Karya Vina Sabila
Sumber The
Atjeh Times, Senin, 08 April 2013
AKU tidak
boleh menciptakan suara sekecil apa pun. Apa saja yang ada di sekitar, aku
lewati dengan was-was. Jangan sampai tanganku malah menyenggol sesuatu, lalu
menciptakan bunyi. Aku harus hati-hati. Aku tidak mau lelaki itu bangun. Kalau
sampai terjadi, mungkin aku duluan yang akan mati.
Malam ini aku
merasakan senyap yang tidak biasa, bahkan jangkrik pun tidak bersuara, anjing-anjing
yang biasa melolong di tengah kesunyian malam bungkam.
Dalam
kegelapan, aku masih bisa melihat beberapa lukisan pahlawan yang tergantung di
dinding ruang tamu. Rumah ini seperti museum. Lukisan Cut Nyak Dhien, Iskandar
Muda, Teuku Umar menghiasi dinding, sedangkan di almari sarat kitab-kitab kuno.
Aku bisa melihat semuanya meski tidak begitu jelas. Sesekali rasanya
gambar-gambar itu memelototiku. Mata mereka bengis dan tajam. Tatapan para
pahlawan itu membuat aku mulai kesulitan mengendalikan diri. Tapi, cepat-cepat
aku meyakinkan diriku bahwa ini bukan dunia dongeng di mana lukisan bisa hidup
dan berbicara. Lukisan-lukisan para pahlawan itu tidak akan pernah bisa menjadi
saksi.
Aku hampir
mencapai tujuanku. Pintu itu sudah di depan mata. Aku bisa melihatnya dengan
jelas. Kali ini aku tak boleh tergesa. Langkahku harus tetap. Jangan sampai aku terlalu menggebu sehingga
mengurangi kesadaranku.
Keringat
dingin mengucur deras dari pelipisku, tapi bukan karena aku gugup atau takut.
Bukan. Aku sama sekali tidak merasakan hal tersebut. Yang aku rasakan…mungkin
sedikit menggebu-gebu sehingga jadi tak sabar.
Kudorong
perlahan pintu kamar Pakcik Husen –
lelaki tua pemilik rumah ini. Lama juga rupanya untuk membuka pintu ini.
Kalau aku tidak berhati-hati, maka pintu akan berderit, dan kemungkinan besar
Pakcik Husen akan terbangun dari tidur lelapnya. Segalanya mesti dilakukan
dengan cermat.
Berhasil!
pintu terbuka dengan sempurna. Dengan langkah terjaga aku menggapai tempat
tidur Pakcik Husen yang menempel di dinding putih. Dasar gila! Di dinding itu
pun tergantung gambar pahlawan.
Aku menatap
tempat tidur itu sekilas, lumayan luas. Setidaknya dapat ditempati oleh dua
orang. Harusnya saat ini Makcik Keumala sedang berbaring di samping Pakcik
Husen. Tapi Makcik Keumala tidak di sini. Tidak di tempat tidur ini, atau di
rumah ini, atau di kota ini. Tidak. Dia tidak di sini. Bahkan dia tidak di
dunia ini. Dia sudah di sana, jauh, dan, sial, aku merindukannya.
Aku menggeleng
beberapa kali, berusaha menjernihkan pikiran dan kembali fokus pada apa yang
sedang kulakukan. Rambutku yang panjang ini agak mengganggu. Aku memutuskan
mengambil karet di kantung celana dan
mengikat rambutku. Kuperhatikan wajah Pakcik Husen yang sudah dimakan
usia. Sungguh, wajahnya menjijikkan sekali. Ia sudah keriput. Kulit
putihnya sudah kusam, pipinya
bergelambir, sedangkan rambutnya tak pernah berubah, keriting, berantakan
bagaikan semak. Uban mulai memenuhi kepalanya. Raut wajahnya sungguh tidak enak
ditatap.
Perlahan aku
merapat ke tempat tidurnya. Dengan sigap aku tutup mulutnya dengan tangan
kiriku, sedangkan tangan kirinya kutekan dengan lutut. Tangan kanannya? Biarkan
saja, tangan itu sudah lumpuh. Bajingan ini terbangun, memelototiku dengan
tatapan penuh tanda tanya. Wajahnya ketakutan. Dia berontak. Aku semakin kuat
mendekap mulutnya. Dia terus menatapku, mendelik tajam, dan mungkin tidak
percaya pada apa yang disaksikannya.
Ketika
gerakannya kurasakan mulai menyeimbangiku, segera kurogoh pinggangku. Sret!
Pisau dapur yang kupersiapkan sejak tadi sore menusuk lambungnya. Tiga kali.
Aku mendengar suara kesakitan. Pelan dan menyerupai lenguh. Menjijikkan sekali.
Dia belum benar-benar mati. Kenapa bangsat ini lama sekali matinya. Aku bosan
menunggu tanpa melakukan apa-apa. Maka, aku membuat semacam lingkaran besar di
perutnya.
Suara erangan
itu pun lenyap. Dia mati. Aku menatapnya sebentar dan kebencianku tidak surut.
