Sabtu, 10 Mei 2014

Prosesi Menyiapkan Musuh


Karya Siti Novia R




“Dan akhirnya aku putus dengan Zaki.” Aku tertawa. “Untuk merayakan hari putusku, kalian boleh pesan apa saja. Aku yang bayar!
Tiga wajah yang di depanku menunjukkan ekspresi kebingungan. Mereka terlanjur tahu bahwa hari ini adalah ulang tahun pertama hubungan pacaran kami.
“Kenapa bisa putus?” selidik Zahra dengan kerutan kening dan sedikit mencondongkan tubuhnya ke arahku. “Kalian sudah pacaran sejak semester pertama, kenapa tiba-tiba..”
Ingin sekali kubalas tanya, mengapa hubungan pacaran yang sarat masalah mesti dipertahankan? Aku dan Zaki telah berusaha menjaga hubungan ini dari keruntuhan. Tapi pada akhirnya kami harus mengambil keputusan untuk berpisah.
“Saling gak cinta lagi, ya?” sambungnya kemudian.
Bagaimana sebenarnya menandai masih cinta atau sudah tidak? Menyukai sikap-sikapnya belum tentu cinta. Cinta mestinya memberi kenyamanan, bukan malah melawan arus keinginan dan malah menjajah. Zaki melakukan penjajahan yang baik, seperti pacar-pacar orang lain juga.
“Siapa yang mutusin?” tanya Sarah dengan senyum yang kutebak sedikit dipaksa.
Tidak menjadi penting siapa yang memutuskan siapa. Karena yang terpenting adalah aku lepas dari penjajahan halus yang mengatasnamakan cinta.
“Terus, putusnya baik-baik, kan?” lanjutnya.
“Hubungan pacaran pada usia selabil kita, sesantun apapun cara yang dipakai untuk memutuskan, tetap akan menimbulkan perasaaan kesal. Keniscayaan yang tak bisa dibantah,” jawabku dingin. Mereka saling memandang lagi lalu matanya sama-sama mengarah tanya padaku.
“Mungkin kamu sedih atau semacamnya karena keputusan itu. Setidaknya cerita saja, ada kami yang akan dengar,” akhirnya Tiara bersuara.

Sedih? Kenapa mesti meratapi kepergian penjajah? Pacar itu penjajah. Mereka menuntut kita menuruti semua keinginannya. Atau kalau memang benar sedih, haruskah dinampakkan padanya agar dikasihani lalu menjadi pacar lagi dan dijajah lagi? Sangat bodoh namanya jika kita melakukan kekeliruan untuk kedua kali.
Aku merasa sedikit tidak tenang memang. Bukankah itu wajar? Dan seperti juga kehidupan, semua orang berbahagia menyambut kelahiran dan bersedih ketika menemui kematian. Kelahiran adalah ketika pacar datang menyatakan perasaan, dan kepergiannya anggaplah kematian dan layak untuk disedihkan. Tapi, bukankah kelahiran dan kematian juga suatu yang sudah pasti dalam hidup seperti juga pertemuan dan perpisahan? Kenapa harus susah-susah meyelipkan sedih yang amatir dalam kesedihan nyata yang akan ada?

“Iya, kami siap dengerin kok..” jawab Sarah mencoba meyakinkan di sela dia mengunyah kerupuk.

Sejujurnya aku bukan tidak yakin pada tiga manusia yang ada di depanku ini. Tetapi aku rasa mereka akan tak sejalan dan tak paham jika kukatakan bahwa pacaran pada usia baru belasan tahun ini adalah salah satu langkah awal untuk menyiapkan lawan bertikai serta menjalani sebuah rutinitas yang monoton. Bahwa pacaran hanyalah hubungan sekumpulan masalah yang dibalut dengan embel-embel saling cinta. Ritualnya selalu sama: kami jadian, lalu berbahagia, kemudian ribut, baik lagi, ribut lagi, akhirnya putus, beberapa kembali baik, beberapa mencari pengganti.

