Oleh Nazar Shah Alam
Sumber: Serambi Indonesia, Senin, 5 September 2011
EUFORIA hari raya menimbulkan banyak kesan dan kebahagian. Untuk merayakan kemeriahannya bahkan ada yang memerlukan waktu seminggu penuh. Di segala sisi, bagi seluruh usia, seluruh kasta, seluruh manusia merasakan hal yang sama; bahagia. Namun, ada beberapa hal yang meresahkan kita dalam kebiasaan menikmati hari kemenangan tersebut. Sebab dalam perayaannya, secara jelas dapat dirasakan bahwa ada semacam budaya yang dibentuk oleh masyarakat yang kemudian malah menimbulkan efek negatif bagi masyarakat itu sendiri, lingkungan, dan keluarganya sendiri.
Pada kenyataannya, hari raya dimaknai secara bebas oleh masyarakat kita; mungkin serupa pesta besar setelah perang. Maka kemudian yang terlihat adalah sebuah perayaan besar-besaran yang terkesan berlebihan. Hari raya dibentuk sebagai suatu waktu berpoya-poya dan telah disusupi oleh budaya yang memberatkan para perayanya. Sebagai bukti awal, sebut saja budaya menyiapkan penganan. Seolah ada kehinaan bagi yang di rumahnya tidak ada sama sekali penganan hari raya, walau semiskin apapun dia.
Budaya lain yang muncul di Aceh terlihat malah sangat merusak. Di beberapa tempat di Aceh, misalnya, ada kebiasaan-yang sudah boleh disebut budaya-orang tua memberikan kebebasan bagi anak-anaknya yang masih di bawah umur untuk merokok, dengan catatan hal itu dilakukan khusus pada hari pertama hingga kedua lebaran. Anak-anak dibolehkan menikmati rukok uroe raya (rokok lebaran) semau mereka. Maka, boleh dikatakan bahwa munculnya para perokok yang berusia di bawah umur saat ini salah satunya adalah berupa indikasi dari budaya ini. Bolehlah dikatakan bahwa budaya rukok uroe raya ini menjadi satu pemicu problem merokok sebenarnya. Dengan konsekuensi bahwa merokok merusak kesehatan dalam pada ini para orang tua malah tidak terlalu memerdulikannya.
Hal lebih mengindahkan budaya dan kebiasaan daripada sesuatu lainnya memang tak bisa dipungkiri terjadinya di masyarakat kita. Kita terlalu peduli pada budaya, walaupun sebenarnya itu tidak mendatangkan manfaat. Budaya rukok uroe raya, contohnya. Kebiasaan ini telah berkembang sekian lama dalam masyarakat sehingga begitu sulit membendungnya. Masyarakat terkesan mengesampingkan efek negatif merokok bagi anak untuk sementara waktu. Dalihnya akan sama, bahwa merokok sekali dua dalam setahun tidak akan berefek besar bagi kesehatan anak mereka. Padahal efeknya tentu tidak serta merta nampak dan dampaknya tidaklah sama antara individu yang berbeda. Selain dari efek kesehatan, merokok pada usia dini berpeluang besar mencetak generasi berkelakuan meresahkan.
Untuk anak-anak, dampak buruknya adalah berupa sikap dan kelakuan. Mereka yang belum mampu bekerja boleh jadi akan mencuri demi mendapatkan rokok. Bahkan orang tua melarang anaknya merokok rata-rata dengan alasan ini. Kontra dengan itu semua malah secara tidak langsung mereka memberikan peluang anak-anaknya untuk mencoba dan berpotensi menjadi perokok. Bukankah ketagihan berasal dari mencoba?
Budaya semacam ini jelas merusak generasi. Di satu sisi orang tua melarang anak-anaknya merokok, sedangkan di sisi lain mereka membiarkan anak-anaknya menikmati rokok dengan dalih menikmati hari raya. Hari raya dimaknai sebagai hari pembebasan. Maka anak-anak diberikan jajan yang banyak untuk bebas berbelanja apa saja dan bebas kemana saja.
Oleh sebab kesalahan didikan ini-dengan mengagungkan budaya yang tidak semestinya mereka ikuti-maka akan semakin terjal saja jalan merealisasikan budaya tidak merokok pada generasi kita selanjutnya. Bila kemudian mereka menjadi perokok aktif, orang tua tentu akan menyalahkan pergaulan, lingkungan, atau perkembangan zaman. Padahal, kebiasaan merokok anak telah mereka berikan dari awal.
Sejalan dengan itu semua, budaya lain yang merusak bisa dilihat dalam sisi permainan. Munculnya kebiasaan bermain bedil-bedilan di hari lebaran juga cukup meresahkan. Sebab, peluru dari senjata mainan itu bisa menyakiti dan mencederai tubuh. Namun hal ini pun seolah begitu sulit sudah dibendung. Seperti halnya fenomena bermain pada hari ketiga lebaran yang dimanfaatkan muda-mudi untuk bermain dengan pasangan. Dari itu jelas sudah, bahwa kita terlalu tunduk pada budaya sehingga terkesan begitu bisa dipijak oleh kebiasaan-kebiasan merusak diri dan lingkungan itu tanpa kita sadari. Lucunya, walaupun kita menyadarinya, ada kesan seolah membiarkan budaya itu berkembang begitu saja tanpa berkehendak mengubahnya. Semua dimulai dari diri. Minal aidin wal faizin!
0 komentar:
Posting Komentar