Dukun Kembali Rohadi |
Karya Rahmat Kembali Rohadi
Wajah mereka memancarkan sinar seperti bulan kelima-belas,
bak kata orang kampungku. Berseri, bersemangat, dan bergairah, begitulah
deskripsi aura mereka setelah acara Piasan seni itu resmi dibuka. Sementara,
aku mengikuti suasana malam yang mengendapkan kelam bersama gumpalan awan
hitam. Aku sedang meniti jembatan galau dan risau pada nasib hidupku.
Lama kami bekerja pada persiapan untuk acara ini.
Akhirnya, malam bersambut ridha Tuhan, buah letih kami tercicipi dengan segala
bentuk kesenangan. Meskipun pesimis pernah melanda, keraguan meraja, dan kerja
bertentang rasa. Bagaimana tidak? Pancang yang berdiri tegak sejumlah tiga
belas batang, kini dua di antaranya samar, dan menghilang.
Beradu ego, berbeda pandang, dan berlain arah, itu
adalah sebuah kebiasaan. Apalagi perkumpulan kami masih muda-mudi. Semuanya
ingin menampakkan dialah yang bisa terbang, namun tak pernah mau menyadari
batas mana kemampuannya. Aku tak pernah memikirkan itu, sebab yang kutahu jalan
itu tidak selamanya licin, dan tidak juga selamanya lurus, pasti ada lobang dan
belokannya. Aku hanya akan menerima apa adanya tentang perintah dan titah dari
tetua.
Dua pergi. Kupikir biarlah mereka mengepak sayapnya
sendiri, atau berkiprah menyatukan sayap-sayap mereka dengan yang lain. Sebab,
aku mengetahui, bila bersama kami, masa depan adalah keraguan, dan angan
terkesan bagai manipulasi kebahagiaan. Aku bukanlah penanti masa depan yang
suram, akan tetapi aku punya prinsip kuat. Ketika menjalankan sebuah usaha, dua
kemungkinan antara laba dan rugi menanti, dan terlebih dahulu kupastikan aku
berdiri di kemungkinan pertama, yaitu rugi. Aku tak akan pergi seperti mereka
yang telah pergi.
***
Malam itu, malam pertama pembukaan acara Piasan seni,
kesebelasan kami melaluinya bersama-sama. Tak ada permasalahan. Kekompakan
terjalin begitu rapi, bagai kesebelasan tim sepakbola Barcelona memainkan bola
di kandang lawan-lawannya. Sangat manis permainan yang dimunculkan malam itu.
Aku duduk di dalam stan, stan Sastra tepatnya.
Perasaan hati memberatkan badan untuk bergerak, mengunci kaki untuk melangkah,
karenanya kupilih untuk diam. Berbeda dengan yang lain, mereka menyempatkan
diri untuk menikmati keceriaan yang dihadirkan di Piasan Seni itu. Lebih lagi
yang sedang kasmaran. Pantatnya bagai ada ulat yang menggerogoti, hingga harus
lari dan berpindah-pindah posisi.
Ratusan orang melintas mondar-mandir di depan stan
kami. Beberapa dari mereka mampir menjamu stan kami, stan yang berisikan tiga
komunitas muda ini. Mereka ada yang tua, ada yang muda, ada yang duda, ada yang
janda, ada yang berkeluarga, ada yang hanya seorang diri saja, dan ada pula
yang berpasangan mesra. Semuanya kulayani dengan senang hati. Cemburuku juga
meraja, ketika stan didatangi oleh pasangan kasih. Pun begitu, aku harus
melumatnya dengan lezat, sebab bagiku tamu adalah Raja.
***
Malam sudah menua. Bulan kabur samar sebab cuaca.
Aku harus mengantarkan seorang anggota komunitas pulang ke rumahnya. Jarak
tempuh lumayan jauh dari tempat acara. Kami harus bersegera. Aku takut ada kata
atau pandang tak sedap dari selingkar kediamannya. Maklum saja, seorang gadis
pulang malam-malam bersama lelaki muda yang bukan muhrimnya. Apa kata dunia?
