Kamis, 06 Desember 2012

Sebut Saja, Aku Negeri Pematang

Karya Fira al Haura
Di "Istana Negeri" Tercinta
Akan ku ceritakan sedikit tentang negeriku yang indah. Negeri dimana kata menjadi satu, menjadi kalimat, dan jadilah serangkaian cerita. Negeri yang tak akan pernah hilang. Tak akan tak terurus seperti para negeri yang lain. Ialah negeri yang selalu kami ciptakan, bersama, dengan berbagai cerita yang hanya ada satu di dunia menjadikan kami tertawa dan tak pernah berakhir walau titik sudah berada di penghujung. Puisi bagai puisi. Cerita bagai cerita. Semua kami ciptakan lalu kami lukis di sepanjang lekuk negeri kami. Negeri tanpa ada perbedaan. Jeuneurob. Ya, begitulah namanya.
            Selamat datang di negeriku! Negeri tanpa ada perbedaan. Hanya ada sepuluh para pematang, ku rasa. Dan aku ialah yang termuda. Sepuluh bukanlah bilangan kecil. Dan tidak pernah dianggap sedikit karena kami terus mencipta. Mencipta terus. Tak pernah kehabisan kata.
            Untuk sebulan terakhir, negeri kami disibukkan dengan seribu undangan dari negeri lain. Termasuk gudang piasan seni di akhir November ini. Izinkan aku menyebut ini musim gugur di negeriku. Akhir musim gugur.
            Bermula dari sore yang sendu, kami duduk di sebuah warung kopi yang kian akrab dengan menyesap bir yang kusuka, Rawa Sakti. Aku harus mengorbankan sedikit waktu belajar di sekolah untuk rapat penting bersama para tetua pematang beserta presiden negeri kami. Tidak semua pematang hadir. Hanya beberapa. Tapi tak menjadi masalah. Karena walau sedikit harus tetap maju dan terus berkreatifitas. Presiden kami, Bang Makmur Dimila, menjelaskan kegiatan apa yang akan kami raih berapa hari ke depan, waktu itu. Aku benar-benar harus menyimak. Karena ketika aku tertinggal satu kata saja, maka aku langsung tak mengerti. Entah mengapa. Seperti inilah aku. Pematang muda.
            Piasan seni. Gudang yang harus kami isi dengan indahnya sastra, kami punya. Untuk acara satu itu, Jeuneurob terpilih menjadi salah satu dari tiga negeri kata yang ada di Banda Aceh. Komunitas Kanot Bu dan FLP. Tiga negeri ini harus mengisi satu stan sastra pada Piasan Seni di Taman Sari. Mulai saja ku utarakan ide-ideku. Dan diterima dengan senyum oleh pematang yang lain. Terima kasih.
            Selang satu atau dua hari setelah itu, semua pematang mulai bekerja membuat kreatifitas di Jambo tercinta. Aku hampir sering mengorbankan sekolah sore untuk berada di Jambo. Membantu pematang-pematang yang lain. Walaupun sampai di tempat itu, aku hanya duduk diam, memerhatikan yang mereka lakukan. Bang Nazar Shah Alam yang senantiasa mengukur dan memotong kayu. Bang Hamdani Chamsyah yang tak pernah lelah menghaluskan kayu. Bang Munawir Syakir yang sangat setia dengan mengendarai Jundi Hijau manis itu pulang dan pergi membeli berbagai hal yang diperlukan. Dari membeli rokok, membeli lem kayu, dan sebagainya. Sambil melihat-melihat hingga bosan menjelma, aku selalu sering bertanya,
”Apa yang harus Fira lakuin, bang?”
“Nanti kalau ada, kami bilang ya.”
Selalu seperti itu. Dan terus seperti itu.
Bikin Bingkai Karya di Jambo
Untuk waktu dua minggu kami bekerja, hampir setiap hari aku menunggu mereka bekerja dari siang hingga petang menjemput. Aku hanya bisa meminjamkan kamera ayahku untuk proses narsis kami di Jambo. Narsis senarsis-narsisnya negeri ini. Tapi tak apa, kadang itu menjadi hiburan di sela keringat menetes. Berhari-hari Bang Nazar Shah Alam mengerjakan hal yang sama. Sampai pada hari dan detik bagian pekerjaan yang mana, jarinya terkena gergaji dan berdarah. Semangat membara. Tak peduli darah mengucur. Pekerjaan tetap dilanjutkan. Diapit dengan istirahat, geng Apache masih sempat narsis dengan kameraku. Ternyata, kameraku benar-benar bermanfaat.
