Sabtu, 08 Desember 2012

Merajut Gemilang di Piasan Seni

Burtuqall: wayyang, 20 thon tinggai
Oleh
Munawir Shakir

Jeuneurob berdiri dengan gagah di atas pematang. Inilah kami, menggemparkan peradaban dengan sastra. Bangga rasanya mendengar bahwa KJ termasuk salah satu peserta dari Stan Sastra di Piasan Seni 2012 yang diadakan di Banda Aceh, tepatnya di Taman Sari. Ini menjadi suatu momen gemilang bagi KJ sendiri. Melihat dari persiapan itu sangat antusias.

Rapat selalu diutarakan oleh Maksum Dimila yang menjabat sebagai ketua, tak kalahnya dengan Pengko Shah Alam sebagai nyawa di KJ. Tuturnya menjadi suatu kepastian. Inilah satu anugerah terbesar yang diberikan oleh Sang Khalid kepadanya. Cukup besar apresiasi yang kuberikan kepada kedua pelopor ini. Mereka memiliki ketegasan di dalam bertindak. Kini saat kita mulai bekerja.

Petang telah menua menunjukkan kemuning di langit barat. Kini saatnya beranjak untuk bekerja. Masing-masing anggota telah memiliki porsi. Diantaranya Pengko sebagai desainer gambar, Maksum dan Chamsyah sebagai layouter, King, Wak Lah, dan Jambo sebagai peracik bingkai. Dan turut juga diramaikan oleh puan-puan yang mendapangi kami dalam bekerja. Di sana juga kami memiliki orangtua yang selalu menyemangati  dalam bekerja. Saban hari ibunda Zahra menyiapkan kopi, dan apabila telah menjelang dhuzur, hidangan sudah disajikan di atas meja.

Sebelumnya kami juga membuang rasa kantuk saban malam, apa-apa yang perlu dipersiapkan di kemudian hari. Kini aku dan Wak Lah mulai meracik bingkai. Satu persatu kayu persegi empat itu siap dihaluskan, agar memiliki nuansa nan indah. Kata Maksum “kerjakan sesuatu itu dengan seni agar membuah hasil yang sempurna”. Ku turuti saja katanya, memang benar. Semuanya bermula pada seni, tiada bantahan bagiku. Begitulah kiranya kawan.

Jari menari di segi empat
Jari tangan pun kian menari-nari di atas persegi empat. Hingga memunculkan kelembutan pada ranah bingkai. Canda tawa membahana kala itu. Ada pula kegalauan di raut wajah Wak Lah, musabab ada persegi empat yang tak bersahabat dengan kami. Wajah Wak Lah yang pertama kulirik begitu ceria sekejap berubah menjadi lara.

Inilah cerita kami, kala suka kala lara. Tapi, semangat kami tak pernah padam demi terlaksana keinginan di acara piasan seni nantinya. Kami ingin menjadi yang terbaik diantara komunitas-komunitas lain. Pada akhirnya pekerjaan kami pun selesai di jambo penuh kedamaian.

Barang-barang  mulai masuk ke stan. Siap untuk dibenah di sudut-sudut yang kosong. Tampak indah sudah dekorasi kamar kami. Pajangan demi pajangan memberi nuansa tersendiri.

Malam pertama pun dimulai, sorak para pengunjung kian membahana di sudut stan-stan. Ragam penampilan mulai diluncurkan. Sekelumit cerita menjadi gempar di tanah kemakmuran. Inilah yang membuat kami betah berada di tempat ini, tanpa keluh-kesah. Angin nan dingin pun kian menusuk ke tubuh para penjaga malam. Di sini banyak canda tawa serta penuh dengan cerita imajinasi liar. Tempatnya para pemuda kreatif bergumul.

Dilanjutkan dengan hari berikutnya. Lentera terus menerangi segala aktifitas kerja kami saban hari, dilanjutkan oleh malam juga. Hujan pun mulai turun membasahi stan-stan kami, gemuruh angin menerpa tenda-tenda. Hujan yang sangat deras itu tak juga mematahkan semangat kami dalam berkarya, walau basah kuyup. Semangat yang begitu besar tercurah dalam dirinya.

Dengan begitu sangatlah mudah mencari simpati dari para pengunjung. Berawal dengan pembacaan puisi yang menggetarkan hati para pengunjung di kala teriakan demi teriakan tersaji dari mulut-mulut para penyair. Pembacaan puisi pertama dibacakan oleh Pengko. Dahsyat. Hingga para pengunjung bergumul di depan stan sastra, selesai pembacaan lalu disambung oleh Maksum, dia membaca penuh dengan kegairahan walau tak setaraf bang Pengko. Aku di situ hanya sebagai pembidik kamera. Tanpa sadar malam ini menjadi celaka. Musabab pemancang telah hilang satu diterpa angin. Entah kemana aku pun tak tahu.

Ceria SMR-Jeuneurob di stan sastra
Silih berganti, tanpa terasa malam penutup telah tiba. Haru-hara telah menyatu dengan kami. Rasa yang belum pernah tercipta. Membuah hasil yang begitu cemerlang. Lantunan lagu-lagu menggema di sepanjang Taman Sari. Elok dipandang gerakan tarian sang musisi dari dataran Tanoh Aceh. Apa hendak dikata, tiap-tiap pengawalan pasti ada pengakhiran. Begitu juga dengan kami, malam ini adalah malam terakhir berada di tempat ini. Sungguh banyak kesan dan lara yang harus dipetik pada pelajaran malam ini. Satu kisah dalam piasan seni Aceh.[]

0 komentar:

Posting Komentar