Karya Bunga
Nabilah
Sumber: Majalah Ijo Kotak-Kotak Edisi November 2013
Hari
kedua. Bel berbunyi, ujian segera di mulai. Semua murid berebut memasuki
ruangan kelas masing-masing. Aku berjalan enggan menuju kelas paling ujung
sebelah utara di lantai dua. Kelas sudah penuh ketika aku tiba. Bangku telah
tersusun sedemikian rupa. Dua pengawas mengelilingi kelas sembari membawa sebah
keranjang. Satu persatu handphone memenuhi keranjang itu. Aku duduk di bangku
tersudut ruangan. Diam-diam aku telah menyediakan sobekan kopekan yang kuselip
dibawah tali pinggang.
Pengawas
berjalan membagikan lembar soal dan lembar jawaban. Aku melihat ke arah
beberapa teman. Satu persatu kertas mulai tergores penuh keyakinan. Aku
termenung, kupandangi seluruh ruangan kelas ini. Setengah jam telah berlalu,
Abdul-teman di sebelahku sedang fokus dengan soal-soalnya. Lain halnya dengan
mustar yang duduk di depanku, dia sibuk celingak-celinguk mencari ilham dan
dengan wajah memelas ia menatap kawan-kawan bekerja, berharap di bantu
menyelesaikan pekerjaannya. Sedangkan dua orang pengawas di depan-seorang
perempuan tambun dan yang kurus berlipstik tebal-sibuk dengan bahasan sendiri tanpa
begitu peduli. Dan sesekali perempuan tambun menyebut nama eyang subur. Sialan.
Barangkali
sebab lama termenung dan salah seorang pengawas berbadan tambun itu rasanya
terus menerus mengawasiku, aku kelimpungan. Tidak tahu mesti melakukan apa.
Pandangan perempuan berjilbab modis itu lama-lama membuatku tidak tenang.
Ketakutan. Aku tidak tahan lagi. Ini sangat membosankan. Kugebrak meja sekuat
tenaga. Seluruh ruangan terbelalak. Persis seperti seorang tidak cukup tidur
yang terkejut jaga sebab gempa.
“Apa-apaan
ini, kahar?” si tambun itu berdiri dengan raut kesal.
“Membosankan!
Ini sangat membosankan!”
“Jangan
coba-coba buat keributan, ya. Kurobek lembar jawaban kamu nanti,” dia
mengancam. Langkahnya menujuku, hanya dua tapak.
“Ibu
mau merobek ini?” kuambil lembar jawaban lalu kurobek dengan tenaga penuh.
Kuhamburkan potongan-potongan sampah tak berguna itu. Mereka semua tercengang.
Aku
berjalan menghampiri Abdul, dia memandangku dengan ketakutan. Tangannya sedikit
gemetar.
“Bodoh!
Untuk apa mengerjakan semua ini? Mau sok suci kamu? Apa ada yang peduli kamu
jujur atau tidak, apa kamu yakin dengan kerja seperti ini nilai kamu bakal
lebih bagus dari mereka?” Abdul mematung. “sekuat tenaga kamu berusaha, nilai
mereka bakal lebih tinggi. Mereka punya uang yang bisa membeli kedekatan dengan
nilai!” aku tertawa mengejeknya.
“Cukup
kahar! Ikut ibu ke ruang kepala sekolah sekarang!”
Si
tambun tua itu menarikku dengan paksa. Dia tak sadar tenaga tangan spidolnya tak
cukup untuk menarik tangan kuli sepertiku. Kutepis tangannya dan berteriak di
depannya.
“Aku
tidak mau. Dasar sialan, seenak jidad saja kau beri kami aturan. Kami mesti
datang kesini setiap hari untuk menumpuk tugas di kepala, tugas itu membuat
kami tidak sempat memasak sambal pun. Kalian seenak perut memberi nilai pada
kami. Kau tahu, otak kami jauh lebih berisi dibandingkan otak kalian itu!”
“Jangan
asal bicara, kahar. Dia guru kamu. Bisa kualat,” Abdul mencoba menenangkanku
dari bangkunya.
“Kenapa
memangnya? Tidak ada kutukan jika
membantah guru yang semata-mata bekerja demi uang, bukan mencerdaskan.”
“Bukan
begitu…”
“Lalu
apa? Kau mau ini?” kuambil kopekan yang tadi kusembunyikan di bawah tali
pinggangdan kulemparkan ke meja Abdul.
