Minggu, 31 Maret 2013

Puisi, Penulis Muda, dan Media


Karya Nazar Shah Alam
 
Saya pernah mendapat satu pesan singkat dari seorang siswa tentang bagaimana caranya melihat puisi yang bagus atau yang tidak bagus dan bagaimana caranya agar dimuat di koran. Saya tidak membalas pesan itu. Besoknya di sekolah saya mengganti materi dari semestinya tentang surat menyurat menjadi materi tentang puisi. Di ruang kelas yang pengap itu saya mencoba mengalihkan perhatian mereka dengan bertanya tentang pertanyaan salah satu dari mereka kemarin. Jawabannya sangat variatif, mulai dari enak dibaca (barangkali maksud mereka, diksi), tema yang bagus (standarnya tidak dijelaskan), berima, mudah dipahami, dan sebagainya.

Pada kesimpulannya, saya setuju pada semua pendapat mereka. Diksi, tema, rima, mudah dipahami memang hal-hal yang sangat menentukan dalam puisi. Namun itu, kemudian perlu dilihat bagaimana penggunaannya. Saya pernah membaca dan mendengar banyak sekali teori tentang puisi yang baik dan benar, namun saya simpulkan saja di hadapan mereka seperti ini.

Sebuah puisi yang bagus adalah puisi yang tidak pergi jauh dari unsur pembangunnya. Untuk menembus koran, salah satu caranya adalah dengan menciptakan puisi yang bagus. Bagaimana membuat sebuah puisi yang bagus, sebenarnya ini masalah selera. Orang acap berbeda selera bacaannya, bukan? Jadi untuk menentukan bagus atau kurang bagusnya sebuah karya sama saja seperti menentukan bagus mana lagu dangdut dan pop pada dua orang yang masing-masing menyukai salah satunya. Sulit sekali dan tidak memiliki titik temu yang jelas. Namun itu, setidaknya ada beberapa cara untuk menilai bagus-tidaknya sebuah puisi dengan berpijak pada landasan teori dasar penciptaan puisi sebuah puisi. Puisi memiliki aturan tertentu yang kadang acap dibelakangi oleh penyair-penyair sekarang. Di antara yang banyak yang sudah dibelakangi itu, ada  beberapa aturan yang mau-tidak mau tetap dituruti. Dari situlah kemudian kita mulai menilai sebuah puisi.

Diksi
Penggunaan diksi adalah seni dalam sebuah puisi. Kata-kata yang dipilih diharapkan bisa memperindah dan menegaskan puisi tersebut. Diksi erat sekali kaitannya dengan kata kongkret (kata yang mampu memunculkan imaji) dan permajasan (kiasan). Diksi yang digunakan tentu mesti sesuai dengan kebutuhan puisi, tidak berlebihan dan kemudian “menggelapkan puisi segelap-gelapnya” hingga sulit sekali dipahami. Perbandingannya seperti ini:

matahari jatuh ke pusat peradaban
menghancurkan geliat musafir jengah
seperti cerobong telinga menitih hamparan laut

Puisi tersebut menggunakan kata-kata yang dipilih dengan pertimbangan menggunakan kata-kata puitik. Namun sebenarnya puisi ini kurang baik karena terasa sangat berlebihan menggunakan diksinya. Pembaca kesulitan menemukan makna dari rangkaian kata-kata dalam puisi tersebut. Bandingkan dengan puisi ini:

Kabut saban waktu mengerubungi langit
saban waktu menggelapi matahari
berbenah pada musim ini
membuat tubuh sedikit melipir
sedikit menguras keinginan
Desau selalu terdengar
Menyeruak hingga labirin telinga
menyusupkan rayuannya
(Cerita di Musim Lindap, Afzhal Putra Armi, Serambi Indonesia, 18 September 2011)

Pemaknaan dari diksi yang digunakan boleh jadi penulis sedang ingin meninggalkan suatu masalah, namun tetap saja tergoda dengan masalah yang sama. Diksi yang terpilih dan bisa dimaknai secara gamblang atau tersirat. Inilah yang dimaksud penggunaan diksi yang tepat. Pada potongan puisi Kepada Tangse karya Makmur Dimila yang dimuat di Serambi Indonesia, 13 Maret 2011 berikut menggunakan kata kongkret dan permajasan yang bagus sebab mampu memunculkan imaji dan kesan yang bagus pada pembaca.

