Karya Siti Novia R
“Dan akhirnya aku putus
dengan Zaki.” Aku tertawa. “Untuk merayakan hari putusku, kalian boleh pesan
apa saja. Aku yang bayar!
Tiga wajah yang di depanku
menunjukkan ekspresi kebingungan. Mereka terlanjur tahu bahwa hari ini adalah
ulang tahun pertama hubungan pacaran kami.
“Kenapa bisa putus?”
selidik Zahra dengan kerutan kening dan sedikit mencondongkan tubuhnya ke
arahku. “Kalian sudah pacaran sejak semester pertama, kenapa tiba-tiba..”
Ingin sekali kubalas
tanya, mengapa hubungan pacaran yang sarat masalah mesti dipertahankan? Aku dan
Zaki telah berusaha menjaga hubungan ini dari keruntuhan. Tapi pada akhirnya
kami harus mengambil keputusan untuk berpisah.
“Saling gak cinta lagi, ya?” sambungnya kemudian.
Bagaimana sebenarnya
menandai masih cinta atau sudah tidak? Menyukai sikap-sikapnya belum tentu
cinta. Cinta mestinya memberi kenyamanan, bukan malah melawan arus keinginan
dan malah menjajah. Zaki melakukan penjajahan yang baik, seperti pacar-pacar
orang lain juga.
“Siapa yang mutusin?” tanya Sarah dengan senyum yang
kutebak sedikit dipaksa.
Tidak menjadi penting
siapa yang memutuskan siapa. Karena yang terpenting adalah aku lepas dari
penjajahan halus yang mengatasnamakan cinta.
“Terus, putusnya baik-baik,
kan?” lanjutnya.
“Hubungan pacaran pada
usia selabil kita, sesantun apapun cara yang dipakai untuk memutuskan, tetap akan
menimbulkan perasaaan kesal. Keniscayaan yang tak bisa dibantah,” jawabku
dingin. Mereka saling memandang lagi lalu matanya sama-sama mengarah tanya
padaku.
“Mungkin kamu sedih
atau semacamnya karena keputusan itu. Setidaknya cerita saja, ada kami yang
akan dengar,” akhirnya Tiara bersuara.
Sedih? Kenapa mesti
meratapi kepergian penjajah? Pacar itu penjajah. Mereka menuntut kita menuruti
semua keinginannya. Atau kalau memang benar sedih, haruskah dinampakkan padanya
agar dikasihani lalu menjadi pacar lagi dan dijajah lagi? Sangat bodoh namanya
jika kita melakukan kekeliruan untuk kedua kali.
Aku merasa sedikit
tidak tenang memang. Bukankah itu wajar? Dan seperti juga kehidupan, semua
orang berbahagia menyambut kelahiran dan bersedih ketika menemui kematian.
Kelahiran adalah ketika pacar datang menyatakan perasaan, dan kepergiannya
anggaplah kematian dan layak untuk disedihkan. Tapi, bukankah kelahiran dan
kematian juga suatu yang sudah pasti dalam hidup seperti juga pertemuan dan
perpisahan? Kenapa harus susah-susah meyelipkan sedih yang amatir dalam
kesedihan nyata yang akan ada?
“Iya, kami siap dengerin kok..” jawab Sarah mencoba
meyakinkan di sela dia mengunyah kerupuk.
Sejujurnya aku bukan
tidak yakin pada tiga manusia yang ada di depanku ini. Tetapi aku rasa mereka
akan tak sejalan dan tak paham jika kukatakan bahwa pacaran pada usia baru
belasan tahun ini adalah salah satu langkah awal untuk menyiapkan lawan
bertikai serta menjalani sebuah rutinitas yang monoton. Bahwa pacaran hanyalah hubungan
sekumpulan masalah yang dibalut dengan embel-embel saling cinta. Ritualnya selalu
sama: kami jadian, lalu berbahagia, kemudian ribut, baik lagi, ribut lagi,
akhirnya putus, beberapa kembali baik, beberapa mencari pengganti.
