Selasa, 25 Februari 2014

Perihal Cantik

Karya Amek Barli


KETIKA aku beranjak tidur dan istriku masih saja menatap kaca solek, tiba-tiba ia bertanya, “Menurutmu, apa aku cantik?”

Sontak aku terkejut dan membisu mendengar pertanyaan yang dilontarkannya. Aku berpikir keras demi mendapatkan jawaban. Apakah istriku cantik? Aku harus menjawabnya segera.

“Memperistri orang cantik itu penting, Mex. Sembuh lelah kita melihatnya tiap pulang kerja dan ketika ia berdandan. Cantik itu bisa menjadi penambah semangat!” kata Bang Ham ketika mengutarakan keinginanku melamar pacarku yang sekarang sudah jadi istriku. Aku tidak peduli pada nasihat Bang Ham. Kemudian aku nikahi pacarku itu.

Beberapa temanku meledek pilihanku: Memperistri perempuan kaya namun tidak pernah mempertimbangkan wajahnya. Apakah benar istriku jelek lantaran kulitnya hitam? Badannya gemuk - aku pernah memintanya mengurangi makanan, tapi istriku malah marah besar - dan pendek? Tapi dia memiliki mata sipit, rambutnya lurus, dan gaya jalannya enak dilihat.

Tidak. Istriku tidak mutlak jelek seperti kata teman-temanku. Ada kalanya ia terlihat cantik. Misalnya, ketika di sedang mencuci pakaian, bagaimanapun wajahnya terlihat begitu manis dengan nafas terengah- engah menahan lelah. Keringat mengalir lebat membasahi kening dan pipinya. Ketika itu, apabila kutawari dia minum atau kusuruh istirahat, dia hanya tersenyum. Senyum itu.keikhlasannya telah membuatnya cantik di mataku.

Tapi betapa geramnya aku ketika pada suatu Senin dia membuat kehebohan di kantorku. Di kantorku setiap hari Senin karyawan diwajibkan memakai seragam warna merah. Hal itu juga berlaku kepada tamu yang ingin bertandang ke kantor. Hari itu matahari menyala garang dan membakar. Istriku datang dengan rantang terjinjing di tangan dan memasuki kantorku tanpa beban.

Bayangkan, seorang wanita berkulit hitam memakai baju siffon berwarna merah dengan rantang di tangan. Teman-temanku terlihat menahan tawa. Aku paham mereka sedang menertawakan istriku. Aku keluar ruangan dan menemui istriku. Lalu membawanya ke ruanganku. Di satu sisi aku malu dengan tatapan diam-diam teman-temanku, namun di sisi lain ia adalah istriku.

Tak mungkin aku ikut menertawakan istriku sendiri. Semestinya aku harus berterima kasih kepadanya sebab ia mau mengantarkan untukku makan siang meskipun terik matahari membakar kulitnya yang memang sudah hitam.

Aku tidak suka warna merah oleh satu sebab yang aku tak tahu. Tapi istriku, ketika hendak tidur selalu saja memakai piyama berwarna merah. Dia selalu bersolek sebelum tidur, kebiasaan yang sebenarnya paling tak kusukai darinya. Maka, agar ia tidak berlama-lama di depan kaca solek dan bergegas tidur, aku kerap mematikan lampu kamar ketika baru saja ia memakai bedak. Istriku kesal dan bertanya, “Kenapa kamu matikan lampunya? Aku belum selesai. Apa salah kalau aku ingin selalu kelihatan cantik di depanmu!” Untuk mencairkan suasana, aku bilang padanya, “Tanpa bersolek pun kau tetap cantik, Sayang.” Dia tertawa senang. Namun kebiasaannya tidak juga berubah.

***

“Apakah aku cantik?” tanya istriku. Bulan lalu, ketika merayakan kenaikan pangkatku, kami membuat kenduri. Aku membantu istriku untuk persiapan kenduri. Aku menemaninya membeli apa-apa saja yang diperlukan di pasar. Aku melihatnya menawar dengan ramah. Namun, ketika penjual sayur menawarkan barang sedikit lebih mahal, raut wajahnya seketika berubah kesal dan palak. Tak mau kalah, istriku terus menawar sampai si pedagang menyerah. Dia bahkan akan menawar mati-matian untuk  menurunkan harga lima ratus rupiah. Sungguh kelewatan. Ketika itu wajahnya terlihat lucu dan jelek.

Matahari semakin terik namun barang-barang persiapan kenduri belum semuanya terbeli. Dari pasar sayur, langsung aku mengajak istriku ke toko baju. Sangat khas raut wajah istriku ketika di toko baju. Senyum tidak pernah lepas dari bibirnya. Tak kelihatan raut-raut kesal seperti di pasar sayur tadi. Dia terlihat cantik di sini. Kecuali ketika ia mencoba mengenakan sebuah gaun merah yang ditaksirnya. Untung saja tidak jadi dibeli gaun sialan itu.

