Quote Stan Sastra Piasan Seni Banda Aceh 2012 |
Karya Nazar Shah Alam
Pertama
sekali berjumpa—aku sudah lupa tepat tanggalnya—di sebuah warung kopi dekat
sungai dekat hotel Lading dekat Masjid
Raya, aku sama sekali merasa asing. Aku menghabiskan berbatang-batang rokok dan
menikmati pembicaraan dengan pasif. Sekali pun begitu, ada beberapa catatan
yang penting malam itu dan kucatat sebagai kemenangan dan kusampaikan dengan
senang ke hadapan kawanan dan kubanggakan dalam hati sendiri. Adalah Muhadzier Maop yang
mengajak kami (Komunitas
Jeuneurob, Komunitas Kanot Bu, dan Flp
Aceh) mengisi stand sastra di acara Piasan
Seni pada 28 November-2 Desember 2012. Lalu, kemudian komunikasi berjalan
dengan sedikit tersendat dan kami menanti kepastian (meskipun sekilas sudah
pasti jadinya) dengan cemas dan harap.
Komunitas Jeuneurob menyiapkan segala
sesuatu dengan latah dan gamang, dengan nekat dan semangat, dengan kesemuan dan
kebaruan yang misteri. Beberapa kali kami bikin rapat untuk menentukan apa saja
yang bakal kami munculkan di acara besar itu kelak. Berbagai formulasi,
berbagai ide, berbagai upaya kami lakukan demi mendapatkan hasil maksimal. Kami
memberikan banyak sekali untuk acara ini, memberikan sebanyak-banyak kemampuan
kami. Ini kali pertama untuk kami, tentu saja. Namun menjadi pesimis sebelum
tiba ke lapangan adalah keputusan paling konyol. Dan, sekali lagi, ketika
keputusan nekat bulat, kami memberikan sebanyak-banyaknya kemampuan.
Pengerjaan Bingkai di Jambo Diskusi |
Pengerjaan semua bahan membuat kami
mesti mengorbankan masa tidur dan masa bercengkerama dengan pasangan
masing-masing. Kami terlalu memaksakan diri (atau overfocus, barangkali?) dalam pada ini. Di Jambo, kami menghabiskan hari-hari untuk menyiapkan semua yang kami
rasa perlu. Sejak itu, sejak kami merasa perlu mempersiapkan diri sebaik
mungkin untuk acara Piasan Seni Banda Aceh 2012 itu, sejak itulah kami mulai
sangat kurang tidur. Kurang? Aku merasa ini keterlaluan.
Kecuali itu, hanya King Shakir saja yang
mendapatkan manfaat dari begadang. Berkali-kali bintangnya ditambah oleh pihak
pemberi bintang. Dia memang semakin cerdas akhir-akhir ini. Kami senang sekali
pada perubahannya. Ayah Zahra, bundanya, dan rumah hijau itu patut pula kami
katakan sebagai gudang jasa-jasa. Selama bekerja siang malam, kami makan, minum
kopi, shalat, mandi, tidur, dan melakukan semua di sana. Kami kemudian menjadi
akrab sekali dengan semua ruang rumah Zahra. Proses yang menyenangkan.
Lepas daripada itu semua, barangkali ini
akhir bulan yang agak-agak celaka bagi beberapa keperluan. Tiga dari anggota diberhentikan
dengan hormat sebab melanggar beberapa aturan baku komunitas menyangkut
kontribusi, konsistensi, dan kerjasama. Anggota semakin berkurang dan kami
semakin bergairah saja. Hingga malam terakhir persiapan, kami benar-benar
dipaksa keadaan untuk menyiapkan semuanya. Pagi, pukul lima, usai menyantap
jagung rebus bikinan King, aku terlelap.
Aku menemukan siang dalam pertama buka
mata. Terbangun kesiangan sebab tidak ada sesiapa yang membangunkan. Kami
bekerja lagi, mengerahkan segalanya lagi, sampai senja, sampai malam lagi. Lelaki
yang mengagumi janda (di wallpaper handphone-nya
kulihat seorang janda genit terpampang) itu berjanji akan tiba pukul sembilan
malam. Bertiga mereka dengan Makmur si ketua, dan King yang mulai cerdas.
Selaik yang sering kukatakan di mana-mana, bahwa janji pemuda itu sama sekali
tidak bisa dipercaya, seperti itu kami rasa. Mereka baru tiba kala malam hampir
menuju pusarnya. Bergegas kami menuju tempat hendak berhelat acara dihajat dan
persiap. Bertemu di sana dengan kawan-kawan se-stand sastra.
