Oleh: Nazar Shah Alam
Sumber: Harian Aceh, 05 Agustus 2011
Konon, dalam bulan Ramadhan ini Pengko berniat untuk memperbaiki kebiasaan ibadahnya. Paling kurang ia sudah lebih rajin shalat dan berbuat kebaikan. Di hati ia berniat jika Ramadhan selesai maka ia mesti menjadi orang yang lebih baik dari waktu sebelumnya, baik dari segi amal ibadah maupun dari segi sikap.
Maka mulailah ia rajin melaksanakan ibadah wajib dan sunnah. Dikuranginya kebiasaan yang selama ini lebih banyak mendatangkan mudharat daripada manfaatnya. Ia mulai mengurangi tidur dan banyak-banyak bersalawat.
Tibalah pada hari Jumat. Di rantau, ia sangat sering meninggalkan ibadah yang satu ini. Musababnya sangat beragam. Ia merasa bahwa di kota Banda, sebagian pemuka agama tidak belajar tentang ilmu keefektifan, maka kemudian para pemuka agama itu sering keliru menjalankan tugasnya. Mereka kurang belajar ilmu rasa, atau lebih tepatnya ilmu merasa-rasa. Sehingga, bagi anak muda semacam Pengko yang belum begitu kuat beragama dan masih terus belajar, akan timbul keengganan dalam melaksanakan kewajiban agamanya.
Di kampung Kuta Ganteng, ketika Teungku Khatib naik mimbar untuk berkhutbah, sang Teungku seakan diwajibkan untuk tahu jatah waktu. Menjadi imam juga begitu. Misal, seperti Jumat ini, sang khatib tidak begitu panjang lebar menguraikan nasehat. Langsung-langsung saja dan bernasehat yang penting-penting saja. Beliau tahu bahwa para makmum bukanlah semua orang-orang yang kuat duduk dan rata-rata mesti kembali bekerja sepulang dari masjid. Maka di kampung Pengko, rata-rata orang tua dan pemuda senang untuk mengikuti ibadah berjamaah. Saat menjadi imam pada seluruh shalat berjamaah, para imam di kampung Pengko tidak membaca ayat-ayat yang sangat panjang. Para imam tahu bahwa makmum di belakangnya bukan semua orang kuat berdiri. Barangkali ada yang sakit, barangkali ada yang buru-buru mengerjakan sesuatu, barangkali ada anak muda yang semacam Pengko—belum kuat sekali agamanya dan masih belajar untuk kuat. Tentu apabila imam memaksa diri membaca ayat-ayat panjang maka ibadah sebagian makmum yang mengikutinya akan tidak ikhlas.
Jauh berbeda dengan di kota Banda. Jika khutbah Jumat, para khatib menguraikan nasehat sedetail-detailnya, sampai kepada hal-hal yang tak terlalu penting sekali pun. Khutbah sudah semacam kampanye. Maka, semenarik apapun, tetap saja akan membosankan. Apalagi di sana notabene makmumnya adalah pekerja. Sangat tidak efektif apabila bernasehat terlalu panjang lebar di mimbar. Imam-imam masjid terkadang sering tidak mengindahkan makmumnya. Tidak peduli apakah makmumnya ada yang tidak kuat berdiri karena mungkin mengidap suatu penyakit, buru-buru mengerjakan sesuatu, atau ada makmum yang seperti Pengko—belum kuat sekali agamanya dan masih belajar menguatkannya. Sangat tidak efektif apabila Imam membaca ayat-ayat yang terlalu panjang, padahal. Bahkan suatu kali Pengko sempat berujar pada Shakir,”Aku enggan sembahyang di masjid tertentu di kota Banda ini, imamnya tak tahu diri. Memangnya kita ini semua sama, apa? Banyak hal lain yang perlu kita kerjakan. Dia enak, sudah kaya. Nah, kita, kita mesti bisa mengerjakan hal yang lain setelah ibadah. Aku pernah diusir dosen karena telat sekali masuk ruangan kuliah hanya karena khatib yang terlalu panjang khutbah dan imam yang membaca ayat sepanjang satu juz dalam shalat Jumat. Sakit hati aku. Tak sah mungkin ibadah aku hari itu. Maka jika aku tak datang lagi shalat Jumat, itu murni salah teungku-teungku itu.”
