Karya Fira al Haura
Di "Istana Negeri" Tercinta |
Akan ku ceritakan
sedikit tentang negeriku yang indah. Negeri dimana kata menjadi satu, menjadi
kalimat, dan jadilah serangkaian cerita. Negeri yang tak akan pernah hilang.
Tak akan tak terurus seperti para negeri yang lain. Ialah negeri yang selalu
kami ciptakan, bersama, dengan berbagai cerita yang hanya ada satu di dunia
menjadikan kami tertawa dan tak pernah berakhir walau titik sudah berada di
penghujung. Puisi bagai puisi. Cerita bagai cerita. Semua kami ciptakan lalu
kami lukis di sepanjang lekuk negeri kami. Negeri tanpa ada perbedaan.
Jeuneurob. Ya, begitulah namanya.
Selamat
datang di negeriku! Negeri tanpa ada perbedaan. Hanya ada sepuluh para
pematang, ku rasa. Dan aku ialah yang termuda. Sepuluh bukanlah bilangan kecil.
Dan tidak pernah dianggap sedikit karena kami terus mencipta. Mencipta terus.
Tak pernah kehabisan kata.
Untuk
sebulan terakhir, negeri kami disibukkan dengan seribu undangan dari negeri
lain. Termasuk gudang piasan seni di akhir November ini. Izinkan aku menyebut
ini musim gugur di negeriku. Akhir musim gugur.
Bermula
dari sore yang sendu, kami duduk di sebuah warung kopi yang kian akrab dengan
menyesap bir yang kusuka, Rawa Sakti. Aku harus mengorbankan sedikit waktu
belajar di sekolah untuk rapat penting bersama para tetua pematang beserta
presiden negeri kami. Tidak semua pematang hadir. Hanya beberapa. Tapi tak
menjadi masalah. Karena walau sedikit harus tetap maju dan terus
berkreatifitas. Presiden kami, Bang Makmur Dimila, menjelaskan kegiatan apa
yang akan kami raih berapa hari ke depan, waktu itu. Aku benar-benar harus
menyimak. Karena ketika aku tertinggal satu kata saja, maka aku langsung tak
mengerti. Entah mengapa. Seperti inilah aku. Pematang muda.
Piasan
seni. Gudang yang harus kami isi dengan indahnya sastra, kami punya. Untuk
acara satu itu, Jeuneurob terpilih menjadi salah satu dari tiga negeri kata
yang ada di Banda Aceh. Komunitas Kanot Bu dan FLP. Tiga negeri ini harus
mengisi satu stan sastra pada Piasan Seni di Taman Sari. Mulai saja ku utarakan
ide-ideku. Dan diterima dengan senyum oleh pematang yang lain. Terima kasih.
Selang
satu atau dua hari setelah itu, semua pematang mulai bekerja membuat
kreatifitas di Jambo tercinta. Aku hampir sering mengorbankan sekolah sore
untuk berada di Jambo. Membantu pematang-pematang yang lain. Walaupun sampai di
tempat itu, aku hanya duduk diam, memerhatikan yang mereka lakukan. Bang Nazar
Shah Alam yang senantiasa mengukur dan memotong kayu. Bang Hamdani Chamsyah
yang tak pernah lelah menghaluskan kayu. Bang Munawir Syakir yang sangat setia
dengan mengendarai Jundi Hijau manis itu pulang dan pergi membeli berbagai hal
yang diperlukan. Dari membeli rokok, membeli lem kayu, dan sebagainya. Sambil melihat-melihat
hingga bosan menjelma, aku selalu sering bertanya,
”Apa yang harus Fira lakuin, bang?”
“Nanti kalau ada, kami
bilang ya.”
Selalu seperti itu. Dan
terus seperti itu.
Bikin Bingkai Karya di Jambo |
Untuk waktu dua minggu
kami bekerja, hampir setiap hari aku menunggu mereka bekerja dari siang hingga
petang menjemput. Aku hanya bisa meminjamkan kamera ayahku untuk proses narsis
kami di Jambo. Narsis senarsis-narsisnya negeri ini. Tapi tak apa, kadang itu
menjadi hiburan di sela keringat menetes. Berhari-hari Bang Nazar Shah Alam
mengerjakan hal yang sama. Sampai pada hari dan detik bagian pekerjaan yang
mana, jarinya terkena gergaji dan berdarah. Semangat membara. Tak peduli darah
mengucur. Pekerjaan tetap dilanjutkan. Diapit dengan istirahat, geng Apache masih
sempat narsis dengan kameraku. Ternyata, kameraku benar-benar bermanfaat.