Penyakit
bangun tidur telat belum lekang juga sampai ketika aku mesti tidur di meja
rendah milik Komunitas Kanot Bu. Ketika itu aku merasa bahwa kawan-kawan di
Kanot Bu adalah orang-orang berpikiran praktis. Maksudku mereka tidak terlalu
banyak pertimbangan dalam memberi atau bertindak. Tidak begitu memperkarakan
hal-hal sepele.
Tusukan
jalang angin malam di Taman Sari, tempat terbuka dan hanya beratap, tanpa
sarung, gigil tabung, sempurna malam pertama perjuangan. Di samping kanan
rebahku ada King Shakir yang matanya seperti bergravitasi dengan pelupuk bawah.
Selaik biasa, aku akan mengajaknya menghayal dulu sebelum tidur.
Mata
kami bertubrukan dengan bangunan megah milik walikota. Gedung yang menyemburkan
hiasan lampu ragam warna itu nampak semakin cantik saja seiring malam yang
terus memerkasakan kelamnya. Kutanyakan padanya, manakala kubeli untuknya
gedung itu sebab aku telah kaya raya, hendak disulap jadi apa gedung megah itu.
Jawaban paling ringan kudapatkan, ia hanya ingin menjadikan gedung megah itu
sebagai kantor percetakan dan fotocopy. Sesederhana itu? Ya, sesederhana itu.
Pagi
hari kutemukan gigil menjelma nyeri di kepala—ini malam kedua-minggunya aku
memaksa badan—aku memendamnya. Entahlah, aku terlalu percaya bahwa ketika aku
dan sang ketua masih tegap berdiri, maka semua pematang akan tegap pula, tak mudah dimasai angin, tak mudah
digoyah air. Kami menikmati kopi pagi di Black Jack dengan segenap cerita
berikut beragam rencana yang kadangkala aku menganggapnya serupa mimpi yang
asyik.
Kami
masih lengkap memagar sawah komunitas
ini pada hari pertama. Dengan segenap kekuatan kami menyelesaikan pekerjaan.
Ketika kami tahu bahwa hanya kami di stand ini yang tidak memiliki embel
pengenal, maka dalam sekejap perlu diputuskan untuk membuatnya. Kami
menyelesaikan segalanya dalam waktu cepat, dengan pengorbanan yang kelewat
nekat.
Malam
datang dengan syair-syair di panggung utama meraung serupa sirine yang
memekakkan telinga. Acara Piasan Seni Banda Aceh 2012 dibuka. Kami masih
menikmatinya bersama dengan sukacita. Sembilan pematang bertemu menghubungkan
kawat-kawat dengan rapi dan tegap. Semua terjadi seperti yang telah kami
kehendaki.
Jamaah Baca Puisi Stan Sastra |
Malam
datang, malam kembali. Malam pertama usai ditandai tiba pagi yang tak begitu
berarti. Kami masih lengkap, masih sama mengarung keadaan dalam biduk yang kami
kayuh berhari-hari. Laut tenang, tenang sekali. Ombak kecil mengolang-olengkan
biduk kami dengan penuh harmoni. Pagi ini, kami telah mengenakan baju merah
yang di punggungnya bertulis,”Teungku, Sastra Tak Boleh Mati”.
Malam
pulang, malam kembali. Hari kedua, malam ketiga ditandai dengan rentak sambung
menyambung puisi. Siapa nyana di stand sastra yang malam kemarin sepi mendadak
ramai dengan suara puisi? Ya, ada jamaah gila berkumpul membacakan puisi
sambung menyambung, ganti berganti. Petang tadinya terjadi sebuah gejala. Hujan
mengikis satu pematang rupanya. Kukira menjadi sangat dewasa untuk menghadapi
segenap pergolakan adalah cara terbaik. Manakala dalam satu pergumulan ada yang
mengusik ketenanganmu, memaksa dikau memilih antara teman atau saudara secara
tiba-tiba, ada baiknya diam seketika. Membicarakan dengan baik nantinya (meski
sempat kesal meradang) kelak setelah semua lelah luruh. Segalanya agar tidak
terjadi gaduh. Namun hati yang terlanjur disapa enyuh ada baiknya jangan terlalu
disepuh, ianya mestilah dibawa jauh mencari tempat berteduh.
Kuleburkan
kesal dalam puisi pergolakan, dalam suara lantang yang mengundang banyak orang.
Mencoba diam untuk menyimpan segenap tak enak pikiran. Biarlah marah diredam.
