Selasa, 04 Desember 2012

Piasan itu Menyemikan Banyak Laku


Quote Stan Sastra Piasan Seni Banda Aceh 2012
Karya Nazar Shah Alam
Pertama sekali berjumpa—aku sudah lupa tepat tanggalnya—di sebuah warung kopi dekat sungai  dekat hotel Lading dekat Masjid Raya, aku sama sekali merasa asing. Aku menghabiskan berbatang-batang rokok dan menikmati pembicaraan dengan pasif. Sekali pun begitu, ada beberapa catatan yang penting malam itu dan kucatat sebagai kemenangan dan kusampaikan dengan senang ke hadapan kawanan dan kubanggakan dalam hati sendiri. Adalah Muhadzier Maop yang mengajak kami (Komunitas Jeuneurob, Komunitas Kanot Bu, dan Flp Aceh) mengisi stand sastra di acara Piasan Seni pada 28 November-2 Desember 2012. Lalu, kemudian komunikasi berjalan dengan sedikit tersendat dan kami menanti kepastian (meskipun sekilas sudah pasti jadinya) dengan cemas dan harap.

Komunitas Jeuneurob menyiapkan segala sesuatu dengan latah dan gamang, dengan nekat dan semangat, dengan kesemuan dan kebaruan yang misteri. Beberapa kali kami bikin rapat untuk menentukan apa saja yang bakal kami munculkan di acara besar itu kelak. Berbagai formulasi, berbagai ide, berbagai upaya kami lakukan demi mendapatkan hasil maksimal. Kami memberikan banyak sekali untuk acara ini, memberikan sebanyak-banyak kemampuan kami. Ini kali pertama untuk kami, tentu saja. Namun menjadi pesimis sebelum tiba ke lapangan adalah keputusan paling konyol. Dan, sekali lagi, ketika keputusan nekat bulat, kami memberikan sebanyak-banyaknya kemampuan.

Pengerjaan Bingkai di Jambo Diskusi
Pengerjaan semua bahan membuat kami mesti mengorbankan masa tidur dan masa bercengkerama dengan pasangan masing-masing. Kami terlalu memaksakan diri (atau overfocus, barangkali?) dalam pada ini. Di Jambo, kami menghabiskan hari-hari untuk menyiapkan semua yang kami rasa perlu. Sejak itu, sejak kami merasa perlu mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk acara Piasan Seni Banda Aceh 2012 itu, sejak itulah kami mulai sangat kurang tidur. Kurang? Aku merasa ini keterlaluan.

Kecuali itu, hanya King Shakir saja yang mendapatkan manfaat dari begadang. Berkali-kali bintangnya ditambah oleh pihak pemberi bintang. Dia memang semakin cerdas akhir-akhir ini. Kami senang sekali pada perubahannya. Ayah Zahra, bundanya, dan rumah hijau itu patut pula kami katakan sebagai gudang jasa-jasa. Selama bekerja siang malam, kami makan, minum kopi, shalat, mandi, tidur, dan melakukan semua di sana. Kami kemudian menjadi akrab sekali dengan semua ruang rumah Zahra. Proses yang menyenangkan.

Lepas daripada itu semua, barangkali ini akhir bulan yang agak-agak celaka bagi beberapa keperluan. Tiga dari anggota diberhentikan dengan hormat sebab melanggar beberapa aturan baku komunitas menyangkut kontribusi, konsistensi, dan kerjasama. Anggota semakin berkurang dan kami semakin bergairah saja. Hingga malam terakhir persiapan, kami benar-benar dipaksa keadaan untuk menyiapkan semuanya. Pagi, pukul lima, usai menyantap jagung rebus bikinan King, aku terlelap.

Aku menemukan siang dalam pertama buka mata. Terbangun kesiangan sebab tidak ada sesiapa yang membangunkan. Kami bekerja lagi, mengerahkan segalanya lagi, sampai senja, sampai malam lagi. Lelaki yang mengagumi janda (di wallpaper handphone-nya kulihat seorang janda genit terpampang) itu berjanji akan tiba pukul sembilan malam. Bertiga mereka dengan Makmur si ketua, dan King yang mulai cerdas. Selaik yang sering kukatakan di mana-mana, bahwa janji pemuda itu sama sekali tidak bisa dipercaya, seperti itu kami rasa. Mereka baru tiba kala malam hampir menuju pusarnya. Bergegas kami menuju tempat hendak berhelat acara dihajat dan persiap. Bertemu di sana dengan kawan-kawan se-stand sastra.