Hubunganku dan Zaki semata-mata rasa yang tak punya arti. Selain dari kekangan, ego, dan tidak memberikan ruang kepada yang lain. Kami konon menjadi sunyi dan seolah tidak lagi membutuhkan manusia lain. Omong kosong! Zaki membutuhkan teman-temannya, aku juga. Tapi kami sibuk seolah-olah mencintai dan menyelesaikan masalah-masalah sepele setiap hari. Zaki membutuhkan ruangnya, aku juga. Tapi kami membuat ruang sendiri yang tiap hari harus kami jenguk bersama. Kami saling punya urusan, tapi menciptakan pertikaian agar masalah bertambah-tambah.

“Hmm, baiklah. Jadi begini kawan-kawan..”

Kriiiinggg

Ponsel Sarah berbunyi. Di layar tertera nama panggilan pacarnya, Cayank. Dasar alay! Sarah tersenyum. Dia tidak berpindah sehingga kami dengar percakapan ia dan kekasihnya. Pembahasan memuakkan, terus berkutat pada persoalan yang lazim diperdebatkan remaja jika berpacaran. ‘lagi dimana, sama siapa, kok gak bilang-bilang, selesainya jam berapa’ dan beberapa kata cinta dan cemburu yang terkesan palsu.
Aku yang melihat tragedi di depanku memilih kembali diam. Heran. Semangat sekali menguasai satu sama lain. Pacaran hanya untuk menguasai?  Atau memang kita senang dikuasai?  Harusnya tidak.
Beberapa menit kami diam dan hanya Sarah yang berbicara dengan seseorang di seberang telepon sana. Akhirnya pembicaraan mereka selesai dan kami tetap diam. Kami paham bahwa suasana hati kawan yang satu ini sedang diusik. Kami semakin yakin hatinya rusuh ketika melihat ekspresi wajahnya yang manyun. Bibir sedikit maju dan kening berkerut.

“Perlu menunggu waktu berapa lama lagi untuk putus?” tanyaku. Mata mereka belalak.

Mereka terlalu sering ribut, seperti aku dan Zaki. Cinta kami hanyalah ritual menyiapkan musuh paling ampuh. Hanya sebagian kecil saja yang bisa menuntaskan hubungan dengan cara baik-baik. Tapi pada usia belasan, ketika kita kerap bernafsu untuk melakukan pembuktian, putus cinta adalah ruang menunjukkan bahwa aku masih laku.
Suasana di warung kecil ini terasa canggung. Entah perasaanku saja. Tetapi Kami sudah diam dalam waktu lebih lama. Semua kawan melihatku. Mereka tidak akan sepaham, aku yakin.

“Eh, sudah jam tiga,  aku pamit duluan ya. Ada janji soalnya,” Tiara tiba-tiba bersuara lagi.
“Mau kemana?” tanya Zahra.
“Biasa, janji sama dia” jawab tiara saat bangun dari duduknya meninggalkan sedikit senyum.
”Ini kamu yang bayar, kan, Pi? Terimakasih dan jangan sedih-sedih lagi,” sambungnya lagi sambil menepuk pundakku dan kemudian berlalu pergi dengan rona sumringah.

Selama bersama Zaki, aku juga sempat segembira itu. Ketika pertama kali didaulat menjadi sepasang kekasih. Ketika kami merayakan banyak hal bersama. Kami melintasi tanggal-tanggal penting dengan perasaan suka berlipat-lipat. Sehingga rasanya aku melihat waktu yang pendek dan sama sekali tidak mengerti tentang keinginanku terus bersama lelaki itu.

Ah, bagaimanapun. Kebahagiaan dalam pacaran hanya sepertiga dari adanya kesedihan. Pacaran itu sewujud paket lengkap penjajahan. Zaki, dia senantiasa menuntut supaya aku menyampaikan semua kabar dan mengatur semua urusanku entah ketika sedang bersama, di luar dan sebagainya. Aku bukan lagi anak kecil yang harus diurus sampai ke urusan buang air kecil sekalipun.