Hari demi hari terus
berlalu, kayu yang dipotong-potong, yang diperhalus, kini dipaku, dijadikan
sebuah bingkai oleh Bang Muntazar Teuku, Roka Kembali Rohadi, dan Makmur
Dimila. Tentu saja, ada yang selalu menghilangkan haus para pematang ini, Bunda
Kak Zahra senantiasa mengantar air putih ataupun kopi. Jika Kak Zahra tak pergi
kuliah, maka kakak cantik itulah yang selalu tersenyum mengasingkan peluh.
Sepuluh bingkai telah
jadi. Dan siap untuk di
aku lupa harus diapakan, yang jelas
setiap ujungnya diolesi cat putih untuk menutupi celah-celah kayu
setelah kering, aku dan kakak-kakak
yang lain, Cut Attahirah, Yulfi, Zahra, Icha, menggosok-gosok cat putih itu.
Tapi, ah, gara-gara tanganku, ada bagian bingkai yang bengkok. Mungkin karena
aku terlalu bersemangat atau mungkin karena memang aku tak bisa? Karena aku
sedikit terkejut, dan keterkejutanku terdengar oleh Bang Muntazar Teuku,
langsung saja ia merebut bingkai itu dan membawanya menjauh dariku. Karena itu,
aku tak boleh lagi bekerja.
Semua bingkai siap
untuk dipernis. Aku juga tak mendapat bagian mempernis bingkai. Hari itu, hanya
duduk diam di sudut halaman sambil membayangkan atau memikirkan sesuatu. Entah
rasa jatuh cinta yang ku rasa. Diam-diam Bang Pengko datang membawa sajak
diamnya. Kembali lagi, ku dapati dalam kamera, gambar diam kami, hijau kuning.
Setelah dipernis,
tibanya saat pengecatan. Warna yang dipilih ialah emas dan hitam. Seperti
biasa, tak ada yang ku lakukan. Untuk kesempatan ini, aku membawa cat lukis
untuk Bang Nazar Shah Alam. Aku tak mengerti untuk apa. Apakah untuk menggambar
bunga, punyamu?
Kerja Keras: sayangnya! |
Tiga hari menjelang
piasan seni, para pematang lelaki mulai bekerja sangat keras. Sampai-sampai
mereka tak tidur. Minggu, setelah SMR-Jeuneurob, kami kembali bekerja di Jambo.
Dan ada sesuatu yang terjadi pada diriku. Entahlah. Rehat sejenak di Jambo, Kak
Zahra membawa beberapa gelas dan sebuah plok
sebut saja itu, semacam termos,
tapi bukan termos, berisi air putih
dan aku meraihnya. Bang Munawir
mengambil plok tersebut, dan dua
gelas jatuh ke tanah. Aku terkejut. Semuanya membelalak. Untung tak pecah.
Selang beberapa menit, aku kembali menjatuhkan gelas tapi hanya di atas bambu Jambo kami. Kemudian
aku kembali menumpahkan air. Oh. Mengapa seperti ini? Ada apa? Entahlah.
Setelah itu, aku sangat berhati-hati memegang barang saat makan.
Senin, Selasa, makin
sibuk. Rabu harus mengantar semua barang ke Taman Sari. Semua karya berupa
cerpen atau puisi sudah dicetak dan segera saja ditempelkan pada bingkai.
Rabu siang, aku baru
bisa membantu para pematang di stan negeri kami. Aku cukup membantu, ternyata. Aku
ditugaskan untuk membeli empat bungkus nasi. Setiba di stan kembali, kami
menggerai
sebut saja karpet berwarna biru
di belakang stan. Bang Nazar Shah
Alam membuka semua nasi dan menyatukannya. Agar terlihat banyak dan bisa makan
bersama. Perut terisi. Waktunya bekerja. Kami harus segera menyulap stan
menjadi indah. Dua negeri yang lain sudah tiba, dan sama seperti kami. Menyulap
stan.
Negeri Jeuneurob
membutuhkan sebuah meja ruang tamu. Bang Munawir dan Bang Roka serta aku pulang
ke rumah untuk mengambil meja tamu. Seberat meja, sekuat itu juga Bang Munawir
mengangkat meja itu lalu diletakkan dipangkuannya, dan Bang Roka pun
mengendarai sepeda motor dengan tenang. Luar biasa. Lucu membayangkannya.