Zahra yang Tak Pernah Alpa |
Dia seorang wanita gila. Bukan, bukan dia yang gila,
tapi rasa memilikinya pada komunitas ini membuatku berpikir dia adalah seorang
yang gila. Ah, malas aku membahasnya, nanti dia tersinggung pula karena
kata-kata. Walau bagaimana, dia pantas diberikan posisi pertama dan utama untuk
juara mencintai komunitas yang kami punya. Aku salut padanya.
Sepanjang perjalanan, aku dan dia tak banyak
berkata. Aku masih melambung pada rasa cemburu yang teramat sangat pada gadis
yang berdomisili di Sumatera Utara. Seketika aku menyodorkan tanya untuk
memcahkan kebekuan dan kebisuan di sepanjang perjalanan kami. Dia pun menjawab
dengan gamblang, seakan tak ada rahasia. Hingga aku mengetahui apa sebenarnya
cerita yang pernah ada, dan ceritanya adalah fakta, bukan fiksi belaka, seperti
ceritaku bersama rekan-rekan biasa.
***
Oh, aku lupa memperkenalkan komunitasku terlebih
dahulu. Komunitasku bernama Komunitas Jeuneurob. Jeuneurob artinya pagar. Kata
itu kami ambil dari bahasa Aceh. Anggota kami terdiri dari mahasiswa yang
datang dari pelbagai Perguruan Tinggi. Kami memiliki satu anggota yang masih
siswa. Dia kami sebut dengan putri emas. Sebab dia adalah yang muda yang
berkarya. Kukira cukup untuk sekian saja tentang komunitasku
***
Aku kembali ke tempat acara Piasan Seni Banda Aceh,
kulihat lampu sudah padam, stan kami sudah kelam. Kutemukan anggota komunitas
di stan lain, bukan stan Sastra. Malam itu, kami berbarengan di sana, memulai menghayal
dan bercanda layaknya hidup sepanjang masa. Itu kebiasaan kami. Dunia adalah
panggung sandiwara dan kami adalah sutradara dari segalanya. Aku suka, aku
bahagia dengan berbagai cerita, dan aku menutup mata, lalu terbang ke Amerika.
***
Pagi menyapa. Mentari juga sedikit bercahaya. Suara
drum sudah membara dari stan KODA (Komunitas Drum dan Perkusi Aceh). Aku membangunkan
rekan-rekan, sebab masih banyak hal yang harus dilakukan hari ini. Tak jauh di
sudut sana, ada sebuah warung kopi ternama, dan di sanalah pagi Kamis itu, kami
menikmati seteguk kopi, berbatang rokok, dan sepotong kue.
Matahari lebih dari sepenggalahan, aku berpisah
dengan rekan-rekan semuanya. Aku harus pulang ke rumah, ada keluargaku yang
baru tiba dari kampung. Hari itu, aku tak tahu bagaimana kejadian di sana. Dan
aku tiba kembali setelah matahari berganti bulan, dan siang berganti malam.
***
Aku duduk di sebuah kursi panjang seraya mengantarkan
pandang pada panggung utama. Di sampingku duduk seorang gadis, Zahra namanya.
Dia gadis gila menurutku itu. Pandangku masih kutuju ke panggung utama, dan
pikirku masih pada gadis berkacamata yang kucintai. Tiba-tiba seorang datang
dan memotret kami berdua yang sedang duduk pada kursi itu. Aku tak peduli. Tapi
celaka, potret itu dipajangkan pada akun dunia maya, yang membungakan
percekcokan dengan si Temben, gadis Sumatera Utara.
Lama kami perang kata, lama kami beradu argumen, dan
lama pula kami pernah punya rasa. Malam Jumat itu, segalanya berubah, kata tak
lagi mesra, argumen saling berlawan arah, dan rasa menjadi berubah, dia tak
lagi mencintaiku. Aku mengepalkan jari tanganku, ingin kulepaskan pukulan, tapi
tak tahu harus ke mana. Sesaat pula emosiku redam, karena melihat seorang
sedang merayu-rayu, goda-menggoda, dan iming-iming. Ternyata masih ada cinta
dari si fulan untuk fulanah, rupanya.
