Membahas sisi budaya Aceh, tentunya tak pernah lekang dengan nilai islami. Tanah yang dikenal dengan serambi mekah memiliki beberapa kekayaan. Baik itu dalam bentuk tulisan, lisan, dan benda. Salah satunya puisi lisan—hadih maja—telah membangun tataruang untuk menggambarkan keacehan masyarakat Aceh. Diungkapkan dalam kalimat yang pendek, hadih maja itu disarikan dari pengalaman yang panjang; disajikan dalam bahasa yang indah; bersajak agar mudah diingat dan senang diucapkan. Perkembangannya pun telah melahirkan asas acuan sumber nilai bagi masyarakat Aceh yaitu aqidah, ibadah, dan amaliah.
Aceh kaya akan suku dan adat. Namun tak ada pengaruh yang signifikan pada percampuran budaya karena dalam hadih maja dapat menyatukan sekaligus memahami pikiran dan watak orang Aceh. Dalam hadih maja mendeskripsikan seluruh lini kehidupan, mulai dari filosofi, etis dan estetis.
Beberapa orang berstigma bahwa orang Aceh suka perang dan membuat kekacauan, sebenarnya tidak seperti itu. Misalnya dalam ungkapan hadih maja (Surôt lhèe langkah/ meureundah diri/ Mangat geuturi nyang bijaksana). Dalam hadih maja ini terlihat bahwa orang Aceh itu lebih memilih mengalah dari pada maju untuk kehancuran. Selalu saja ada pesan moral yang disampaikan setiap hadih maja. Bilamana sedang pada kondisi terpojok dan genting, alangkah bijaksana untuk mundur tiga langkah demi kepentingan nusa, bangsa, dan harga diri. Ungkapan ini tidaklah menggurui tetapi guna menjaga kearifan sesama.
Orang Aceh menjadikan hadih maja itu sebagai pedoman hidup, karena mengandung amanat, petuah, dan pelajaran-pelajaran kehidupan. Dengan begitu akan bermanfaat juga untuk orang luar Aceh. Hasjmy (1995:539) mengatakan hadih maja merupakan kata atau kalimat berhikmat, sedangkan menurut Ali (1994:199) nasihat atau petuah nenek moyang yang mengandung nilai-nilai moral dan pendidikan keagamaan.
Sejarah telah mencatat adanya hadih maja, selain sudah berakar juga menjadi penyokong beberapa budaya. Banyak budaya dulu telah terlupakan oleh anak-anak cucu Aceh, padahal dari zaman kerajaan Aceh dikenal negeri yang berperadaban tinggi sampai ke Eropa sekaligus memiliki pelaku dan objek budaya yang melimpah. Hadih maja dapat memperlihatkan kembali budaya-budaya terutama dari dimensi tradisi (adat dan resam), filsafat hidup, dan berbagai hasil kebudayaan lain.
(Adat bak Poteu Meureuhôm/ hukôm bak Syiah kuala/ kanun bak Putroe Phang/ reusam bak Laksamana). Terlihat seperti apa yang dilukiskan hadih maja ini, bahwa setiap sesuatu urusan itu ada pemangkunya masing-masing. Tidak mungkin dikelola oleh satu orang, tetapi dengan cara membagikan tugas dan akan memperoleh hasil yang maksimal pula. Juga dalam memegang jabatan eksekutif tertinggi dipilih sosok yang layak untuk menjabat. Maka orang-orang yang cerdas, wibawa, dan jujur yang harus dipilih. Berbagai macam problema-problema kehidupan hadih maja menjadi tutunannya.
Setiap masyarakat ada kata-kata atau ungkapan-ungkapan kiasan. Aceh memiliki hadih maja yang berupa kata-kata perumpamaan yang digunakan untuk mengiaskan maksud tertentu. Ungkapan ini berisi perbandingan, perumpamaan, nasihat, prinsip hidup, atau aturan tingkah laku. Menurut Ali dkk(2009: 1) hadih maja menduduki tingkat kebenaran nomor tiga dalam masyarakat Aceh. Tingkat kebenaran pertama adalah wahyu Allah Swt. Kedua, hadis Rasulullah Saw. Dan ketiga, hadih maja atau peutitih peteteh.
Di zaman modern sekarang, ungkapan-ungkapan seperti hadih maja telah pudar dalam kehidupan masyarakat. Masa telah ‘paceklik’ ilmu agama dan bergesernya nilai sosial dalam kehidupan masyarakat kita, sehingga hadih maja terbelakangi dalam percakapan sehari-hari. Sudah semakin sedikit orang memberi perhatian pada nilai-nilai agama. Semua orang sibuk memikirkan keuntungan yang membawa keuntungan pada dirinya. Dan sejarah-sejarah yang sebenarnya sangat bermanfaat telah ditingalkan begitu saja.
Sekarang ini hadih maja begitu jarang dipakai dalam keseharian. Malah lahir hadih maja pelesetan untuk kepentingan pribadi. Pelesetan ini menjadi pembelaan sebelah pihak saja. (Kon salah Ma/ Kon salah Ku/ salah guru di rumôh sikula) di sini seolah-olah digambarkan bahwa sosok guru tak lagi menjadi pendidik yang sebenarnya; dapat mengembangkan pola pikir anak sehingga dapat bersikap dewasa. Dalam konteks yang sebenarnya, orang tua si anak telah lepas tangan dalam proses pembentukan sikap-sikap kedewasaan anaknya.
Masyarakat dulu mengunakan hadih maja pada kaum terbuka dan banyak. Dalam musyarawah besar misalnya, karena pesan atau hikmat yang tersampaikan akan lebih merata dan merasa. Jika dalam percakapan empat mata atau dua belah pihak saja, pantunlah alatnya. Layaknya berbalas pantun karena puisi lisan ini memuat makna atau pesan lebih spesifik. Dalam dunia pendidikan seperti sekarang ini, khususnya di Aceh. Hadih maja seperti (Poma ngen ayah/ keu lhee ngen guree ureung nyan ban lhee wajeb tapeumulia) sangat tepat digunakan untuk menyampaikan pengarahan atau petuah kepada anak-anak didik supaya menghormati pendidik juga orang tuanya. Maka dengan mempelajari dan mengejawantahkan hadih maja dalam kehidupan sehari-hari kita telah mengembalikan marwah bangsa Aceh; telah berusaha mempertahankan kekayaan Aceh; dan memberikan pengarahan-pengarahan dengan stanza yang enak didengar dan dibaca. Semoga tulisan singkat ini tidak terlalu menggurui, dan bisa bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari.
0 komentar:
Posting Komentar