Selasa, 04 Desember 2012

Kami Berpiasan dan Berkomitmen

Dukun Kembali Rohadi
Karya Rahmat Kembali Rohadi
Wajah mereka memancarkan sinar seperti bulan kelima-belas, bak kata orang kampungku. Berseri, bersemangat, dan bergairah, begitulah deskripsi aura mereka setelah acara Piasan seni itu resmi dibuka. Sementara, aku mengikuti suasana malam yang mengendapkan kelam bersama gumpalan awan hitam. Aku sedang meniti jembatan galau dan risau pada nasib hidupku.
Lama kami bekerja pada persiapan untuk acara ini. Akhirnya, malam bersambut ridha Tuhan, buah letih kami tercicipi dengan segala bentuk kesenangan. Meskipun pesimis pernah melanda, keraguan meraja, dan kerja bertentang rasa. Bagaimana tidak? Pancang yang berdiri tegak sejumlah tiga belas batang, kini dua di antaranya samar, dan menghilang.
Beradu ego, berbeda pandang, dan berlain arah, itu adalah sebuah kebiasaan. Apalagi perkumpulan kami masih muda-mudi. Semuanya ingin menampakkan dialah yang bisa terbang, namun tak pernah mau menyadari batas mana kemampuannya. Aku tak pernah memikirkan itu, sebab yang kutahu jalan itu tidak selamanya licin, dan tidak juga selamanya lurus, pasti ada lobang dan belokannya. Aku hanya akan menerima apa adanya tentang perintah dan titah dari tetua.
Dua pergi. Kupikir biarlah mereka mengepak sayapnya sendiri, atau berkiprah menyatukan sayap-sayap mereka dengan yang lain. Sebab, aku mengetahui, bila bersama kami, masa depan adalah keraguan, dan angan terkesan bagai manipulasi kebahagiaan. Aku bukanlah penanti masa depan yang suram, akan tetapi aku punya prinsip kuat. Ketika menjalankan sebuah usaha, dua kemungkinan antara laba dan rugi menanti, dan terlebih dahulu kupastikan aku berdiri di kemungkinan pertama, yaitu rugi. Aku tak akan pergi seperti mereka yang telah pergi.
***
Malam itu, malam pertama pembukaan acara Piasan seni, kesebelasan kami melaluinya bersama-sama. Tak ada permasalahan. Kekompakan terjalin begitu rapi, bagai kesebelasan tim sepakbola Barcelona memainkan bola di kandang lawan-lawannya. Sangat manis permainan yang dimunculkan malam itu.
Aku duduk di dalam stan, stan Sastra tepatnya. Perasaan hati memberatkan badan untuk bergerak, mengunci kaki untuk melangkah, karenanya kupilih untuk diam. Berbeda dengan yang lain, mereka menyempatkan diri untuk menikmati keceriaan yang dihadirkan di Piasan Seni itu. Lebih lagi yang sedang kasmaran. Pantatnya bagai ada ulat yang menggerogoti, hingga harus lari dan berpindah-pindah posisi.
Ratusan orang melintas mondar-mandir di depan stan kami. Beberapa dari mereka mampir menjamu stan kami, stan yang berisikan tiga komunitas muda ini. Mereka ada yang tua, ada yang muda, ada yang duda, ada yang janda, ada yang berkeluarga, ada yang hanya seorang diri saja, dan ada pula yang berpasangan mesra. Semuanya kulayani dengan senang hati. Cemburuku juga meraja, ketika stan didatangi oleh pasangan kasih. Pun begitu, aku harus melumatnya dengan lezat, sebab bagiku tamu adalah Raja.
***
Malam sudah menua. Bulan kabur samar sebab cuaca. Aku harus mengantarkan seorang anggota komunitas pulang ke rumahnya. Jarak tempuh lumayan jauh dari tempat acara. Kami harus bersegera. Aku takut ada kata atau pandang tak sedap dari selingkar kediamannya. Maklum saja, seorang gadis pulang malam-malam bersama lelaki muda yang bukan muhrimnya. Apa kata dunia?
