas kakap yang hasil korupsinya tidak masuk akal, karena memang tidak terhitung. Bapak ini masih kelas teri. Cuma Rp 200 milyar. Masih bisa dihitung. Tenang sajalah. Lagipula Bapak ‘kan korupsi untuk kebaikan kalian semua. Supaya kalian anak-anak bisa sekolah di luar negeri, bisa punya rumah mewah, mobilnya tidak cuma satu, dan punya tabungan yang bunganya cukup untuk hidup sambil ongkang-ongkang kaki. Ya nggak? Bapak ini jelek-jelek tidak korupsi untuk diri sendiri, tetapi untuk keluarga. Demi kehormatan, kebesaran, dan keselamatan keluarga. Makanya kalian semua sekolah yang bener. Selesaikan pendidikan dengan sekolah di luar negeri, mumpung masyarakat Indonesia masih silau dengan gelar-gelar dari luar negeri. Perkara ijazahnya bisa beli, ya beli sajalah, untuk apa capai-capai berpikir? Lebih baik kalian pikirkan bagaimana caranya menyelamatkan kekayaan hasil korupsi Bapak. Pikirkan bagaimana caranya memutihkan tabungan, bagaimana caranya menghindar kalau disidik, dan cari orang-orang yang bersedia melindungi kita. Bayar saja sedikit. Kasih perempuan. Lantas diperas. Mereka tidak mungkin bicara. Uanglah yang akan bicara. Bagi rata kekayaan antara kita semua. Jangan rebutan. Itu sumber perkara. Hati-hati dengan kekuasaan. Jangan silau dengan politik. Itu hanya akan membuat kamu jadi singa. Biasanya singa akan mati diterkam singa lain. Lebih baik kamu jadi tikus seperti Bapak. Tidak usah hebat-hebat punya nama besar, pokoknya korupsi jalan terus. Kalau kalian punya jabatan di pemerintahan, meskipun tidak tinggi, kalau punya otak korupsi, bisa menjalankan korupsi dengan sistematis. Tidak usah banyak-banyak. Nanti terlalu kentara. Yang penting secara sistematis jalan terus. Seperti Bapak sekarang, menjelang pensiun sudah korupsi sampai Rp 200 milyar. Yah, memang tidak trilyun-trilyunan, tetapi kita tidak usah terlalu rakus. Kasihan rakyat kecil. Kalau semua koruptor korupsinya sampai trilyun-trilyunan, nanti rakyat kecil makan apa? Jangan-jangan sebutir beras pun tidak kebagian. Korupsi itu secukupnya sajalah. Asal cukup untuk istri dan anak-cucu. Nanti cucu-cucu kalian tidak usah korupsi lagi, karena sudah punya modal untuk berdagang seperti orang baik-baik. Meskipun modalnya hasil korupsi, tetapi generasi penerus kita bisa menjadi orang suci. Mereka tidak salah, ‘kan bukan mereka yang korupsi, tetapi Bapak. Biarlah Bapak menjadi tumbal, biarlah Bapak menanggung dosa dan masuk neraka, yang penting anak cucu Bapak menjadi orang-orang yang mulia.”

Koruptor itu bicara sambil makan. Istrinya mendengar juga sambil makan. Anak-anaknya makan sebanyak mungkin, entah mendengar entah tidak. Yang jelas mereka berkomentar tentang makanan.

 ”Enak juga lidah sapi ini.”

 ”Nyam-nyam.”

 ”Makanan hasil korupsi kok tetap enak ya?”

 ”Huss! Kalau tidak enak, untuk apa korupsi?

 ”O hiya ya? Aduh opor brutu! Nyam-nyam!”

 ”Aduh, hmmm, gulai kepala ikan bumbu Aceh! Sedap!”

 ”Ibu yang masak itu, satu-satunya sisa kepandaian warisan nenek moyang.”

 ”Nyam-nyam.”

 ”Nyam nyam.

 ”Nyam nyam.”

 Bapak, Ibu, enam anak, dan tiga cucu, makan dengan lahap di meja kayu jati tanpa sambungan yang mahal. Empat pembokat berdiri di empat sudut ruang dengan serbet di bahu, siap melayani tanpa diperintah, harus tahu sendiri apa yang mesti dilakukan berdasarkan pengabdian bertahun-tahun.
 Di meja makan bertumpuk segala macam makanan yang serba berminyak, sehingga berkilat-kilat ditimpa cahaya lampu kristal yang gemerincing dari Italia.
 Lampu kristal itu gemerincing karena angin.

 ”Kencang juga angin ini, sampai bisa masuk rumah kukuh begini.”

 ”Bapak, di luar hujan deras.”

 ”Sudahlah, apa soalnya dengan hujan? Ayo makan!”

Sendok dan garpu berdenting-denting menimpa piring. Di luar hujan deras sungguh kelabu. Dari Jakarta sampai Aceh.

***

 SEBUAH tangan menyembul dari balik tanah. Mula-mula hanya telapak tangannya, tetapi hujan deras lantas menyisihkan tanah, sehingga seluruh lengannya muncul.