Namun, ketika di kampung seperti ini, Pengko merasa bahwa di sini para teungku sangatlah pandai menarik minatnya untuk beribadah. Teungku-teungku yang baik dan tahu makmum adalah umpama gula pada kue cincin, kata Wak Lah ketika dibonceng Pengko dengan sepeda ontelnya sepulang shalat Jumat di kampung mereka.
Maka mulailah ia rajin melaksanakan ibadah wajib dan sunnah. Dikuranginya kebiasaan yang selama ini lebih banyak mendatangkan mudharat daripada manfaatnya. Ia mulai mengurangi tidur dan banyak-banyak bersalawat.
Tibalah pada hari Jumat. Di rantau, ia sangat sering meninggalkan ibadah yang satu ini. Musababnya sangat beragam. Ia merasa bahwa di kota Banda, sebagian pemuka agama tidak belajar tentang ilmu keefektifan, maka kemudian para pemuka agama itu sering keliru menjalankan tugasnya. Mereka kurang belajar ilmu rasa, atau lebih tepatnya ilmu merasa-rasa. Sehingga, bagi anak muda semacam Pengko yang belum begitu kuat beragama dan masih terus belajar, akan timbul keengganan dalam melaksanakan kewajiban agamanya.
Di kampung Kuta Ganteng, ketika Teungku Khatib naik mimbar untuk berkhutbah, sang Teungku seakan diwajibkan untuk tahu jatah waktu. Menjadi imam juga begitu. Misal, seperti Jumat ini, sang khatib tidak begitu panjang lebar menguraikan nasehat. Langsung-langsung saja dan bernasehat yang penting-penting saja. Beliau tahu bahwa para makmum bukanlah semua orang-orang yang kuat duduk dan rata-rata mesti kembali bekerja sepulang dari masjid. Maka di kampung Pengko, rata-rata orang tua dan pemuda senang untuk mengikuti ibadah berjamaah. Saat menjadi imam pada seluruh shalat berjamaah, para imam di kampung Pengko tidak membaca ayat-ayat yang sangat panjang. Para imam tahu bahwa makmum di belakangnya bukan semua orang kuat berdiri. Barangkali ada yang sakit, barangkali ada yang buru-buru mengerjakan sesuatu, barangkali ada anak muda yang semacam Pengko—belum kuat sekali agamanya dan masih belajar untuk kuat. Tentu apabila imam memaksa diri membaca ayat-ayat panjang maka ibadah sebagian makmum yang mengikutinya akan tidak ikhlas.
Jauh berbeda dengan di kota Banda. Jika khutbah Jumat, para khatib menguraikan nasehat sedetail-detailnya, sampai kepada hal-hal yang tak terlalu penting sekali pun. Khutbah sudah semacam kampanye. Maka, semenarik apapun, tetap saja akan membosankan. Apalagi di sana notabene makmumnya adalah pekerja. Sangat tidak efektif apabila bernasehat terlalu panjang lebar di mimbar. Imam-imam masjid terkadang sering tidak mengindahkan makmumnya. Tidak peduli apakah makmumnya ada yang tidak kuat berdiri karena mungkin mengidap suatu penyakit, buru-buru mengerjakan sesuatu, atau ada makmum yang seperti Pengko—belum kuat sekali agamanya dan masih belajar menguatkannya. Sangat tidak efektif apabila Imam membaca ayat-ayat yang terlalu panjang, padahal. Bahkan suatu kali Pengko sempat berujar pada Shakir,”Aku enggan sembahyang di masjid tertentu di kota Banda ini, imamnya tak tahu diri. Memangnya kita ini semua sama, apa? Banyak hal lain yang perlu kita kerjakan. Dia enak, sudah kaya. Nah, kita, kita mesti bisa mengerjakan hal yang lain setelah ibadah. Aku pernah diusir dosen karena telat sekali masuk ruangan kuliah hanya karena khatib yang terlalu panjang khutbah dan imam yang membaca ayat sepanjang satu juz dalam shalat Jumat. Sakit hati aku. Tak sah mungkin ibadah aku hari itu. Maka jika aku tak datang lagi shalat Jumat, itu murni salah teungku-teungku itu.”
Namun, ketika di kampung seperti ini, Pengko merasa bahwa di sini para teungku sangatlah pandai menarik minatnya untuk beribadah. Teungku-teungku yang baik dan tahu makmum adalah umpama gula pada kue cincin, kata Wak Lah ketika dibonceng Pengko dengan sepeda ontelnya sepulang shalat Jumat di kampung mereka.
0 komentar:
Posting Komentar