“Ambillah,
semoga kau lulus.”
Beberapa
wajah Nampak ingin sekali mengambur ke meja Abdul mengambil kunci jawaban itu.
Mereka sangat percaya pada tugas yang kubuatkan selama ini dan beberapa dari
mereka menggajiku untuk menyelesaikan tugasnya. Hanya ada sebagian kecil dari
mereka yang memandang sinis ke arahku. Orang-orang munafik.
“Kahar,
apa yang kamu lakukan? Turun!” Kepala sekolah yang selalu terlambat datang ke
sekolah seperti polisi di film india membentakku dengan suara serupa petir.
Pasti guru kurus berlipstik tebal tadi yang memanggilnya. Dikiranya aku takut.
“Jangan
mendekat! Atau aku akan melompat,”aku menuju jendela.
Mereka
semua berteriak dan berusaha menahanku.
“Jangan
macam-macam, Kahar! Apa yang kamu lakukan. Apa kamu tega melihat bagaimana
sedihnya keluargamu?”
“Omong
kosong! Apa pedulimu pak tua? Selama ini kau tak pernah peduli dengan masalah
murid-muridmu. Tumben kali ini kamu baik.”
“Saya
sangat peduli dengan masalah kalian. Bahkan saya selalu berusaha meningkatkan
mutu sekolah ini,” kilahnya.
“Hei,
kurasa kau terlalu sibuk menguras uang-uang kami. Jika iya, apakah kami
mempunyai ruang untuk berkreasi disini? Aku terlalu muak dengan penjara yang
kalian ciptakan. Aku tak mau menjadi seorang pengecut yang tunduk kepada orang
yang bodoh. Aku pemberontak. Itu sebab aku lebih pintar dari kalian semua!”
“Jaga
mulutmu!”
Si
tua itu sudah mulai terpancing rupanya. “Ini kenyataan pak tua. Kau ingat saat
kami meminta sedikit dana untuk menyalurkan kreativitas. Apa jawabanmu? Kau tak
pernah mendukung kami, kau bilang itu bukan urusan sekolah dan segala macam alasan
lainnya. Lalu, kemana semua uang-uang kami? Kupikir kalian memang ini
memadamkan semua ini. Kau kira belajar itu cuma hal-hal di buku, hah?”
“Cukup,
kahar. Mari kita selesaikan masalah ini dengan kepala dingin.”
“Kenapa?
Kau takut semua kedokmu terbongkar,pak tua?”
Suasana
sangat hening, tak ada yang berani berkutik. beberapa temanku menatap kagum
padaku tanpa mau bersuara. Sebagian lainnya hanya acuh dan tentu saja ada yang
menatap benci padaku.
Aku
mundur beberapa langkah lebih dekat dengan jendela, kedua tanganku memegang pinggir
jendela. Mereka berteriak terkejut, mengira aku akan melonpat. Mereka semua
berusaha mendekat kearahku.
“Jangan
mendekat! Untuk apa aku disini? Tidak ada yang bisa dikembangkan di sini.
Kreativitas dipadamkan dengan tugas-tugas buta. Hidup tanpa kreativitas adalah
hidup yang membosankan. Dan kalian semua adalah orang-orang yang membosankan!”
Permainan
sedang memanas, aku sangat menikmatinya. Semua orang sibuk mencari solusi.
Sebagian orang berusaha membujukku. Siswa-siswa dari kelas lain berdesakan
mengintip melalui jendela kelas kami, bahkan ada yang rela memanjat untuk
menyaksikan kehebohan yang terjadi. Ujian dibatalkan sejenak, misiku berhasil
sejenak.
Aku
ingin mengakhiri permainan ini. Tiba-tiba si tua Bangka itu sudah ada di
dekatku. Dia berusaha menggapai tanganku. Terkejut, aku sontak mundur. Pegangan
tanganku lepas, aku terpeleset. Aku mendengar suara cukup keras memanggil
namaku sekalian dentum yang kuat.
“Kahar,
melamun saja kerjamu. Selesaikan cepat!” guruku menghantam meja.
Ah,
mengganggu saja si tambun itu.
:: Bunga Nabilah, Pegiat di Komunitas Jeuneurob dan siswa SMA Labschool
0 komentar:
Posting Komentar