Kutusuk-tusuk perutnya. Seperti yang kulihat di film, kujilat darah yang ada di
ujung pisauku. Aku tertawa dan cepat-cepat mendekap mulut agar tidak ada yang
mendengarku. Ini lucu sekali. Senang sekali melihat kematian bangsat ini.
Simbahan darah memenuhi sekujur tempat tidur dan tentu saja terciprat ke
bajuku. Bau amis memenuhi kamar.
Sebagai
penutup atas tindakan ini, aku mencoret wajahnya. Ini bagian sangat
menyenangkan. Oh, aku hampir lupa. Tentu akan jadi lebih dramatis jika aku
menancapkan pisau ini ke bola matanya yang mendelik. Aku melakukannya. Hatiku
dilanda kepuasan yang hebat. Setelah semua ini aku merasa sedikit lelah.
Di bawah
tatapan para pahlawan aku berjalan keluar dari kamar bagai seorang pejuang yang
baru saja memenangkan perang.
****
SETELAH
merapikan rumah aku duduk di ruang tamu. Di sana ada selembar koran yang memberitakan
tentang seorang pengumpul benda kuno yang tewas terbunuh. Aku membacanya dan
tersenyum puas. Polisi menduga, pelakunya adalah keluarganya sendiri. Tapi
polisi tolol itu, waktu mereka memeriksa tempat kejadian perkara, hanya sibuk
dengan hal-hal yang tidak berguna. Meneliti tubuh korban, ceceran darah di
sprei, mengambil semua pisau di dapur, tapi mereka tidak mendapati sebuah
petunjuk pun. Semua orang di rumah ini diperiksa, termasuk ketiga anak
laki-laki korban. Ketika polisi-polisi itu menginterogasiku mereka hanya
mendapatkan kesedihan dan dusta.
Di ruang tamu
aku menyesap teh hangat – keberhasilan harus dinikmati dengan santai dan tanpa
perasaan bersalah. Apa yang baru saja aku lakukan adalah pembunuhan berencana.
Orang yang aku bunuh mengajariku dua tahun lalu dan kini aku mengulanginya.
Keluarga ini
keluarga bahagia pada awalnya. Sekalipun punya kesibukan masing-masing, mereka
mendapatkan kemesraan di malam hari. Makcik Keumala adalah perempuan berhati
mulia. Dia yang mengubah hidupku. Sejak umur sepuluh tahun dia mengasuhku
seperti seorang ibu. Aku sangat senang
ketika Makcik Keumala mengambilku dari panti asuhan. Katanya dia ingin
sekali mempunyai anak perempuan. Sejak itu aku menghuni rumah ini.
Ketika Pakcik menuduh Makcik Keumala selingkuh
dengan karyawannya di toko baju, keadaan rumah ini menjadi runyam. Aku tidak
begitu yakin dengan tuduhan Pakcik. Selain dari umur Makcik yang sudah
mendekati kepala lima, selama ini dia juga tidak nampak gatal. Tapi kepala
Pakcik Husen terlanjur dirasuki Setan dan ia tidak bisa menahan amarahnya.
Suatu sore dia mendatangiku untuk memintai bantuan. Dia mengancam akan
memperkosa dan membunuhku jika aku menolak. Aku ketakutan luar biasa. Pakcik
Husen menjelaskan beberapa hal yang perlu aku lakukan pada malam harinya.
Tengah malam,
Pakcik masuk kamarku dan memintaku bergegas. Setelah itu dia masuk dengan
tenang ke kamarnya. Sejenak aku berdiri di depan pintu. Dia menyeretku dan
dengan bahasa isyarat dia memintaku melakukannya sebagaimana pelatihan singkat
yang diberikannya sore tadi. Aku menarik kaki Makcik dan menekan sekuat tenaga.
Tubuhku yang gemuk bisa membuat kaki itu tak berkutik. Aku melihat dengan nyata
perlawanan Makcik. Namun tangan kekar Pakcik Husen di leher Makcik Keumala
membuat badannya lemah, lalu mati. Manusia jahanam itu menangis dan dengan
segera memerintahkanku menghubungi tetangga. Paginya, tanpa begitu banyak
pertanyaan, mayat Makcik Keumala dikuburkan.
Sejak pagi
jahanam itu aku mulai bungkam. Berkali-kali Pakcik Husen mengingatkanku pada
ancamannya. Aku tidak membantah. Bayangan kematian Makcik Keumala membuatku
terguncang. Aku merasa dikejar-kejar oleh bayangan perempuan berjasa itu. Rumah
ini menjadi sebuah museum mengerikan untuk ditempati. Setelah keadaan tenang
dan orang-orang melupakan pembunuhan seorang pengumpul barang antik apa yang
harus aku lakukan adalah pergi dari rumah terkutuk ini.[]
* Vina Sabila, siswa kelas X Labschool
Unsyiah dan tercatat sebagai murid kelas cerpen Sekolah Menulis Remaja
Komunitas Jeuneurob (SMR-Jeuneurob).
0 komentar:
Posting Komentar