Oleh Makmur Dimila
Pelan-pelan
matahari merangkak di atap Kota Banda Aceh. Segurat sinarnya mengiris wajah
Rauzatul Hafni yang hitam manis dibalut jilbab pink panjang. Ia sedang
melintasi muka stan sastra di Piasan Seni bersama adiknya Syahrul Ramadhan. Aku
menghampirinya, sebab ia seperti mencari sesuatu yang dinginkan.
Setelah
berbasa-basi, “suka baca?” tanyaku. Dibalasnya dengan tatapan polos, “ya.” Oo,
aku kaget, jarang-jarang ada bocah kelas enam SD di Aceh suka baca. Aku
menuntunnya ke stan sastra, ke meja buku.
“Cari
buku apa?”
“Buku
cerita Nabi.”
Penyerahan buku/Foto MD |
Oo,
aku beritahu Nazar Shah Alam, lalu ia perintahkan Roka membelinya. Rauzatul
senang sekali ketika kami memberinya buku impian: Kisah Nyata 25 Nabi & Rasul. Lalu ia tinggali stan bersama
adiknya. Aku menguntit mereka dan bertanya-tanya.
“Suka
nulis?”
“Suka.”
“Nulis
apa?”
“Puisi.”
Oo,
aku dapat bocah berbakat nih. Aku
manggut-manggut seiring kami sudah di muka stan komik. Kutuntun mereka masuk
stan Panyoet Club Comic Aceh. Rauzatul ingin menggambar sepertinya.
“Bang,
boleh tulis puisi di sini?”
Penjaga
stan terhenyak. Sudah dilihatnya itu
kertas putih di ruang penuh gambar, eh malah minta nulis puisi; benar-benar calon penyair, pikirku.
“Begini
Rauzatul, karena ini stan menggambar, gimana kalo setelah nulis puisi di kertas
itu juga buat gambar yang menceritakan puisi Rauzatul?”
Ia
mengangguk. Lalu duduk mendekap meja bundar yang lebih dulu dilingkari beberapa
bocah lain untuk menggambar dituntun anggota panyoet-aceh. Ia kemudian benar-benar menulis puisi.
Menggambar setelah menulis puisi/Foto MD |
Rumahku
Rumah engkaulah pelindung bagiku
Rumah engkau melindungiku walau
hujan kamu bisa melindungi diriku
dari hujan dan aku sampai
bisa tidur rumah terima
kasih atas kau rumahku
Lalu di bawahnya ia
membuat rumah. Aku girang sekali melihatnya. Lantas kuajaknya kembali ke stan
sastra. Aku membaca puisinya sebagaimana puisi anak Sekolah Dasar di depan para
siswa Sekolah Menulis Remaja Jeuneurob yang Minggu itu diskusi di stan sastra.
Setelah itu kami foto bareng dan kukembalikan puisinya ke Panyoet; mereka mendokumentasikannya.
Tak lama, ia kembali ke
stan kami. Dia ingin nulis puisi lagi. Kami berikan selembar kertas buku dan
pena. Kali ini ia ingin menulis di tempat ayahnya jualan mainan, di ujung
kompleks Taman Sari.
Bermenit-menit kemudian,
di sela-sela beragam musik dan lagu yang berdentam di stan tetangga; juga riuh
pengunjung hari terakhir Piasan Seni Banda Aceh, Rauzatul kembali dengan
secarik kertas tak lagi putih. Ada puisinya darinya.
Guruku
Guru kau telah mengajariku
Setiap pagi guruku engkau
Selalu setiap pagi mengajariku
Sampai aku bisa menghitung
Dari 1 sampai 10. Guru terima
Kasih atas jasamu
Bagaimana
aku harus
membalas jasamu
Wow! Rauzatul menulis
puisi dengan percaya diri. Aku anjurkan padanya agar rajin membaca dan menulis
puisi. “Kita buat buku nanti ya,” kataku, ada senyum membentuk pelan di
wajahnya. Sementara aku melihat dua puisinya, tampaknya punya karakter
tersendiri, ya.. standar puisi anak SD. Bagaimana menurutmu?[]
0 komentar:
Posting Komentar