Dari sang pengendap perasaan pada sang mantannya.
Ngopi Malam Hari |
Jam sudah menunjukkan pada pukul 23.00, aku harus
mengantarkan gadis itu. Sebab, untuk gadis itu, transportasinya dipercayakan
dari tetua kepadaku. Kami melaju dalam rintik hujan. Mungkin jika bukan
dengannya, akan kukatakan bahwa rintik hujan itu adalah anugerah sebagai
pembangkit rasa birahi cinta. Tapi tidak dengannya. Aku tak mau hal yang buruk
terjadi.
Sama seperti malam sebelumnya, ketika aku kembali,
lampu sudah mati, dan pengunjung tak ada lagi. Tapi malam ini, aku sudah
dinanti oleh seorang rekan. Hamdani nama rekanku itu. Dia meminta agar
mengantarkannya pulang. Meski sebenarnya aku sangat dingin, kukesampingkan saja
dulu, sebab tak mau ada perasaan tak enak dalam hal ihwal kawan berkawan.
***
Stan kami sepi. Aku hanya melihat seorang lelaki
yang duduk di sana. Dia adalah Dedi, salah satu anggota komunitas yang
bergabung dalam stan ini, Komunitas Kanot Bu. Mataku mulai melirik kiri-kanan,
namun tak menghasilkan yang kumaksud. Rekan-rekanku hilang dari jangkauan indra
penglihatan. Akhirnya, kuputuskan untuk menanti mereka di sini.
Tiba-tiba, Munawir Syari’ah Burtuqal (King Shakir) datang
membawa tanya, degan mata merah, tangan memeluk raga, dan sekujur tubuhnya
kulihat menggigil.
“Mana
Pengko?”
Aku
tak menjawab, sebab aku memang tak tahu di mana keberadaan Pengko sekarang.
“Kenapa?”
balasku bertanya.
Dia
tak menjawab. Dia mengajakku ke sebuah stan yang sedang dijaganya. Pertama aku
menolak. Aku merasa tak enak pada Dedi, sebab stan ini juga tanggung-jawab kita
bersama. Namun, dengan kerendahan hati, Dedi menyuruh agar aku menemani Munawir
Syari’ah, dan meyakinkan bahwa dia tak apa apa sendiri.
Kami melaju ke stan Dokarim. Sesampainya, Munawir Syari’ah,
atau kerennya King, dia duduk bersila di atas sebuah meja. Sementara, aku duduk
berjuntai di sebelahnya.
“Roka, apa
yang kau rasakan?” sodornya.
“Tak ada, aku tak merasakan apa-apa?” spontan kata
keluar dari mulutku.
Sesaat terlintas di ingatanku tentang perihal yang
pernah dialami King beberapa bulan lalu. Segera kukirimkan pesan pada Pengko,
menyuruhnya agar kembali ke stan secepatnya. King membisu. Aku mulai risau
dengan keadaannya. Kemudian Pengko tiba dengan Jundi (sepeda motor) hijau miliknya. Dia bergegas mendekati King yang
sedang dilanda kekosongan. Kami pun mulai memberi motivasi dan semangat kepada
King agar kuat melawan segala hama yang sedang menyerang dirinya.
Azan subuh menggema. Aku mendengarnya lantang.
Pengko dan King masih terlelap. Niat terbesit di hati untuk membangunkan King
agar menunaikan salat subuh. Aku tak tega. King terlalu letih melawan
kemalangannya.
Jualan Buku Mengisi Keluangan Waktu di Stan |
Paginya, kami kembali ngopi di tempat yang sama, namun pada lapak yang berbeda. Di sini,
kami mulai membahas program kerja ke depan. Mulai dari program jangka pendek,
dan juga program jangka panjang. Semua serius menanggapi. Tugas pun dibagi
sesuai keahlian yang kami miliki.
