Kepada Azhari
By Reza Idria
Kawan, naga
itu menggeliat sudah
mengaum
merah memerahkan peta
kita lalai
melenakannya dengan irama
zikir dan
dalae di meunasah-meunasah
kau, aku dan
mereka semua
hanya nganga
duka yang punya
sejauh
tangkapan mata
hanya puing
poranda, jasad-jasad tanpa nyawa
kawan, ini
musim naga
serupa yang
kau ceritakan dalam serita
dan “Nuh”
yang kau reka
terlalu
sunyi, gugup dan tersesat
terlambat
mengabarkan akan datangnya air raya
dari laut
yang surut
kulihat
orang-orang tercinta kita
beriring
bergandengan,
mereka
bergumam
“naga hanya
menggeliat belum terjaga
buat dia
kembali terlena”
Krueng Raya-Lhok Nga
Oleh: Reza
Idria
(Dari punggung “El Poderrosa” BL 3010 AT)
Krueng Raya. Pada tiang-tiang masam kusam lumut
labuhan
renta yang tak kuasa dimangsa laut
dari sini ku
awali ingatan sejumput.
Dari sudut
ke sudut, mata memungut sisa tanda setelah digerus maut
Pelanting
kerikil, tapi tak setajam peluru
kepul debu
namun tak sesangit mesiu dulu
dimamah
gelinding roda-roda, membumbung
merabun
murung usai bala melipat kampung
Tebing
kering pupus setengah lamping
isyarat
tegak ombak menabas karang beting.
Betapa sulit
mengikat, memahat ingat
bahwa di
sela bebatuan bukit itu kapal-kapal pernah tersesat
Indra Patra. Bentara uzur yang pongah gagu
debur asin
angin buramkan cungkil kata pada batu
Berserulah
kau, ini hanya reka hikayat-hikayat bisu
yang memaksa
kekal dari waktu ke waktu
Ujong Batee. Jejar beberapa sisa cemara menghentikan
berkelebat
bayang, di sini cinta-cinta pernah menebar bualan
menjelma
jadi taman yang membuat kita kadang lupa lahir di tanah duka
Usai
senapan. Samudera kemudian berlomba dan kita tak lagi tertawa
Alue Naga. Terlalu berat beban sejarah yang kita usung.
Hingga di
sini, naga ingin kembali dikenang memintal gelung.
Peluknya
telah membawa perempuan-perempuan pemecah tiram
yang
senantiasa bergegas melawan gigil malam
......
Teman,
kembali kau membayang pada bekas rumahmu telah apung
menjuntai di
bayang pohon asam yang kara dan canggung
di mana kau
dan aku pernah reguk uap candu mengepung
Hampir
larut, tapi rihlah ini tidak boleh urung
Syiah Kuala, makam tua yang tak jadi karam
Mati kedua
kali mungkin menjadi haram
Mungkin pula
sebagai ingatan
Bahwa di
sini ada banyak tanya yang tak menyedia jawaban
Segumpal
badai belia coba mengaum dari laut.
Sekawan
telanjang dada masuk tenda dengan berebut
rupa-rupa
kecil yang dihardik lekas memeluk lutut
meski belum
paham betul sebenarnya makna takut
Lam Pulo menebar wangi amis pahit
Susuranku
masih sejajar garis langit
ada kapal
besar di atas rumah masih betah
“Telanlah
ludah, saat kita memang harus kalah”
Peunayong. Tak seriuh dulu, berbondong merindu rapat deru perahu
kerling
perawan malam dalam piting lengan
kewajaran
kelam satu labuh persinggahan.
Kita kerap
berpura-pura tak bersaksi atas itu
Lampaseh. Ini kerumun aneh yang pernah kita sebut kota
tinggal
jejak bungkah rumah dan gulita setelah senja
hempang
udara basah terus menerus meradang
sempurna
sudah pandang mata telanjang ke pantai terpentang
Ulee Lheu. Apa lagi yang harus kuikat tentangmu?
