Nazar Shah Alam
Semenjak putus dari Maryam, Pengko terlihat lebih banyak menghabiskan waktunya dengan membaca dan berkunjung ke panti asuhan. Dia seorang dermawan yang tidak pernah berpikir perut sendiri. Tanpa malu-malu Pengko akan menangis bila melihat seorang fakir miskin sedang makan seadanya. Maka demi membantu orang banyak, ia banyak menyumbang hartanya. Selain itu, Pengko juga lebih banyak menghabiskan waktu di rumah Shakir, kawannya. Dia tidak malu-malu mengakui Shakir sebagai kawan akrabnya, walaupun banyak sekali yang mengatakan mereka umpama siang dan malam bila sedang berdua.
Suatu hari Pengko datang ke rumah Shakir. Begitu terburu-buru ia. Shakir yang baru saja bangun pagi segera tersenyum pada kawan baiknya. Pengko menceritakan tentang keinginannya membelikan Shakir sebuah mobil baru. Senang betul hati kawannya itu. Serta merta ia melonjak dan memohon agar mobil itu kelak berwarna jingga. Pengko mengangguk saja. Terbang hati Shakir dan berulang kali berterimakasih.
Namun, siapa nyana, bahwa kebaikan akan dibalas kebaikan pula. Pemilik Universitas Shah Alam rupanya juga memiliki sebuah rumah sakit umum nun di pinggir kota. Rumah sakit ini diberi nama yang sama dengan nama universitas tersebut, Rumah Sakit Shah Alam. Pengko ditawari bekerja di sana. Lelaki tampan itu menyetujuinya dengan satu syarat. Ia tidak mau pekerjaannya dibayar dalam bentuk apapun. Ia ingin beramal. Jatuh air mata sang pemilik rumah sakit.
Berbulan-bulan kemudian, Pengko belum juga memenuhi janjinya kepada Shakir. Ia kelewat sibuk dengan pekerjaan dan kuliahnya. Shakir tidak memaksa kawannya itu. Dia bisa paham. Walaupun di kampus Shakir sudah menyiarkan kabar itu, ia tetap menunggu. Hingga kemudian ia menjadi gunjingan. Shakir terus tenang.
Namun, sungguh luka hati Shakir kala ia mengetahui bahwa Pengko telah memiliki mobil mewah baru. Ia menjauh. Sejatinya itu bukan mobil Pengko. Tapi Shakir terus merajuk. Mobil yang dipakai Pengko adalah mobil seorang perempuan yang diam-diam mengaguminya. Pengko belum menanam rasa apa-apa. Dia hanya tidak menolak saja ketika gadis itu menawarkan jasa untuk menjemput dan mengantarnya saban hari.
Bukankah sudah wajar seorang gadis nan jelita mengagumi lelaki tampan nan beriman? Begitulah, Pengko disukai sebab pesonanya. Gadis itu sepupu pemilik universitas dan rumah sakit Shah Alam. Namanya Halimah. Ia cantik dan baik sekali. Kilau matanya sebiru lautan yang mampu memesona pandangan siapa saja. Pengko sedikit tertarik, sebenarnya. Hanya saja ia tidak mengutarakannya. Ia menyimpan segan walaupun sudah mutlak dipastikan Halimah akan menerima cintanya.
Karena kekaguman yang tidak sanggup lagi tertahan, akhirnya Halimah mengakui perasaannya. Dalam hujan sore itu ia datang ke rumah mewah milik Pengko. Di sana Pengko hanya tinggal sendiri. Ia mempersilakan masuk tamunya yang datang dengan Honda Jazz biru itu. Di dalam rumah sembari menangis, seolah mengemis, Halimah mengakui semuanya.
Pengko tidak memeluk gadis itu seperti di film. Sang rupawan tidak ingin semua ibadahnya sia-sia sebab nafsu durjana. Mungkin laki-laki lain akan segera menerima. Namun, Pengko tersenyum ke arah Halimah pertanda akan mempertimbangkan semuanya. Gadis itu puas hatinya dan langsung pulang.
Dua hari setelah kejadian itu, pagi-pagi Shakir datang ke istana Pengko. Di depan pintu ia hanya berdiri. Pengko merangkul kawannya. Tanpa basa-basi ia membawa Shakir ke sebuah showroom mobil. Seperti janjinya, ia akan membeli mobil pribadi untuk kawannya itu. Sesampai di sana, Pengko menawarkan pilihan pada Shakir. Lelaki tak tampan itu memilih-milih semaunya. Tiba di hadapan sebuah mobil ia berhenti.
“Setelah kulihat-lihat, hanya ini saja yang berwarna jingga. Terserahlah, aku memilih ini, boleh?” tanya Shakir pada Pengko. Sang rupawan ternganga. Mana wajar ini dinamakan mobil pribadi? Pengko tidak berkutik. Ia tetap membayar lunas mobil yang dipilih Shakir. Dengan bangga kawan Pengko itu naik ke mobilnya. Ia sudah bisa mengendarai mobil sebab sudah belajar mengemudi sejak kabar akan dibelikan Pengko sebuah mobil mewah.
Dia membawa mobil itu ke jalan raya. Semua orang menatapnya. Shakir melambai tangan ke orang-orang di jalanan. Senang betul ia sebab sudah mendapatkan mobil dengan warna kesukaannya, jingga. Pengko mengikuti Shakir dari belakang. Aneh, bukankah mobil itu warnanya merah, hanya sedikit saja jingga di bagian belakangnya? Shakir bangga sekali mengendarai mobil itu. Ia sama sekali tak sadar bahwa mobil pribadinya itu adalah mobil pemadam kebakaran.[]
0 komentar:
Posting Komentar