Oleh Makmur Dimila
Semakin banyak masalah menimpa,
semakin dekat dengan kesuksesan, Makmur..
Aku dan bulanku |
Diucapnya
lembut kalimat di atas ketika masalah menimpaku dan komunitasku, pada malam
kedua Piasan Seni Banda Aceh, dengan seulas senyum khasnya. Aku benar-benar
membutuhkannya dalam hidupku.
Piasan
Seni – itu kali pertama – berlangsung kurun 28 November sampai 2 Desember 2012
di Taman Sari. Puluhan komunitas seni: tari, musik, teater, rupa, multimedia,
dan sastra, ambil bagian. Aku memimpin Komunitas Jeuneurob mengisi stan sastra,
bersama Komunitas Kanot Bu dan Forum Lingkar Pena Aceh.
Kami
sudah dipercaya, tentu harus memuaskan orang-orang yang telah memercayakan.
Butuh pematang yang kokoh menyangga pagar pelindung tanaman di dalamnya, maka
Jeuneurob memboyong pematang-pematang pilihan, agar dapat memetik buah bila
panen tiba.
Konsistensi
anggota dalam sebuah komunitas/organisasi memang rentan. Kesibukan di luar,
perbedaan ideologi dan keyakinan, finansial, pesimisme, menjadi seperangkat
alibi bagi Jeuneurob menebas atau menggantikan pematang. Jeuneurob adalah
pematang penyangga kawat pagar untuk melindungi lahan; bila-bila ia tak kuat
kemudian patah, ternak akan masuk dan menggerogoti segenap isi ladang.
Sudah
menjadi karakter aku dan penasehat komunitas Nazar Shah Alam, kalau ada anggota
bertingkah – tidak mau berpikir dan bekerja atau mengganggu kinerja anggota
ketika ada acara penting – akan kami sidang. Sebab Jeuneurob adalah komunitas
sastra berbasis sosial, dikelola secara swadaya. Kami memberikan pilihan kepada
anggota untuk memilih mana lebih sejahtera antara berada di dalam dan luar
Jeuneurob; anggota sendiri yang putuskan, setelah bertemu dan berembuk, kecuali
ada anggota yang memang sudah kami pahami tipikalnya.
Ketika
kami membebastugaskan beberapa anggota secara hormat, tidak berarti kami
kekurangan tenaga mempersiapkan diri untuk Piasan Seni dan beberapa program
kecil di muka. Kami malah lebih leluasa bergerak dengan sedikit personil loyal;
sama-sama mengecap pahit-manis.
Siapa
yang membuatku selalu kuat bila badai menghadang? Adalah dia yang selalu
menyemangatiku dan mengerti aku, selain masukan Penasehat yang membuatku tak goyah.
Telponan di sela-sela kesibukan adalah rutinitas kami barter ‘aspirin’ dan
motivasi.
Ada
satu titah darinya menjelang Piasan Seni, di mana baru saja kami cabut satu pematang
lagi. “Kamu harus lebih tegas dan peka, jangan dengar satu pihak saja.” Bulan
menyala di wajahnya, aku meresapi itu dengan khidmat.
Hm,
aku sudah melakukan itu atau belum ya? Kurasa ... yang pastinya aku selalu berusaha
mendengar ketika setiap anggota kurang dedikasi, berusaha kami dudukkan
membahas kelanjutan di komunitas.
Kami
sudah diundang ke beberapa acara di mana di situ kami bocorkan program. Bila
tidak menunaikannya, aku dan Nazar yang harus menanggung malu. Ibarat menjaga
tanaman, tentu butuh pematang-pematang yang kuat agar tak dijebol ternak atau
malah makan tanaman.
Di
ambang Rabu malam pembuka festival seni, tersisa sebelas pematang. Dengan
begitu, kami menata kembali ladang, membuatnya jadi lebih kecil, supaya pagar
kokoh, dan hasil tanam memuaskan nantinya.
Harus
bekerja ekstra keras untuk bisa memamerkan karya fiksi dalam bingkai, jual
buku, pajang karya anak Sekolah Menulis Remaja Jeuneurob, dan kebutuhan
lapangan secara tiba-tiba. Terpenting, bagaimana membuat stan sastra terlihat
menarik, sebab stan teater dan musik mengapit sastra di bawah naungan angsana yang
rindang.