Hubunganku dan Zaki semata-mata
rasa yang tak punya arti. Selain dari kekangan, ego, dan tidak memberikan ruang
kepada yang lain. Kami konon menjadi sunyi dan seolah tidak lagi membutuhkan
manusia lain. Omong kosong! Zaki membutuhkan teman-temannya, aku juga. Tapi
kami sibuk seolah-olah mencintai dan menyelesaikan masalah-masalah sepele
setiap hari. Zaki membutuhkan ruangnya, aku juga. Tapi kami membuat ruang
sendiri yang tiap hari harus kami jenguk bersama. Kami saling punya urusan,
tapi menciptakan pertikaian agar masalah bertambah-tambah.
“Hmm, baiklah. Jadi
begini kawan-kawan..”
Kriiiinggg
Ponsel Sarah berbunyi. Di
layar tertera nama panggilan pacarnya, Cayank.
Dasar alay! Sarah tersenyum. Dia tidak berpindah sehingga kami dengar percakapan
ia dan kekasihnya. Pembahasan memuakkan, terus berkutat pada persoalan yang
lazim diperdebatkan remaja jika berpacaran. ‘lagi dimana, sama siapa, kok
gak bilang-bilang, selesainya jam berapa’ dan beberapa kata cinta dan
cemburu yang terkesan palsu.
Aku yang melihat
tragedi di depanku memilih kembali diam. Heran. Semangat sekali menguasai satu
sama lain. Pacaran hanya untuk menguasai?
Atau memang kita senang dikuasai?
Harusnya tidak.
Beberapa menit kami
diam dan hanya Sarah yang berbicara dengan seseorang di seberang telepon sana.
Akhirnya pembicaraan mereka selesai dan kami tetap diam. Kami paham bahwa
suasana hati kawan yang satu ini sedang diusik. Kami semakin yakin hatinya
rusuh ketika melihat ekspresi wajahnya yang manyun. Bibir sedikit maju dan
kening berkerut.
“Perlu menunggu waktu
berapa lama lagi untuk putus?” tanyaku. Mata mereka belalak.
Mereka terlalu sering
ribut, seperti aku dan Zaki. Cinta kami hanyalah ritual menyiapkan musuh paling
ampuh. Hanya sebagian kecil saja yang bisa menuntaskan hubungan dengan cara
baik-baik. Tapi pada usia belasan, ketika kita kerap bernafsu untuk melakukan
pembuktian, putus cinta adalah ruang menunjukkan bahwa aku masih laku.
Suasana di warung kecil
ini terasa canggung. Entah perasaanku saja. Tetapi Kami sudah diam dalam waktu lebih
lama. Semua kawan melihatku. Mereka tidak akan sepaham, aku yakin.
“Eh, sudah jam tiga, aku pamit duluan ya. Ada janji soalnya,” Tiara
tiba-tiba bersuara lagi.
“Mau kemana?” tanya
Zahra.
“Biasa, janji sama dia”
jawab tiara saat bangun dari duduknya meninggalkan sedikit senyum.
”Ini kamu yang bayar, kan, Pi? Terimakasih dan jangan sedih-sedih lagi,” sambungnya lagi sambil menepuk pundakku dan kemudian berlalu pergi dengan rona sumringah.
”Ini kamu yang bayar, kan, Pi? Terimakasih dan jangan sedih-sedih lagi,” sambungnya lagi sambil menepuk pundakku dan kemudian berlalu pergi dengan rona sumringah.
Selama bersama Zaki,
aku juga sempat segembira itu. Ketika pertama kali didaulat menjadi sepasang
kekasih. Ketika kami merayakan banyak hal bersama. Kami melintasi
tanggal-tanggal penting dengan perasaan suka berlipat-lipat. Sehingga rasanya
aku melihat waktu yang pendek dan sama sekali tidak mengerti tentang keinginanku
terus bersama lelaki itu.
Ah, bagaimanapun. Kebahagiaan
dalam pacaran hanya sepertiga dari adanya kesedihan. Pacaran itu sewujud paket
lengkap penjajahan. Zaki, dia senantiasa menuntut supaya aku menyampaikan semua
kabar dan mengatur semua urusanku entah ketika sedang bersama, di luar dan
sebagainya. Aku bukan lagi anak kecil yang harus diurus sampai ke urusan buang
air kecil sekalipun.