***

Seminggu setelah kenaikan pangkatku, kami mendapat kabar duka dari kampung. Ayah mertuaku meninggal lantaran stroke. Mendengar kabar itu, kami pun langsung menuju ke rumah duka. Sesampainya di sana istriku menangis melihat sang ayah terbaring dengan mata terkatup dan mulut terbuka seperti orang kelelahan. Tak mau larut dalam kesedihan, ia beranjak mengambil Al-quran, dan membacanya. Sungguh indah ketika ia sedang melantunkan  ayat-ayat suci. Pada saat itulah, aku melihat istriku berbeda dari apa yang dikatakan oleh teman-temanku. Aku mendapati istriku cantik. Aku menyayanginya.

***
“Apakah aku cantik?” suatu hari istriku mengejutkanku lagi.

Sebulan setelah mertuaku meninggal, istriku dan saudaranya sangat berhasrat dengan harta warisan ayah mereka. Sebagai suami, tentunya aku harus mendampingi istriku saat perundingan pembagian harta warisan dilakukan. Mereka mengadakan rapat keluarga ditemani pengacara keluarga. Lima bersaudara - lima perempuan -  itu menjadi yatim piatu setelah kematian mertuaku.  Adapun istriku anak keempat. Dalam rapat keluarga, istriku tampaknya yang paling serakah di antara kakak dan adiknya. Hasratnya yang begitu menggebu terhadap harta itu dibayang-bayangi oleh kakak pertamanya yang segera merasa didaulat sebagai pemimpin keluarga.

Aku jelas terkejut melihat sikap istriku. Sangat tak mengenakkan melihat wajahnya yang diliputi kekesalan, kemarahan, dan sinis terhadap saudara kandungnya. Berbeda sekali ketika ia duduk di samping jasad ayahnya pada saat melantunkan doa-doa. Dalam keadaan begini, bukankah sudah kukatakan pada engkau bahwa dia benar-benar terlihat jelek? Kali ini ia menambah hina dirinya karena dibutakan oleh harta.

Setelah berdebat semalaman, rapat akhirnya selesai. Aku menemuinya. “Apa sudah kau dapatkan apa yang kauinginkan?” tanyaku. “Aku tak suka dengan sikapmu ketika rapat tadi.”
“Tenang, Sayang,” katanya. “Kau tak mengetahui siasatku. Aku bersikeras seperti itu karena kakak pertamaku memiliki sifat buruk. Dia sangat suka menghamburkan uang di tempat-tempat hiburan. Aku tak ingin harta peninggalan ayah digunakan untuk hal yang hina seperti itu,” jawab istriku berlinang airmata.

“Maafkan aku!”

“Aku ingin harta itu disumbangkan untuk sebuah panti asuhan,” sambungnya sedih.

Hatiku tersentuh oleh niat istriku yang ternyata tulus dan tidak serakah sebagaiman dugaanku. Aku berusaha menenangkan dirinya. Dia  akhirnya tersenyum. Senyum yang memancarkan keanggunan. Istriku kembali terlihat cantik. Cintaku kepadanya semakin bertambah.

Setelah dia tenang dan aku berjanji untuk terus mencintainya tiba-tiba sifat tidak terduganya kembali muncul. “Apakah sulit untuk menjawab pertanyaanku?” bentaknya.

“Maaf. Apa maksudmu? Aku tidak paham,” jawabku.

“Apakah aku cantik? Berkali-kali sudah aku tanyakan. Berkali-kali engkau mengalihkan persoalan. Kamu tinggal menjawab iya atau tidak. Apakah itu sulit?” dia marah dan mematikan lampu kamar. (*)



* Amek Barli, pegiat di Komunitas Jeuneurob dan Mahasiswa Gemasastrin angkatan 2012

Read more…

Rabu, 19 Februari 2014

PUISI-PUISI AFZHAL PUTRA ARMI


Edisi Desember 2010
Balada Rindu
Balada rindu mencekam
cintaku padamu yang biasa saja adanya
tak berkurang dan terus bertambah
seperti laju kaki yang tak pernah henti berjalan
begitu aku pada kau

Terkadang tumit ini merengek
mengajak berhenti
tak peduli terus menuruti kata hati
semakin kumenapak
semakin jauh pula hentian pijak

Jalan terjal penuh duri
kaki mengerang menetaskan air mata
dari mata merahnya
itupun tak berarti kumenepi

Kau tetap kunanti dan terus kurindui
meski balada ini mencekam ulu bayi hati
( Abdya, 8 Oktober 2010 )

