Kamis, 29 Mei 2014

Janda Kampus


Karya : Lien


          Tatapan seorang gadis yang memiliki bola mata biru ini mampu menyihir setiap lelaki yang menatapnya. Mala, gadis asal Kampung Pasi yang sudah dikenal sejak dulu sebagai bunga desa di tempat asalnya. Wajahnya yang cantik jelita berhasil mencuri setiap mata untuk memandangnya. Tapi, semenjak kejadian itu, Mala terus terdiam, wajahnya pucat, bola matanya putih pasi. Pudarkah pesona Mala?

            Aku kembali melanjutkan tugas yang masih menumpuk ditemani batik panjang pemberian Ibu, ayahku sudah tiada sejak dua tahun silam. Ibu sangat berharap banyak padaku, hanya aku yang masih berkeinginan untuk kuliah. Abangku sudah sepuluh kali menikah dan ia selalu menipu ibuku yang tak paham dengan persuratan tanah. Sudah sepuluh surat tanah ia gadaikan. Itu abangku. Aku membencinya? Ya, tapi bagaimanapun ia abangku.

            Jam dinding kamarku sudah mengetuk beberapa kali. Malam terlalu sunyi untuk dilewatkan dalam kamar yang sepi ini. Aku harus segera menyelesaikan skripsiku. Besok aku akan sidang untuk judul skripsiku yang pertama. Skripsiku membahas tentang pergaulan bebas di kalangan mahasiswa. Sesekali aku tersenyum terkekeh membaca kembali bahan-bahan yang kucari untuk penelitian. Tidak sulit bagiku,  tapi hatiku yang sulit untuk menulisnya.

            Matahari tampak membangunkanku dengan sinarnya yang memaksa masuk ke bilik kamarku. Aku menatap jam dinding yang membuatku tergopoh-gopoh meraih handuk dan gayung mandi berisi perlengkapan mandi. Aku mulai mengejar waktu. Aku tak sempat lagi memadupadankan warna pakaian yang kukenakan. Aku segera meluncur ke kampus.

            Saat memasuki ruangan, tanganku mulai kedinginan menatap meja dengan empat orang dosen yang kukenal. Mereka mempersilakanku untuk duduk dan mempresentasikan judul yang kupilih untuk skripsiku. Aku berusaha menenangkan diriku. Delapan mata mulai menatapku dengan berang, sedari tadi aku hanya diam, pikiranku tiba-tiba kosong, aku tak tahu harus mulai dari mana.

            Hpku tiba-tiba berbunyi, aku lupa untuk mematikannya. Dering yang tak pernah kuinginkan. Saman! Ia berusaha menghubungiku lagi, setelah apa yang dia pernah lakukan padaku dan ia kembali lagi. Laki-laki tak tahu malu.

            Aku sudah lama mengenal Saman, tiga tahun yang lalu aku bertemu dengannya di belakang taman, saat ia sedang latihan untuk sebuah pementasan tunggal. Aku sangat menganguminya, lelaki berbadan tegap dengan kumis tipis dan rambutnya yang cepak. Bibir tipisnya selalu membuatku jatuh hati saat ia tersenyum.

            “Tolong, matikan hpnya!” titah seorang lelaki dengan kacamata bulatnya.
            “Apa judul yang ingin kamu ajukan?” Tanya salah seorang dosen dengan suaranya yang berat.
            Diam.
            “Kenapa kamu terus diam? Kami tak punya banyak waktu untuk melihatmu duduk seperti patung” celetuk seorang wanita dengan bibirnya yang merah merona.
            “Judul saya …” jawabku terbata-bata.

            Aku semakin khawatir dengan keadaan jiwaku saat ini. Saman terus memenuhi pikiranku. Sialan! Kenapa dia datang saat aku sudah melupakannya. Amarahku mulai tak karuan, aku berusaha menenangkan diri. Tanganku mulai putih pucat akibat ruangan yang dingin ditambah rasa kesalku pada Saman.