Zahra yang Tak Pernah Alpa
Dia seorang wanita gila. Bukan, bukan dia yang gila, tapi rasa memilikinya pada komunitas ini membuatku berpikir dia adalah seorang yang gila. Ah, malas aku membahasnya, nanti dia tersinggung pula karena kata-kata. Walau bagaimana, dia pantas diberikan posisi pertama dan utama untuk juara mencintai komunitas yang kami punya. Aku salut padanya.
Sepanjang perjalanan, aku dan dia tak banyak berkata. Aku masih melambung pada rasa cemburu yang teramat sangat pada gadis yang berdomisili di Sumatera Utara. Seketika aku menyodorkan tanya untuk memcahkan kebekuan dan kebisuan di sepanjang perjalanan kami. Dia pun menjawab dengan gamblang, seakan tak ada rahasia. Hingga aku mengetahui apa sebenarnya cerita yang pernah ada, dan ceritanya adalah fakta, bukan fiksi belaka, seperti ceritaku bersama rekan-rekan biasa.
***
Oh, aku lupa memperkenalkan komunitasku terlebih dahulu. Komunitasku bernama Komunitas Jeuneurob. Jeuneurob artinya pagar. Kata itu kami ambil dari bahasa Aceh. Anggota kami terdiri dari mahasiswa yang datang dari pelbagai Perguruan Tinggi. Kami memiliki satu anggota yang masih siswa. Dia kami sebut dengan putri emas. Sebab dia adalah yang muda yang berkarya. Kukira cukup untuk sekian saja tentang komunitasku
***
Aku kembali ke tempat acara Piasan Seni Banda Aceh, kulihat lampu sudah padam, stan kami sudah kelam. Kutemukan anggota komunitas di stan lain, bukan stan Sastra. Malam itu, kami berbarengan di sana, memulai menghayal dan bercanda layaknya hidup sepanjang masa. Itu kebiasaan kami. Dunia adalah panggung sandiwara dan kami adalah sutradara dari segalanya. Aku suka, aku bahagia dengan berbagai cerita, dan aku menutup mata, lalu terbang ke Amerika.
***
Pagi menyapa. Mentari juga sedikit bercahaya. Suara drum sudah membara dari stan KODA (Komunitas Drum dan Perkusi Aceh). Aku membangunkan rekan-rekan, sebab masih banyak hal yang harus dilakukan hari ini. Tak jauh di sudut sana, ada sebuah warung kopi ternama, dan di sanalah pagi Kamis itu, kami menikmati seteguk kopi, berbatang rokok, dan sepotong kue.
Matahari lebih dari sepenggalahan, aku berpisah dengan rekan-rekan semuanya. Aku harus pulang ke rumah, ada keluargaku yang baru tiba dari kampung. Hari itu, aku tak tahu bagaimana kejadian di sana. Dan aku tiba kembali setelah matahari berganti bulan, dan siang berganti malam.
***
Aku duduk di sebuah kursi panjang seraya mengantarkan pandang pada panggung utama. Di sampingku duduk seorang gadis, Zahra namanya. Dia gadis gila menurutku itu. Pandangku masih kutuju ke panggung utama, dan pikirku masih pada gadis berkacamata yang kucintai. Tiba-tiba seorang datang dan memotret kami berdua yang sedang duduk pada kursi itu. Aku tak peduli. Tapi celaka, potret itu dipajangkan pada akun dunia maya, yang membungakan percekcokan dengan si Temben, gadis Sumatera Utara.
