Oleh: Zahra Nurul Liza
Sumber: Harian Aceh
innoboy34.blogspot.com |
*****
Dingin dan sepi adalah selimut tubuh ini. Rintik hujan yang jatuh perlahan menerpa bumi. Kurma menjadi makanan pembuka magrib ini. Azan adalah tanda akan dialog dengan Tuhan segera. Selepas itu, barulah melahap makanan-makanan selanjutnya. Tak banyak selang waktu antara magrib dan insya. Taraweh pun telah tiba. Kini saatnya setan-setan merayu hamba ditambah mendapat dukungan cuaca. Walau hamba tau ini adalah taraweh terakhir dalam ramadhan kali ini. Sebab mulai besok malam, takbir akan berkumandang. Tawa riang insan dari setiap sudut adalah hiasan. Tapi, tak perlu terlalu banyak cerita dulu tentang esok malam. Biarlah itu menjadi rahasia Tuhan. Malam ini akan dihabiskan dengan taraweh dan berdoa agar taraweh tahun selanjutnya masih bisa dirangkai bersama.
Kini malam mulai tua, walau tiga jam lagi akan kembali muda. Alunan ayat Tuhan terus dilantunkan berburu waktu tuk segera mengkhatamkan Al-Quran. Sebab esok terakhir ramadhan. Pikiran ini tiba-tiba melayang ke lain haluan. Ingin mencari tau sesuatu yang belum terselesaikan. Tapi, tak ingin juga dibilang mencampuri urusan orang. Harus bagaimana lagi. Hati tak sabar menunggu kabar besok di koran, itu pun kalau lah jelas diceritakan. Langkah kaki seakan memberi restu untuk mencari tau tentang kabar yang semua orang ingin tau. Tetangga keluarga yang menempati rumah Aceh di ujung lorong itu menjadi sasaran untuk diajukan beberapa pertanyaan mengenai kejadian kemarin malam. Tanpa ragu ia menceritakan.
Kemarin malam, ketika waktu taraweh cupo Minah, begitu akrab disapa warga membawa serta putri semata wayangnya yang berusia 5 tahun ke mejid yang tak seberapa jauh dari rumahnya. Cuacanya persis seperti malam ini. Memanglah gerimis masih setia menemani. Memanglah rutinitas seminggu tiga kali selepas salat insya, siraman rohani. Saat itu, anak cupo Minah mengeluh ingin pulang pada Mak tercinta. Sebab rasa kantuk sudah tercipta. Saat itu juga cupo Minah bersama anak semata wayangnya itu pulang ke rumah tanpa menuggu selesai ceramah. Sepanjang perjalanan cupo Minah mengendong anaknya. Semua warga mengerti dan memahami seberapa sayang cupo Minah pada anaknya itu. Mengingat lama penantiannya untuk memperoleh seorang anak. Sebenarnya cupo Minah sudah pernah melahirkan samapi dengan tujuh kali. Tapi, semuanya tak ada yang selamat. Oleh sebab itu, tak berlebihan kurasa bila cupo Minah amat menyayangi putri semata wayangnya itu. Aku memang seorang pria. Tapi, setidaknya aku bisa menerka seberapa sakit melahirkan itu, walau pada nyatanya lebih sakit dari yang kuterka.
Sesampainya di rumah, cupo Minah langsung menidurkan putrinya di ayunan. Sembari bersalawat, secara perlahan cupo Minah mengayunkan ayunan itu. Hingga ia pun tertidur di bawah ayunan putrinya.
Semua terjadi begitu saja. Tak ada yang mampu menceritakan kisah itu tanpa terbata-bata. Sampai malam ini pun isak tangis masih terdengar dari cupo Minah. Meraung memanggil buah hati yang telah dipanggil Ilahi. Tak ada yang menyangka itu akan terjadi. Tak pernah tersirat dalam bayangan tentang kisah pilu ini. ‘ Nenek yang Menyembelih Cucunya Sendiri’ pasti menjadi judul besar di koran esok hari setelah wartawan-wartawan itu meliput tadi pagi. Ya, Mak cupo Minah telah menyembelih cucunya sendiri ketika tengah tidur lelap di ayunan. Semua warga memang tau kalau Mak cupo Minah memiliki penyakit jiwa keturunan. Tapi, tak tersirat di pikiran kalau itu akan terjadi.
Tadi pagi, ketika polisi hendak membawa pergi Mak cupo Minah ke jeruji besi. Cupo Minah melarangnya sembari berkata dari hati nurani.
Jangan bawa pergi Mak kami! Sebab dia tetap Mak yang tak akan terganti. Kami yakin kami akan mendapatkan anak lagi atas seizin Rabbi. Tapi, kalau Mak? Kami tak tau harus mencari dimana lagi.