Penyakit bangun tidur telat belum lekang juga sampai ketika aku mesti tidur di meja rendah milik Komunitas Kanot Bu. Ketika itu aku merasa bahwa kawan-kawan di Kanot Bu adalah orang-orang berpikiran praktis. Maksudku mereka tidak terlalu banyak pertimbangan dalam memberi atau bertindak. Tidak begitu memperkarakan hal-hal sepele.

Tusukan jalang angin malam di Taman Sari, tempat terbuka dan hanya beratap, tanpa sarung, gigil tabung, sempurna malam pertama perjuangan. Di samping kanan rebahku ada King Shakir yang matanya seperti bergravitasi dengan pelupuk bawah. Selaik biasa, aku akan mengajaknya menghayal dulu sebelum tidur.

Mata kami bertubrukan dengan bangunan megah milik walikota. Gedung yang menyemburkan hiasan lampu ragam warna itu nampak semakin cantik saja seiring malam yang terus memerkasakan kelamnya. Kutanyakan padanya, manakala kubeli untuknya gedung itu sebab aku telah kaya raya, hendak disulap jadi apa gedung megah itu. Jawaban paling ringan kudapatkan, ia hanya ingin menjadikan gedung megah itu sebagai kantor percetakan dan fotocopy. Sesederhana itu? Ya, sesederhana itu.

Pagi hari kutemukan gigil menjelma nyeri di kepala—ini malam kedua-minggunya aku memaksa badan—aku memendamnya. Entahlah, aku terlalu percaya bahwa ketika aku dan sang ketua masih tegap berdiri, maka semua pematang akan tegap pula, tak mudah dimasai angin, tak mudah digoyah air. Kami menikmati kopi pagi di Black Jack dengan segenap cerita berikut beragam rencana yang kadangkala aku menganggapnya serupa mimpi yang asyik.

Kami masih lengkap memagar sawah komunitas ini pada hari pertama. Dengan segenap kekuatan kami menyelesaikan pekerjaan. Ketika kami tahu bahwa hanya kami di stand ini yang tidak memiliki embel pengenal, maka dalam sekejap perlu diputuskan untuk membuatnya. Kami menyelesaikan segalanya dalam waktu cepat, dengan pengorbanan yang kelewat nekat.

Malam datang dengan syair-syair di panggung utama meraung serupa sirine yang memekakkan telinga. Acara Piasan Seni Banda Aceh 2012 dibuka. Kami masih menikmatinya bersama dengan sukacita. Sembilan pematang bertemu menghubungkan kawat-kawat dengan rapi dan tegap. Semua terjadi seperti yang telah kami kehendaki.

Jamaah Baca Puisi Stan Sastra
Malam datang, malam kembali. Malam pertama usai ditandai tiba pagi yang tak begitu berarti. Kami masih lengkap, masih sama mengarung keadaan dalam biduk yang kami kayuh berhari-hari. Laut tenang, tenang sekali. Ombak kecil mengolang-olengkan biduk kami dengan penuh harmoni. Pagi ini, kami telah mengenakan baju merah yang di punggungnya bertulis,”Teungku, Sastra Tak Boleh Mati”.

Malam pulang, malam kembali. Hari kedua, malam ketiga ditandai dengan rentak sambung menyambung puisi. Siapa nyana di stand sastra yang malam kemarin sepi mendadak ramai dengan suara puisi? Ya, ada jamaah gila berkumpul membacakan puisi sambung menyambung, ganti berganti. Petang tadinya terjadi sebuah gejala. Hujan mengikis satu pematang rupanya. Kukira menjadi sangat dewasa untuk menghadapi segenap pergolakan adalah cara terbaik. Manakala dalam satu pergumulan ada yang mengusik ketenanganmu, memaksa dikau memilih antara teman atau saudara secara tiba-tiba, ada baiknya diam seketika. Membicarakan dengan baik nantinya (meski sempat kesal meradang) kelak setelah semua lelah luruh. Segalanya agar tidak terjadi gaduh. Namun hati yang terlanjur disapa enyuh ada baiknya jangan terlalu disepuh, ianya mestilah dibawa jauh mencari tempat berteduh.

