Oleh: Zahra Nurul Liza
sukmajoeyjordison.blogspot.com |
*****
Malam. Lagi-lagi dimulai dengan kata kelam. Hitam, legam. Tak ada putih. Tak ada hiasan. Tak ada teman, juga tak ada lawan. Sendiri sepi merangkai malam. Semuanya padam hingga tak bisa terawang. Menunggu pagi adalah sebuah pekerjaan yang saban malam dilakukan. Walau kadang-kadang sedikit membosankan. Tapi, apa yang hendak dikatakan. Nasib telah terukir di hadapan. Tak tahu kemana harus mengadu. Satu dan lainnya saling beradu. Mempertotonkan satu yang sedang diadu. Siapa yang menang maka kesitulah mengadu. Walau acap tak peduli pada yang mengadu.
Seperti malam-malam sebelumnya. Sepi masih menyelimuti diri. Panas seakan pergi. Dari bawah ranjang ini cerita akan dimulai. Cerita yang kadang-kadang membuat orang tak percaya akan benarnya. Walau sebenarnya benar-benar terjadi. Bukan hanya sekedar cerita untuk membuang emosi. Damai malam seakan beranjak pergi. Tak pernah kembali mengunjungi. Walau hati sangat rindu pada damai itu. Tapi, tetap tak ada yang peduli.
Cahaya di bawah ranjang, akan selalu ada saban malam. Bagaimana tidak. Sebab tak ada tempat lain untuk Cahaya selain di bawah ranjang. Hanya di bawah ranjang. Mungkin untuk selamanya di bawah ranjang. Sebab hanya di sanalah dia bisa menanggalkan sejenak kenangan pahit bersama Mak dan Bapaknya. Ya, kenangan pahit yang terjadi 2 tahun lalu. Tepat ketika dia bermur 5 tahun. Malam itu, Mak dan Bapaknya dipanggil ilahi. Karena gempa terjadi. Hingga membuat rumahnya ambruk, dan yang terjadi dinding rumah menimpa kepala Bapaknya. Hingga pecah hancur di depan matanya. Lain lagi dengan Maknya, atap rumah dari seng itu membelah muka Mak Cahaya tepat pula di depan matanya. Oleh karena kejadian itu sampai saat ini dia trauma. Ya, si kecil itu ketakutan ketika malam datang. Ketakutan ketika menatap dinding dan atap. Ketakutan seolah-olah semua yang terekam diputar kembali di hadapan. Sayang seribu sayang, tak ada yang peduli padanya siang dan malam. Tak ada yang menghiburnya dikala malam. Walau sebenarnya tak butuh hiburan. Tak ada menemaninya dikala seorang diri. Walau dia sebenarnya sangat butuh teman.
Tinggalkan sejenak cerita tentang malam. Walau sebenarnya tetap tak bisa lepas dari malam. Tinggalkan sejenak cerita tentang latar belakang. Biar akan dilanjutkan cerita ke depan.
Kini malam, hanya malam. Tak akan berganti pada siang. Sebab kisah banyak pada malam. Cahaya seperti biasa, karena rasa trauma tidur di bawah ranjang. Sebab seperti yang sudah diceritakan, hanya di bawah ranjang dia bisa melupakan semua pahitnya kenangan. Hanya di bawah ranjang pula dia tak bisa menatap dinding dan atap. Hingga dia tak perlu takut untuk menatap. Walau entah sampai kapan dia takut pada tatap. Ketika di bawah ranjang Cahaya acap terlintas bayangan-bayangan di otak. Bukan bayangan tentang kisah hidupnya. Bukan pula tentang sifat buruk yang diterimanya dari ceceknya, sapaan untuk adik Bapaknya. Melainkan, Cahaya membayangkan kisah hidup yang penuh bayang-bayang. Bayang-bayang indah yang berhasil menghapus hitam nan kelam. Bayang-bayang dimana tak ada atap dan dinding di setiap tatapan. Bayang-bayang yang akan selalu terbayang-bayang dan bisa membuat malam menjadi damai walau hanya dalam bayang.
Sebelum bercerita tentang bayang yang akan selalu terbayang-bayang. Walau hanya dalam angan dan akan tetap jadi bayang. Biarlah sedikit bercerita tentang hidup Cahaya yang kelam. Kisah hidupnya setelah Mak dan Bapaknya dipanggil Ilahi. Setelah malam itu terjadi. Cahaya menjadi barang rebutan untuk diasuh sampai nanti. Maksudnya sampai nanti ketika bantuan-bantuan yang diberikan kepada korban gempa itu habis digunakan saban hari hanya untuk kepentingan pribadi, bukan untuk kepentingan Cahaya di esok hari. Ya, begitulah yang terjadi.
Sekarang, malam semakin kelam. Dia, merindukan setitik cahaya untuk menerangi malam. walau dia tak menyadari bahwa dia menginginkan dirinya sendiri, Cahaya suci. Tanpa dia sadari, angan telah sedari tadi menemani. Senyap dalam bayang diri. Perlahan membelai-belai nurani. Diliriknya ke kanan kiri. Tak ada sekat. Semua jelas terlihat. Diliriknya pula ke atas. Tak seperti biasa yang terjadi. Tak ada lagi papan-papan panjang yang digunakan untuk ranjang. Tak ada. Entah ke mana. Sekat tak ada lagi. Garis-garis pembatas telah hilang pergi. Sekarang, sesuatu telah terjadi. Entah sihir atau anugerah dari Rabbi. Bintang terlihat jelas di awan. Kabut yang sedari tadi menutup bulan perlahan-lahan mengundurkan diri. Seakan empunya malam telah datang menepi. Kesabaran Cahaya selama ini menghadapi hari telah dibalas oleh Rabbi.
Gelap malam tak terlihat lagi. Terang benderang hadir di sini. Seuntai senyuman perlahan hadir dari dua garis bibir. Mata, menyaksikan keagungan yang hadir. Inilah tempat impian Cahaya. Kuasa menatap tanpa harus takut pada tatap. Kuasa melihat, tanpa harus takut pada dinding dan atap. Kini, malam bukan sesuatu yang menakutkan lagi. Melainkan sesuatu yang diidami.
0 komentar:
Posting Komentar