Bau salat jumat sudah tercium. Beberapa perempuan
yang memakai pakaian abu-abu sudah berteriak di sepanjang jalan mengingatkan
kepada para lelaki tentang kewajiban. King ingin pulang, Maksum juga. Mereka
ingin mandi dan mengganti pakaian, katanya. Sementara aku dan Pengko lebih
memilih tinggal di stan, dan berniat untuk menunaikan ibadah jumat di mesjid
kebanggaan masyarakat Aceh yang tak jauh dari tempat kami berada.
***
Petang melalang. Dia juga sudah hilang. Seiring
dengannya, aku sedang mengecup sehelai rindu akan bayang. Perasaan menjadi
penyebab bagi yang bertentang. Walau aku sudah tahu, bahwa dia hanyalah seperti
bilalang di atas kacang. Dia
melompat, dia meloncat, namun tak pernah ada kenangan. Beda dengan kisahku
bersama gadis yang jauh dari pandang, sangat banyak cerita untuk dikenang.
Sudahlah, biarlah mereka hilang. Kami masih cukup kuat untuk tegak berdiri
dengan sepuluh pancang.
Sejak itu, aku melalui hari di acara Piasan seni itu
dengan gundah gulana. Terserah mereka beranggapan aku seperti apa. Aku adalah
aku dan aku sedang merindu. Rindu menyapaku bertubi-tubi, rindu pada ibuku,
rindu pada ayahku, pada keluargaku, dan tak terlepas rinduku pada gadis
berkacamata nun jauh.
Meskipun demikian suasana di hati, aku tetap akan
menjalani kegiatan ini. Sebab bagiku, menyerah adalah kalah, dan mundur adalah
penghianatan. Apa yang bisa kulakukan, akan kulakukan untuk komunitas kami.
Terkadang aku juga pernah berpikir tentang cerita orang-orang yang menjadi gila
karena mimpi terlalu tinggi. Dan komunitas kami merupakan komunitas para
pemimpi, orang tertawa dengan hayal, dan gila. Meski tak mau gila, tapi,
kuabaikan saja, sebab segalanya Tuhan yang menentukan, sementara kita hanya
bisa berencana.
***
Pengko dan Keluarganya yang Bahagia. hahaha |
Malam ini malam penutupan. Beberapa pancang sudah
layu, dan tinggal beberapa yang segar. Aku duduk di dalam stan, menjaga semua
barang yang dipamerkan. Pengko sedang membuai seorang dara yang sedang menjadi belahan
hatinya saat ini. Maksum sibuk mengatur strategi penyerangan untuk meruntuhkan
tembok pertahanan di hati gadisnya. King bersiap-siap naik ke panggung utama
sebagai perwakilan dari stan. Wak Lah dengan hasrat terdalamnya, mengincari
seluruh penjuru untuk mencari seorang janda. Sementara aku, aku menjalani malam
yang dibalut tekanan perasaan nan teramat sangat.
Darahku berdesir, detak jantung semakin cepat.
Mataku dihadapkan pada kisah lama, sangat lama. Kasihku yang sudah meninggal
dua tahun lalu, malam ini dia hadir bersama gadis itu. Persis sekali parasnya,
dan tak ubah gaya dan sifatnya. Kenapa baru sekarang aku menyadari hal itu?
Kenapa tidak dari dulu? Entahlah.
Aku sekarang merasakan bagai hidup di tempo waktu.
Di masa aku baru mengenal cinta, baru merasakan Perguruan Tinggi, dan baru
menikmati diajarkan oleh dosen gila. Aku ingin kembali di sana, tapi aku tak
mau berjumpa dengan dosen-dosen gila itu lagi. Hanya saja aku ingin merangkai
kisahku yang direnggut ajal, bersama gadis jelmaan kekasih pertamaku itu.
Seperti biasa, aku harus mengantarkan Zahra pulang.
Malam ini aku sangat bahagia, aku banyak berceloteh tentang kisahku pada Zahra
di sepanjang perjalanan. Seakan, aku baru saja lepas dari sebuah tempat yang
memenjarakan hatiku untuk selalu bertahan pada gadis berkacamata.
