SEORANG koruptor zaman Orde Baru yang luput
dari pengawasan Indonesian Corruption Watch duduk menghadapi meja makan. Di sana
ia mengumpulkan istri dan anak-anaknya, dan sambil makan mulai bicara.
“Bapak sungguh-sungguh bersyukur, sampai hari
ini Bapak masih selamat. Barangkali memang tidak mungkin menyapu seluruh
koruptor yang ada di Indonesia. Koruptor nomor satu atau nomor dua memang
tinggal ditunjuk, karena kekayaannya yang tidak bisa disembunyikan, meski juga
tidak bisa dijadikan bukti, tetapi bagaimana dengan koruptor nomor dua ratus
atau tiga ratus? Sedang Bapak saja, yang bisa korupsi sekitar Rp 200 milyar,
ranking-nya cuma nomor 11.217. Pasti susah ‘kan, mencabut yang nomor 11.217
dari ratusan ribu koruptor? Jadi, barangkali untuk sementara kalian bisa
tenang. Masih banyak koruptor kelas kakap yang hasil korupsinya tidak masuk
akal, karena memang tidak terhitung. Bapak ini masih kelas teri. Cuma Rp 200
milyar. Masih bisa dihitung. Tenang sajalah. Lagipula Bapak ‘kan korupsi untuk
kebaikan kalian semua. Supaya kalian anak-anak bisa sekolah di luar negeri,
bisa punya rumah mewah, mobilnya tidak cuma satu, dan punya tabungan yang
bunganya cukup untuk hidup sambil ongkang-ongkang kaki. Ya nggak? Bapak ini
jelek-jelek tidak korupsi untuk diri sendiri, tetapi untuk keluarga. Demi
kehormatan, kebesaran, dan keselamatan keluarga. Makanya kalian semua sekolah
yang bener. Selesaikan pendidikan dengan sekolah di luar negeri, mumpung
masyarakat Indonesia masih silau dengan gelar-gelar dari luar negeri. Perkara
ijazahnya bisa beli, ya beli sajalah, untuk apa capai-capai berpikir? Lebih
baik kalian pikirkan bagaimana caranya menyelamatkan kekayaan hasil korupsi
Bapak. Pikirkan bagaimana caranya memutihkan tabungan, bagaimana caranya
menghindar kalau disidik, dan cari orang-orang yang bersedia melindungi kita.
Bayar saja sedikit. Kasih perempuan. Lantas diperas. Mereka tidak mungkin bicara.
Uanglah yang akan bicara. Bagi rata kekayaan antara kita semua. Jangan rebutan.
Itu sumber perkara. Hati-hati dengan kekuasaan. Jangan silau dengan politik.
Itu hanya akan membuat kamu jadi singa. Biasanya singa akan mati diterkam singa
lain. Lebih baik kamu jadi tikus seperti Bapak. Tidak usah hebat-hebat punya
nama besar, pokoknya korupsi jalan terus. Kalau kalian punya jabatan di
pemerintahan, meskipun tidak tinggi, kalau punya otak korupsi, bisa menjalankan
korupsi dengan sistematis. Tidak usah banyak-banyak. Nanti terlalu kentara.
Yang penting secara sistematis jalan terus. Seperti Bapak sekarang, menjelang
pensiun sudah korupsi sampai Rp 200 milyar. Yah, memang tidak
trilyun-trilyunan, tetapi kita tidak usah terlalu rakus. Kasihan rakyat kecil.
Kalau semua koruptor korupsinya sampai trilyun-trilyunan, nanti rakyat kecil
makan apa? Jangan-jangan sebutir beras pun tidak kebagian. Korupsi itu
secukupnya sajalah. Asal cukup untuk istri dan anak-cucu. Nanti cucu-cucu
kalian tidak usah korupsi lagi, karena sudah punya modal untuk berdagang
seperti orang baik-baik. Meskipun modalnya hasil korupsi, tetapi generasi
penerus kita bisa menjadi orang suci. Mereka tidak salah, ‘kan bukan mereka
yang korupsi, tetapi Bapak. Biarlah Bapak menjadi tumbal, biarlah Bapak
menanggung dosa dan masuk neraka, yang penting anak cucu Bapak menjadi
orang-orang yang mulia.”
Koruptor itu bicara sambil makan. Istrinya
mendengar juga sambil makan. Anak-anaknya makan sebanyak mungkin, entah
mendengar entah tidak. Yang jelas mereka berkomentar tentang makanan.
”Enak
juga lidah sapi ini.”
”Nyam-nyam.”
”Makanan hasil korupsi kok tetap enak ya?”
”Huss!
Kalau tidak enak, untuk apa korupsi?
”O
hiya ya? Aduh opor brutu! Nyam-nyam!”
”Aduh,
hmmm, gulai kepala ikan bumbu Aceh! Sedap!”
”Ibu
yang masak itu, satu-satunya sisa kepandaian warisan nenek moyang.”
”Nyam-nyam.”
”Nyam
nyam.
”Nyam
nyam.”
Bapak,
Ibu, enam anak, dan tiga cucu, makan dengan lahap di meja kayu jati tanpa sambungan
yang mahal. Empat pembokat berdiri di empat sudut ruang dengan serbet di bahu,
siap melayani tanpa diperintah, harus tahu sendiri apa yang mesti dilakukan
berdasarkan pengabdian bertahun-tahun.
Di
meja makan bertumpuk segala macam makanan yang serba berminyak, sehingga
berkilat-kilat ditimpa cahaya lampu kristal yang gemerincing dari Italia.
