Karya Teuku Muntazar
Kerja Keras: Sekeras-Kerasnya |
Semakin banyak pengetahuan dan
pengalaman, maka semakin mudah seseorang mendapatkan hal yang baik dalam hidup.
Berbicara tentang pengalaman, pastinya
masing-masing kita pernah mengalami hal-hal tertentu; baik mengesankan,
kepiluan juga berbagai ungkapan emosional lainnya.
Aku memiliki sebuah pengalaman paling berharga dalam sejarah hidup. Sudut pandang boleh
berbeda, pun dengan pengalaman tak ada tuntutan harus sama. Bergiat
di Komunitas Jeuneurob dalam kegiatan
Piasan Seni yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh lebih
dari sekedar cukup dalam proses berkomunitas. Aku termasuk salah satu anggota
yang turut dalam pelaksanaan acara itu. Kurasa, berjuang demi perubahan lebih
berharga daripada duduk termangu bertemankan mimpi ini-itu.
Memang tak ada yang melarang untuk
bermimipi, akan tetapi sertailah mimpi itu dengan usaha dan keyakinan. Itu
lebih baik kurasa. Malam tanggal
28 November 2012 tepatnya
Piasan Seni dibuka. Namun tahukah bahwa sebelum hari itu
menjelma, beberapa kesibukan telah menyergap keberadaan kami. Komunitas Jeuneurob
melakukan beberapa persiapan untuk menghadapi piasan. Aku dan komunitasku ingin
menunjukkan kepada mereka di sana, bahwa kami ada dan bukan sekedar
mengada-ada.
Dua pekan sebelum bertemu tanggal
28 November 2012, aku disibukkan dengan pekerjaan membuat beberapa bingkai
untuk hari H. Tak hanya teman sekomunitas, keberadaan kami juga dilengkapi oleh
Ayah Zahra; kepala keluarga multiskill,
Bunda Zahra; perempuan
berhati mulia dan Adik Perempuan Zahra; gadis penakut terhadap tamu asing.
Ingin sekali kuhadiahi berkotak-kotak kado untuk keluarga besar Zahra yang
telah membantu kami dalam segala daya-upaya. Namun apa hendak dikata, jangankan membeli
kado, sekedar menggantikan tali sepatu yang putus aku tak mampu untuk saat ini.
Persembahan Kepada Sang Baru Cerdas |
Setengah hari mengajar dan setengah
harinya lagi bergelut di Jambo Jeuneurob,
itulah hari-hari yang kulalui selama dua pekan. Cukup banyak pengetahuan yang
berhasil kutahu selama itu. Dan mohon maaf untuk kawan komunitasku atas dua
coretan cat hitam pada jambo kita, “Duka
Lara Sang Pecinta” dan “King Shakir Burtuqal.” Aku tak sengaja melukikaskan
coretan itu, akan tetapi pesona Shakir dalam dunia Cang Panah karya Pengko
telah menghipnotis anganku untuk membanggai Shakir di dunia nyata. Di sisi lain,
aku menulis itu sebagai bukti sejarah yang kita ciptakan sendiri. Suatu waktu
ketika umur telah menua. Maka akan kepersembahkan coretan itu untuk mengingat
cerita yang telah kita lalui bersama. Moga saja, Zahra merawat tulisan itu
dengan baik.
Tanpa keluhan, tanpa paksaan, kami
menikmati suasana persiapan itu. Hingga suatu malam tibalah saatnya kami
mengangkut barang yang akan dipamerkan
pada Piasan Seni. Sesuatu yang dikerjakan dengan susah payah memang rumit
dilepaskan dari perawatan. Kami mengangkut dengan perlahan dan menyediakan
selimut VIP untuk karya itu. Segaris
lecet saja pada bingkai itu, sudah setengah jenggotku hilang. Sangking
pedulinya aku, demi Allah begitu.
Bertani dengan penuh keiklasan akan
menghasilkan padi yang berkah. Begitupun dengan kerja yang kami lakoni
menghasilkan karya yang begitu renyah. Tibalah kami pada taman pusat kota, Taman
Sari Banda Aceh, di mana letak Piasan Seni diselenggarakan. Aku beserta anggota
komunitasku menurunkan barang dengan perlahan, masih dalam selimut VIP. Rupanya
komunitasku berkalaborasi dengan dua komunitas lain, Komunitas Kanot Bu dan Forum Lingkar Pena
(FLP) Aceh. Barang komunitas
itu telah duluan ada di stan, namun belum tersusun rapi, rencana ketiga
komunitas itu akan merapikannya di esok hari.
