Oleh Iqbal Gubey
Inilah tradisi di kampung Samin, Sigli. Tradisi ini sudah berakar pada masyarakat di desa tersebut. Tak di kampungnya saja, beberapa kampung/daerah lain juga ada hal semacam ini, caranya berbeda dan ada juga yang sama. Itu bergantung pada kesepakatan perangkat gampong. "phon kematian" namanya.
Phon kematian merupakan proses pengumpulan padi/uang dalam setiap tahun untuk biaya orang meninggal—kafan, papeun kerenda, perlengkapan pengafanan, dan lain-lain. Gunanya jika ada orang meninggal dan pihak keluarga tidak ada persediaan uang atau pun ada. Maka uang yang sudah terkumpul diberikan kepada keluarga almarhum..
Peraturan phon kematian setiap kampung berbeda-beda. Misalnya kampung Samin, padi dikumpulkan setiap tahun sebanyak 1 naleh atau uang seharga senaleh untuk satu kepala keluarga setelah panen. Phon kematian yang berlaku pada kampung Samin hanyalah menanggung ija kafan, papeun kerenda, perlengkapan pengafanan dan beberapa keperluan lainnya. Tidak ada perbedaan miskin dan kaya di sini, setiap ada orang meninggal selalu diberikan oleh pihak panitia phon kematian.
Karena di kampung Samin phon kematian itu dikumpulkan setiap tahun sedangkan yang meninggal hanya beberapa orang dalam setahun. Maka uang itu digunakan juga untuk keperluan lain dengan kesepakatan bersama.
Berbeda lagi dengan kampung Maimun yang bersebelahan dengan kampung Samin. Dikampungnya padi dikumpulkan setiap tahun yang jumlahnya tak berbeda dengan kampung Samin. Bedanya mereka juga memberikan uang operasional pada hari pertama untuk keluarga almarhum. Jikalau jumlah dan waktu pengutipannya sama saja.
Jika itu peraturan kampung Samin dan Maimun, ini dia peraturan kampung Taleb. Mereka hanya mengumpulkan sedekah setiap ada orang meninggal. Semua sedekah yang telah terkumpul diberikan kepada pihak keluarga untuk membeli semua keperluan. Tujuannya sama saja, hanya pelaksanaannya yang berbeda.
Inilah tradisi beberapa kampung di Sigli. Mungkin hal yang sama juga dilakukan oleh beberapa kampung pada daerah lain, atau semua daerah melakukan semacam ini khususnya di Aceh. Sebenarnya kita perlu berterimakasih kepada nenek moyang karena telah mewariskan hal semacam ini bagi anak-anak cucunya. Kerjasama dan tolong-menolong saat musibah ditumbuhkan sejak dulu untuk setiap insan. Dengan ada semacam ini, keluarga almarhum yang ditinggalkan tidak harus memikirkan perlengkapan mayat lagi.
Jika kita pasang teropong dan memantau ke perkotaan, sudah jarang yang seperti ini. Hidup sudah nafsi-nafsi. Jika pun ada, hanya beberapa lurah saja. Manusia tidak lagi peka pada hal-hal yang kecil, sampai-sampai untuk menggali kubur saja harus dibayar. Bagitu miris hati Samin jika melihat tradisi-tradisi kampung mulai luntur di perkotaan.
0 komentar:
Posting Komentar