Kunikmati bait-bait puisi dengan senang sekali, kemudian diam lagi. Kucoba
mengulang dan membayang segala yang baik, namun tidak bisa. Maka sejenak
menghilangkan lara perlu dilakukan jua. Aku dilanda lara yang hebat pada saat
banyak orang membutuhkan semangat. Ini tak boleh larut agar segalanya tidak
akan carut. Ketika kudapatkan perihal hendak rubuhnya sebatang pematang
disebabkan malam jahannam, aku segera pulang ke kawanan pematang bersetia di
stand tempat kami menghabiskan malam separuh akhirnya.
King
Shakir dengan mata menyeringai duduk di meja. Gejala celaka. Aku merapat
padanya sembari memberikan kekuatan demi kekuatan agar dia bisa mengendalikan
sakitnya dengan segera. Sakit itu membuatnya lapar, barangkali. Maka nasi jatah
aku dan Wak Lah si pecinta janda kuberikan untuknya dan Jambo (nama lain dari
Rahmat Rohadi/Rocha). Mereka makan dengan lahap, setelahnya bercerita banyak
hal. Mereka mengabarkan tentang sebatang pematang yang rubuh, jatuh ke sungai
kecil samping sawah, hanyut bersama kardus dan ranting-ranting gunung yang
dibawa air raya musabab hujan terus guyur saja.
Aku
mendengar cerita dengan kesal bertambah, kemudian meminta mereka menggantikan
topik cerita. Ah, tidak ada yang asyik malam ini. Tiga pematang pulang, esoknya
kudapatkan hanya dua yang kembali tegak berdiri. Satu pematang lagi telah
dibawa jauh oleh air raya, mungkin sampai kuala, menyatu dengan segenap yang
dibawa air rimba sorenya.
Pematang
tinggal sembilan, namun satu juga tak kunjung pancang dan satu dioleng-olengkan
badai. Tujuh tancap di tanah, tujuh bersetia. Kami kehilangan birahi beberapa
detik, kemudian dengan bibir menekan ke bawah dan perasaan sepele kami putuskan
bahwa tidak akan ada yang berubah. Angin teruslah bertiup, topan teruslah
mengaum, kami masih berdiri dengan ketangguhan tapak yang seolah-olah tidak
hilang barang sebatang pematang pun. Hujan terus guyur dan malam memberikan
kesan basah sambung menyambung. Kami bergumul di stand dengan mesra sekali.
Makan nasi dua bungkus untuk tujuh orang. Kami masih tertawa seperti tidak
terjadi apa-apa.
Aku
dipercaya mewakili Komunitas Jeuneurob sebagai pembicara di Workshop Seni.
Segalanya lancar saja, mengalir apa adanya. Kecuali kemunculan budak konyol
sejagat di sana, aku tidak memerdulikan apa-apa. Baiklah,
kemudian perlu kukatakan bahwa di sini tidak terjadi sekecil pun ricuh. Hubungan
kami baik-baik saja dan sama sekali tidak terkendala suatu apa. Ketiga komunitas
ini saling mengisi, saling membagi, saling berjaga-jaga antara satu dan
lainnya. Kali pertama kutemui manakala tiga kelompok berbeda ideologi ditempatkan
di satu ruang berhari-hari, tidak terjadi satu tragedi pun. Aku bahagia
mendapati keadaan ini, maka manakala tidak ada seorang pun dari komunitas lain
berada di sana, kami berusaha menjaga barang-barang mereka, begitu juga adanya
mereka untuk kami.
SMR-Jeuneurob pada Minggu, 2 Desember 2012 |
Minggu
pagi, manakala kami bangun, beberapa jenak kemudian Zahra tiba membawa kopi. Ini
hari tidak terlalu manis sebab segala bekal sedang mendekati habis. Lalu,
manakala anak-anak SMR-Jeuneurob tiba, kudapatkan wajah-wajah penuh gairah dari
kawan semua. Kami belajar di sini. Muhadzier Maop kami minta menjadi pemateri
untuk sekedar sharing mengenai
pengalaman menulis. Siswa SMR-Jeuneurob dengan wajah berseri menikmati
perjalanan diskusi.
Hari
itu juga, kami menemukan seorang anak kelas enam SD bernama Rauzatul Hafni
mengejutkan kami. Dia sedang mencari buku cerita para nabi, namun tak dijual di
sana. Anak seorang pedagang mainan di Taman Sari ini memiliki bakat yang besar
di bidang menulis puisi dan menggambar. Dia menulis dua puisi untuk kami
sebagai rasa terimakasih sebab telah kami carikan untuknya buku cerita para
nabi.
