Jumat, 09 September 2011

Puasa dan Etika Jalan Raya

Oleh: Sammy Khalifa
Sumber: Harian Aceh, 23 Agustus 2011



angingunungombaktinggi.blogspot.com
Inti dari berpuasa adalah menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkannya. Kriteria larangan yang dimaksudkan dalam berpuasa itu sangat jelas dikemukakan dalam Islam. Yaitu aktivitas-aktivitas yang berhubungan dengan pemuasan nafsu naluriah manusia seperti makan, minum, berhubungan suami-istri, dan lain sebagainya. Hal ini harus dilakukan mulai dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari selama sebulan penuh di bulan Ramadhan.
Jika salah satu perkara yang disebutkan di atas dilanggar, maka secara otomatis pula puasa seseorang akan batal. Kecuali apa yang dilakukannya itu tanpa disengaja. Misalnya seseorang yang baru bangun tidur siang di bulan Ramadhan, lalu tanpa sengaja ia menenggak segelas air putih. Namun kemudian ia tersadar bahwa ia sedang berpuasa, lalu ia menghentikan aktivitas minumnya saat itu juga. Hal-hal seperti ini masih diberikan toleransi ataupun pemakluman dalam berpuasa, sehingga
ia bisa melanjutkan kembali ibadah puasanya dan tidak akan batal.

Sikap di Jalan Raya

Berpuasa sambil tetap menjalankan aktivitas seperti hari-hari biasa kadang mengalami rintangan dan cobaan tersendiri. Apalagi bagi mereka yang dalam aktivitas atau akses menuju tempatnya beraktivitas dituntut untuk menempuh jarak transportasi yang jauh. Contohnya seperti mahasiswa yang harus bolak-balik dari rumah atau kosan ke kampus dan perpustakaan.
Terlebih lagi bagi mahasiswa yang tidak mempunyai akses transportasi yang menunjang aktivitasnya semisal sepeda motor. Bisa dibayangkan sendiri, seorang mahasiswa yang harus berjalan kaki di bawah terik matahari serta debu dan polusi yang kerap membuatnya mengurut dada. Aktivitas-aktivitas “ekstrem” semacam ini tentu membutuhkan motivasi serta perjuangan yang tidak sedikit.
Namun realitas yang terjadi di jalan raya selama ini sepertinya tak pernah mau mengerti nasib orang-orang seperti mahasiswa pejalan kaki tersebut. Di jalan raya, sudah jarang sekali kita temukan sikap sopan-santun ataupun toleransi antara sesama pengendara dan pejalan kaki. Jalan raya kini telah menjelma menjadi media  kekuasaan baru (kapitalisme) bagi penggunanya. Kelompok mayoritas ataupun yang dalam bahasa Karl Marx disebut sebagai kaum borjuis-pemodal (kapitalis), yaitu mereka yang memiliki akses transportasi yang mumpuni akan mendominasi dan berkuasa di jalan raya, sementara kaum lemah atau orang-orang yang tidak memiliki akses transportasi akan semakin tertindas tanpa ada yang peduli.
Ketika di jalanan, para pejalan kaki harus menghirup asap knalpot dan polusi debu yang diproduksi kendaraan-kendaraan roda dua dan empat di jalanan. Selain itu, kompetisi sesama pengendara, yang biasanya kendaraan roda dua saling adu nyali dengan balap-balapan di jalan raya. Hal ini jelas mengganggu kenyamanan pengendara-pengendara lain yang mengendara sesuai dengan tata-tertib lalu-lintas. Namun karena ingin menguasai jalanan, toleransi terhadap kenyamanan serta keselamatan para pengendara lain pun diabaikan.
Contoh lainnya seperti sikap para pengendara yang suka mengebut, menyalib pengendara lainnya di jalanan, menerobos lampu merah, membunyikan klakson sesuka hati hingga menguasai hampir seluruh badan jalan dengan mengobrol dengan teman sesama pengendara lainnya. Ini adalah bukti bahwa pengendara telah menjadi “raja-raja kecil” di jalanan dengan ego kapitalismenya.
Dalam pembahasan psikoanalis Sigmund Freud, sikap yang tidak toleran di jalan raya merupakan pengejewantahan dari insting tanatos (death instinct), lawan dari insting eros (life instinct). Tanatos merupakan insting yang ada dalam diri manusia yang meliputi hal-hal yang bersifat agresif, destruktif, serta sikap kebencian dan hal negatif lainnya. Sebaliknya, eros mencakup untuk rasa cinta, mengasihi, toleransi, keterpanggilan terhadap kepedulian seseorang dan sebagainya.
Kedua insting yang saling bertolak-belakang ini ada dalam jiwa setiap manusia dan berada dalam struktur kepribadian yang paling primitif dalam diri manusia, “id” (das es), atau prinsip dorongan kesenangan yang bersumber dari keinginan dan kebutuhan dasar manusia yang yang dipicu oleh nafsu naluriah manusia. Tanatos yang dalam perspektif psikoanalisis diasumsikan sebagai hal yang berakar dari nafsu manusia jelas sangat bertolak-belakang dengan orientasi ibadah puasa yang mewajibkan kita untuk menahan diri dari sesuatu hal yang berbau nafsu.
Selain itu, hal tersebut juga memberikan dampak yang negatif bagi orang lain. Dalam konteks sikap anti-toleran di jalan raya, pengendara lain akan mendapatkan imbas yang negatif pula. Ketika ada pengendara yang bersikap semena-mena di jalanan, maka secara otomatis pula respons yang diekspresikan atau ditunjukkan kepada pengendara anti-toleran itu tentu emosi yang tak terkendali seperti marah, geram, kesal atau bahkan meneriakinya dengan lantang. Jadi yang dirugikan oleh perilaku tersebut bukan hanya pengendara itu sendiri, tetapi juga berakibat buruk terhadap sikap negatif pengendara lain.

