Senin, 19 September 2011

Sang Perisau

Oleh: Nazar Shah Alam
Sumber: Harian Aceh, 18 September 2011

Dalam cenung, terkadang aku merasa sekali bahwa aku adalah seorang perisau. Risau akan semua keadaan yang pantas dan bahkan hingga yang tak pantas kubawa risau. Maka, bila risau datang dengan gelagat paling menakutkan dalam hatiku, aku menjadi seorang penyendiri. Terasing dan, kemudian jadilah aku pengumpat. Ya, untuk kampung yang penuh racau, kacau-balau, selain mengumpat, apalagi yang bisa memunahkan risau? Hanya dengan mengumpat saja segenap masalah dalam diri akan musnah; hancur berkeping-keping.




Jika tiba saatnya, jadilah aku si tukang umpat. Selain mengumpat, tak ada lagi yang bisa kita lakukan untuk sekedar mengubah cara pikir orang-orang dekat, para kerabat, dan beberapa kawan sesama pengumpat. Ya, kita memang wajar menjadi pengumpat. Mengumpat para politisi, para birokrat, para artis kampung yang over acting; yang suka sekali kejar-mengejar seperti tikus dan kucing, sutradara yang kehilangan kreativitas dan monoton, penyanyi kampung yang plagiat, anak muda yang masih menghembuskan asap rokok walau telah terdengar beduk imsak; bahkan hingga shalat subuh usai, para pengguna jalan tak ada etika, para muda di jembatan hura-hura, para ibu-ibu kampung yang sok ikut trend berpakaian kota, para dara banyak gaya, para tua yang duduk di emperan kedai hingga azan jumat usai, para mahasiswa sok idealis; sok aktivis sehingga tak tahu meletakkan di mana lagi idealismenya, para kawan yang merasa sempurna dan tahu banyak hingga nampak lebih bodoh dan konyol, para yang suka menjatuhkan pamor orang lain, para iri, para picik, para, ah, banyak sekali.



Maka, jika tiba saatnya, kukira aku pantas menjadi perisau. Bahkan, wajar pula menjadi pengumpat. Sebab, menulis sebuah hikayat untuk sebuah isyarat tentu tak cukup kertas, tak cukup dawat. Mengubah mereka. Ah, apa yang bisa kita lakukan selain dari hanya mengumpat belaka? Menulisnya di koran-koran. Sia-sia. Mereka tidak pernah membaca koran. Kalaupun ada, maka mereka tak acuh saja.



2

Matahari masih sangat panas tersiram di atas rambut. Siang semrawut. Kota besar untuk sebuah daerah kecil ini terlihat begitu hiruk. Tak ada aturan. Sembari menunggu seorang kawan, aku menyapir ke sebuah emperan toko pakaian perempuan. Kawanku sedang mencari baju bayi untuk kawan kami yang lain yang baru saja dikaruniai seorang bocah kecil laki-laki. Dasarnya aku tak begitu dekat dengan emak bayi itu. Hanya saja, ia begitu akrab dulu berkawan dengan kawan perempuanku. Mereka dulunya, semasa sekolah, adalah kawan se-gank. Ah, gank!



Aku paling tidak suka pada yang mengotak-ngotakkan pertalian. Seolah mereka hanya hidup dan bergantung sesamanya saja. Bukankah kita diciptakan berbeda-beda untuk kemudian kita tidak jenuh pada hidup ini? Tuhan maha tahu. Dan untuk hidup, diciptakannya kita berbeda-beda adalah untuk membuat semacam perpaduan warna. Bayangkan jika pelangi itu hitam semua, jika yang tumbuh di dunia pohon apel semua, jika rumah di dunia rumah panggung semua, jika tari di dunia tari saman semua, jika lagu di dunia adalah dangdut semua. Mana indahnya?



Begitulah, kemudian aku mengumpat mereka. Ah, bukan, kukatakan itu pada mereka dengan terus terang. Namun mereka marah dan hanya ada satu orang yang sepikiran denganku; kawan perempuanku yang sedang mencari baju untuk bayi kawan kami itu. Maka kemudian ia menjadi seorang yang luas sekali pikirannya, tak ada picik sedikit pun. Setidaknya begitu, menurutku.

“Apa pula kau, bujang, mengatur kami? Apakah kau patah hati sebab ditolak salah satu dari awak kami ini?” sindir Nurbaya padaku ketika kusampaikan pendapatku itu. Yang lain terbahak-bahak mendengarnya.

“Oh, sama sekali tidak, puan! Hanya saja aku merasa dengan adanya gank, semakin sempitlah pergerakan perhubungan kita.” Jawabku membela diri.

“Sudahlah, bujang. Kami sedang tidak perlu siraman rohani. Sebaiknya kamu mencari saja perempuan yang bernama Rohani untuk kau sirami.” Sahut Laila. Sama seperti tadi, ucapannya disambut ledak tawa para awaknya.

3

Perempuan itu sedang sesunguk ketika kami tiba di rumahnya. Sebuah rumah sederhana. Konon, ia merasa tak diperdulikan sang suami yang bekerja sebagai sopir truk dan tak sempat pulang pada kelahiran anak kedua mereka ini, bahkan hingga hari kelima anaknya lahir. Ah, perempuan. Apa maksudnya, ia tidak diperdulikan? Bukankah lelakinya di sana sedang bekerja untuk dia dan anak-anaknya? Bukankah ia adalah seorang pengharap hidup kaya harta?



Aku ingat betul cerita Azalea; kawan perempuanku yang tadinya membeli baju untuk bayi kawan kami yang baru lahir itu. Bahwa dulu cita-cita mereka mendapatkan pasangan yang mapan dan kaya, sekarang mendapat kenyataan berbeda. Dari lima kawan berkawan mereka, tiga lainnya sudah berumah tangga. Tentu yang tiga orang yang sudah menikah ini adalah para jebolan dalam gank mereka dan terkenal cantik rautnya. Para mereka yang selalu saja berbicara dengan logat agak ditinggi-tinggikan dan dimentel-mentelkan, dulunya juga sering mengatakan,”tak ada kereta, sorry lah yaw” dan tertawa bersama keras-keras, menghina para bujang tak berharta orang tua, sekarang mendapatkan pasangan yang seperti mereka risaukan. Maka ingin sekali—jika mengingat hinaan mereka—aku tertawa terbahak-bahak, kalau perlu di muka mereka. Hahahahhahahahaha



4

Jika tiba masanya, aku ingin sekali tidak mengumpat. Hanya saja, jika kupikir berkali-kali, aku rasanya tak akan menghilangkan kebiasaan ini. Bagaimana mungkin aku diam, kampung ini adalah kampung penuh risau. Aku merisaukan pemimpin yang tak pandai berpidato; tak pandai membaca puisi; tak hafal lagu kebangsaan, aku merisaukan senior yang selalu ingin terlibat secara berlebihan; hingga kemudian terkesan para junior baru benar ketika nantinya ia sudah menjadi senior, kurisaukan bujang kampungku yang sudah sangat jauh bergesernya etika ke arah yang buruk, kurisaukan tayangan televisi yang kian menyesatkan, kurisaukan aktris film kampung yang kian berani mengumbar aurat, kurisaukan penegak hukum Tuhan yang kelewatan dan pandai sekali memilih siapa yang hendak dihukum dan siapa yang tak bakal, kurisaukan, ah, kurisaukan diri sendiri yang sekarang dilanda kerisauan.


0 komentar:

Posting Komentar