Hari demi hari terus berlalu, kayu yang dipotong-potong, yang diperhalus, kini dipaku, dijadikan sebuah bingkai oleh Bang Muntazar Teuku, Roka Kembali Rohadi, dan Makmur Dimila. Tentu saja, ada yang selalu menghilangkan haus para pematang ini, Bunda Kak Zahra senantiasa mengantar air putih ataupun kopi. Jika Kak Zahra tak pergi kuliah, maka kakak cantik itulah yang selalu tersenyum mengasingkan peluh.
Sepuluh bingkai telah jadi. Dan siap untuk di aku lupa harus diapakan, yang jelas setiap ujungnya diolesi cat putih untuk menutupi celah-celah kayu setelah kering, aku dan kakak-kakak yang lain, Cut Attahirah, Yulfi, Zahra, Icha, menggosok-gosok cat putih itu. Tapi, ah, gara-gara tanganku, ada bagian bingkai yang bengkok. Mungkin karena aku terlalu bersemangat atau mungkin karena memang aku tak bisa? Karena aku sedikit terkejut, dan keterkejutanku terdengar oleh Bang Muntazar Teuku, langsung saja ia merebut bingkai itu dan membawanya menjauh dariku. Karena itu, aku tak boleh lagi bekerja.
Semua bingkai siap untuk dipernis. Aku juga tak mendapat bagian mempernis bingkai. Hari itu, hanya duduk diam di sudut halaman sambil membayangkan atau memikirkan sesuatu. Entah rasa jatuh cinta yang ku rasa. Diam-diam Bang Pengko datang membawa sajak diamnya. Kembali lagi, ku dapati dalam kamera, gambar diam kami, hijau kuning.
Setelah dipernis, tibanya saat pengecatan. Warna yang dipilih ialah emas dan hitam. Seperti biasa, tak ada yang ku lakukan. Untuk kesempatan ini, aku membawa cat lukis untuk Bang Nazar Shah Alam. Aku tak mengerti untuk apa. Apakah untuk menggambar bunga, punyamu?
Kerja Keras: sayangnya!
Tiga hari menjelang piasan seni, para pematang lelaki mulai bekerja sangat keras. Sampai-sampai mereka tak tidur. Minggu, setelah SMR-Jeuneurob, kami kembali bekerja di Jambo. Dan ada sesuatu yang terjadi pada diriku. Entahlah. Rehat sejenak di Jambo, Kak Zahra membawa beberapa gelas dan sebuah plok sebut saja itu, semacam termos, tapi bukan termos, berisi air putih dan aku meraihnya. Bang Munawir mengambil plok tersebut, dan dua gelas jatuh ke tanah. Aku terkejut. Semuanya membelalak. Untung tak pecah. Selang beberapa menit, aku kembali menjatuhkan gelas tapi hanya di atas bambu Jambo kami. Kemudian aku kembali menumpahkan air. Oh. Mengapa seperti ini? Ada apa? Entahlah. Setelah itu, aku sangat berhati-hati memegang barang saat makan.
Senin, Selasa, makin sibuk. Rabu harus mengantar semua barang ke Taman Sari. Semua karya berupa cerpen atau puisi sudah dicetak dan segera saja ditempelkan pada bingkai.
Rabu siang, aku baru bisa membantu para pematang di stan negeri kami. Aku cukup membantu, ternyata. Aku ditugaskan untuk membeli empat bungkus nasi. Setiba di stan kembali, kami menggerai sebut saja karpet berwarna biru di belakang stan. Bang Nazar Shah Alam membuka semua nasi dan menyatukannya. Agar terlihat banyak dan bisa makan bersama. Perut terisi. Waktunya bekerja. Kami harus segera menyulap stan menjadi indah. Dua negeri yang lain sudah tiba, dan sama seperti kami. Menyulap stan.
Negeri Jeuneurob membutuhkan sebuah meja ruang tamu. Bang Munawir dan Bang Roka serta aku pulang ke rumah untuk mengambil meja tamu. Seberat meja, sekuat itu juga Bang Munawir mengangkat meja itu lalu diletakkan dipangkuannya, dan Bang Roka pun mengendarai sepeda motor dengan tenang. Luar biasa. Lucu membayangkannya.
