Senin, 03 Desember 2012

Yang Menyala di Balik Piasan Seni



Oleh Makmur Dimila
Semakin banyak masalah menimpa, semakin dekat dengan kesuksesan, Makmur..
Aku dan bulanku
Diucapnya lembut kalimat di atas ketika masalah menimpaku dan komunitasku, pada malam kedua Piasan Seni Banda Aceh, dengan seulas senyum khasnya. Aku benar-benar membutuhkannya dalam hidupku.
Piasan Seni – itu kali pertama – berlangsung kurun 28 November sampai 2 Desember 2012 di Taman Sari. Puluhan komunitas seni: tari, musik, teater, rupa, multimedia, dan sastra, ambil bagian. Aku memimpin Komunitas Jeuneurob mengisi stan sastra, bersama Komunitas Kanot Bu dan Forum Lingkar Pena Aceh.

Kami sudah dipercaya, tentu harus memuaskan orang-orang yang telah memercayakan. Butuh pematang yang kokoh menyangga pagar pelindung tanaman di dalamnya, maka Jeuneurob memboyong pematang-pematang pilihan, agar dapat memetik buah bila panen tiba.
Konsistensi anggota dalam sebuah komunitas/organisasi memang rentan. Kesibukan di luar, perbedaan ideologi dan keyakinan, finansial, pesimisme, menjadi seperangkat alibi bagi Jeuneurob menebas atau menggantikan pematang. Jeuneurob adalah pematang penyangga kawat pagar untuk melindungi lahan; bila-bila ia tak kuat kemudian patah, ternak akan masuk dan menggerogoti segenap isi ladang.
Sudah menjadi karakter aku dan penasehat komunitas Nazar Shah Alam, kalau ada anggota bertingkah – tidak mau berpikir dan bekerja atau mengganggu kinerja anggota ketika ada acara penting – akan kami sidang. Sebab Jeuneurob adalah komunitas sastra berbasis sosial, dikelola secara swadaya. Kami memberikan pilihan kepada anggota untuk memilih mana lebih sejahtera antara berada di dalam dan luar Jeuneurob; anggota sendiri yang putuskan, setelah bertemu dan berembuk, kecuali ada anggota yang memang sudah kami pahami tipikalnya.
Ketika kami membebastugaskan beberapa anggota secara hormat, tidak berarti kami kekurangan tenaga mempersiapkan diri untuk Piasan Seni dan beberapa program kecil di muka. Kami malah lebih leluasa bergerak dengan sedikit personil loyal; sama-sama mengecap pahit-manis.
Siapa yang membuatku selalu kuat bila badai menghadang? Adalah dia yang selalu menyemangatiku dan mengerti aku, selain masukan Penasehat yang membuatku tak goyah. Telponan di sela-sela kesibukan adalah rutinitas kami barter ‘aspirin’ dan motivasi.
Ada satu titah darinya menjelang Piasan Seni, di mana baru saja kami cabut satu pematang lagi. “Kamu harus lebih tegas dan peka, jangan dengar satu pihak saja.” Bulan menyala di wajahnya, aku meresapi itu dengan khidmat.
Hm, aku sudah melakukan itu atau belum ya? Kurasa ... yang pastinya aku selalu berusaha mendengar ketika setiap anggota kurang dedikasi, berusaha kami dudukkan membahas kelanjutan di komunitas.
Kami sudah diundang ke beberapa acara di mana di situ kami bocorkan program. Bila tidak menunaikannya, aku dan Nazar yang harus menanggung malu. Ibarat menjaga tanaman, tentu butuh pematang-pematang yang kuat agar tak dijebol ternak atau malah makan tanaman.
Di ambang Rabu malam pembuka festival seni, tersisa sebelas pematang. Dengan begitu, kami menata kembali ladang, membuatnya jadi lebih kecil, supaya pagar kokoh, dan hasil tanam memuaskan nantinya.
Harus bekerja ekstra keras untuk bisa memamerkan karya fiksi dalam bingkai, jual buku, pajang karya anak Sekolah Menulis Remaja Jeuneurob, dan kebutuhan lapangan secara tiba-tiba. Terpenting, bagaimana membuat stan sastra terlihat menarik, sebab stan teater dan musik mengapit sastra di bawah naungan angsana yang rindang.