…..
Kemarin, kamu menangis
air mata cokelatmu mengalir deras, begitu maha,
menyapu tuan-tuanmu sampai mereka tak berdaya bergulir ke ujung kakimu
dan dengan liur kuning, kamu jilat tuan-tuanmu hingga mereka singsing celana mau mengungsi; entah ke mana
….

Selain itu, dalam penggunaan diksi, anomatope (tiruan bunyi) yang berlebihan juga agak mengganggu. Barangkali banyak orang tidak mempermasalahkan hal ini, sebab ini masalah selera kembali. Namun, tentunya hal tersebut rasanya puisi tersebut asal-asalan. Puisi adalah sebuah karya sastra yang menginginkan keindahan, kelugasan, dan kesan di dalamnya ketika dibaca. Maka menggunakan diksi yang sesuai dan tak berlebihan dengan keinginan puisi tersebut sangat menentukan bagus atau kurang bagusnya puisi tersebut.

Tema
Sebenarnya dalam puisi mana pun tema yang diangkat tidak terlalu perlu dipermasalahkan. Mungkin bila tujuannya adalah koran, tentunya puisi yang diciptakan mengikuti selera koran. Tema cinta sedikit sekali ruang untuk koran, tentunya. Namun hal tersebut tidak mutlak, sebab ada juga puisi bertema cinta yang dimuat di koran. Sebut saja salah satunya puisi  Surat Cinta karya Sulaiman Djaya yang dimuat di Koran Tempo, 08 Januari 2012.
 …
Bayangkan, di sebuah taman,
aku duduk menunggu
dan kau tersenyum, berpayung hitam,
meski tak ada hujan.

Di sebuah langit yang mendung
atau di sebelah November yang agak ungu,
kita sekedar bertukar kata, tentang apa saja:
tentang seorang malaikat, yang, entah kenapa
ingin menjual sepasang sayapnya
karena bosan mengembara seperti kita.
…..
Tentu saja tema cinta tersebut mesti diracik sedemikian rupa agar mampu menembus dominasi tema sosial di koran-koran. Puisi cinta yang berbicara tentang diri memang banyak sekali ditemui, apalagi pada para remaja. Walaupun demikian, puisi cinta yang puitik tetap memiliki ruangnya sendiri dan tetap mesti patuh pada aturan. Tema puisi yang baik adalah tema yang tidak melihat kepentingan diri belaka di dalamnya, melainkan juga bisa menggugah orang lain yang membacanya.

Rima
Pada dasarnya puisi kontemporer sudah tidak lagi terikat dengan rima, irama, persajakan, atau bait. Hanya saja, kemudian puisi itu menjadi lebih indah dibaca bila rimanya teratur dan rapi. Penggunaan rima dalam puisi kontemporer tentu berbeda dengan penggunaan rima pada puisi lama. Untuk puisi kontemporer, rima yang digunakan lebih terbuka dan tidak begitu mengekang. Kita bisa lihat contohnya dalam puisi Sajak Sebelum Tidur, Nash Al Mayra yang dimuat di Serambi Indonesia, 26 Juni 2011 berikut:

Bersama sepotong sepi, hujan pecah jadi puisi
Buntal awan gerayangi langit jengkal ke jengkal
Bersama sepotong sunyi, malam pulang sendiri
Dan awan mengajak ruh memintal mimpi
Aku melihat puisi membaca dirinya sendiri
Dan di sana ia jadi apa pun jadi

Puisi tersebut berima, tapi tidak secara keseluruhan. Sangat berbeda dengan puisi lama yang diketahui salah satunya pantun. Rima dalam puisi lama bersifat mengikat dan mutlak.