Malam
terakhir, tatkala pematang hanya tersisa tujuh pancang, kami masih kuat. Buku-buku
banyak yang laku, karya banyak yang baca, tentang kami banyak yang tanya. Sore tadinya
beberapa orang malah datang untuk menyatakan keinginan bergabung bersama kami
dalam KJ. Aku tidak pernah akan mengambil keputusan perihal itu, sang ketua
saja yang memutuskan masalah awak-awak baru. Segala perlu pertimbangan. Kami tentu
perlu berjalan dengan santai dulu bersama tujuh pematang (atau delapan,
sembilan, sepuluh?).
Kami
benar-benar menikmati euforia malam terakhir. Dihantam kelelahan sudah tak jadi
pasal. Dentam-dentum di panggung utama dengan beragam lagu dan tari di sana
terdengar begitu ramai. Di samping kiri kami sekelompok anak muda melakukan
atraksi-atraksi tari yang mengundang banyak penikmat, di sebelah kanan kami
sebuah grup lawak malah menampilkan lagu-lagu dangdut dengan alunan yang
standar rancak dan penyanyi yang lumayan kocak. Sekelompok pemain sandiwara
berkitar-kitar di jalanan sesuai pembagian peran, sedang di sini, di stand
kami, yang ada hanyalah pekik puisi beberapa kali, kemudian tak ada apa-apa
lagi. Aku tidak begitu berbaur ke ruang ramai, kecuali mencari tempat tenang
untuk mencubit beberapa kebahagiaan hati bersama gadis Matapena. Aku tidak tahu
mengamsalkan perempuanku sebagai apa. Kukira, Matapena cukuplah untuk amsal
sementara, sebelum kelak kuberikan nama lain yang lebih laksmi.
Rapat Pematang Bersetia Tentang Kecerdasan King Shakir |
Segalanya
menjadi sangat mudah sekarang. Kami sudah terbiasa melewati perjuangan demi
perjuangan dengan jumlah yang sedikit dan kami mendapatkan kebahagiaan yang
besar. Tidak ada yang sangat vital posisinya ketika sudah di pematang dan tidak
ada yang tidak dibutuhkan. Di sini, semua adalah sama. Kami mendapati diri yang
sama sekali tidak berbeda. Kukira, semua kami sadar bahwa posisi masing kami
adalah posisi yang penting bagi komunitas ini, posisi yang tidak bisa
dihilangkan lagi. Kecuali itu, telah pula kami sepakati bahwa pematang manapun
yang bertingkah dan merusak kerekatan kawat, seberapa penting pun ia, tetap
akan ditindaki, akan dilepaskan rekatan kawat duri, akan dihanyutkan ke kuala
dengan terhormat sekali.
Segalanya
menjadi sangat indah sekarang. Kudapati semakin kurus tubuhku dalam pelukan
suara perempuanku, kudapati semakin kerdil aku dalam dekap tatap Matapena. Aku
merasa seolah sedang berada dalam lingkar api yang disemburkan senyumnya dan
tidak bisa lagi kemana-mana. Rasa-rasanya
dalam lingkar api itu aku kian nyaman bergerak. Di sini peluk mata kami
bertemu, cium kata kami menyatu, canda gebu, rayu merayu, kami tersuruk dalam
ceruk entah, dan akan betah di situ.
Menemui segenap
pematang yang kurus. Bagaimana tidak kurus, toh
tiap malam bertubrukan dengan angin dan kelam, lelah dan perjuangan tanpa kenal
ruang. Mata cekung kami serasa masih terang sekali menatap, pikiranku dan sang
dipenting itu masih berani memutuskan sebuah keputusan yang menurut kami tepat
dan ditepatkan oleh kawan sepematang, masih ada yang kurang? Aku masih ingat
ucap Umi ketika suatu kali kuhubungi,”jika nakhoda dan pawang masih kuat, maka
biduk akan terus berjalan dengan benar ke tujuan.” Kami masih memiliki itu.
Foto Bersama Awak Sastra Malam Terakhir Piasan Seni |
Aku senang
sekali bekerja dengan kawan-kawan seperti ini. Dan lelah? Lelah adalah obat
kuat paling mujarab. Pagi hari terakhir, kami mengangkut barang ke Jambo berdua dengan Jambo. Tiga pematang
mesti ke sebuah pertemuan, satu pematang mesti menemui orang penting, satu
pematang mesti ke sekolah. Selain itu, beberapa pematang sudah berada di ruang
yang entah.
Pada akhirnya, aku perlu istirah. Sebentar sebelum benar-benar mata
terkatup, aku mendapatkan rasa puas yang hebat. Mataku berat dan makin. Samar-samar
kepuasan itu menyalup. Matapena datang, memelukku hingga hangat, menciumku
dengan lekat, dan aku lelap dengan kepuasan dan cinta tiada sekat.[]
0 komentar:
Posting Komentar