Sekian lama tak terdengar kabar, Pengko sang rupawan tak alang kepalang kembali menggemparkan Universitas Shah Alam. Berbulan-bulan lamanya ia sibuk dengan study tour ke Spanyol, Jerman, dan Belanda. Sudah bukan rahasia lagi, Pengko adalah mahasiswa terpandai di Universitas Boh Hatee Awak Nanggroe ini. Sungguh senang hati mamanya ketika menjemput anak lelakinya itu ke bandara Sultan Akmal van Roem. Mamanya langsung memeluk pemuda tampan itu. Selain mamanya, di bandara juga sudah berdiri banyak sekali perempuan yang notabenenya adalah mahasiswa yang tergabung dalam kelompok pengagum Pengko. Mereka menamakan dirinya Pengko Coll Fans.
Di antara yang datang, nampak pula Shakir, kawan akrab Pengko. Dia membawakan kalung bunga. Uniknya, semua bunga berwarna Jingga. Masih tak hilang kekagumannya kepada Jingga, perempuan kampung yang cantiknya biasa saja, sebenarnya. Pecinta sejati itu langsung menghambur ke arah kawan akrabnya yang baru saja lepas dari kerumunan perempuan penggemarnya.
“Terimalah ini,” ucap Shakir dengan raut haru. Pengko hanya tersenyum. Berseri betul wajahnya. Lelaki itu memang tidak pernah meninggalkan ibadahnya. Seperti juga hari ini, dia berpuasa sunat. Maka ketika para perempuan itu mencoba memeluknya, ia menolak dengan halus. Bertambah-tambah kekaguman para penggemarnya itu.
Universitas Shah Alam gempar ketika lelaki tertampan milik mereka turun dari mobil mewahnya di depan biro rektor. Pengko menunduk saja, tanda ia tidak sombong masih terus bertahan. Dia tidak ingin berlebihan sikap. Memang layak dicontoh kearifan laku pemuda satu ini. Beberapa saat di biro, ia keluar. Dari gedung itu ia berkunjung sekejap ke kosan Shakir yang sederhana. Di sana Pengko menangis melihat kondisi kawannya. Terenyuh hatinya melihat kondisi kawannya yang hingga kini masih hidup serba kekurangan.
Di kamar itu mereka duduk sekian lama. Pengko dengan takzim mendengar cerita Shakir selepas kepergiannya ke luar negeri. Ternyata, kawannya itu sangat sengsara di sana. Pengko yakin sekali bahwa kawannya itu selalu berkata jujur. Shakir sepeninggal Pengko adalah Shakir yang sunyi. Shakir yang hampir mati.
Tersebutlah kisah pada suatu waktu, walaupun mustahil rasanya, seorang perempuan mengagumi Shakir. Perempuan itu berasal dari kampung Manteu. Perempuan itu lumayan cantik. Hanya saja dalam beberapa pendekatan, Shakir benar-benar tidak bisa menerima kedatangan perempuan itu. Bukan sebab apa, hanya itu semua karena bayang Jingga begitu kuat berada di hatinya.
Mereka pisah bahkan sebelum bersatu. Rupanya perempuan itu dendam. Maka konon katanya, Shakir dikirimi semacam celaka. Ia dikirimi setan yang aneh. Setan yang kalau telah berada dalam tubuh orang akan menjadikan orang itu kehilangan akal sadarnya.
“Aku termasuk, Pengko. Termasuk itu sakit sekali,” ujar Shakir dengan mata sembab. Pengko mengernyitkan dahinya. Dia sama sekali tidak paham pada maksud kata “termasuk” yang dimaksud Shakir. Namun itu, ia mendapat informasi lain berupa kejadian yang pernah berlaku di kampung selatan negeri ini.
Nun di Manteu, salah satu penyakit yang memang tidak pernah hilang adalah penyakit “termasuk” itu. Penyebabnya bisa apa saja. Bisa disebabkan sebab disapa oleh arwah liar, dikirimi dukun, atau boleh juga sebab bawaan diri. Penyakit ini kebanyakan tidak terlalu berbahaya. Seorang yang terkena penyakit “termasuk” tidak sadar akan dirinya sendiri. Namun setelah jin-jin itu lepas, ia akan merasa kesakitan. Bila sudah “termasuk” orang itu terlihat seperti berpenyakit sawan. Ia akan meronta-ronta dan berteriak-teriak tidak jelas.
Pengko membayangkan kejadian itu ketika melanda Shakir. Sungguh celaka. Tentulah ia akan meronta-ronta, makan apa saja, seperti yang telah dilihatnya saat Shakir dilanda cinta yang hebat untuk Jingga tempo waktu. Sungguh liar Shakir kala itu. Dia meronta-ronta. Memakan gelas dan meja. Dan kali ini, menurut pengakuannya, kejadiannya tak jauh dari itu. Shakir memakan panci, kompor, dan kasur. Wajarlah bila kamar ini begitu berantakan.
“Aku “termasuk” jin paling berbahaya di se-antero jagad raya, Pengko. Kalau tidak salah, nenek moyang iblis. Ngeri, Pengko. Ngeri!” jelas Shakir dengan mata berkaca-kaca. Dia menyesali sikapnya yang menolak cinta yang pasti dan berharap tali kasih yang tiada berjawab dari Jingga. Benarlah ia seorang yang benar-benar menghargai cinta.
Tiba-tiba, saat sedang bercerita Shakir dilanda kejang-kejang. Ia tersenyum. Ah, masih dipakainya kawat gigi jingga itu. Dia melepaskan baju. Ah, baju dalamnya warna jingga. Dia berlari ke lemari. Ah, di sana semua baju warnanya jingga. Shakir terpelanting ke belakang. Meronta-ronta. Berteriak-teriak. Sekejap ia sadar dan duduk.
“Beginilah kalau aku sudah “termasuk”, Pengko!” ucap Shakir dalam nafas terengah-engah. Lelaki pecinta sejati itu terbaring lagi di kasur berseprai jingga dan kepalanya jatuh di bantal jingga. Barulah Pengko sadar, bahwa “termasuk” yang dimaksud Shakir adalah kerasukan. Ah, bukankah Shakir tidak begitu fasih berbahasa Indonesia?
Teumamong itu bahasa Indonesianya “kerasukan”, Shakir. Bukan termasuk! Alah apa hai![]
0 komentar:
Posting Komentar