Kuleburkan kesal dalam puisi pergolakan, dalam suara lantang yang mengundang banyak orang. Mencoba diam untuk menyimpan segenap tak enak pikiran. Biarlah marah diredam. Kunikmati bait-bait puisi dengan senang sekali, kemudian diam lagi. Kucoba mengulang dan membayang segala yang baik, namun tidak bisa. Maka sejenak menghilangkan lara perlu dilakukan jua. Aku dilanda lara yang hebat pada saat banyak orang membutuhkan semangat. Ini tak boleh larut agar segalanya tidak akan carut. Ketika kudapatkan perihal hendak rubuhnya sebatang pematang disebabkan malam jahannam, aku segera pulang ke kawanan pematang bersetia di stand tempat kami menghabiskan malam separuh akhirnya.

King Shakir dengan mata menyeringai duduk di meja. Gejala celaka. Aku merapat padanya sembari memberikan kekuatan demi kekuatan agar dia bisa mengendalikan sakitnya dengan segera. Sakit itu membuatnya lapar, barangkali. Maka nasi jatah aku dan Wak Lah si pecinta janda kuberikan untuknya dan Jambo (nama lain dari Rahmat Rohadi/Rocha). Mereka makan dengan lahap, setelahnya bercerita banyak hal. Mereka mengabarkan tentang sebatang pematang yang rubuh, jatuh ke sungai kecil samping sawah, hanyut bersama kardus dan ranting-ranting gunung yang dibawa air raya musabab hujan terus guyur saja.

Aku mendengar cerita dengan kesal bertambah, kemudian meminta mereka menggantikan topik cerita. Ah, tidak ada yang asyik malam ini. Tiga pematang pulang, esoknya kudapatkan hanya dua yang kembali tegak berdiri. Satu pematang lagi telah dibawa jauh oleh air raya, mungkin sampai kuala, menyatu dengan segenap yang dibawa air rimba sorenya.

Pematang tinggal sembilan, namun satu juga tak kunjung pancang dan satu dioleng-olengkan badai. Tujuh tancap di tanah, tujuh bersetia. Kami kehilangan birahi beberapa detik, kemudian dengan bibir menekan ke bawah dan perasaan sepele kami putuskan bahwa tidak akan ada yang berubah. Angin teruslah bertiup, topan teruslah mengaum, kami masih berdiri dengan ketangguhan tapak yang seolah-olah tidak hilang barang sebatang pematang pun. Hujan terus guyur dan malam memberikan kesan basah sambung menyambung. Kami bergumul di stand dengan mesra sekali. Makan nasi dua bungkus untuk tujuh orang. Kami masih tertawa seperti tidak terjadi apa-apa.

Aku dipercaya mewakili Komunitas Jeuneurob sebagai pembicara di Workshop Seni. Segalanya lancar saja, mengalir apa adanya. Kecuali kemunculan budak konyol sejagat di sana, aku tidak memerdulikan apa-apa. Baiklah, kemudian perlu kukatakan bahwa di sini tidak terjadi sekecil pun ricuh. Hubungan kami baik-baik saja dan sama sekali tidak terkendala suatu apa. Ketiga komunitas ini saling mengisi, saling membagi, saling berjaga-jaga antara satu dan lainnya. Kali pertama kutemui manakala tiga kelompok berbeda ideologi ditempatkan di satu ruang berhari-hari, tidak terjadi satu tragedi pun. Aku bahagia mendapati keadaan ini, maka manakala tidak ada seorang pun dari komunitas lain berada di sana, kami berusaha menjaga barang-barang mereka, begitu juga adanya mereka untuk kami.

SMR-Jeuneurob pada Minggu, 2 Desember 2012
Minggu pagi, manakala kami bangun, beberapa jenak kemudian Zahra tiba membawa kopi. Ini hari tidak terlalu manis sebab segala bekal sedang mendekati habis. Lalu, manakala anak-anak SMR-Jeuneurob tiba, kudapatkan wajah-wajah penuh gairah dari kawan semua. Kami belajar di sini. Muhadzier Maop kami minta menjadi pemateri untuk sekedar sharing mengenai pengalaman menulis. Siswa SMR-Jeuneurob dengan wajah berseri menikmati perjalanan diskusi.

Hari itu juga, kami menemukan seorang anak kelas enam SD bernama Rauzatul Hafni mengejutkan kami. Dia sedang mencari buku cerita para nabi, namun tak dijual di sana. Anak seorang pedagang mainan di Taman Sari ini memiliki bakat yang besar di bidang menulis puisi dan menggambar. Dia menulis dua puisi untuk kami sebagai rasa terimakasih sebab telah kami carikan untuknya buku cerita para nabi.