            Masa itu, aku mulai masuk dalam kehidupan Saman. Aku mulai mengenalnya, ia selalu memuji kecantikanku, Saman adalah pemuda yang paling baik yang kukenal, dia selalu membuatku salah tingkah jika sudah di hadapannya. Aku mulai bergantung padanya, kemanapun ia pergi aku selalu dibawanya. Tak jarang, ia menghadiahkanku berbagai barang-barang bagus, awalnya aku tak begitu tahu apa latar belakang pekerjaannya. Tapi, cinta telah membutakanku, ia telah membuatku menutup mata hingga aku tak pernah bertanya apa pekerjaannya selama ini.

            Malam itu, ia mengajakku bertandang pada sebuah rumah kecil di belakang bangunan besar di tengah-tengah kota. Ia mengaku ingin bertemu temannya sebentar, aku mengangguk mengiyakan ajakannya. Aku mengenakan baju kaos putih dan kardigan merah muda. Aku berusaha berdandan secantik mungkin saat berjalan bersamanya.

            Suasana remang-remang yang kulihat, bukan seperti rumah biasa. Aku berusaha masuk dan bersikap santai, aku tak pernah mengenal tempat ini. Saman dengan celana jeans birunya yang tampak robek pada bagian lutut mulai menyambar gagang pintu dan membukanya perlahan. Saat itulah aku mencium aroma yang sangat menyengat dari dalam. Aroma yang sangat kubenci- alkohol. Seorang wanita dengan pakaian seksi mengajak kami masuk. Hatiku mulai berprasangka buruk pada Saman. Tapi, senyumannya selalu berhasil menenangkan hatiku.

            “Mana temanmu?” Aku bertanya penasaran.
            “Tenang dulu, mari kita duduk sebentar, kamu sangat cantik malam ini, Mala” Saman berusaha merayuku.
            “Tempat apa sebenarnya ini?” Aku duduk dan kembali bertanya.
            “Inilah tempatku dan tempatmu juga” jawab Saman meyakinkanku.
            “Maksudmu? Kamu mengenal wanita itu?” Aku menunjuk pada wanita seksi itu yang sedari tadi melihatku sinis.
            “Ya, dia temanku dan temanmu juga” kembali seperti jawaban sebelumnya.

            Percakapan yang selalu saja membuatku kebingungan ditambah tempat asing yang sangat tidak nyaman bagiku. Botol-botol anggur tergelatak di mana saja, ditambah asap rokok yang membuatku sesak dibuatnya. Banyak kamar di sana, aku melihat beberapa wanita keluar-masuk dari sana. Saman menyodorkan gelas padaku. Aku berusaha menolaknya, tapi ia terus memaksa untuk mencobanya. Ia selalu berhasil meyakinkanku. Akhirnya, aku meneguk air dari gelas yang membuat retak kesucianku.

            Malam semakin larut, bulan berahi berusaha tertawa dalam mimpi burukku. Malam yang panjang sepanjang ingatan kelamku. Aku benar-benar lupa dan terlupa oleh apa yang terjadi. Benar-benar ingatan yang buruk untuk gadis seusiaku.

         Saat terbangun. Aku berharap tak ada yang terjadi sebelumnya. Saman tampak tersenyum menyapaku. Kepalaku terlalu sakit untuk mengingat kembali apa yang terjadi. Kardiganku entah kemana. Pakaianku?

            Pemuda jahat! Mulai detik ini, aku mulai membencinya, entah ia atau siapapun itu yang berusaha masuk dan memecahkan gelasku. Hari yang tak pernah kuinginkan.

            “Apa judulmu?” bentak lelaki berdasi dengan kemeja putihnya.
            Aku tersontak kaget, jantungku masih ketakutan mengenang kembali apa yang terjadi.
         “Waktu anda satu menit lagi dari sekarang. Jika tetap diam, maka terpaksa sidang ini kami tutup.” Ancam salah satu dosen.
            Aku kembali ketakutan  mendengar ancaman mereka. Akhirnya aku memberanikan diri.
        "Janda kampus … ” Setelah lama berkelit, akhirnya dua kecup bibir ini mengeluarkan kata yang memuakkan itu.
            “Coba kamu uraikan sedikit deskripsi tentang judulmu itu!” Dengan nada nyaring yang meremehkan.
            “Begini Ibu dan Bapak …” Aku berusaha menarik napas dalam-dalam.
            “… sebenarnya banyak sekali gadis yang berkedok janda di kampus kita yang tercinta ini. Mereka terlihat seperti gadis biasanya, seorang mahasiswi dengan pakaian yang tertutup, tapi sebenarnya …” Aku kembali memikirkan apa yang kukatakan.
            