Seperti kukata, aku harus berbagi
waktu dengan pagi dan siangku. Bukan sengaja untuk membatasi waktu, namun
tuntutanlah yang menghasut langkahku untuk membelah jadwal berlaku adil, untuk
komunitas dan kegiatan mengajar. Setelah pulang mengajar, aku mendatangi teman
komunitas yang sedang bekerja di stan Piasan Seni. Kulihat beberapa bingkai
telah terpajang beserta logo komunitas yang elok dipandang mata “Kreatif Berbuat atau Tak
Dianggap Sama Sekali” itulah kata bijak dari seorang penasehat kami, beliau
bernamakan Pengkoisme. Kata itu
termaktub dalam Kitab Merahnya, beliau menjelaskan
bahwa kreatif adalah acuan dalam menuju sukses. Itulah tuntutan dari komunitas
kami.
Shakir sibuk dengan gergaji, Rahmat
Kembali Rohat sibuk memperhatikan penempatan puisinya pada bingkai—konon itu puisi termurah di antara karya lainnya, hanya
diberi harga 30 ribu rupiah, Dek Han bekerja dengan
baik, ia merancang
pacak untuk penempatan bingkai, Makmue mengawatkan logo Jeuneurob, sedang Pengko
mewakili semua apa yang dilakukan teman komunitasku. Jika kurang sesuai maka Pengko
akan menyeru untuk memindahkan penempatan itu. Patut kuancungi jempol, Pengko
sangatlah professional dalam hal ini, ia memiliki banyak modal dalam hal-hal sedemikian bentuknya,
karena selama aku mengenalnya ia telah bergelut dalam dunia pertunjukan. Pantas
saja pengalaman telah merenggutnya untuk memilih terbaik.
Sendiri Kuterpaku..! |
Tersebab aku telat, maka kupilih
saja untuk melengkapi pekerjaan yang belum sempurna dari teman komunistasku. Malam
pembukaan seni, aku begitu bersemangat, mengapa tidak. Akhirnya perjuangan
kami selama dua pekan siap juga ditampilkan. Pembukaan menampilkan tarian aceh
pada panggung utama. Aku turut menyaksikan dari kejauhan, karena kami harus
menjaga stan.
Tahukah Anda semua tentang diriku?
Aku termasuk lelaki gelisah saat berada dalam keramaian. Semenjak kehilangan
cinta pertama, aku memilih untuk bersahabat dengan kaum janda ketimbang
bergelut dengan para gadis. Inilah dilema
yang membuatku takut keramaian, aku harus memilih dan menyeleksi para janda yang
lalu lalang
depan stan untuk sekedar bercurhatan. Tetapi, berkat penampilan Rafli
penyanyi Aceh, aku berhasil
keluar dari kekalutan itu.
Empat hari lima malam berada
dipertujukan Piasan Seni Banda Aceh, lebih dari cukup dalam menunjukkan siapa Jeuneurob
dan bergiat di bidang apa Jeuneurob
itu. Kurasa para pengunjung stan kami telah pun tahu tentang itu. Kami tak
pelit informasi, apa saja jenis pertanyaan itu, tak akan kami rahasiakan.
Terbuka lebih baik dari diam. Dengan keterbukaan, kita akan lepas, sedang
dengan diam, akan menviruskan segala bentuk rasa penasaran.
Dan tibalah hari untuk kepergian
piasan, seperti
malam pembukan, kali ini pada malam penutupan juga dimulai dengan sebuah
penampilan tari, namun bertemakan
lain. Sebelum kuakhiri cerita ini, aku sangat dikejutkan dengan tamu spesial ketua komunitas kami, tak
lain ialah Maisuri; perempuan berona Hijau. Aku sangat bangga pada ketua, pemilik wajah Darius
ini punya pesona tersendiri dalam memikat gadis yang dicintainya. Terngiang
sebuah puisi Romansa Sembilan Belas karyanya ketika kulihat mereka berfose
foto bersama. Dalam hati ku berkata, “akhirnya…”
Monjen, 05 Desember 2012
0 komentar:
Posting Komentar