Untukmu
Makin hari kau kian bertingkah
bukankah telah kuhidangkan segelas kopi manis di atas meja
yang dilapisi piring putih kecil
dan itu hanya untukmu

Apa itu belum berarti lebih dari cukup untuk
yang sepertimu dari yang sepertiku?
cinta untukmu seluas samudera?
tidaklah juwita

Aku mencintaimu separo dari aku
dan kau berarti
( Abdya, 23 Oktober 2010 )

Edisi Februari 2011
Bunda
Terkadang kita merasa haru saat berkata
“terus saja timpang kaki berdiri
tapak makin tipis hari ke hari”

Terus berjalan menapaki waktu dan masa
mencecap kasih sayang untuk kita dari Bunda
entahlah, kapan kita bisa membuatnya tersenyum?

Awal nafasnya melelah
mula geraknya mulai merebah
bagaimana akhir hembusan nafasnya?

Begitu ikhlas dan tak ambil upah
Bunda tersenyum pada waktunya tiba

Kau bahagia, aku bahagia
jika aku bahagia, semoga kau juga merasa
maka kupaksakan untuk kita bahagia
tapi, kau dan aku
mari bahagiakan bunda
( Abdya, 08 Februar 2011 )

Mengapa bangga?
Mengapa bangga?
Padahal iba membuat kita lupa pada etika
Manusia menyembunyikan kebodohan

Terus menambah padahal rugi telah di tangan
Lalai terambing kiri kanan
Tak sadar terpojok ke sudut
Kian lama yang tinggal hanya sisa
Ditinggal oleh masa
( Abdya, 09 Februari 2011 )


Afzhal Putra Armi, berasal dari Aceh Barat Daya dan bergiat di Komunitas Jeuneurob


*Sumber: Harian Aceh

Read more…

Minggu, 09 Februari 2014

Puisi-Puisi Hamdani Chamsyah



Malam Menunggu Tangis

-- Kepada 20 Juli 1990


Muasal daku Rabbu menghendak
Kun di ayah kun di ibu
Jadi, maka jadilah

Ada gelisah di wajah
Kala ibu menahan sakit di bawah kaki bukit rumah nan sempit
Malam berwujud kelam, aku mengetuk-ngetuk pintu rahim
Hidup atau mati

Ada airmata di matamu ibu
Menyimpan bahagia atau kecewa
Pada rahim yang kaujaga hingga hampir tiba
Aku masih dalam rupa belum nyata

Dan malam mendengar tangis
Kun kalam Ilahi
Telah menjadi

Ada kebahagian pada suara ayah
dalam lafat azan dan iqamah pada kedua telinga
Aku mendengarnya

Ada kebahagian pada bibir dan tangan ibu
Menguncup dengan lembut dan mengelus hingga tertidur
Aku dalam peluk

Kun kalam Rabbu
Jadi, maka telah jadi

20 Juli 2013



Bulan Kepergian

-- selamat tamasya, Khaira

Januari yang celaka adalah bulan yang basah, Khaira
Beberapa butir masuk ke dalam kamarku
Membawa kabar kau telah pergi

Bertamasyalah Khaira, di sana Tuhan telah menunggumu
Jika kau telah bertemu Tuhan titipkan salam kami padaNya
Kami akan menyusul

Istirahatlah Khaira, Januari yang basah menjemputmu pulang
Kepangkuan Tuhan
Di sana kau berlibur panjang sembari menunggu kami datang
Kita bertemu di sana

Januari yang basah bulan kepergianmu, Khaira
Tuhan memanggilmu duluan
Penunggu kami belakangan
Selamat tamasya, Khaira.

Banda Aceh, 7 Januari 2014



Sajak Sore

-- kepada Rinai

Kukutip beberapa butir hujan yang singgah di halaman rumah
kujadikan sajak untukmu; semalam aku kalah

Di jendela kamar, aku mengintip butir-butir jatuh
kukutip butir hujan yang menjelma tawamu
lalu, aku pindahkan dalam sajak, untukmu; pemenang

Kukirim sajak ini ke dalam hatimu
sebab kau pinta kirim menurut hatiku
dan aku mengirimnya

Sore dibalut hujan sendu
dalam butir hinggap di daun-daun
di atap rumah
aku membisu

20 Desember 2013



Hamdani Chamsyah, penyair asal Aceh Barat Daya. Bergiat di Komunitas Jeuneurob dan Mahasiswa Gemasastrin FKIP Unsyiah angkatan 2009

*Sumber: Serambi Indonesia. Minggu, 9 Februari 2014
http://aceh.tribunnews.com/2014/02/09/malam-menunggu-tangis

Read more…