“Aku rasa, perhatiannya
udah overdosis. Apa terlalu perhatian
itu bisa dikategorikan cinta? Aku gak
nyaman sama hubungan yang seperti ini. Tiap keluar, selalu saja aku yang salah.
Gak inilah, gak itulah. Mesti ya? Aku setia kok sama dia. Bundaku saja gak
segitunya bikin aturan,” Sarah mulai menunjukkan ketidakbahagiaan.
“Kamu coba ngomongin baik-baik sama dia, mungkin
dia paham. Iya kan?” Zahra menanggapi
curhatan Sarah dengan bijak seraya meminta persetujuanku atas sarannya. “Ups,
jangan bilang kamu sudah direcoki paham pacar si Zaki,” sambungnya melihatku.
“Mantan pacar!”
tegasku.
Zahra tertawa bahkan
dengan mulut masih aktif mengunyah.
Ya, semoga dia paham.
Soal setia dan baik, aku juga sudah berusaha setia pada Zaki. Bahkan usaha yang
sangat keras. Namun penjajahan tetap tak kunjung surut. Dia sulit percaya jika
kukatakan sedang bersama teman. Dia minta kukirimkan foto, kalau perlu video di
mana aku sedang berada. Gila.
“Entahlah..” Sarah pasrah
dan melanjutkan makannya.
“Jadi, Pi, bagaimana
urusan kamu sama si Zaki? kan kamu belum cerita.” Zahra bertanya padaku.
“Kalian tidak akan paham
pada apa yang kupikirkan”
“Sudah cerita saja.
Paham atau tidak itu belakangan.” Bantah
Zahra.
“kok bisa sih?” sarah tiba-tiba bertanya.
“Sarah, aku mau tanya.
Kamu pernah gak tanya sama pacar kamu
itu, kenapa dia bisa ‘cinta’ sama kamu?” aku bertanya pada sarah sambil menaruh
tekanan pada kata cinta dan gerakan dua jari bermakna tanda kutip.
“Pernah, sering malah”
“Sering ya? Terus apa
jawab pacarmu itu?”
“Ya katanya karena aku
ini baik, bisa bikin dia nyaman, dan kadang-kadang cantik.” Sarah menjawab
sambil mesam-mesem.
“Terus, kamu terima gitu aja?”
Sarah terdiam.
Aku juga pernah
bertanya soal ini pada Zaki dan jawabannya nyaris sama. Karena aku baik,
nyaman, dan kadang-kadang lucu. Aku masih belum paham, apakah baik, nyaman dan
lucu bisa menjadi landasan atas cinta yang sangat dalam selayak cinta yang
sering dia akui. Maksudku begini, kalau cinta ya cinta saja. Haruskah ada
alasan untuk mencintai seseorang? Tidak semua tindakan itu membutuhkan alasan,
aku kira. Kalau kamu temukan alasan mengapa kamu mencintai, ya itu bukan lagi
cinta. Zaki terjebak!
“Terus, kenapa kamu
bisa putus sama Zaki?” Zahra bertanya geram. Dia sudah penasaran berat rupanya.
“Karena alasan. Alasan
mengapa dia cinta.” Jawabku datar.
“serius? Aku gak
ngerti.” Jawab Zahra lagi sambil membenarkan letak kacamatanya.
Of
course, she doesn’t understand, aku membatin.
”Aku
bilang juga apa.” Jawabku acuh sambil menyeruput minuman.
Di tengah pembicaraan
kami, Tiba-tiba terdengar nyanyian Spongebob,
itu ringtone ponselku. Zaki menelpon. Kuletakkan ponselku di atas meja, ragu untuk
menjawab. Sarah dan Zahra menatapku, dan memberi isyarat bahwa pilihan ada
padaku. Oh! Aku benci dihadapkan pada pilihan seperti ini.
Akhirnya, sebab tidak
sanggup mendengar bunyi dering yang menerus, kuangkat juga, “Halo, Zak...”
“Maafin aku, tolong kasih aku satu kesempatan lagi.”(*)
*Siti Novia R, merupakan mahasiswi Gemasastrin angkatan 2013 dan pegiat di komunitas Jeuneurob.
0 komentar:
Posting Komentar