Malam menjadi semakin
malam karena perhelatan pembukaan bertandang. Orang-orang lalu lalang silih
berganti. Stan sastra dipenuhi buku-buku. Dan tak lupa Bang Nazar yang sering,
ku rasa, membaca puisi. Sesekali melirik ke arah Matapenanya. Ada juga Bang
Makmur yang mengajakku berduet membaca puisi. Tapi tak jadi. Malam semakin
larut, suara musik semakin riuh. Semakin ramai pula orang berkunjung. Duta
Wisata datang menjenguk stan kami. Ada juga seorang bule yang singgah di bingkai-bingkai kami. Angin semakin dingin.
Dan aku didekap oleh sunyi. Lalu aku pulang dengan tanda tak ikhlas.
Rindu sekali rasanya
ingin menemani pematang-pematang lain di piasan kami. Tapi apalah daya, aku
masih pematang muda. Jika malam, tak boleh keluar jika tak ada yang mengantar.
Perlulah aku muhrim untuk semua ini dan itu? Sabtu malam, malam minggu, aku
baru bisa datang. Kembali mendengar pilu pematang lain. Malam tanpa selimut.
Dingin menyusup. Kasihan juga ku dengar. Aku tak bisa mengubah, hanya bisa
mendengar. Dan sedikit mengubah, setidaknya. Ini malam, makin ramai. Suara
manis Liza Aulia membahana dengan Mala Bayeuennya. Grup lawak dengan alunan
musik dan suara. Seramoe Teater dengan berbagai macam pertunjukan, wajah-wajah
yang eksentrik menyeruak memenuhi seluruh sudut stan.
Bang Maop Jadi Pembicara di SMR-Jeuneurob |
Minggu. Aku kembali
berpelukan bersama negeriku. Menghampiri Taman Sari yang masih hangat diterpa
matari pagi. Di sudut lain, aku melihat lomba baca puisi dan menggambar. Minggu
semakin rindu ketika siswa SMR-Jeuneurob datang memenuhi stan. Kami semua duduk
di atas lapak dibentang. Pertemuan
kali ini, Bang Muhadzier Maop yang menjadi pemateri. Diskusi yang menyenangkan
kurasa. Bertanya jawab tentang duniaku, dunia kita, bersama seorang abang yang
biasa disapa Maop itu. Aku tak bisa berhenti bertanya, apakah ada yang
terganggu dengan sikap ini? Aku harap tidak. Maklumi saja, pematang muda. Siang
itu juga, aku dipertemukan dengan gadis kecil yang pandai berpuisi. Aku
bersalaman dengannya. Ceria sekali aura gadis kecil itu. Tersenyum, memamerkan
gigi putihnya bahwa ia juga pandai bersastra.
Malamnya ialah malam
penutupan Piasan Seni. Awalnya aku tak diizinkan pergi. Tapi setelah berbagai
alasan terucap, akhirnya aku pergi dengan adikku. Malam itu, aku tak menikmati
penutupan Piasan Seni. Setidaknya menikmati yang lebih indah. Matapena dan
Siluet Senjanya malu-malu. Merasa bahagia, ku kira. Berdua mereka menyusuri
celah-celah malam sunyi. Bercengkrama tentang. Apalagi selain cinta dan
ketenangan. Tersenyum manis. Ah, bahagia sekali. Peraduan pun mempertemukan
mereka berceloteh di belakang stan. Tertawa. Lagi-lagi senyum. Bagai berbulan
madu di bawah bulan. Menyentuh angin dengan lembut. Mencium nyiur yang lari
entah kemana. dan ingin kembali memeluk. Semanis malam itu, kan?
Rapat Malam Penutupan di Piasan Seni |
Setelah kerap
berbahagia dengan perempuannya, kembali lagi kami duduk di atas pematang negeri
kami. Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh? Hanya ada tujuh pematang. Dan
tetap saja aku paling muda. Mungkin tiganya lagi dibawa angin sebentar. Tak
perlu risau tentang itu. Walau tersisa tujuh, kami akan tetap hidup. Karena
negeri kami tercipta untuk cinta dari pena-pena kami. Kami duduk membahas
agenda yang terbentang di depan. Cukup banyak kukira.
Bintang semakin sendu
di atas sana. Besok harus bekerja lagi. Mengosongkan stan. ‘Teungku, Sastra Tak
Boleh Mati’ begitulah kalimat yang tak pernah hilang dibenakku. Kembali setia
dengan negeri kami. Dunia cinta, bagiku. Berjejer di pematang setiap waktu.
Sebab di pematang tak ada perbedaan.
Selamat menikmati
negeri ini. Negeri para bahagia.
Di
jelma Subuh, 6 Desember 2012
04:47
0 komentar:
Posting Komentar