Lampu
kristal itu gemerincing karena angin.
”Kencang juga angin ini, sampai bisa masuk
rumah kukuh begini.”
”Bapak, di luar hujan deras.”
”Sudahlah, apa soalnya dengan hujan? Ayo
makan!”
Sendok dan garpu berdenting-denting menimpa
piring. Di luar hujan deras sungguh kelabu. Dari Jakarta sampai Aceh.
***
SEBUAH
tangan menyembul dari balik tanah. Mula-mula hanya telapak tangannya, tetapi
hujan deras lantas menyisihkan tanah, sehingga seluruh lengannya muncul.
”Ada
tangan.”
”Apa?”
”Tangan.”
Tanah
becek itu sebentar-sebentar berkilat. Dalam hujan deras yang penuh dengan
guntur dan halilintar, orang-orang akhirnya menemukan tempat itu.
”Ini
arah yang ditunjuk anak gembala itu?”
”Iya,
jejak roda truk itu menuju ke sini.”
”Ayo
gali! Cepat!”
Orang-orang menggali tanpa kata. Hanya
terdengar suara pacul dan sekop menyendok tanah di tengah suara hujan dan angin
yang hingar-bingar. Suara air hujan yang menghempas ke daun-daun pohon pisang,
suara ranting-ranting yang berdesau miring tertiup angin, dan suara-suara angin
itu sendiri yang menampar-namparkan hujan ke wajah mereka yang basah. Guntur
dan halilintar meledak-ledak sebentar-sebentar menerangi langit. Setiap kali
langit menjadi terang, orang-orang yang mencangkul dan menyekop itu sekilas
berpandangan. Wajah mereka basah oleh air hujan maupun air mata. Tiada seorang
pun dari mereka merasa betapa angin sebenarnya begitu dingin.
Mayat-mayat muncul dari dalam tanah seperti
kenyataan. Sepuluh, dua puluh, tiga puluh, empat puluh, lima puluh. Sebagian
bisa dikenali. Sebagian tidak. Semuanya mendapat luka tembak.
***
“ADUH, Bapak menyedot otak dari kepala ikan
begitu amat!”
”Aku
tak pernah mau menyisakan gulai kepala ikan bikinan ibumu.”
Bapak
menyedot lagi. Suara hirupannya bagaikan sedotan kilang-kilang minyak yang
menembus lautan bergelora. Tuntas dengan kepala ikan, Bapak menyedot sumsum
tulang sapi. Usai dengan sumsum tulang sapi, disikatnya pula sumsum tulang
kambing. Terakhir disedotnya sumsum tulang ayam.
Satu
keluarga bersendawa bersama-sama.
”Hoooiikkk!”
Itulah kode bagi empat pembokat untuk bekerja
cepat. Meja yang semula bagaikan ladang pembantaian penuh tulang-tulang
berserakan, kulit udang dan kepiting bertebaran, tusuk-tusuk sate,
bungkus-bungkus daun ikan pepes, dan piring-piring kosong segera menjadi
bersih.
Empat
pembokat datang kembali dengan puding karamel.
”Waw!
Karamel!” Cucu-cucu yang serba gendut berteriak.
Bapak
langsung nyosor. Sroooggg…
Di
luar hujan tidak kunjung reda. Hampir saja dering telepon itu tidak terdengar.
Seorang pembokat membawa gagang tanpa kabel itu kepada Ibu.
”Interlokal dari Aceh,” kata pembokat.
Ibu
yang masih kekenyangan menerima telepon. Di telepon pun ia masih sempat
bersendawa. “Hooiikkk!” Tetapi kemudian wajahnya menjadi tegang. Ia berdiri,
menjauh dari meja makan.
”Ya,
ya, ya. Besok pagi saya ke sana.”
Kemudian ia meletakkan telepon. Membalikkan
badan ke meja makan.
”Ahmad
ditemukan,” katanya.
***
MALAM itu Ibu tidak ikut berkumpul di depan
TV yang layarnya seluas layar bioskop. Di dalam kamarnya yang besar dan mewah
dengan jendela-jendela raksasa bertirai impor, cermin mukibat, peraduan
raja-raja, dan bau setanggi dari India, lbu duduk tepekur. Di depan cermin
tempatnya biasa berhias terdapat foto keluarga bersama ayah dan ibunya. Foto
itu dibuat di Banda Aceh. Ia yang paling dewasa dari tujuh bersaudara duduk
paling kanan. Ahmad, yang paling bungsu, dipangku ibunya.
“Mana Ibu?” kata Bapak.
“Di kamar, menangis,” jawab putrinya yang
bungsu.
Bapak
tertegun sebentar, tetapi tampak malas bergerak.
”Ah,
nanti juga sedihnya hilang,” pikirnya.
Sementara itu hujan semakin deras. Cucu-cucu
yang suka bermain di teras yang seperti amphiteater Yunani itu berlari ke
dalam.
”Kakek! Kakek! Di luar hujan darah!”
”Ah,
yang bener, kalian kekenyangan barangkali.”
Namun
anak-anaknya menimpali.
”Hujan
darah? Jadi benar kata ramalan cuaca!”
Bapak
menjadi bingung.
”Apa
kata ramalan cuaca?”
”Hari
ini ada hujan darah dari Aceh.”
Telepon berdering lagi. Bapak berpikir cepat.
”Cepat
terima itu! Kalau ada yang mati lagi di Aceh, jangan kasih tahu Ibu! Aku capek
melihat dia menangis!”
Jakarta,
Selasa 3 Agustus 1999
0 komentar:
Posting Komentar