Dongeng Sebelum Tidur
(15)
Kau suka menyelipkan melati ke rambutmu.
Harumnya jadi aneh waktu bercampur bau rambut – lebih
lembut dari sitrun. Tetapi
sitrun adalah harum yang paling
lembut, begitu
katamu. Tahukan kau, melati selalu
mengambil harumnya
dari bau lain di dekatmu?
Tentu aku tahu. Saban hari kau yang merawat
bunga-bunga di kebun. Kau menyapu daun-daun prem yang
rontok, menata letak batu-batu, dan membuat gundukan tanah
di rumput. Kau yang menanam tanaman rambat di dinding,
lalu mengatur bambu-bambu menutup dinding yang
menyudut. Kau pintar merawat tangkai bunga atau memotong
batang, karena itu kau akrab dengan bau-bauan itu. Tapi kau
paling menyukai
anggrek dalam pot. Itu anggrek musim semi,
katamu. Harumnya tak
menusuk, tangkainya ramping, dan
kelopaknya serupa
lotus. Warnanya juga putih-keruh. Kau
juga menyukai azalea, yang jarang kaupangkas dan karena itu
tak tumbuh merumpun.
Di pondok mungil kita, kau yang menanam bunga-
bunga dalam pot. Sampai tak ada lagi tempat kosong. Kau
menyusun krisan, selusin atau dua puluh – dalam pola tak
berimbang dan aneka
bentuk. Tak boleh terlalu rapat,
katamu, agar
bunga-bunga tak berdesakan atau saling
menumpuk. Kadang
kau mencampur bunga-bunga, lalu
menyelipkan batang rumput – dan memakai penjepit agar
tangkai tegak dan melentur. Tetapi kadang kau hanya menata
bunga di mangkuk. Kau mengikat beberapa tangkai, lalu
menancapkan pada alas berpaku – sebelum mengisi mangkuk
dengan potongan arang, pasir yang habis dicuci, menuang air
dan melekatkan selapis lumut.
Waktu malam kita berdiam di kamar itu. dinding-
dindingnya sudah
kaulapis dengan kertas berkarakter Fu.
Dalam cahaya pelita, kamar itu jadi teduh. Kau kerap
menyeduh teh, dan
kita memandang ke luar pondok. Di langit
awan merambat dan setiap saat berubah bentuk. Bulan
awan merambat dan setiap saat berubah bentuk. Bulan
bersinar di belakang pepohonan pinus. Kita menikmati bulan,
bunyi jangkrik, dan gemulai angin pada daun-daun,. Aku suka
menulis sajak pada
waktu-waktu itu. katamu, sajak-sajakmu
seperti gemericik air
atau bunga-bunga gugur. Kataku, aku
mencintai matamu yang seolah danau dengan warnanya yang
teduh.
Lama setelah kau pergi, aku masih merawat kebun
dan bunga-bunga dalam pot. Aku menyeduh teh, lalu
memandang ke luar pondok. Aku masih menulis sajak-sajak,
dan selalu mengingat harum melati yang kauselipkan ke
rambutmu…
Dongeng Sebelum Tidur
(19)
Rambutnya menggunung dijepit tusuk konde perak
Ikal-ikal rambut keperakan,
tergerai sampai ke bahu dan alis mata.
Ia bermantel hitam, gaunnya sutra
-bersulam, berkerah lebar dan ramping di pinggang.
Wajahnya berbedak tipis, dengan perona merah delima.
Ia yang mengangkat tirai di kabin kapal
-di sisi Sungai Shamen, dalam kapal mirip kulit kerang.
Di dalam kabin, ada kursi-meja teh, sebuah dipan
lalu pintunya yang menuju buritan.
Ia pintar bermain bhipa dan menyanyi seperti burung balam.
Tapi hari itu, di sudut itu, ia hanya diam
-menyandar pintu dan memandang diam.
Waktu aku menunjuknya, ia datang
lalu menyodorkan buah pinang….
Dongeng Sebelum Tidur
(20)
Bertahun yang lalu, pada bulan ketujuh
Kita minum arak di bawah langit hitam.
Kau tak pintar minum, dan setelah
cangkir ketiga wajahmu memerah.
Kau pernah berkata, “Jika ini kehendak Dewa,
bulan akan muncul di langit,
dan kita akan hidup sampai rambut memutih.”
Ah, kukiran tak baik mencobai dewa-dewa.
Tapi setelah itu angin mengusir awan.
Waktu tengah malam, bulan kembali benderang.
Di danau, kita lihat riak air yang keemasan
seolah ada lampu-lampu menembus pepohonan
Bertahun yang lalu, pada bulan ketujuh
Kau dan aku
menggambar ying-yang di kertas.
Kita duduk di muka jendela,
berpakaian sutra dan kipas di tangan
lalu memandang ke kolam, di luar jendela.
Waktu malam angin singgah, dan bulan
bercahaya di daun-daun pisang.
Kau telah menyiapkan dupa dan aneka buah,
lalu sepasang lilin di meja.
Katamu, “Hari ini Gadis Penenun dan Gembala
akan bertemu di Bimasakti,
di jembatan yang dirakit ribuat burung parkit.”
Sekarang bulan ketujuh….
Aku tahu kau akan datang.
Aku telah menaruh pakaianmu di ranjang
lalu sepasang selop di kaki ranjang.
Ah, ingatkah kau, dengan pakaian itu
kau mengamati bunga prem sehabis salju,
atau bunga krisan waktu embun jatuh
dan anggrek saat hujan mengguyur.
Di meja aku menaruh
semangkuk bubur bhitan,
lilin-lilin, cangkir teh dan teko
lalu vas berisi bunga bakung.
Di kamar itu aku menunggu.
Waktu malam merayap, lidah api di lilin melompat.
Baru aku ingat. Aku belum melayarkan
lentera kertas di sungai, untukmi.
Keempat Musim
(Puisi Kanvas
untuk Wang Wei)
/1/
Kamelia di dalam pot, bunganya seperti peoni
Merah, merah-muda, dan putih
/2/
Cakrawala seperti tak berujung
Kosong, hanya gelombang laut
/3/
Pepohonan memaparkan bayang-bayang
Angin musim panas berembus di air kolam
/4/
Datang dan pergi seperti camar di atap
Awan menelan matahari yang tenggelam
/5/
Basah kuyup waktu musim gugur
Burung meracau, kelopak-kelopak bunga gugur
/6/
Pohon prem berlingkar batang tiga depa
Dahan-dahannya memayungi mata
/7/
Bunga persik telah lewat musim
Kelopaknya jatuh dan daunnya menguning
/8/
Waktu musim dingin hanya bentangan air beku
Yangliu bertengger
di muka langit yang kelabu
Wendoko menulis
puisi dan cerita. Ia telah menerbitkan beberapa
buku puisi, yang terakhir adalah Jazz! (2012). Sebagian puisinya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan terbit
dengan judul Selected Poem (2010).
0 komentar:
Posting Komentar