Pengunjung membaca puisi dan anak punk membaca buku di meja Kanot Bu
Stan dibuka jam 9 pagi sampai 11 malam. Ketika berganti hari, lampu stan diputuskan arusnya. Seketika layar hitam turun dari langit ke Taman Sari. Sulit melihat bulan di balik awan dan susunan stan, kecuali bulan di wajahnya. Maka aku akan menelponnya, kadang menemiunya jika memungkinkan, selain dua kali ia mengunjungi kami.
Angin malam di pengujung November kian kencang menghembus tanaman. Satu pematang yang setangkai dahannya menjulang lebih tinggi dari rata-rata, tumbang, jatuh ke kali. Setelah berpikir-pikir, kami biarkan ia mengikuti arus tanpa sesal, bersama jasa-jasanya. Pada saat bersamaan, ada dedaunan dari tiga pematang yang berlilitan, untungnya mereka bisa melepaskan diri.
Aku sempat bersin-bersin menghadapi angin itu. Lagi-lagi aku menemuinya dan ia sangat meneduhkan. Siangnya, ia sempat memberiku gigi dari busa yang kemudian kutulis puisi di atasnya. Malamnya, ia memberiku sayap bidadarinya; hangat sekali. Aku benar-benar tak ingin berpisah darinya.
Happy Desember, sayang, katanya satu dini hari kemudian. Aku berharap cukup aku yang terakhir mencintainya, seperti Desember yang menutup bulan-bulan almanak lain. Aku sudah yakin, berdasarkan fakta-fakta yang timbul di sekitar kami.
Tapi masa depan tak pasti. Adalah 2 Desember malam terakhir Piasan Seni, kupikir malam itu juga malam pamungkas kami bersama; malam dukacita sebatang pematang yang biasanya selalu hijau nan rindang melindungi tanaman.   
Kala barter aspirin melalui udara awal bulan yang kejam, terjadi kecelakaan kecil. Aku lepas kontrol dan mungkin begitulah aku. Aku berterima ketika ia memberondongku dengan kata-kata. “Cukup sampai di sini,” simpulnya, di sela-sela pasangan muda yang melintasi jalan setapak Taman Sari. Aku berusaha membela, tapi tak kuasa, hanya bisa kuciptakan hujan dalam pikiran dan hatiku.
Tujuh pematang tersisa
Sesaat, ketika aku balik ke stan dengan bahagia yang kubuat-buat, aku ditelpon abang agar pulang menemani Emak yang mendadak sakit. Sementara Nazar sudah meminta saya buat rapat bersama anggota tersisa. Merunduklah sejenak tujuh pematang yang tangguh di antara ladang-ladang lain. Kami bicara soal Piasan Seni dan esok hari. Ketika dibahas masalah pribadi, aku menyembunyikan duka. Hingga akhirnya aku pulang lebih dulu dengan pikiran kacau.
Aku coba menyendiri, merenung sembari menemani Emak yang sedang sakit perut parah. Seperti kata dia padaku malam itu, semakin banyak masalah menimpa, semakin dekat dengan kesuksesan. Aku kira itu berlaku di segala lini, termasuk antara kami – meski malam itu ia katakan kami tak punya hubungan apa-apa. Ia dan aku sedang diuji, dan aku yakin, kami akan berhasil menjalin “hubungan”.
Terbangun aku dengan hape masih membuka laman Facebook. Lantas kututupnya, dan, ada pesan masuk darinya. Usai salat, kami smsan, coba cari jalan keluar. Kemudian aku telpon. Dia memaafkanku. Hei, hei, kawan, dia memaafkanku. Sungguh aku menyesal dan tak ingin mengulangi kesalahanku di kemudian hari. Aku harus banyak belajar.
Kembalilah pematang itu hijau nan rindang melindungi tanaman.
Terimakasih, sayang. Aku tak perlu bulan di langit, nyalakan selalu bulan di wajahmu, sebab itu tak hanya menyinariku, tapi apa yang kulakukan untuk komunitasku juga orang lain. Panggil aku jika matahari menimpamu.
Rawa Sakti, 3 Desember 2012

0 komentar:

Posting Komentar