Oleh: Makmur Dimila
Sumber: Harian Aceh, 27 Agustus 2011
Ketika sahur, Si Him kecil bangun dengan mengucek-ngucek mata. Ia selalu mengingatkan ibunya sebelum tidur guna banguninya untuk makan sahur. Seperti kata ustadznya, ia harus belajar puasa sejak kelas satu Sekolah Dasar.
Tapi, ketika nantinya sudah memasuki jam 12 siang, Si Him tak sanggup lagi. Ia lapar dan dahaga. Ia pun ke meja makan, menguak tudung nasi, didapatinya sisa nasi dan lauk-pauk sahur tadi. Emaknya tak melarang saat melihatnya sebab menganggap si anak masih dalam tahap belajar.
Setelah itu Si Him keluar rumah. Dan bermain lagi dengan anak-anak seusianya. Lalu ia mengejek-ngejek kawannya yang setelah makan sahur tapi makan nasi lagi ketika dzuhur. Dan menyatakan dirinya masih berpuasa.
Ia mengatai sejawatnya itu, “puasa kah puasa sidom, leueh puasa pajoh bu lom.” Kira-kira bila diindonesiakan: puasa kamu puasa semut, setelah puasa makan lagi.
Nantinya setiba waktu berbuka, Si Him akan duduk beserta keluarganya dan berbuka bersama, kali kedua baginya. Saat itu ia belum paham betul tentang puasa.
Tapi itu hanyalah kisah Si Him kecil. Bila diteliti, itu sepertinya menjadi kisah orang-orang bertubuh besar, berpangkat besar, berkepala besar, dan siapa saja. Bahkan ada orang dewasa yang juga “menjalani” puasa sidom seperti anak-anak, terbukti dengan berita ditangkapnya penjual nasi dan pelanggannya pada siang hari Ramadhan.
Puasa sidom (semut) itu agaknya bisa dikaitkan dengan tabiat manusia dalam hal beribadah selama bulan Ramadhan. Sebelum muncul, sebagian besar orang sangat merindukan kehadiran bulan suci. Begitu ia tiba, orang-orang memanfaatkannya dengan memperbanyak ibadah. Berlomba-lomba membaca Al-Quran, salat tarawih, witir, dan ibadah lainnya. Yang sebelumnya tak pernah pakai peci dan sarung akan mengenakannya selama Ramadhan.
Namun setelah Ramadhan berlalu, semangat beribadah itu seperti hilang, hilang, dan kian menghilang sampai kembali bersemangat ketika Ramadhan berikutnya datang, jika Allah mengizinkan.
Perihal demikian sama halnya dengan puasa sidom yang dialami bocah-bocah Aceh dalam belajar berpuasa. Bagi Si Him dkk, setelah makan sahur makan lagi kala siang, lalu berpuasa lagi dan berbukanya saat waktunya tiba.
Bila dianalogikan pada muslim akil baligh yang “berpaham” puasa sidom, maka setelah berada di tempat tinggi—dalam artian sudah banyak amal kebaikan—selama Ramadhan, kembali menurun begitu ia pergi. Setelah berbuat baik, berbuat buruk lagi, kemudian berbuat baik lagi di Ramadhan akan datang, lalu kembali buruk. Naik-turun.
Begitulah amal muslim: naik-turun. Kecuali Nabi yang amal baiknya naik terus. Usaha kita adalah membuat amal baik tak menurun drastis dan berusaha memperbaikinya. Meunan.
0 komentar:
Posting Komentar