Lama kami perang kata, lama kami beradu argumen, dan lama pula kami pernah punya rasa. Malam Jumat itu, segalanya berubah, kata tak lagi mesra, argumen saling berlawan arah, dan rasa menjadi berubah, dia tak lagi mencintaiku. Aku mengepalkan jari tanganku, ingin kulepaskan pukulan, tapi tak tahu harus ke mana. Sesaat pula emosiku redam, karena melihat seorang sedang merayu-rayu, goda-menggoda, dan iming-iming. Ternyata masih ada cinta dari si fulan untuk fulanah, rupanya.  Dari sang pengendap perasaan pada sang mantannya.
Ngopi Malam Hari
Jam sudah menunjukkan pada pukul 23.00, aku harus mengantarkan gadis itu. Sebab, untuk gadis itu, transportasinya dipercayakan dari tetua kepadaku. Kami melaju dalam rintik hujan. Mungkin jika bukan dengannya, akan kukatakan bahwa rintik hujan itu adalah anugerah sebagai pembangkit rasa birahi cinta. Tapi tidak dengannya. Aku tak mau hal yang buruk terjadi.
Sama seperti malam sebelumnya, ketika aku kembali, lampu sudah mati, dan pengunjung tak ada lagi. Tapi malam ini, aku sudah dinanti oleh seorang rekan. Hamdani nama rekanku itu. Dia meminta agar mengantarkannya pulang. Meski sebenarnya aku sangat dingin, kukesampingkan saja dulu, sebab tak mau ada perasaan tak enak dalam hal ihwal kawan berkawan.
***
Stan kami sepi. Aku hanya melihat seorang lelaki yang duduk di sana. Dia adalah Dedi, salah satu anggota komunitas yang bergabung dalam stan ini, Komunitas Kanot Bu. Mataku mulai melirik kiri-kanan, namun tak menghasilkan yang kumaksud. Rekan-rekanku hilang dari jangkauan indra penglihatan. Akhirnya, kuputuskan untuk menanti mereka di sini.
Tiba-tiba, Munawir Syari’ah Burtuqal (King Shakir) datang membawa tanya, degan mata merah, tangan memeluk raga, dan sekujur tubuhnya kulihat menggigil.
“Mana Pengko?”
Aku tak menjawab, sebab aku memang tak tahu di mana keberadaan Pengko sekarang.
“Kenapa?” balasku bertanya.
Dia tak menjawab. Dia mengajakku ke sebuah stan yang sedang dijaganya. Pertama aku menolak. Aku merasa tak enak pada Dedi, sebab stan ini juga tanggung-jawab kita bersama. Namun, dengan kerendahan hati, Dedi menyuruh agar aku menemani Munawir Syari’ah, dan meyakinkan bahwa dia tak apa apa sendiri.
Kami melaju ke stan Dokarim. Sesampainya, Munawir Syari’ah, atau kerennya King, dia duduk bersila di atas sebuah meja. Sementara, aku duduk berjuntai di sebelahnya.
 “Roka, apa yang kau rasakan?” sodornya.
“Tak ada, aku tak merasakan apa-apa?” spontan kata keluar dari mulutku.
Sesaat terlintas di ingatanku tentang perihal yang pernah dialami King beberapa bulan lalu. Segera kukirimkan pesan pada Pengko, menyuruhnya agar kembali ke stan secepatnya. King membisu. Aku mulai risau dengan keadaannya. Kemudian Pengko tiba dengan Jundi (sepeda motor) hijau miliknya. Dia bergegas mendekati King yang sedang dilanda kekosongan. Kami pun mulai memberi motivasi dan semangat kepada King agar kuat melawan segala hama yang sedang menyerang dirinya.
Azan subuh menggema. Aku mendengarnya lantang. Pengko dan King masih terlelap. Niat terbesit di hati untuk membangunkan King agar menunaikan salat subuh. Aku tak tega. King terlalu letih melawan kemalangannya.
Jualan Buku Mengisi Keluangan Waktu di Stan
Paginya, kami kembali ngopi di tempat yang sama, namun pada lapak yang berbeda. Di sini, kami mulai membahas program kerja ke depan. Mulai dari program jangka pendek, dan juga program jangka panjang. Semua serius menanggapi. Tugas pun dibagi sesuai keahlian yang kami miliki.