Tipografi
Tata wajah (tipografi) puisi pada era kontemporer sudah sangat bebas. Untuk puisi-puisi tertentu tipografi memang sangat berpengaruh. Namun tipografi yang banyak digunakan adalah bentuk Spon, seperti pantun namun tidak terikat jumlah baris. Puisi pada masa kontemporer kadang hanya satu baris saja, satu kata saja, atau kadang isyarat dengan gambar saja. Namun itu, lazimnya penulis menulis puisi beberapa baris. Ini bergantung pada kemauan penulis atau perasaan penulis dalam menulis puisinya. Dalam puisi Tanya Bumi karya Hamdani Chamsyah, penulis memakai bentuk spon.

Salahkah jika kami murka?
Sedang kalian  menganiaya
Membunuh tanpa rasa
…..

Bentuk puisi yang bermain dengan tipografi lainnya adalah seperti puisi Makmur Dimila, Pesan Petir pada Kampus Biru yang dimuat di Harian Aceh, 8 Januari 2011 yang menggunakan gaya prosa.

Kau duduk merebah tubuh pada kursi goyang, mengepul awan rokok, di bibir jendela, mengarang kebahagiaan fana, pada malam muda. Kau lihat langit pekat membentang. Tak ada gemintang. Tiada pula bayanganku yang duduk bersandar di lengkungan bulan sabit. Sudah Januari, kau menanti sejak September. Penantianmu tergapai. Dan, petir meledak pada dinding langit. Kau tumbang. Mulut mengucap, aku tak dengar isinya. Hanya kutahu, cahaya petir menyampaikan pesan. Pesan yang sederhana: aku mulai membencimu petinggi kampus biru!

Bentuk wajah dalam penulisan sebuah puisi terkadang memiliki makna tersendiri: cara baca, ungkap, maksud, dan style. Secara keseluruhan bentuk wajah tidak begitu mengikat mesti seperti ini atau itu. Puisi sudah sangat luas dimaknai. Ini menyangkut selera, ruang, gaya, dan tujuan saja sebenarnya.

Agar Dimuat di Koran
Koran dalam perkembangannya menjadi media empuk untuk mengembangkan kreativitas menulis bagi para muda. Walaupun ruang yang disediakan sangat kecil dan porsi waktu hanya tersedia sekali dalam seminggu, namun penyediaan ruang itu bolehlah dikata sudah baik. Beberapa kawanku mengeluhkan pembagian ruang yang dinilai hanya diisi oleh beberapa nama saja atau puisi-puisi standar rendah menurut mereka. Mencoba berpikir realistis, bahwa semua orang punya selera yang berbeda dan tema yang diangkat koran juga acap berbeda pada setiap ruangnya, maka kemudian perlu ditekankan bahwa koran memiliki nilai tertentu untuk semua karya.

Selera redaktur terkadang jauh berbeda dengan selera penulis dan pembaca. Ini lumrah saja. Namun itu, selalu saja ada cara untuk menembus media tersebut. Koran lebih berpegang pada tema. Salah satu cara gampang untuk mengetahui karakter yang diinginkan redaktur adalah dengan membaca karya yang pernah dimuat di sana. Hal ini bermanfaat agar penulis bisa mengetahui bagaimana tema, bentuk, dan ukuran yang bisa diterima koran yang dituju. Selain itu, momen juga sangat berpengaruh pada akan atau tidak akan dimuatnya sebuah tulisan.

Masalah pada penulis muda adalah terlalu mengikuti idenya. Padahal, untuk koran, momen adalah hal yang boleh dikata sangat diutamakan selain daripada tema besar yang lebih cenderung kepada tema sosial. Bila sedang musim mangga, berbicaralah tentang mangga, itu akan memudahkan penulis menembus media. Kadang kala diksi yang lugas menjadi pilihan redaktur. Jadi bahasa yang berbunga-bunga kadang kala tidak perlu terlalu dimainkan di dalam sebuah karya yang tujuannya untuk koran atau rubrik majalah tertentu.[]

Sumber: http://nazaralam.wordpress.com/2012/03/11/sebaiknya-menulis-puisi/#more-342
Judul asli: Sebaiknya Menulis Puisi?

0 komentar:

Posting Komentar