Instrumen Toleransi

Selama menjalankan ibadah puasa, amarah ataupun emosi-emosi negatif lainnya juga dikategorikan sebagai media pelampiasan nafsu yang bisa membatalkan puasa seseorang. Jika budaya anti-toleran di jalan raya itu terus dipelihara, maka banyak sekali para pengendara yang harus melampiaskan amarah nafsunya akibat sikap pengendara lain yang tidak mempunyai kepedulian. Sikap yang mengabaikan norma-norma sosial serta kesopanan di jalan raya itu akan menjadi pemicu (trigger) timbulnya kemarahan pengendara yang mematuhi prosedur dan tata krama lalu-lintas di jalanan.
Mengacu pada kasus di atas, puasa memiliki peran yang sangat vital. Hakikat dari puasa bukan sekadar menahan diri dari aktivitas makan dan minum semata, namun bagaimana kita merefleksikan serta mengimplementasikan hikmah puasa itu dalam kehidupan sehari-hari. Jika hal tersebut tidak diperhatikan, maka ini sama saja seperti apa yang disabdakan Rasulullah SAW bahwa puasa seseorang akan sia-sia belaka dan hanya mendapatkan lapar dan haus semata serta kehilangan dari puasanya.
Puasa merupakan instrumen vital untuk membentuk karakter serta sikap yang toleran terhadap sesama. Karenanya bulan Ramadhan juga disebut sebagai syahru tarbiyah alias bulan penuh pelajaran. Hal ini berdasarkan tujuan puasa sendiri yaitu untuk merasakan serta memahami keadaan saudara-saudara seiman lainnya yang serba kekurangan. Sehingga diharapkan dengan merenungi hakikat puasa maka akan melahirkan sikap toleransi yang nyata antar sesama.
Begitu pula dalam konteks lalu-lintas di jalan raya. Sesama pengendara harus saling memiliki kepedulian, kepekaan, pengertian serta sikap toleran. Dengan modal tersebut, maka akan tercipta suasana yang kondusif dan harmonis di jalanan. Ini sesuai dengan spirit puasa yang berdayaguna menjadi sebuah medium perjuangan melawan peradaban yang agresif, anarkis, arogan, destruktif serta anti-toleran. Semoga momen ibadah puasa di uroe get, buleun get, bulan Ramadhan ini akan menggugah kesadaran kita agar lebih toleran terhadap sesama pengendara dan menjaga norma-norma sosial, kesopanan serta tata-tertib lalu-lintas selama berada di jalanan, menuju peradaban yang humanis dan penuh toleransi. Amien!

0 komentar:

Posting Komentar