Burtuqall: wayyang, 20 thon tinggai |
Oleh
Munawir
Shakir
Jeuneurob berdiri dengan gagah di atas pematang. Inilah kami, menggemparkan peradaban dengan sastra. Bangga rasanya mendengar bahwa KJ termasuk salah satu peserta dari Stan Sastra di Piasan Seni 2012 yang diadakan di Banda Aceh, tepatnya di Taman Sari. Ini menjadi suatu momen gemilang bagi KJ sendiri. Melihat dari persiapan itu sangat antusias.
Rapat selalu diutarakan
oleh Maksum Dimila yang menjabat sebagai ketua, tak kalahnya dengan Pengko Shah
Alam sebagai nyawa di KJ. Tuturnya menjadi suatu kepastian. Inilah satu anugerah
terbesar yang diberikan oleh Sang Khalid kepadanya. Cukup besar apresiasi yang
kuberikan kepada kedua pelopor ini. Mereka memiliki ketegasan di dalam
bertindak. Kini saat kita mulai bekerja.
Petang telah menua
menunjukkan kemuning di langit barat. Kini saatnya beranjak untuk bekerja.
Masing-masing anggota telah memiliki porsi. Diantaranya Pengko sebagai desainer
gambar, Maksum dan Chamsyah sebagai layouter, King, Wak Lah, dan Jambo sebagai
peracik bingkai. Dan turut juga diramaikan oleh puan-puan yang mendapangi kami
dalam bekerja. Di sana juga kami memiliki orangtua yang selalu menyemangati dalam bekerja. Saban hari ibunda Zahra menyiapkan
kopi, dan apabila telah menjelang dhuzur, hidangan sudah disajikan di atas
meja.
Sebelumnya kami juga
membuang rasa kantuk saban malam, apa-apa yang perlu dipersiapkan di kemudian
hari. Kini aku dan Wak Lah mulai meracik bingkai. Satu persatu kayu persegi
empat itu siap dihaluskan, agar memiliki nuansa nan indah. Kata Maksum
“kerjakan sesuatu itu dengan seni agar membuah hasil yang sempurna”. Ku turuti
saja katanya, memang benar. Semuanya bermula pada seni, tiada bantahan bagiku.
Begitulah kiranya kawan.
Jari menari di segi empat |
Jari tangan pun kian
menari-nari di atas persegi empat. Hingga memunculkan kelembutan pada ranah
bingkai. Canda tawa membahana kala itu. Ada pula kegalauan di raut wajah Wak
Lah, musabab ada persegi empat yang tak bersahabat dengan kami. Wajah Wak Lah
yang pertama kulirik begitu ceria sekejap berubah menjadi lara.
Inilah cerita kami,
kala suka kala lara. Tapi, semangat kami tak pernah padam demi terlaksana keinginan
di acara piasan seni nantinya. Kami ingin menjadi yang terbaik diantara
komunitas-komunitas lain. Pada akhirnya pekerjaan kami pun selesai di jambo penuh kedamaian.
Barang-barang mulai masuk ke stan. Siap untuk dibenah di
sudut-sudut yang kosong. Tampak indah sudah dekorasi kamar kami. Pajangan demi
pajangan memberi nuansa tersendiri.
Malam pertama pun dimulai, sorak para pengunjung kian membahana di sudut stan-stan. Ragam penampilan mulai diluncurkan. Sekelumit cerita menjadi gempar di tanah kemakmuran. Inilah yang membuat kami betah berada di tempat ini, tanpa keluh-kesah. Angin nan dingin pun kian menusuk ke tubuh para penjaga malam. Di sini banyak canda tawa serta penuh dengan cerita imajinasi liar. Tempatnya para pemuda kreatif bergumul.
Malam pertama pun dimulai, sorak para pengunjung kian membahana di sudut stan-stan. Ragam penampilan mulai diluncurkan. Sekelumit cerita menjadi gempar di tanah kemakmuran. Inilah yang membuat kami betah berada di tempat ini, tanpa keluh-kesah. Angin nan dingin pun kian menusuk ke tubuh para penjaga malam. Di sini banyak canda tawa serta penuh dengan cerita imajinasi liar. Tempatnya para pemuda kreatif bergumul.
Dilanjutkan dengan hari
berikutnya. Lentera terus menerangi segala aktifitas kerja kami saban hari,
dilanjutkan oleh malam juga. Hujan pun mulai turun membasahi stan-stan kami,
gemuruh angin menerpa tenda-tenda. Hujan yang sangat deras itu tak juga
mematahkan semangat kami dalam berkarya, walau basah kuyup. Semangat yang
begitu besar tercurah dalam dirinya.
Dengan begitu sangatlah
mudah mencari simpati dari para pengunjung. Berawal dengan pembacaan puisi yang
menggetarkan hati para pengunjung di kala teriakan demi teriakan tersaji dari
mulut-mulut para penyair. Pembacaan puisi pertama dibacakan oleh Pengko.
Dahsyat. Hingga para pengunjung bergumul di depan stan sastra, selesai
pembacaan lalu disambung oleh Maksum, dia membaca penuh dengan kegairahan walau
tak setaraf bang Pengko. Aku di situ hanya sebagai pembidik kamera. Tanpa sadar
malam ini menjadi celaka. Musabab pemancang telah hilang satu diterpa angin.
Entah kemana aku pun tak tahu.
Ceria SMR-Jeuneurob di stan sastra |
Silih berganti, tanpa
terasa malam penutup telah tiba. Haru-hara telah menyatu dengan kami. Rasa yang
belum pernah tercipta. Membuah hasil yang begitu cemerlang. Lantunan lagu-lagu
menggema di sepanjang Taman Sari. Elok dipandang gerakan tarian sang musisi
dari dataran Tanoh Aceh. Apa hendak
dikata, tiap-tiap pengawalan pasti ada pengakhiran. Begitu juga dengan kami,
malam ini adalah malam terakhir berada di tempat ini. Sungguh banyak kesan dan
lara yang harus dipetik pada pelajaran malam ini. Satu kisah dalam piasan seni
Aceh.[]
0 komentar:
Posting Komentar