Pengunjung membaca puisi dan anak punk membaca buku di meja Kanot Bu |
Stan
dibuka jam 9 pagi sampai 11 malam. Ketika berganti hari, lampu stan diputuskan
arusnya. Seketika layar hitam turun dari langit ke Taman Sari. Sulit melihat
bulan di balik awan dan susunan stan, kecuali bulan di wajahnya. Maka aku akan
menelponnya, kadang menemiunya jika memungkinkan, selain dua kali ia
mengunjungi kami.
Angin
malam di pengujung November kian kencang menghembus tanaman. Satu pematang yang
setangkai dahannya menjulang lebih tinggi dari rata-rata, tumbang, jatuh ke
kali. Setelah berpikir-pikir, kami biarkan ia mengikuti arus tanpa sesal,
bersama jasa-jasanya. Pada saat bersamaan, ada dedaunan dari tiga pematang yang
berlilitan, untungnya mereka bisa melepaskan diri.
Aku
sempat bersin-bersin menghadapi angin itu. Lagi-lagi aku menemuinya dan ia
sangat meneduhkan. Siangnya, ia sempat memberiku gigi dari busa yang kemudian
kutulis puisi di atasnya. Malamnya, ia memberiku sayap bidadarinya; hangat
sekali. Aku benar-benar tak ingin berpisah darinya.
Happy
Desember, sayang, katanya satu dini hari kemudian. Aku berharap cukup aku yang
terakhir mencintainya, seperti Desember yang menutup bulan-bulan almanak lain.
Aku sudah yakin, berdasarkan fakta-fakta yang timbul di sekitar kami.
Tapi
masa depan tak pasti. Adalah 2 Desember malam terakhir Piasan Seni, kupikir
malam itu juga malam pamungkas kami bersama; malam dukacita sebatang pematang
yang biasanya selalu hijau nan rindang melindungi tanaman.
Kala
barter aspirin melalui udara awal bulan yang kejam, terjadi kecelakaan kecil.
Aku lepas kontrol dan mungkin begitulah aku. Aku berterima ketika ia
memberondongku dengan kata-kata. “Cukup sampai di sini,” simpulnya, di
sela-sela pasangan muda yang melintasi jalan setapak Taman Sari. Aku berusaha
membela, tapi tak kuasa, hanya bisa kuciptakan hujan dalam pikiran dan hatiku.
Tujuh pematang tersisa |
Sesaat,
ketika aku balik ke stan dengan bahagia yang kubuat-buat, aku ditelpon abang
agar pulang menemani Emak yang mendadak sakit. Sementara Nazar sudah meminta
saya buat rapat bersama anggota tersisa. Merunduklah sejenak tujuh pematang
yang tangguh di antara ladang-ladang lain. Kami bicara soal Piasan Seni dan
esok hari. Ketika dibahas masalah pribadi, aku menyembunyikan duka. Hingga
akhirnya aku pulang lebih dulu dengan pikiran kacau.
Aku
coba menyendiri, merenung sembari menemani Emak yang sedang sakit perut parah.
Seperti kata dia padaku malam itu, semakin banyak masalah menimpa, semakin
dekat dengan kesuksesan. Aku kira itu berlaku di segala lini, termasuk antara
kami – meski malam itu ia katakan kami tak punya hubungan apa-apa. Ia dan aku
sedang diuji, dan aku yakin, kami akan berhasil menjalin “hubungan”.
Terbangun
aku dengan hape masih membuka laman Facebook. Lantas kututupnya, dan, ada pesan
masuk darinya. Usai salat, kami smsan, coba cari jalan keluar. Kemudian aku
telpon. Dia memaafkanku. Hei, hei, kawan, dia memaafkanku. Sungguh aku menyesal
dan tak ingin mengulangi kesalahanku di kemudian hari. Aku harus banyak
belajar.
Kembalilah pematang itu hijau nan
rindang melindungi tanaman.
Terimakasih,
sayang. Aku tak perlu bulan di langit, nyalakan selalu bulan di wajahmu, sebab
itu tak hanya menyinariku, tapi apa yang kulakukan untuk komunitasku juga orang
lain. Panggil aku jika matahari menimpamu.
Rawa
Sakti, 3 Desember 2012
0 komentar:
Posting Komentar