Rabu, 05 Desember 2012

Akhirnya!


Karya Teuku Muntazar
Kerja Keras: Sekeras-Kerasnya
Semakin banyak pengetahuan dan pengalaman, maka semakin mudah seseorang mendapatkan hal yang baik dalam hidup. Berbicara tentang pengalaman, pastinya masing-masing kita pernah mengalami hal-hal tertentu; baik mengesankan, kepiluan juga berbagai ungkapan emosional lainnya.
Aku memiliki sebuah pengalaman paling berharga dalam sejarah hidup. Sudut pandang boleh berbeda, pun dengan pengalaman tak ada tuntutan harus sama. Bergiat di Komunitas Jeuneurob dalam kegiatan Piasan Seni yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh lebih dari sekedar cukup dalam proses berkomunitas. Aku termasuk salah satu anggota yang turut dalam pelaksanaan acara itu. Kurasa, berjuang demi perubahan lebih berharga daripada duduk termangu bertemankan mimpi ini-itu.
Memang tak ada yang melarang untuk bermimipi, akan tetapi sertailah mimpi itu dengan usaha dan keyakinan. Itu lebih baik kurasa. Malam tanggal 28 November 2012 tepatnya Piasan Seni dibuka. Namun tahukah bahwa sebelum hari itu menjelma, beberapa kesibukan telah menyergap keberadaan kami. Komunitas Jeuneurob melakukan beberapa persiapan untuk menghadapi piasan. Aku dan komunitasku ingin menunjukkan kepada mereka di sana, bahwa kami ada dan bukan sekedar mengada-ada.
Dua pekan sebelum bertemu tanggal 28 November 2012, aku disibukkan dengan pekerjaan membuat beberapa bingkai untuk hari H. Tak hanya teman sekomunitas, keberadaan kami juga dilengkapi oleh Ayah Zahra; kepala keluarga multiskill, Bunda Zahra; perempuan berhati mulia dan Adik Perempuan Zahra; gadis penakut terhadap tamu asing. Ingin sekali kuhadiahi berkotak-kotak kado untuk keluarga besar Zahra yang telah membantu kami dalam segala daya-upaya. Namun apa hendak dikata, jangankan membeli kado, sekedar menggantikan tali sepatu yang putus aku tak mampu untuk saat ini.
Persembahan Kepada Sang Baru Cerdas
Setengah hari mengajar dan setengah harinya lagi bergelut di Jambo Jeuneurob, itulah hari-hari yang kulalui selama dua pekan. Cukup banyak pengetahuan yang berhasil kutahu selama itu. Dan mohon maaf untuk kawan komunitasku atas dua coretan cat hitam pada jambo kita, “Duka Lara Sang Pecinta” dan “King Shakir Burtuqal.” Aku tak sengaja melukikaskan coretan itu, akan tetapi pesona Shakir dalam dunia Cang Panah karya Pengko telah menghipnotis anganku untuk membanggai Shakir di dunia nyata. Di sisi lain, aku menulis itu sebagai bukti sejarah yang kita ciptakan sendiri. Suatu waktu ketika umur telah menua. Maka akan kepersembahkan coretan itu untuk mengingat cerita yang telah kita lalui bersama. Moga saja, Zahra merawat tulisan itu dengan baik.
Tanpa keluhan, tanpa paksaan, kami menikmati suasana persiapan itu. Hingga suatu malam tibalah saatnya kami mengangkut barang yang akan dipamerkan pada Piasan Seni. Sesuatu yang dikerjakan dengan susah payah memang rumit dilepaskan dari perawatan. Kami mengangkut dengan perlahan dan menyediakan selimut VIP untuk karya itu. Segaris lecet saja pada bingkai itu, sudah setengah jenggotku hilang. Sangking pedulinya aku, demi Allah begitu.
Bertani dengan penuh keiklasan akan menghasilkan padi yang berkah. Begitupun dengan kerja yang kami lakoni menghasilkan karya yang begitu renyah. Tibalah kami pada taman pusat kota, Taman Sari Banda Aceh, di mana letak Piasan Seni diselenggarakan. Aku beserta anggota komunitasku menurunkan barang dengan perlahan, masih dalam selimut VIP. Rupanya komunitasku berkalaborasi dengan dua komunitas lain, Komunitas Kanot Bu dan Forum Lingkar Pena (FLP) Aceh. Barang komunitas itu telah duluan ada di stan, namun belum tersusun rapi, rencana ketiga komunitas itu akan merapikannya di esok hari.