Malam terakhir, tatkala pematang hanya tersisa tujuh pancang, kami masih kuat. Buku-buku banyak yang laku, karya banyak yang baca, tentang kami banyak yang tanya. Sore tadinya beberapa orang malah datang untuk menyatakan keinginan bergabung bersama kami dalam KJ. Aku tidak pernah akan mengambil keputusan perihal itu, sang ketua saja yang memutuskan masalah awak-awak baru. Segala perlu pertimbangan. Kami tentu perlu berjalan dengan santai dulu bersama tujuh pematang (atau delapan, sembilan, sepuluh?).
Kami benar-benar menikmati euforia malam terakhir. Dihantam kelelahan sudah tak jadi pasal. Dentam-dentum di panggung utama dengan beragam lagu dan tari di sana terdengar begitu ramai. Di samping kiri kami sekelompok anak muda melakukan atraksi-atraksi tari yang mengundang banyak penikmat, di sebelah kanan kami sebuah grup lawak malah menampilkan lagu-lagu dangdut dengan alunan yang standar rancak dan penyanyi yang lumayan kocak. Sekelompok pemain sandiwara berkitar-kitar di jalanan sesuai pembagian peran, sedang di sini, di stand kami, yang ada hanyalah pekik puisi beberapa kali, kemudian tak ada apa-apa lagi. Aku tidak begitu berbaur ke ruang ramai, kecuali mencari tempat tenang untuk mencubit beberapa kebahagiaan hati bersama gadis Matapena. Aku tidak tahu mengamsalkan perempuanku sebagai apa. Kukira, Matapena cukuplah untuk amsal sementara, sebelum kelak kuberikan nama lain yang lebih laksmi.

Rapat Pematang Bersetia Tentang Kecerdasan King Shakir
Segalanya menjadi sangat mudah sekarang. Kami sudah terbiasa melewati perjuangan demi perjuangan dengan jumlah yang sedikit dan kami mendapatkan kebahagiaan yang besar. Tidak ada yang sangat vital posisinya ketika sudah di pematang dan tidak ada yang tidak dibutuhkan. Di sini, semua adalah sama. Kami mendapati diri yang sama sekali tidak berbeda. Kukira, semua kami sadar bahwa posisi masing kami adalah posisi yang penting bagi komunitas ini, posisi yang tidak bisa dihilangkan lagi. Kecuali itu, telah pula kami sepakati bahwa pematang manapun yang bertingkah dan merusak kerekatan kawat, seberapa penting pun ia, tetap akan ditindaki, akan dilepaskan rekatan kawat duri, akan dihanyutkan ke kuala dengan terhormat sekali.

Segalanya menjadi sangat indah sekarang. Kudapati semakin kurus tubuhku dalam pelukan suara perempuanku, kudapati semakin kerdil aku dalam dekap tatap Matapena. Aku merasa seolah sedang berada dalam lingkar api yang disemburkan senyumnya dan tidak bisa lagi kemana-mana.  Rasa-rasanya dalam lingkar api itu aku kian nyaman bergerak. Di sini peluk mata kami bertemu, cium kata kami menyatu, canda gebu, rayu merayu, kami tersuruk dalam ceruk entah, dan akan betah di situ.

Menemui segenap pematang yang kurus. Bagaimana tidak kurus, toh tiap malam bertubrukan dengan angin dan kelam, lelah dan perjuangan tanpa kenal ruang. Mata cekung kami serasa masih terang sekali menatap, pikiranku dan sang dipenting itu masih berani memutuskan sebuah keputusan yang menurut kami tepat dan ditepatkan oleh kawan sepematang, masih ada yang kurang? Aku masih ingat ucap Umi ketika suatu kali kuhubungi,”jika nakhoda dan pawang masih kuat, maka biduk akan terus berjalan dengan benar ke tujuan.” Kami masih memiliki itu.

Foto Bersama Awak Sastra Malam Terakhir Piasan Seni
Aku senang sekali bekerja dengan kawan-kawan seperti ini. Dan lelah? Lelah adalah obat kuat paling mujarab. Pagi hari terakhir, kami mengangkut barang ke Jambo berdua dengan Jambo. Tiga pematang mesti ke sebuah pertemuan, satu pematang mesti menemui orang penting, satu pematang mesti ke sekolah. Selain itu, beberapa pematang sudah berada di ruang yang entah.
Pada akhirnya, aku perlu istirah. Sebentar sebelum benar-benar mata terkatup, aku mendapatkan rasa puas yang hebat. Mataku berat dan makin. Samar-samar kepuasan itu menyalup. Matapena datang, memelukku hingga hangat, menciumku dengan lekat, dan aku lelap dengan kepuasan dan cinta tiada sekat.[]

0 komentar:

Posting Komentar