 ”Ada tangan.”

 ”Apa?”

 ”Tangan.”

 Tanah becek itu sebentar-sebentar berkilat. Dalam hujan deras yang penuh dengan guntur dan halilintar, orang-orang akhirnya menemukan tempat itu.

 ”Ini arah yang ditunjuk anak gembala itu?”

 ”Iya, jejak roda truk itu menuju ke sini.”

 ”Ayo gali! Cepat!”

Orang-orang menggali tanpa kata. Hanya terdengar suara pacul dan sekop menyendok tanah di tengah suara hujan dan angin yang hingar-bingar. Suara air hujan yang menghempas ke daun-daun pohon pisang, suara ranting-ranting yang berdesau miring tertiup angin, dan suara-suara angin itu sendiri yang menampar-namparkan hujan ke wajah mereka yang basah. Guntur dan halilintar meledak-ledak sebentar-sebentar menerangi langit. Setiap kali langit menjadi terang, orang-orang yang mencangkul dan menyekop itu sekilas berpandangan. Wajah mereka basah oleh air hujan maupun air mata. Tiada seorang pun dari mereka merasa betapa angin sebenarnya begitu dingin.

Mayat-mayat muncul dari dalam tanah seperti kenyataan. Sepuluh, dua puluh, tiga puluh, empat puluh, lima puluh. Sebagian bisa dikenali. Sebagian tidak. Semuanya mendapat luka tembak.

***

“ADUH, Bapak menyedot otak dari kepala ikan begitu amat!”
 ”Aku tak pernah mau menyisakan gulai kepala ikan bikinan ibumu.”

 Bapak menyedot lagi. Suara hirupannya bagaikan sedotan kilang-kilang minyak yang menembus lautan bergelora. Tuntas dengan kepala ikan, Bapak menyedot sumsum tulang sapi. Usai dengan sumsum tulang sapi, disikatnya pula sumsum tulang kambing. Terakhir disedotnya sumsum tulang ayam.
 Satu keluarga bersendawa bersama-sama.

 ”Hoooiikkk!”

Itulah kode bagi empat pembokat untuk bekerja cepat. Meja yang semula bagaikan ladang pembantaian penuh tulang-tulang berserakan, kulit udang dan kepiting bertebaran, tusuk-tusuk sate, bungkus-bungkus daun ikan pepes, dan piring-piring kosong segera menjadi bersih.
 Empat pembokat datang kembali dengan puding karamel.

 ”Waw! Karamel!” Cucu-cucu yang serba gendut berteriak.
 Bapak langsung nyosor. Sroooggg…

 Di luar hujan tidak kunjung reda. Hampir saja dering telepon itu tidak terdengar. Seorang pembokat membawa gagang tanpa kabel itu kepada Ibu.

 ”Interlokal dari Aceh,” kata pembokat.

 Ibu yang masih kekenyangan menerima telepon. Di telepon pun ia masih sempat bersendawa. “Hooiikkk!” Tetapi kemudian wajahnya menjadi tegang. Ia berdiri, menjauh dari meja makan.

 ”Ya, ya, ya. Besok pagi saya ke sana.”

 Kemudian ia meletakkan telepon. Membalikkan badan ke meja makan.

 ”Ahmad ditemukan,” katanya.

***

MALAM itu Ibu tidak ikut berkumpul di depan TV yang layarnya seluas layar bioskop. Di dalam kamarnya yang besar dan mewah dengan jendela-jendela raksasa bertirai impor, cermin mukibat, peraduan raja-raja, dan bau setanggi dari India, lbu duduk tepekur. Di depan cermin tempatnya biasa berhias terdapat foto keluarga bersama ayah dan ibunya. Foto itu dibuat di Banda Aceh. Ia yang paling dewasa dari tujuh bersaudara duduk paling kanan. Ahmad, yang paling bungsu, dipangku ibunya.

“Mana Ibu?” kata Bapak.

“Di kamar, menangis,” jawab putrinya yang bungsu.

 Bapak tertegun sebentar, tetapi tampak malas bergerak.

 ”Ah, nanti juga sedihnya hilang,” pikirnya.

 Sementara itu hujan semakin deras. Cucu-cucu yang suka bermain di teras yang seperti amphiteater Yunani itu berlari ke dalam.

 ”Kakek! Kakek! Di luar hujan darah!”

 ”Ah, yang bener, kalian kekenyangan barangkali.”
 Namun anak-anaknya menimpali.

 ”Hujan darah? Jadi benar kata ramalan cuaca!”

 Bapak menjadi bingung.

 ”Apa kata ramalan cuaca?”

 ”Hari ini ada hujan darah dari Aceh.”

 Telepon berdering lagi. Bapak berpikir cepat.

 ”Cepat terima itu! Kalau ada yang mati lagi di Aceh, jangan kasih tahu Ibu! Aku capek melihat dia menangis!”

Jakarta, Selasa 3 Agustus 1999

Read more…