Palung masa
tak hendak beranjak keluar pusaran itu.
Berpuak
singgah mengadu cinta, dendam dan peruntungan
bungkam kini
dalam kesendirian, hanya satu rumah tuhan yang terselamatkan
Peukan Bada. Lumpur menghembus wewangi purba
ada sulur
kangkung menjulur pada tempat yang pernah kau sebut rumah, teman
jembatan ini
kerap jadi perantara dan memabukkan kita
menyesap
gemercik alur, hanyutkan laksa hayalan
Lhok Nga. Bahtera-bahtera telungkup, terdampar seperti Nuh
seperti
berlari mendekap diri ke cadas-cadas tanpa mengaduh.
Di sini
desah angin semakin sekarat, langit telah pudar benar.
Saatnya
tetirah. Ini dulu juga bernama rumah, teman yang tak lagi berkabar
Serombongan
burung putih melintas pulang
entah masih
camar yang dulu, persaksian kala badai datang
atau mungkin
kawanan baru yang juga hendak menggantikan, seperti kalian
tapi siapa
yang sanggup membunuh kenangan?
Desember
2005-Januari 2006
Kompas
Minggu, 16 Juni 2006
Catatan:
Krueng Raya - Lhok Nga adalah nama dua pesisir antara Banda Aceh dan Aceh Besar
yang berjarak tempuh kurang lebih 55 km
Hikayat Kampung (Kini)
Oleh: Reza Idria
kami pernah
berpeluh dan cemas
melangkah
bergegas di ujung pagi
mencari
ruang bernafas di jalan pintas
namun lekas
di pesimpangan maut menanti
berkerejap
mata setelah tempurung pecah
limbung
muntah segenap yang ditahan
sekian masa
malang dirundung gundah
kampung
musnah menjelma lautan
kini kenduri
digelar sekujur penjuru
menggantang
deru nafas busung di dada
kuncup harap
kian mekar merimbun perdu
denging
peluru agar enyah dari telinga
berapa
banyak rusuh, berapa banyak gaduh
rebah tubuh
menyangga rindu kampung
hasrat masih
penuh, apa daya wajah tinggal separuh
darah peluh
jadi kenangan lahan bersabung
siapa simpan
kini kami punya ingatan
bertukar
lembaran selekas gumam mantra
belulang
nancap nun di ngarai perbukitan
kabur
perlahan berganti riuh tetabuh genta
gempita
kampung menggelar hajat
desah umpat
di sela riuh akad rujuk
berapa
punah, berapa sekarat
ah, letih
penat musnah dibelai peluk
perjamuan
yang megah segera usai
dua mempelai
mengusung keranda
terhumbalang
dalam uap candu membadai
langkah
gontai sisa mabuk ujung pesta
Ulee Kareng,
2007
Publikasi
oleh Kompas, 22 Juli 2007
Stanza Jogja
Oleh: Reza Idria
Di tepi
perigi ini, dari jemari kecil yang jauh
Melarung ke
air penuh harap semoga lekas tumbuh
Sekepal
tangkai seulanga dari ibu
Sekelumit
doa tanpa tanda seru pagi itu
Ibu di sini,
ibu di sana sama mengajar cinta
Anak di
sana, anak di sini adalah anak-anak mereka
Saat duka
tumpah dan ruah genang airmata
maka dari
jauh ada lafal doa dan bunga-bunga
Ibu di sini:
Kami dengar Merapi mual dan tersengal
Ternyata laut jua yang terbelah lalu muntah
Ibu di sana:
Pagi sekarang gemar menghardik kita dengan duka
Bukan lagi kelam malam yang kerap menyimpan rahasia
Anak:
Ibu, setidaknya kita kembali disadarkan ada yang belum berhenti
sebagai Tuhan
Kompas, Juni
2006
Reza Idria, Penyair Aceh pegiat di Komunitas Tikar Pandan
puisi-puisiny menyentuh,,,,
BalasHapus