Oleh Nazar Shah Alam
Lelaki glamour itu—dari pelbagai ruang informasi—diberitakan sudah menghembuskan nafas terakhir. Musim memang sedang lain betul. Langit membuka pintunya kepada para raja dan punggawanya, pada para pahlawan, dan orang-orang bernama untuk terbang bersama Izrail ke muasal ruh mereka ditiupkan. Ini benar-benar tahun celaka bagi mereka yang berani melawan kaum yang memiliki telunjuk besar, tahun celaka bagi yang bersinar terang benderang sementara yang di sisi mereka sedang kelam.
Pada pagi hari, ketika membuka koran, mataku ditarik tulisan halaman depannya untuk memelototi sepotong gambar. Gambar sebuah sepatu boot hitam tanpa pasangannya dan tergeletak diam di bawah siraman matahari kota Sirte. Bagiku, daripada kabar lainnya, kabar tentang sepatu inilah yang paling menarik. Maka kemudian kucari-cari di beberapa halaman lain di media lain tentang kabar pasangan dari sebelah sepatu itu. Ya, sepatu terakhir yang digunakan sang penguasa. Tak ada pasangannya, hanya satu saja. Ah, mengapa sepatu itu, mengapa tak senjata emasnya, baju bagusnya, salah satu barang antik miliknya, mengapa sepatu itu yang kemudian mengganggu pikiranku bermalam-malam selanjutnya?
Dan aku rupanya tak begitu sanggup menahan nafsu untuk mendapatkan pasangan sepatu itu. Maka segera kukabari Don H.C, kawanku yang kabarnya sedang berada di sana untuk meliput berita. Sialan, dia tak mengangkat telponku. Juan Rocha adalah sumber yang kurasa bisa menggantikan Don H.C menyampaikan kabar tentang sepatu itu. Ah, sama saja, nomornya tak bisa dihubungi.
Kuhubungi Shatal dan Maksalmina. Pada petangnya, di sebuah pojok warung kopi kota aku mengajak mereka ke Sirte, atau ke tempat dimana sepatu sang raja diletakkan. Kalau bisa yang sebelah kanan. Sebab di koran dan sumber lain hanya terpampang yang sebelah kiri saja. Kami akan ke sana untuk melihat, memungut jika tergeletak lepas, mencuri jika saja sepatu sebelah kanannya telah diamankan di satu tempat tertentu.
Dan ini adalah malam manakala besok paginya kami akan berangkat ke sana. Perjalanan ini tentu akan membutuhkan transit berkali-kali. Kami sudah siap dengan segala keadaan. Ke Sirte bukanlah yang pertama untuk Shatal, ia pernah ke sana bersama beberapa kawannya untuk berjihad. Namun ia kemudian pulang dengan alasan yang tak jelas. Maka kami terbantu dengan adanya dia sebagai penunjuk arah.
Kami duduk di depan rumahku, tepatnya di bawah sebatang pohon kersen rindang. Cahaya purnama tak sempurna berpendar di sisi-sisi rimbun daun dan jatuh ke tanah dengan lemah dan santun. Di sana gugusan asap rokok terlihat hitam diselimuti malam dan baru terlihat bergerak-gerak lalu pupus ketika sudah dibawa angin pelan ke bawah sinar bulan. Sirte duduk dalam gelas kopi kami yang pekat dan menanti regukan kami. Aku menyukainya.
Kelak, bila sudah di tanah sang raja bercucur darah lahir dan darah kematiannya, kukabarkan bahwa perjalanan kami bukanlah sesuatu yang mengenakkan. Satu rezim memang sudah hancur berkeping-keping seperti rumah-rumah batu penduduk Libya yang kokoh dihantam bom hingga tinggal puing. Namun keadaan tentu tak serta merta pulang selaik sedia kala. Ada ketakutan tersisa, seperti di kampung kita kala baru saja perang dinyatakan berhenti geliatnya.
Aku melihat rakyat sedang lupa diri merayakan kematian sang raja yang selama ini mereka takuti. Mereka sedang lupa bahwa ancaman lain menguntit di belakang dengan niat lebih kejam. Namun aku tak ambil peduli pada pesta pejuang Misrata atas kemenangan mereka. Bagiku, yang lebih penting dari pesta mereka adalah sepatu sebelah kanan yang dikenakan sang raja kala hendak menemui ajalnya.
Di depan sebuah gedung di Tripoli, aku, Shatal, dan Maksalmina berdiri santai sembari sesekali mencuri lirik ke dalam. Ada sepatu sebelah kiri sang raja di sana. Hanya satu, kiri, diam, dan dibenci. Aku sedang dilanda hasrat mendapatkan pasangannya. Namun itu, aku tetap memberi isyarat pada Shatal agar masuk ke dalam gedung itu.
Lelaki kurus tersebut berhasil menaklukkan para pejuang yang berjaga di luar. Kami masuk dan aku langsung menuju sepatu kiri itu. Tak ada pasangannya. Aku mengherankannya. Kemana yang satunya? Aku menaksir telah ada yang menyembunyikannya untuk kelak mereka akan memamerkan atau menjualnya dengan harga mahal. Seorang Libya menghampiriku dan bertanya, apa yang kulihat. Dengan bermodal bahasa Inggris yang kacau aku menjawab bahwa aku sedang mencari sepatu kanan sang tiran. Dia tersenyum, cantik sekali, lalu berkata bahwa yang satunya telah dimakan anjing. Aku balas tersenyum dengan menyembunyikan rasa kesalku pada jawaban gadis itu.
Kami kembali ke Sirte, ke tempat sang raja ditangkap. Tak ada juga sepatu itu di sana. Kami bergerak lagi ke Tripoli, sama saja, tak ada. Berhari-hari di sana, dimana sepatu kanan sang raja tak jua kami tahu adanya. Dan kami putuskan untuk pulang. Ya pulang. Duduk di bawah batang kersen rindang pada malam berpurnama tak sempurna. Sirte tidur dalam gelas kopi kami yang pekat airnya dibalut rindang kersen, hitam malam, dan seduhan kopi yang masih hangat. Besok kami akan mencari sepatu lain di toko-toko di kota yang serupa dengan sepatu tuan raja.
0 komentar:
Posting Komentar