Malam menjadi semakin malam karena perhelatan pembukaan bertandang. Orang-orang lalu lalang silih berganti. Stan sastra dipenuhi buku-buku. Dan tak lupa Bang Nazar yang sering, ku rasa, membaca puisi. Sesekali melirik ke arah Matapenanya. Ada juga Bang Makmur yang mengajakku berduet membaca puisi. Tapi tak jadi. Malam semakin larut, suara musik semakin riuh. Semakin ramai pula orang berkunjung. Duta Wisata datang menjenguk stan kami. Ada juga seorang bule yang singgah di bingkai-bingkai kami. Angin semakin dingin. Dan aku didekap oleh sunyi. Lalu aku pulang dengan tanda tak ikhlas.
Rindu sekali rasanya ingin menemani pematang-pematang lain di piasan kami. Tapi apalah daya, aku masih pematang muda. Jika malam, tak boleh keluar jika tak ada yang mengantar. Perlulah aku muhrim untuk semua ini dan itu? Sabtu malam, malam minggu, aku baru bisa datang. Kembali mendengar pilu pematang lain. Malam tanpa selimut. Dingin menyusup. Kasihan juga ku dengar. Aku tak bisa mengubah, hanya bisa mendengar. Dan sedikit mengubah, setidaknya. Ini malam, makin ramai. Suara manis Liza Aulia membahana dengan Mala Bayeuennya. Grup lawak dengan alunan musik dan suara. Seramoe Teater dengan berbagai macam pertunjukan, wajah-wajah yang eksentrik menyeruak memenuhi seluruh sudut stan.
Bang Maop Jadi Pembicara di SMR-Jeuneurob
Minggu. Aku kembali berpelukan bersama negeriku. Menghampiri Taman Sari yang masih hangat diterpa matari pagi. Di sudut lain, aku melihat lomba baca puisi dan menggambar. Minggu semakin rindu ketika siswa SMR-Jeuneurob datang memenuhi stan. Kami semua duduk di atas lapak dibentang. Pertemuan kali ini, Bang Muhadzier Maop yang menjadi pemateri. Diskusi yang menyenangkan kurasa. Bertanya jawab tentang duniaku, dunia kita, bersama seorang abang yang biasa disapa Maop itu. Aku tak bisa berhenti bertanya, apakah ada yang terganggu dengan sikap ini? Aku harap tidak. Maklumi saja, pematang muda. Siang itu juga, aku dipertemukan dengan gadis kecil yang pandai berpuisi. Aku bersalaman dengannya. Ceria sekali aura gadis kecil itu. Tersenyum, memamerkan gigi putihnya bahwa ia juga pandai bersastra.
Malamnya ialah malam penutupan Piasan Seni. Awalnya aku tak diizinkan pergi. Tapi setelah berbagai alasan terucap, akhirnya aku pergi dengan adikku. Malam itu, aku tak menikmati penutupan Piasan Seni. Setidaknya menikmati yang lebih indah. Matapena dan Siluet Senjanya malu-malu. Merasa bahagia, ku kira. Berdua mereka menyusuri celah-celah malam sunyi. Bercengkrama tentang. Apalagi selain cinta dan ketenangan. Tersenyum manis. Ah, bahagia sekali. Peraduan pun mempertemukan mereka berceloteh di belakang stan. Tertawa. Lagi-lagi senyum. Bagai berbulan madu di bawah bulan. Menyentuh angin dengan lembut. Mencium nyiur yang lari entah kemana. dan ingin kembali memeluk. Semanis malam itu, kan?
Rapat Malam Penutupan di Piasan Seni
Setelah kerap berbahagia dengan perempuannya, kembali lagi kami duduk di atas pematang negeri kami. Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh? Hanya ada tujuh pematang. Dan tetap saja aku paling muda. Mungkin tiganya lagi dibawa angin sebentar. Tak perlu risau tentang itu. Walau tersisa tujuh, kami akan tetap hidup. Karena negeri kami tercipta untuk cinta dari pena-pena kami. Kami duduk membahas agenda yang terbentang di depan. Cukup banyak kukira.
Bintang semakin sendu di atas sana. Besok harus bekerja lagi. Mengosongkan stan. ‘Teungku, Sastra Tak Boleh Mati’ begitulah kalimat yang tak pernah hilang dibenakku. Kembali setia dengan negeri kami. Dunia cinta, bagiku. Berjejer di pematang setiap waktu. Sebab di pematang tak ada perbedaan.
Selamat menikmati negeri ini. Negeri para bahagia.

Di jelma Subuh, 6 Desember 2012
04:47

0 komentar:

Posting Komentar