Seperti kukata, aku harus berbagi waktu dengan pagi dan siangku. Bukan sengaja untuk membatasi waktu, namun tuntutanlah yang menghasut langkahku untuk membelah jadwal berlaku adil, untuk komunitas dan kegiatan mengajar. Setelah pulang mengajar, aku mendatangi teman komunitas yang sedang bekerja di stan Piasan Seni. Kulihat beberapa bingkai telah terpajang beserta logo komunitas yang elok dipandang mata “Kreatif Berbuat atau Tak Dianggap Sama Sekali” itulah kata bijak dari seorang penasehat kami, beliau bernamakan Pengkoisme. Kata itu termaktub dalam Kitab Merahnya, beliau menjelaskan bahwa kreatif adalah acuan dalam menuju sukses. Itulah tuntutan dari komunitas kami.
Shakir sibuk dengan gergaji, Rahmat Kembali Rohat sibuk memperhatikan penempatan puisinya pada bingkai—konon itu puisi termurah di antara karya lainnya, hanya diberi harga 30 ribu rupiah, Dek Han bekerja dengan baik, ia merancang pacak untuk penempatan bingkai, Makmue mengawatkan logo Jeuneurob, sedang Pengko mewakili semua apa yang dilakukan teman komunitasku. Jika kurang sesuai maka Pengko akan menyeru untuk memindahkan penempatan itu. Patut kuancungi jempol, Pengko sangatlah professional dalam hal ini, ia memiliki banyak modal dalam hal-hal sedemikian bentuknya, karena selama aku mengenalnya ia telah bergelut dalam dunia pertunjukan. Pantas saja pengalaman telah merenggutnya untuk memilih terbaik.
Sendiri Kuterpaku..!
Tersebab aku telat, maka kupilih saja untuk melengkapi pekerjaan yang belum sempurna dari teman komunistasku. Malam pembukaan seni, aku begitu bersemangat, mengapa tidak. Akhirnya perjuangan kami selama dua pekan siap juga ditampilkan. Pembukaan menampilkan tarian aceh pada panggung utama. Aku turut menyaksikan dari kejauhan, karena kami harus menjaga stan.
Tahukah Anda semua tentang diriku? Aku termasuk lelaki gelisah saat berada dalam keramaian. Semenjak kehilangan cinta pertama, aku memilih untuk bersahabat dengan kaum janda ketimbang bergelut dengan para gadis. Inilah dilema yang membuatku takut keramaian, aku harus memilih dan menyeleksi para janda yang lalu lalang depan stan untuk sekedar bercurhatan. Tetapi, berkat penampilan Rafli penyanyi Aceh, aku berhasil keluar dari kekalutan itu.
Empat hari lima malam berada dipertujukan Piasan Seni Banda Aceh, lebih dari cukup dalam menunjukkan siapa Jeuneurob dan bergiat di bidang apa Jeuneurob itu. Kurasa para pengunjung stan kami telah pun tahu tentang itu. Kami tak pelit informasi, apa saja jenis pertanyaan itu, tak akan kami rahasiakan. Terbuka lebih baik dari diam. Dengan keterbukaan, kita akan lepas, sedang dengan diam, akan menviruskan segala bentuk rasa penasaran.
Dan tibalah hari untuk kepergian piasan, seperti malam pembukan, kali ini pada malam penutupan juga dimulai dengan sebuah penampilan tari, namun bertemakan lain. Sebelum kuakhiri cerita ini, aku sangat dikejutkan dengan tamu spesial ketua komunitas kami, tak lain ialah Maisuri; perempuan berona Hijau. Aku sangat bangga pada ketua, pemilik wajah Darius ini punya pesona tersendiri dalam memikat gadis yang dicintainya. Terngiang sebuah puisi Romansa Sembilan Belas karyanya ketika kulihat mereka berfose foto bersama. Dalam hati ku berkata, “akhirnya…”

Monjen, 05 Desember 2012

0 komentar:

Posting Komentar