Jumat, 07 Desember 2012

Piasan Pada Purnama

Di Tempat Berkeluh
Karya Zahra Nurul Liza
Katakanlah bermula cerita pada sabit ke tiga. Saat itu pagi sudah tua, beberapa anak muda datang ke jambo sederhana dengan membawa serta setumpuk pekerjaan yang wajib diselesaikan pada waktu yang telah dijatahkan. Anak muda yang sering waktu mengungkapkan pikiran yang dibalut dengan perasaan lewat tulisan. Anak muda yang nyaris tak kenal kata tidur dan bisa jadi lupa makan. Anak muda yang meneguhkan bahwa segala sesuatu itu perlu perjuangan.
Tak lebih dari dua pekan lagi acara Pentas Seni akan diselenggarakan di Taman Sari, tepatnya pada malam purnama. Komunitas Jeuneurob harus sesegera mungkin menyelesaikan berbagai rencana yang telah dirancang sedemikian rupa beberapa sore lalu di warung kopi Rawa Sakti. Beberapa karya anggotanya yang kemudian akan dibingkai lalu disangkutkan di dinding stan saat pameran. Rencananya kami juga akan menciptakan lampu bermacam warna dengan kertas yang telah ditulis puisi sebagai dindingnya. Saat acara nanti pikiran kreatif kami juga meiliki ide untuk mengadakan acara baca puisi dadakan di depan stan.
Sabit ke empat, bahan dan alat untuk membuat bingkai sudah tersedia berkat kerja keras para pekerja –katakanlah seperti itu- di Komunitas Jeuneurob ini. Mereka bekerja mulai dari memotong kayu tipis yang cukup keras dan bertekstur tak cukup lembut. Setelahnya mereka memaku kayu-kayu itu berbentuk bingkai dengan ukuran yang telah disepakati. Lalu sesekali waktu tak lupa menyeruput kopi sambil membahas tentang Cang Panah edisi terbaru, atau berperan menjadi penyiar radio, penelepon setia, penelepon iseng, juga tak lupa sebagai bintang iklan.
Malam di Jambo
Bulan sepertinya tak pantas lagi disebut sabit sebab hampir mencapai angka sepuluh. Bingkai yang dihasilkan semakin bertambah, kotak-kotak yang nantinya akan dipasangkan lampu juga beberapa sudah mencapai sempurna penyelesaiannya. Dalam kerja ini ada cinta di sana, ada tawa, ada kesal, ada kantuk, ada lelah, dan ada segalanya.
Bulan mencapai angka  tiga belas. Hasil karya kami pun mencapai sempurna. Bingkai-bingkai telah dicat hitam dan kuning keemasan. Lampu-lampu telah dipasang pada kotak yang telah dibuat dengan kayu kecil. Kotak dengan berbagai bentuk misal rumah, persegi panjang, juga macam bentuk lain. Malam itu para pekerja memutuskan tidak pulang, maksud di sini bukan pulang ke rumah melainkan pulang ke warung kopi Rawa Sakti untuk kembali bekerja semisal layout dan edit karya yang akan dibukukan. Malam yang terang ini, mereka menginap di jambo demi menyelesaikan bingkai-bingkai atau pekerjaan lain yang belum terselesaikan.
Kini bulan mencapai angka empatbelas. Para pekerja juga beberapa gadis yang bergiat di Komunitas Jeuneurob bekerja keras menyempurnakan pekerjaan yang belum sempurna. Memasang karya-kaya pada bingkai kemudian menyematkan plastik sebagai pengganti kaca di sisi depan. Ketika senja para perempuan pulang ke rumah mereka maisng-masing meninggalkan pekerja di jambo, kecuali satu orang perempuan yang memang pemilik rumah tempat jambo didirikan. Malam itu bulan  nyaris bulat sempurna. Kalau tidak diperhatikan maka siapapun akan menyangka itu purnama. Malam hendak mencapai pertengahan, mobil Pick-Up datang kemudian membawa barang-barang seperti bingkai dan lain sebagainya menuju ke stan pameran di Taman Sari. Mobil yang dikendarai oleh salah satu pekerja di Komunitas Jeuneurob itu kemudian pergi meninggalkan kenangan susah dan senang perjuangan di jambo.
Ayah dan Bunda Zahra
“Sepi jadinya rumah kita sebab tak ada lagi mereka. Ketika pagi Bunda tinggal sendiri. Tak ada lagi  tawa-tawa besar, pun lagu-lagu dangdut, juga lagu tahun 80-90an. Tak ada lagi anak laki-laki yang perlu dibuatkan kopi kala pagi dan sore. Sepi, kecuali ketika kakak pulang kuliah, adek pulang sekolah, dan bapak pulang kerja, yaitu ketika malam,” ucap Bunda.
Sempurna. Bulan telah pada bentuk paling sempurna. Bulan menggantungkan diri pada langit, bulan telah purnama. Malam ini pembukaan acara Piasan Seni. Satu stan kemudian dibagi menjadi tiga komunitas, Komunitas Jeuneurob, Komunitas Kanot Bu, dan FLP Aceh. Malam itu rasanya malam penuh kenangan. Malam saat berjabat tangan dengan para penulis lain selain dari Komunitas Jeuneurob. Katakanlah malam purnama yang penuh dengan perkenalan.
Untuk malam selanjutnya bulan telah sembunyi, entah karena telah sampai pada waktunya untuk sembunyi atau karena dipaksa sembunyi oleh awan. Singkatnya, acara Pentas Seni untuk malam-malam setelah itu berjalan dengan baik walau namanya juga jalan pasti ada batu-batu yang mencoba menghadang. Tapi sepertinya kaki-kaki Jeuneurob kemudian berhasil menyepak batu-batu itu jauh ke pinggir.
Di Stan Sastra
Entah sabit atau purnama ke berapa sekarang ini. Acara Pentas Seni telah capai pada akhir cerita. Barang-barang seperti bingkai diangkut untuk dipulangkan ke jambo. Lagi-lagi yang mengangkut itu adalah para pekerja Komunitas Jeuneurob. Seperti tak ada lelah saja, atau saking lelahnya kemudian memutuskan untuk tidak mengenal lelah? Tapi rasanya jika saja mereka mengenal kata lelah dan memanjakan lelah itu, maka semua akan mati.

0 komentar:

Posting Komentar