Bau salat jumat sudah tercium. Beberapa perempuan yang memakai pakaian abu-abu sudah berteriak di sepanjang jalan mengingatkan kepada para lelaki tentang kewajiban. King ingin pulang, Maksum juga. Mereka ingin mandi dan mengganti pakaian, katanya. Sementara aku dan Pengko lebih memilih tinggal di stan, dan berniat untuk menunaikan ibadah jumat di mesjid kebanggaan masyarakat Aceh yang tak jauh dari tempat kami berada.
***
Petang melalang. Dia juga sudah hilang. Seiring dengannya, aku sedang mengecup sehelai rindu akan bayang. Perasaan menjadi penyebab bagi yang bertentang. Walau aku sudah tahu, bahwa dia hanyalah seperti bilalang di atas kacang. Dia melompat, dia meloncat, namun tak pernah ada kenangan. Beda dengan kisahku bersama gadis yang jauh dari pandang, sangat banyak cerita untuk dikenang. Sudahlah, biarlah mereka hilang. Kami masih cukup kuat untuk tegak berdiri dengan sepuluh pancang.
Sejak itu, aku melalui hari di acara Piasan seni itu dengan gundah gulana. Terserah mereka beranggapan aku seperti apa. Aku adalah aku dan aku sedang merindu. Rindu menyapaku bertubi-tubi, rindu pada ibuku, rindu pada ayahku, pada keluargaku, dan tak terlepas rinduku pada gadis berkacamata nun jauh.
Meskipun demikian suasana di hati, aku tetap akan menjalani kegiatan ini. Sebab bagiku, menyerah adalah kalah, dan mundur adalah penghianatan. Apa yang bisa kulakukan, akan kulakukan untuk komunitas kami. Terkadang aku juga pernah berpikir tentang cerita orang-orang yang menjadi gila karena mimpi terlalu tinggi. Dan komunitas kami merupakan komunitas para pemimpi, orang tertawa dengan hayal, dan gila. Meski tak mau gila, tapi, kuabaikan saja, sebab segalanya Tuhan yang menentukan, sementara kita hanya bisa berencana.
***
Pengko dan Keluarganya yang Bahagia. hahaha
Malam ini malam penutupan. Beberapa pancang sudah layu, dan tinggal beberapa yang segar. Aku duduk di dalam stan, menjaga semua barang yang dipamerkan. Pengko sedang membuai seorang dara yang sedang menjadi belahan hatinya saat ini. Maksum sibuk mengatur strategi penyerangan untuk meruntuhkan tembok pertahanan di hati gadisnya. King bersiap-siap naik ke panggung utama sebagai perwakilan dari stan. Wak Lah dengan hasrat terdalamnya, mengincari seluruh penjuru untuk mencari seorang janda. Sementara aku, aku menjalani malam yang dibalut tekanan perasaan nan teramat sangat.
Darahku berdesir, detak jantung semakin cepat. Mataku dihadapkan pada kisah lama, sangat lama. Kasihku yang sudah meninggal dua tahun lalu, malam ini dia hadir bersama gadis itu. Persis sekali parasnya, dan tak ubah gaya dan sifatnya. Kenapa baru sekarang aku menyadari hal itu? Kenapa tidak dari dulu? Entahlah.
Aku sekarang merasakan bagai hidup di tempo waktu. Di masa aku baru mengenal cinta, baru merasakan Perguruan Tinggi, dan baru menikmati diajarkan oleh dosen gila. Aku ingin kembali di sana, tapi aku tak mau berjumpa dengan dosen-dosen gila itu lagi. Hanya saja aku ingin merangkai kisahku yang direnggut ajal, bersama gadis jelmaan kekasih pertamaku itu.
Seperti biasa, aku harus mengantarkan Zahra pulang. Malam ini aku sangat bahagia, aku banyak berceloteh tentang kisahku pada Zahra di sepanjang perjalanan. Seakan, aku baru saja lepas dari sebuah tempat yang memenjarakan hatiku untuk selalu bertahan pada gadis berkacamata.