            Wanita yang memakai baju senada dengan bibir merahnya mulai mengernyutkan dahinya. Ia tampak menyimak baik-baik apa yang aku katakan.
         
          “Saudari Mala, cepat lanjutkan!” celetuk lelaki paruh baya yang berusaha membetulkan kaca matanya.
            “Maaf Pak. Baik saya akan melanjutkannya. Begini Bapak dan Ibu. Pergaulan bebas yang marak terjadi di kalangan mahasiswa ini terjadi diakibatkan pengaruh lingkungan sekitarnya …” Aku berusaha menjelaskan dengan lancar dan tenang.
        
       Suasana ruangan mulai memanas dengan apa yang aku paparkan. Aku menjelaskan bagaimana pergaulan bebas itu- lingkungan, seks, obat-obatan, ekonomi, dan semua hal yang terlibat di dalamnya. Mereka mulai tertarik dengan apa yang aku paparkan. Tapi, aku kembali terdiam di pertanyaan berikutnya.
     
         “Dari mana Anda mendapatkan ide untuk mengambil judul ini?” Tanya lelaki berdasi dengan wajah yang sangat penasaran.
  
          Suasana ruangan kembali hening. Aku berusaha berpikir dengan keras, apa yang harus kukatakan. Aku kembali memikirkan Saman. Aku akan menyebut namanya? Tidak akan!

            “Saudari Mala…” Bentak wanita itu.
            “Hmm… Saya mendapatkan ide ini dari…” Aku kembali menjawab dengan terbata-bata.
            “Dari mana Mala?” lelaki itu bertanya dengan lembut, berusaha menenangkanku.
  
       Aku kembali duduk termenung. Sebenarnya, mudah bagiku untuk mengatakan bahwa aku mendapatkan ide itu dari hasil browsing di internet. Dengan maraknya pergaulan bebas di antara mahasiswa dapat dipastikan bahwa setengah persen tidak lagi gadis. Mereka masih bisa berkeliaran dengan status janda mereka. Siapa yang melarang? Tapi, bibir ini terlalu kelu untuk mengatakannya, hati ini terus meronta mengingat kejadian silam.
  
          Tanganku kembali berkeringat, aku tak tahu apa yang harus kukatakan, kejadian itu terlalu menusuk hati ini untuk mengingat segalanya. Wajah-wajah tak sabaran mulai hadir di depanku. Mereka mulai gusar menunggu jawaban dariku.

            Tepat di bingkai jendela itu. Aku menatap bola mata yang kukenal, rambutnya yang gondrong dan brewokan tampak menyembul dari sana. Dia datang! Pemuda yang kulupakan.

            “Saudari Mala…!” tukas lelaki berkacamata.
            “Sepertinya, sidang ini harus kita tutup..” jawab wanita itu kembali memanaskan suasana.
            “Aku mengenal seorang janda di kampus dan dia bercerita banyak padaku” jawabku cepat.

            Sidang ditutup. Judulku- entahlah diterima atau tidak. Mata liar itu terus menatapku. Aku menatap berang padanya.

            AKU BUKAN JANDA. Jawabku dalam hati.

***


Sumber lomba seleksimi (Seleksi Mahasiswa Seni) tingkat Unsyiah, juara 2.

*Lien, nama pena dari Lina Sundana. Lien merupakan gadis Aceh.
facebook: Lina Sundana
twitter dan instagram : @Lsundana
blog : kitabpelupa(dot)blogspot(dot)com

0 komentar:

Posting Komentar