Oleh: Makmur Dimila
Sumber: Harian Aceh, 04 Agustus 2011
Asmara, kata yang banyak makna. Beda usia, tempat, suasana, akan beda penafsirannya. Dalam bulan puasa Ramadhan, orang Aceh sepertinya setiap hari mendengar kata ‘asmara’ kala subuh tiba. Lebih-lebih bagi muda-mudi, nyaris saban hari menikmati asmara subuh dengan jalan-jalan di jalan negara dalam kampungnya, sehingga populer dengan sebutan asmara suboh.
Ada tujuh tipe penyuka rutinitas ini. Pertama, orang yang tak salat subuh berjamaah—bahkan tak salat sendiri di kediamannya. Seperti Si Tus. Begitu jamaah pulang dari meunasah, ia keluar rumah dengan roda dua yang bunyi knalpotnya seperti trieng teuplah (bambu pecah). Lalu temui Isan yang sudah janjian malamnya.
Kemudian mereka susuri jalan pelan-pelan. Mengekori setiap gadis-gadis yang masih mengenakan silukom (mukena) di badan, atau, gadis-gadis dengan pakaian olahraga tempat ia menuntut ilmu. Dirayu-rayu. Begana-begini. Macam-macam dah.
Kecuali merayu wanita, pemuda demikian pergi ke tempat balapan liar. Di sana mereka berlomba-lomba jadi yang tercepat sehingga dapat perhatian penonton. Apalagi bila banyak dara-dara yang menyaksikan, para pembali (pembalap liar) itu senang sekali dengan harapan dara-dara kampung atau yang baru pulang dari kota menaruh rasa suka padanya, padahal dara itu cuma suka melihat ia buang-buang bensin motornya. Kasihan sekali para pembali itu ketika tak dilirik si dara, atau mati di jalanan usai tabrakan juga terpeleset di jalan aspal hingga berdarah-darah.
Kedua, muda-mudi yang sengaja salat berjamaah di meunasah, seperti Si Him. Usai itu, ia juga asmara suboh bareng kawan-kawan yang sepaham dengannya. Ketiga, sengaja salat subuh berjamaah, namun kejamaahannya tak tuntas, sebab langsung pamit dari surau begitu imam selesai mengucapkan salam pertama. Lalu buru-buru pulang ke rumah, antara memilih tidur lagi atau pergi asmara suboh.
Keempat, sengaja salat jamaah ke meunasah atau masjid, dengan harapan dapat menemui kekasihnya di sana, seperti Je. Lalu begitu usai salat, keduanya jalan-jalan dengan penuh kemesraan di atas motor. Bagi yang sudah kawin, asmara suboh adalah momen tepat untuk bermesraan; memadu kasih atau menyambung ‘cerita’ semalam.
Kelima, ibu-ibu yang memang sangat ikhlas memanfaatkan salat subuh berjamaah selama puasa Ramadhan sebab kesempatan itu nyaris tiada selain pada bulan suci itu. Ibu-ibu ini, seperti Po Ramlah emaknya Aya, setelah asmara suboh sebentar yang bertujuan hilangkan rematik, mereka biasanya ke sungai untuk mengutip batu-batu kecil di pantai. Batu itu akan ditabur di makam keluarga atau diruah ke halaman rumah.
Keenam, orang-orang yang tertidur usai makan sahur, dan terjaga sekitar jam 6 pagi atau bahkan sampai siang nanti, terbuka peluang untuk bangun sore hari, agar tak terasa lamanya tahan lapar dan haus. Mereka mesra lam tika eh.
Ketujuh, sebagian bapak-bapak memilih berkebun atau bertani begitu pulang dari berjamaah subuh di meunasah. Mereka akan berasmara suboh dengan tanamannya. Ada juga tetua yang memilih cang panah atau poh cakra (cuap-cuap) di balai jaga setelah salat berjamaah. Mereka mesra dengan perdebatan cara-cara orang melakukan salat barangkali, seperti perselisihan jumlah rakaat salat sunat tarawih: 8 atau 20 atau 36?
Dari beberapa tipe orang Aceh dalam momen subuh setiap Ramadhan, sepertinya yang keempat paling banyak. Namun begitu, misalnya keluar ide melarang asmara suboh, kiranya tak perlu. Sebab asmara suboh, setidaknya jamaah salat subuh penuh, sehat, dan semangat dalam menjalankan puasa meski pagi-pagi sudah harus cuci mata yang kemungkinan membatalkan pahala berpuasa.
0 komentar:
Posting Komentar