Di Tempat Berkeluh |
Karya Zahra Nurul Liza
Katakanlah bermula cerita pada sabit ke
tiga. Saat itu pagi sudah tua, beberapa anak muda datang ke jambo sederhana
dengan membawa serta setumpuk pekerjaan yang wajib diselesaikan pada waktu yang
telah dijatahkan. Anak muda yang sering waktu mengungkapkan pikiran yang
dibalut dengan perasaan lewat tulisan. Anak muda yang nyaris tak kenal kata
tidur dan bisa jadi lupa makan. Anak muda yang meneguhkan bahwa segala sesuatu
itu perlu perjuangan.
Tak lebih dari dua pekan lagi acara
Pentas Seni akan diselenggarakan di Taman Sari, tepatnya pada malam purnama.
Komunitas Jeuneurob harus sesegera mungkin menyelesaikan berbagai rencana yang
telah dirancang sedemikian rupa beberapa sore lalu di warung kopi Rawa Sakti.
Beberapa karya anggotanya yang kemudian akan dibingkai lalu disangkutkan di
dinding stan saat pameran. Rencananya kami juga akan menciptakan lampu bermacam
warna dengan kertas yang telah ditulis puisi sebagai dindingnya. Saat acara
nanti pikiran kreatif kami juga meiliki ide untuk mengadakan acara baca puisi
dadakan di depan stan.
Sabit ke empat, bahan dan alat untuk
membuat bingkai sudah tersedia berkat kerja keras para pekerja –katakanlah
seperti itu- di Komunitas Jeuneurob ini. Mereka bekerja mulai dari memotong
kayu tipis yang cukup keras dan bertekstur tak cukup lembut. Setelahnya mereka
memaku kayu-kayu itu berbentuk bingkai dengan ukuran yang telah disepakati.
Lalu sesekali waktu tak lupa menyeruput kopi sambil membahas tentang Cang Panah
edisi terbaru, atau berperan menjadi penyiar radio, penelepon setia, penelepon
iseng, juga tak lupa sebagai bintang iklan.
Malam di Jambo |
Bulan sepertinya tak pantas lagi disebut
sabit sebab hampir mencapai angka sepuluh. Bingkai yang dihasilkan semakin
bertambah, kotak-kotak yang nantinya akan dipasangkan lampu juga beberapa sudah
mencapai sempurna penyelesaiannya. Dalam kerja ini ada cinta di sana, ada tawa,
ada kesal, ada kantuk, ada lelah, dan ada segalanya.
Bulan mencapai angka tiga belas. Hasil karya kami pun mencapai
sempurna. Bingkai-bingkai telah dicat hitam dan kuning keemasan. Lampu-lampu
telah dipasang pada kotak yang telah dibuat dengan kayu kecil. Kotak dengan
berbagai bentuk misal rumah, persegi panjang, juga macam bentuk lain. Malam itu
para pekerja memutuskan tidak pulang, maksud di sini bukan pulang ke rumah
melainkan pulang ke warung kopi Rawa Sakti untuk kembali bekerja semisal layout dan edit karya yang akan
dibukukan. Malam yang terang ini, mereka menginap di jambo demi menyelesaikan
bingkai-bingkai atau pekerjaan lain yang belum terselesaikan.
Kini bulan mencapai angka empatbelas.
Para pekerja juga beberapa gadis yang bergiat di Komunitas Jeuneurob bekerja
keras menyempurnakan pekerjaan yang belum sempurna. Memasang karya-kaya pada
bingkai kemudian menyematkan plastik sebagai pengganti kaca di sisi depan.
Ketika senja para perempuan pulang ke rumah mereka maisng-masing meninggalkan pekerja
di jambo, kecuali satu orang perempuan yang memang pemilik rumah tempat jambo
didirikan. Malam itu bulan nyaris bulat
sempurna. Kalau tidak diperhatikan maka siapapun akan menyangka itu purnama.
Malam hendak mencapai pertengahan, mobil Pick-Up
datang kemudian membawa barang-barang seperti bingkai dan lain sebagainya
menuju ke stan pameran di Taman Sari. Mobil yang dikendarai oleh salah satu pekerja
di Komunitas Jeuneurob itu kemudian pergi meninggalkan kenangan susah dan
senang perjuangan di jambo.
Ayah dan Bunda Zahra |
“Sepi jadinya rumah kita sebab tak ada
lagi mereka. Ketika pagi Bunda tinggal sendiri. Tak ada lagi tawa-tawa besar, pun lagu-lagu dangdut, juga
lagu tahun 80-90an. Tak ada lagi anak laki-laki yang perlu dibuatkan kopi kala
pagi dan sore. Sepi, kecuali ketika kakak pulang kuliah, adek pulang sekolah,
dan bapak pulang kerja, yaitu ketika malam,” ucap Bunda.
Sempurna. Bulan telah pada bentuk paling
sempurna. Bulan menggantungkan diri pada langit, bulan telah purnama. Malam ini
pembukaan acara Piasan Seni. Satu stan kemudian dibagi menjadi tiga komunitas,
Komunitas Jeuneurob, Komunitas Kanot Bu, dan FLP Aceh. Malam itu rasanya malam
penuh kenangan. Malam saat berjabat tangan dengan para penulis lain selain dari
Komunitas Jeuneurob. Katakanlah malam purnama yang penuh dengan perkenalan.
Untuk malam selanjutnya bulan telah
sembunyi, entah karena telah sampai pada waktunya untuk sembunyi atau karena
dipaksa sembunyi oleh awan. Singkatnya, acara Pentas Seni untuk malam-malam
setelah itu berjalan dengan baik walau namanya juga jalan pasti ada batu-batu
yang mencoba menghadang. Tapi sepertinya kaki-kaki Jeuneurob kemudian berhasil
menyepak batu-batu itu jauh ke pinggir.
Di Stan Sastra |
Entah sabit atau purnama ke berapa
sekarang ini. Acara Pentas Seni telah capai pada akhir cerita. Barang-barang
seperti bingkai diangkut untuk dipulangkan ke jambo. Lagi-lagi yang mengangkut
itu adalah para pekerja Komunitas Jeuneurob. Seperti tak ada lelah saja, atau
saking lelahnya kemudian memutuskan untuk tidak mengenal lelah? Tapi rasanya
jika saja mereka mengenal kata lelah dan memanjakan lelah itu, maka semua akan
mati.
0 komentar:
Posting Komentar