“Aku rasa, perhatiannya udah overdosis. Apa terlalu perhatian itu bisa dikategorikan cinta? Aku gak nyaman sama hubungan yang seperti ini. Tiap keluar, selalu saja aku yang salah. Gak inilah, gak itulah. Mesti ya? Aku setia kok sama dia. Bundaku saja gak segitunya bikin aturan,” Sarah mulai menunjukkan ketidakbahagiaan.
“Kamu coba ngomongin baik-baik sama dia, mungkin dia paham. Iya kan?” Zahra menanggapi curhatan Sarah dengan bijak seraya meminta persetujuanku atas sarannya. “Ups, jangan bilang kamu sudah direcoki paham pacar si Zaki,” sambungnya melihatku.
“Mantan pacar!” tegasku.
Zahra tertawa bahkan dengan mulut masih aktif mengunyah.
Ya, semoga dia paham. Soal setia dan baik, aku juga sudah berusaha setia pada Zaki. Bahkan usaha yang sangat keras. Namun penjajahan tetap tak kunjung surut. Dia sulit percaya jika kukatakan sedang bersama teman. Dia minta kukirimkan foto, kalau perlu video di mana aku sedang berada. Gila.
“Entahlah..” Sarah pasrah dan melanjutkan makannya.
“Jadi, Pi, bagaimana urusan kamu sama si Zaki? kan kamu belum cerita.” Zahra bertanya padaku.
“Kalian tidak akan paham pada apa yang kupikirkan”
“Sudah cerita saja. Paham atau tidak itu belakangan.” Bantah Zahra.
“kok bisa sih?” sarah tiba-tiba bertanya.
“Sarah, aku mau tanya. Kamu pernah gak tanya sama pacar kamu itu, kenapa dia bisa ‘cinta’ sama kamu?” aku bertanya pada sarah sambil menaruh tekanan pada kata cinta dan gerakan dua jari bermakna tanda kutip.
“Pernah, sering malah”
“Sering ya? Terus apa jawab pacarmu itu?”
“Ya katanya karena aku ini baik, bisa bikin dia nyaman, dan kadang-kadang cantik.” Sarah menjawab sambil mesam-mesem.
 “Terus, kamu terima gitu aja?”
Sarah terdiam.

Aku juga pernah bertanya soal ini pada Zaki dan jawabannya nyaris sama. Karena aku baik, nyaman, dan kadang-kadang lucu. Aku masih belum paham, apakah baik, nyaman dan lucu bisa menjadi landasan atas cinta yang sangat dalam selayak cinta yang sering dia akui. Maksudku begini, kalau cinta ya cinta saja. Haruskah ada alasan untuk mencintai seseorang? Tidak semua tindakan itu membutuhkan alasan, aku kira. Kalau kamu temukan alasan mengapa kamu mencintai, ya itu bukan lagi cinta. Zaki terjebak!

“Terus, kenapa kamu bisa putus sama Zaki?” Zahra bertanya geram. Dia sudah penasaran berat rupanya.
“Karena alasan. Alasan mengapa dia cinta.” Jawabku datar.
“serius? Aku gak ngerti.” Jawab Zahra lagi sambil membenarkan letak kacamatanya.
Of course, she doesn’t understand, aku membatin.
Aku bilang juga apa.” Jawabku acuh sambil menyeruput minuman.

Di tengah pembicaraan kami, Tiba-tiba terdengar nyanyian Spongebob, itu ringtone ponselku. Zaki menelpon. Kuletakkan ponselku di atas meja, ragu untuk menjawab. Sarah dan Zahra menatapku, dan memberi isyarat bahwa pilihan ada padaku. Oh! Aku benci dihadapkan pada pilihan seperti ini.
Akhirnya, sebab tidak sanggup mendengar bunyi dering yang menerus, kuangkat juga, “Halo, Zak...”

Maafin aku, tolong kasih aku satu kesempatan lagi.”(*)

*Siti Novia R, merupakan mahasiswi Gemasastrin angkatan 2013 dan pegiat di komunitas Jeuneurob.

0 komentar:

Posting Komentar