***
Stan kulihat sudah kosong. Barang-barang semuanya
sudah dikemaskan ke dalam beberapa kardus. Aku kaget. Hal ini tak sesuai
seperti rencana. Ternyata setelah aku mendengar penjelasan, kedatangan pejabat
pemerintahan yang tak bertoleran itu adalah petaka. Semuanya harus lenyap dari
pemandangan saat itu juga dan tak boleh tertinggal satu pun. Akhirnya, mereka
pemilik semua stan mengemaskan barang, bak tsunami akan tiba beberapa saatnya.
Semua penghuni stan-stan dalam Piasan Seni sudah
pulang bersama barang perlengkapannya. Sekarang hanya tersisa stan kami yang
belum beranjak selangkah pun. Dan kami bertekad untuk melawan jika ada yang
melarangnya.
Kemudian kurebahkan badan di atas sebuah meja. Aku
ingin istirahat. Tapi, itu tak bisa kulakukan. Tiga bayangan bersanding dalam
pikiran, antara gadis berkacamata, gadis jelmaan, dan kasih pertamaku. Semuanya
bersatu yang bikin aku tak tahu harus berbuat bagaimana. Sementara itu, pikirku
juga kelu pada komunitas yang sedang dilanda badai.
Tiga minggu yang lalu, kami
berjumlahkan tiga belas pancang. Awalnya dua pancang pergi mencari kesejatian
lain. Berselang beberapa hari, pancang yang tinggal sepuluh berkurang menjadi
sembilan. Lalu, hari ini rupanya tersisa hanya tujuh pancang yang masih berdiri
kokoh, dan duanya lagi bagaikan tak ada kawat pengikat penyatu para pancang.
Aku menghawatirkan kondisi ini. Berapa atau masihkah pancang itu akan berdiri
kokoh seperti hari ini kelak.
Keyakinan kudapatkan dari sebuah
meja yang sedang kutiduri. Meja itu memiliki empat kaki, dan dia sanggup
menampungku yang memiliki berat 69 kg. Sedikit pun tak goyah, sebab diantara
kaki-kakinya oleh bilah kayu. Begitu
juga kami, pikirku. Kami akan kuat, bahkan lebih dari meja itu. Kami mempunyai
tujuh kaki dari gading dan kami akan mengikatnya dengan kawat besi. Sangat
kuat.
Untuk komunitasku, kukira tiada
permasalahan. Akan tetapi, perasaanku sedang dalam kendala memuncak. Satu sisi
aku sangat berbahagia malam ini, sebab acara sukses kami lewati. Salah atau
tidaknya, aku tetap akan mengatakan bahwa rugilah mereka yang menyerah di
tengah perjalanan. Sisi lainnya, aku sedang kegalauan. Gadisku yang berkacamata
sudah pergi dari taman hati, dan kekasih pertamaku kembali dalam bentuk
jelmaan. Kini aku harus bagaimana? Sembari
melentang, kutuliskan seuntai kata untuk mereka yang sedang kupikirkan.
Kerja dan Hanya Kerja |
UNTUKMU
Untukmu yang
pergi dan tak pernah kembali
Doa kami selalu
menyertai kalian
Kami akan setia
menanti kabar
Bahwa kalian
sudah terbang satu angka di atas kami
Untukmu yang menghilang
dan tak pernah datang
Kukira kita
adalah seasbab di atas pematang
Nyatanya tidak
Kau mesra
mencintai egomu yang meraja
Untukmu yang
jauh di sana
Siapa pun dan
apa pun dia
Aku tak rela kau
dengan yang berkepala tiga
Kecuplah bahagia
bersama sepadan baya
Untukmu
komunitasku
Kami akan
membawamu bersanding bulan dan bintang
Mewarnai lebih
megah dari pelangi
Itu janji kami
untukmu, komunitasku
Aku mencintaimu
Rawasakti, 4 Desember 2012
0 komentar:
Posting Komentar