***
Stan kulihat sudah kosong. Barang-barang semuanya sudah dikemaskan ke dalam beberapa kardus. Aku kaget. Hal ini tak sesuai seperti rencana. Ternyata setelah aku mendengar penjelasan, kedatangan pejabat pemerintahan yang tak bertoleran itu adalah petaka. Semuanya harus lenyap dari pemandangan saat itu juga dan tak boleh tertinggal satu pun. Akhirnya, mereka pemilik semua stan mengemaskan barang, bak tsunami akan tiba beberapa saatnya.
Semua penghuni stan-stan dalam Piasan Seni sudah pulang bersama barang perlengkapannya. Sekarang hanya tersisa stan kami yang belum beranjak selangkah pun. Dan kami bertekad untuk melawan jika ada yang melarangnya.
Kemudian kurebahkan badan di atas sebuah meja. Aku ingin istirahat. Tapi, itu tak bisa kulakukan. Tiga bayangan bersanding dalam pikiran, antara gadis berkacamata, gadis jelmaan, dan kasih pertamaku. Semuanya bersatu yang bikin aku tak tahu harus berbuat bagaimana. Sementara itu, pikirku juga kelu pada komunitas yang sedang dilanda badai.
            Tiga minggu yang lalu, kami berjumlahkan tiga belas pancang. Awalnya dua pancang pergi mencari kesejatian lain. Berselang beberapa hari, pancang yang tinggal sepuluh berkurang menjadi sembilan. Lalu, hari ini rupanya tersisa hanya tujuh pancang yang masih berdiri kokoh, dan duanya lagi bagaikan tak ada kawat pengikat penyatu para pancang. Aku menghawatirkan kondisi ini. Berapa atau masihkah pancang itu akan berdiri kokoh seperti hari ini kelak.
            Keyakinan kudapatkan dari sebuah meja yang sedang kutiduri. Meja itu memiliki empat kaki, dan dia sanggup menampungku yang memiliki berat 69 kg. Sedikit pun tak goyah, sebab diantara kaki-kakinya oleh bilah kayu.  Begitu juga kami, pikirku. Kami akan kuat, bahkan lebih dari meja itu. Kami mempunyai tujuh kaki dari gading dan kami akan mengikatnya dengan kawat besi. Sangat kuat.
            Untuk komunitasku, kukira tiada permasalahan. Akan tetapi, perasaanku sedang dalam kendala memuncak. Satu sisi aku sangat berbahagia malam ini, sebab acara sukses kami lewati. Salah atau tidaknya, aku tetap akan mengatakan bahwa rugilah mereka yang menyerah di tengah perjalanan. Sisi lainnya, aku sedang kegalauan. Gadisku yang berkacamata sudah pergi dari taman hati, dan kekasih pertamaku kembali dalam bentuk jelmaan. Kini aku harus bagaimana? Sembari melentang, kutuliskan seuntai kata untuk mereka yang sedang kupikirkan.

Kerja dan Hanya Kerja
UNTUKMU

Untukmu yang pergi dan tak pernah kembali
Doa kami selalu menyertai kalian
Kami akan setia menanti kabar
Bahwa kalian sudah terbang satu angka di atas kami

Untukmu yang menghilang dan tak pernah datang
Kukira kita adalah seasbab di atas pematang
Nyatanya tidak
Kau mesra mencintai egomu yang meraja

Untukmu yang jauh di sana
Siapa pun dan apa pun  dia
Aku tak rela kau dengan yang berkepala tiga
Kecuplah bahagia bersama sepadan baya

Untukmu komunitasku
Kami akan membawamu bersanding bulan dan bintang
Mewarnai lebih megah dari pelangi
Itu janji kami untukmu, komunitasku
Aku mencintaimu
Rawasakti, 4 Desember 2012

0 komentar:

Posting Komentar