Selasa, 04 Desember 2012

Puisi-puisi Anak Penjual Mainan



Oleh Makmur Dimila
Pelan-pelan matahari merangkak di atap Kota Banda Aceh. Segurat sinarnya mengiris wajah Rauzatul Hafni yang hitam manis dibalut jilbab pink panjang. Ia sedang melintasi muka stan sastra di Piasan Seni bersama adiknya Syahrul Ramadhan. Aku menghampirinya, sebab ia seperti mencari sesuatu yang dinginkan.

Setelah berbasa-basi, “suka baca?” tanyaku. Dibalasnya dengan tatapan polos, “ya.” Oo, aku kaget, jarang-jarang ada bocah kelas enam SD di Aceh suka baca. Aku menuntunnya ke stan sastra, ke meja buku.
“Cari buku apa?”
“Buku cerita Nabi.”
Penyerahan buku/Foto MD
Oo, aku beritahu Nazar Shah Alam, lalu ia perintahkan Roka membelinya. Rauzatul senang sekali ketika kami memberinya buku impian: Kisah Nyata 25 Nabi & Rasul. Lalu ia tinggali stan bersama adiknya. Aku menguntit mereka dan bertanya-tanya.
“Suka nulis?”
“Suka.”
“Nulis apa?”
“Puisi.”
Oo, aku dapat bocah berbakat nih. Aku manggut-manggut seiring kami sudah di muka stan komik. Kutuntun mereka masuk stan Panyoet Club Comic Aceh. Rauzatul ingin menggambar sepertinya.
“Bang, boleh tulis puisi di sini?”
Penjaga stan terhenyak. Sudah dilihatnya itu kertas putih di ruang penuh gambar, eh malah minta nulis puisi; benar-benar calon penyair, pikirku.
“Begini Rauzatul, karena ini stan menggambar, gimana kalo setelah nulis puisi di kertas itu juga buat gambar yang menceritakan puisi Rauzatul?”
Ia mengangguk. Lalu duduk mendekap meja bundar yang lebih dulu dilingkari beberapa bocah lain untuk menggambar dituntun anggota panyoet-aceh. Ia kemudian benar-benar menulis puisi.
Menggambar setelah menulis puisi/Foto MD
Rumahku
Rumah engkaulah pelindung bagiku
Rumah engkau melindungiku walau
hujan kamu bisa melindungi diriku
dari hujan dan aku sampai
bisa tidur rumah terima
kasih atas kau rumahku

Lalu di bawahnya ia membuat rumah. Aku girang sekali melihatnya. Lantas kuajaknya kembali ke stan sastra. Aku membaca puisinya sebagaimana puisi anak Sekolah Dasar di depan para siswa Sekolah Menulis Remaja Jeuneurob yang Minggu itu diskusi di stan sastra. Setelah itu kami foto bareng dan kukembalikan puisinya ke Panyoet; mereka mendokumentasikannya.

Tak lama, ia kembali ke stan kami. Dia ingin nulis puisi lagi. Kami berikan selembar kertas buku dan pena. Kali ini ia ingin menulis di tempat ayahnya jualan mainan, di ujung kompleks Taman Sari.

Bermenit-menit kemudian, di sela-sela beragam musik dan lagu yang berdentam di stan tetangga; juga riuh pengunjung hari terakhir Piasan Seni Banda Aceh, Rauzatul kembali dengan secarik kertas tak lagi putih. Ada puisinya darinya.
Guruku
Guru kau telah mengajariku
Setiap pagi guruku engkau
Selalu setiap pagi mengajariku
Sampai aku bisa menghitung
Dari 1 sampai 10. Guru terima
Kasih atas jasamu

                             Bagaimana aku harus
membalas jasamu

Wow! Rauzatul menulis puisi dengan percaya diri. Aku anjurkan padanya agar rajin membaca dan menulis puisi. “Kita buat buku nanti ya,” kataku, ada senyum membentuk pelan di wajahnya. Sementara aku melihat dua puisinya, tampaknya punya karakter tersendiri, ya.. standar puisi anak SD. Bagaimana menurutmu?[]

0 komentar:

Posting Komentar