Jumat, 24 Mei 2013

Puisi-Puisi Reza Idria


Kepada Azhari
By Reza Idria

Kawan, naga itu menggeliat sudah
mengaum merah memerahkan peta
kita lalai melenakannya dengan irama
zikir dan dalae di meunasah-meunasah
kau, aku dan mereka semua
hanya nganga duka yang punya
sejauh tangkapan mata
hanya puing poranda, jasad-jasad tanpa nyawa
kawan, ini musim naga
serupa yang kau ceritakan dalam serita
dan “Nuh” yang kau reka
terlalu sunyi, gugup dan tersesat
terlambat mengabarkan akan datangnya air raya
dari laut yang surut
kulihat orang-orang tercinta kita
beriring bergandengan,
mereka bergumam
“naga hanya menggeliat belum terjaga
buat dia kembali terlena”


Krueng Raya-Lhok Nga
Oleh: Reza Idria
                                               (Dari punggung “El Poderrosa” BL 3010 AT)

Krueng Raya. Pada tiang-tiang masam kusam lumut
labuhan renta yang tak kuasa dimangsa laut
dari sini ku awali ingatan sejumput.
Dari sudut ke sudut, mata memungut sisa tanda setelah digerus maut

Pelanting kerikil, tapi tak setajam peluru
kepul debu namun tak sesangit mesiu dulu
dimamah gelinding roda-roda, membumbung
merabun murung usai bala melipat kampung

Tebing kering pupus setengah lamping
isyarat tegak ombak menabas karang beting.
Betapa sulit mengikat, memahat ingat
bahwa di sela bebatuan bukit itu kapal-kapal pernah tersesat

Indra Patra. Bentara uzur yang pongah gagu
debur asin angin buramkan cungkil kata pada batu
Berserulah kau, ini hanya reka hikayat-hikayat bisu
yang memaksa kekal dari waktu ke waktu

Ujong Batee. Jejar beberapa sisa cemara menghentikan
berkelebat bayang, di sini cinta-cinta pernah menebar bualan
menjelma jadi taman yang membuat kita kadang lupa lahir di tanah duka
Usai senapan. Samudera kemudian berlomba dan kita tak lagi tertawa

Alue Naga. Terlalu berat beban sejarah yang kita usung.
Hingga di sini, naga ingin kembali dikenang memintal gelung.
Peluknya telah membawa perempuan-perempuan pemecah tiram
yang senantiasa bergegas melawan gigil malam
......
Teman, kembali kau membayang pada bekas rumahmu telah apung
menjuntai di bayang pohon asam yang kara dan canggung
di mana kau dan aku pernah reguk uap candu mengepung
Hampir larut, tapi rihlah ini tidak boleh urung

Syiah Kuala, makam tua yang tak jadi karam
Mati kedua kali mungkin menjadi haram
Mungkin pula sebagai ingatan
Bahwa di sini ada banyak tanya yang tak menyedia jawaban
Segumpal badai belia coba mengaum dari laut.
Sekawan telanjang dada masuk tenda dengan berebut
rupa-rupa kecil yang dihardik lekas memeluk lutut
meski belum paham betul sebenarnya makna takut

Lam Pulo menebar wangi amis pahit
Susuranku masih sejajar garis langit
ada kapal besar di atas rumah masih betah
“Telanlah ludah, saat kita memang harus kalah”

Peunayong. Tak seriuh dulu, berbondong merindu rapat deru perahu
kerling perawan malam dalam piting lengan
kewajaran kelam satu labuh persinggahan.
Kita kerap berpura-pura tak bersaksi atas itu

Lampaseh. Ini kerumun aneh yang pernah kita sebut kota
tinggal jejak bungkah rumah dan gulita setelah senja
hempang udara basah terus menerus meradang
sempurna sudah pandang mata telanjang ke pantai terpentang

Ulee Lheu. Apa lagi yang harus kuikat tentangmu?
Palung masa tak hendak beranjak keluar pusaran itu.
Berpuak singgah mengadu cinta, dendam dan peruntungan
bungkam kini dalam kesendirian, hanya satu rumah tuhan yang terselamatkan

Peukan Bada. Lumpur menghembus wewangi purba
ada sulur kangkung menjulur pada tempat yang pernah kau sebut rumah, teman
jembatan ini kerap jadi perantara dan memabukkan kita
menyesap gemercik alur, hanyutkan laksa hayalan

Lhok Nga. Bahtera-bahtera telungkup, terdampar seperti Nuh
seperti berlari mendekap diri ke cadas-cadas tanpa mengaduh.
Di sini desah angin semakin sekarat, langit telah pudar benar.
Saatnya tetirah. Ini dulu juga bernama rumah, teman yang tak lagi berkabar

Serombongan burung putih melintas pulang
entah masih camar yang dulu, persaksian kala badai datang
atau mungkin kawanan baru yang juga hendak menggantikan, seperti kalian
tapi siapa yang sanggup membunuh kenangan?

                                                                                Desember 2005-Januari 2006

Kompas Minggu, 16 Juni 2006

Catatan: Krueng Raya - Lhok Nga adalah nama dua pesisir antara Banda Aceh dan Aceh Besar yang berjarak tempuh kurang lebih 55 km


Hikayat Kampung (Kini)
Oleh: Reza Idria

kami pernah berpeluh dan cemas
melangkah bergegas di ujung pagi
mencari ruang bernafas di jalan pintas
namun lekas di pesimpangan maut menanti

berkerejap mata setelah tempurung pecah
limbung muntah segenap yang ditahan
sekian masa malang dirundung gundah
kampung musnah menjelma lautan

kini kenduri digelar sekujur penjuru
menggantang deru nafas busung di dada
kuncup harap kian mekar merimbun perdu
denging peluru agar enyah dari telinga

berapa banyak rusuh, berapa banyak gaduh
rebah tubuh menyangga rindu kampung
hasrat masih penuh, apa daya wajah tinggal separuh
darah peluh jadi kenangan lahan bersabung

siapa simpan kini kami punya ingatan
bertukar lembaran selekas gumam mantra
belulang nancap nun di ngarai perbukitan
kabur perlahan berganti riuh tetabuh genta

gempita kampung menggelar hajat
desah umpat di sela riuh akad rujuk
berapa punah, berapa sekarat
ah, letih penat musnah dibelai peluk

perjamuan yang megah segera usai
dua mempelai mengusung keranda
terhumbalang dalam uap candu membadai
langkah gontai sisa mabuk ujung pesta


Ulee Kareng, 2007
Publikasi oleh Kompas, 22 Juli 2007


Stanza Jogja
Oleh: Reza Idria

Di tepi perigi ini, dari jemari kecil yang jauh
Melarung ke air penuh harap semoga lekas tumbuh

Sekepal tangkai seulanga dari ibu
Sekelumit doa tanpa tanda seru pagi itu

Ibu di sini, ibu di sana sama mengajar cinta
Anak di sana, anak di sini adalah anak-anak mereka

Saat duka tumpah dan ruah genang airmata
maka dari jauh ada lafal doa dan bunga-bunga

Ibu di sini:
Kami dengar Merapi mual dan tersengal
Ternyata laut jua yang terbelah lalu muntah

Ibu di sana:
Pagi sekarang gemar menghardik kita dengan duka
Bukan lagi kelam malam yang kerap menyimpan rahasia

Anak:
Ibu, setidaknya kita kembali disadarkan ada yang belum berhenti sebagai Tuhan

Kompas, Juni 2006

Reza Idria, Penyair Aceh pegiat di Komunitas Tikar Pandan

1 komentar: