Oleh: Makmur Dimila
Sumber: Harian Aceh, 07 Agustus 2011
Asal puasa atau mau lebaran, beberapa iklan yang membuat anak-anak merengek-rengek, remaja-remaja termehek-mehek, orangtua capek, muncul di layar kaca. “Apa penyebab orang-orang dari menonton televisi bisa menjadi korban iklan?” tanya Je pada Ari. “Hom,” sahutnya, menggeleng kepala.
Sebelum Je beri tahu rahasianya, ia ingin menceritakan kebiasaan kawan-kawannya masa kecil. Ketika belajar berpuasa masa-masa SD, Si Him selalu merengek pada orangtua untuk membeli apa yang dilihatnya dalam iklan. Terutama iklan sandal yang kalau membelinya berhadiah mobil-mobilan, jam tangan atau gem bot.
“Mak, bloe lagee lam tivi (beli seperti yang di tivi),” rengek Isan pada ibunya. Permintaan demikian membingungkan si ibu. Sebab Isan tak tahu benda apa yang dilihatnya. Di kepalanya, yang penting seperti ditampilkan televisi. Sebagai ibu yang punya naluri keibuan, ibu Isan menyempatkan diri menyimak setiap iklan pada suatu hari dalam bulan puasa itu, sampai Isan kecil berkata lagi, “Mak, bloe lagee lam tivii.”
Tak lama kemudian, Isan menyerukan kalimat itu ketika iklan deodorant untuk ketiak tampil. Ia mengira itu permainan bola kecil yang digulir-gulirkan pada selangkangan lengan. “Alah hai Potalah,” komentar si ibu, “nyan kon mainan hai neuk,” sambungnya, “tapi, atom brok”. Sontak Ari menangis. Sedang si ibu menyumpal mulutnya dengan lughok (sejenis timphan) agar tak lagi menangis.
Lain pula dengan Ari. “Ah, kau Je, masa kecil kita tak usah diceritakan. Cukup mereka saja,” sergah Ari. Oke oke. Pun begitu, Je mengisahkannya jua di lain waktu, bahwa ketika kecil, Ari selalu meminta dibeli baju-baju superhero, seperti seragam Bat Man, Super Boy, Power Rangers, Ultra Men, Zorro, dan Spider Man.
Yang perlu dikata, “kita jadi korban iklan terkadang sampai dewasa, sampai hari ini,” kata Je lagi pada Ari di sela-sela ngopi di Dhapu Kupi. Bilamana melihat iklan yang penjelasan naratornya atau cerita dalam iklan, “kita mengiyakannya. Dan besok sudah membelinya. Apalagi perempuan, sangat tertarik dengan kosmetik yang diiklankan oleh gadis cantik-cantik dengan memamer bentuk tubuh.”
Kenapa semudah itu audiens (pemirsa) menjadi korban iklan? “Karena, seperti dikatakan senior saya yang menulis skripsi tentang iklan,” itu karena adanya ‘positioning’ dalam pesan iklan, yaitu mencari jendela dalam otak konsumen, sehingga apa yang diinginkan pembuat iklan (pemilik produk) masuk dalam otak manusia. Positioning itu agar tersambung dalam memori nudes manusia, yakni penyimpan informasi yang terletak dalam otak manusia. Barangkali sederhananya, “memposisikan pesan iklan dalam otak manusia.”
“Misal,” ada iklan yang menyampaikan, “cewek gampang bosan,” lalu sebagai solusi, “gunakan parfum yang wanginya berubah-ubah.” Nah, kata Je, pesan demikian sangat masuk akal, sehingga kaum cowok buru-buru membeli parfum yang wanginya berubah-ubah itu.
Atau contoh lain, iklan tentang obat pil/kapsul yang mencegah penyakit lambung selama berpuasa, maka disiapkan iklan yang diperankan aktor agak islami dengan berkata, “minum (nama obat disensor), agar puasa lancar.” Haha, Ari tertawa mendengarnya. “Yaya, saya paham,” katanya.
Nah, demikianlah sedikit rahasia mengapa masyarakat Indonesia atau Aceh khususnya ‘ditipu’ iklan, sehingga menjadi korban iklan. “Semoga bermanfaat di bulan yang penuh berkah ini,” kata Je.
0 komentar:
Posting Komentar