Minggu, 24 November 2013

Rahasia Malam


Karya Vina Sabila
Sumber The Atjeh Times, Senin, 08 April 2013


AKU tidak boleh menciptakan suara sekecil apa pun. Apa saja yang ada di sekitar, aku lewati dengan was-was. Jangan sampai tanganku malah menyenggol sesuatu, lalu menciptakan bunyi. Aku harus hati-hati. Aku tidak mau lelaki itu bangun. Kalau sampai terjadi, mungkin aku duluan yang akan mati.

Malam ini aku merasakan senyap yang tidak biasa, bahkan jangkrik pun tidak bersuara, anjing-anjing yang biasa melolong di tengah kesunyian malam bungkam.

Dalam kegelapan, aku masih bisa melihat beberapa lukisan pahlawan yang tergantung di dinding ruang tamu. Rumah ini seperti museum. Lukisan Cut Nyak Dhien, Iskandar Muda, Teuku Umar menghiasi dinding, sedangkan di almari sarat kitab-kitab kuno. Aku bisa melihat semuanya meski tidak begitu jelas. Sesekali rasanya gambar-gambar itu memelototiku. Mata mereka bengis dan tajam. Tatapan para pahlawan itu membuat aku mulai kesulitan mengendalikan diri. Tapi, cepat-cepat aku meyakinkan diriku bahwa ini bukan dunia dongeng di mana lukisan bisa hidup dan berbicara. Lukisan-lukisan para pahlawan itu tidak akan pernah bisa menjadi saksi.

Aku hampir mencapai tujuanku. Pintu itu sudah di depan mata. Aku bisa melihatnya dengan jelas. Kali ini aku tak boleh tergesa. Langkahku harus tetap.  Jangan sampai aku terlalu menggebu sehingga mengurangi kesadaranku.

Keringat dingin mengucur deras dari pelipisku, tapi bukan karena aku gugup atau takut. Bukan. Aku sama sekali tidak merasakan hal tersebut. Yang aku rasakan…mungkin sedikit menggebu-gebu sehingga jadi tak sabar.

Kudorong perlahan pintu kamar Pakcik Husen –  lelaki tua pemilik rumah ini. Lama juga rupanya untuk membuka pintu ini. Kalau aku tidak berhati-hati, maka pintu akan berderit, dan kemungkinan besar Pakcik Husen akan terbangun dari tidur lelapnya. Segalanya mesti dilakukan dengan cermat.

Berhasil! pintu terbuka dengan sempurna. Dengan langkah terjaga aku menggapai tempat tidur Pakcik Husen yang menempel di dinding putih. Dasar gila! Di dinding itu pun tergantung gambar pahlawan.

Aku menatap tempat tidur itu sekilas, lumayan luas. Setidaknya dapat ditempati oleh dua orang. Harusnya saat ini Makcik Keumala sedang berbaring di samping Pakcik Husen. Tapi Makcik Keumala tidak di sini. Tidak di tempat tidur ini, atau di rumah ini, atau di kota ini. Tidak. Dia tidak di sini. Bahkan dia tidak di dunia ini. Dia sudah di sana, jauh, dan, sial, aku merindukannya.

Aku menggeleng beberapa kali, berusaha menjernihkan pikiran dan kembali fokus pada apa yang sedang kulakukan. Rambutku yang panjang ini agak mengganggu. Aku memutuskan mengambil karet di kantung celana dan  mengikat rambutku. Kuperhatikan wajah Pakcik Husen yang sudah dimakan usia. Sungguh, wajahnya menjijikkan sekali. Ia sudah keriput. Kulit putihnya  sudah kusam, pipinya bergelambir, sedangkan rambutnya tak pernah berubah, keriting, berantakan bagaikan semak. Uban mulai memenuhi kepalanya. Raut wajahnya sungguh tidak enak ditatap.

Perlahan aku merapat ke tempat tidurnya. Dengan sigap aku tutup mulutnya dengan tangan kiriku, sedangkan tangan kirinya kutekan dengan lutut. Tangan kanannya? Biarkan saja, tangan itu sudah lumpuh. Bajingan ini terbangun, memelototiku dengan tatapan penuh tanda tanya. Wajahnya ketakutan. Dia berontak. Aku semakin kuat mendekap mulutnya. Dia terus menatapku, mendelik tajam, dan mungkin tidak percaya pada apa yang disaksikannya.

Ketika gerakannya kurasakan mulai menyeimbangiku, segera kurogoh pinggangku. Sret! Pisau dapur yang kupersiapkan sejak tadi sore menusuk lambungnya. Tiga kali. Aku mendengar suara kesakitan. Pelan dan menyerupai lenguh. Menjijikkan sekali. Dia belum benar-benar mati. Kenapa bangsat ini lama sekali matinya. Aku bosan menunggu tanpa melakukan apa-apa. Maka, aku membuat semacam lingkaran besar di perutnya.

Suara erangan itu pun lenyap. Dia mati. Aku menatapnya sebentar dan kebencianku tidak surut. Kutusuk-tusuk perutnya. Seperti yang kulihat di film, kujilat darah yang ada di ujung pisauku. Aku tertawa dan cepat-cepat mendekap mulut agar tidak ada yang mendengarku. Ini lucu sekali. Senang sekali melihat kematian bangsat ini. Simbahan darah memenuhi sekujur tempat tidur dan tentu saja terciprat ke bajuku. Bau amis memenuhi kamar.

Sebagai penutup atas tindakan ini, aku mencoret wajahnya. Ini bagian sangat menyenangkan. Oh, aku hampir lupa. Tentu akan jadi lebih dramatis jika aku menancapkan pisau ini ke bola matanya yang mendelik. Aku melakukannya. Hatiku dilanda kepuasan yang hebat. Setelah semua ini aku merasa sedikit lelah.

Di bawah tatapan para pahlawan aku berjalan keluar dari kamar bagai seorang pejuang yang baru saja memenangkan perang.

****

SETELAH merapikan rumah aku duduk di ruang tamu. Di sana ada selembar koran yang memberitakan tentang seorang pengumpul benda kuno yang tewas terbunuh. Aku membacanya dan tersenyum puas. Polisi menduga, pelakunya adalah keluarganya sendiri. Tapi polisi tolol itu, waktu mereka memeriksa tempat kejadian perkara, hanya sibuk dengan hal-hal yang tidak berguna. Meneliti tubuh korban, ceceran darah di sprei, mengambil semua pisau di dapur, tapi mereka tidak mendapati sebuah petunjuk pun. Semua orang di rumah ini diperiksa, termasuk ketiga anak laki-laki korban. Ketika polisi-polisi itu menginterogasiku mereka hanya mendapatkan kesedihan dan dusta.

Di ruang tamu aku menyesap teh hangat – keberhasilan harus dinikmati dengan santai dan tanpa perasaan bersalah. Apa yang baru saja aku lakukan adalah pembunuhan berencana. Orang yang aku bunuh mengajariku dua tahun lalu dan kini aku mengulanginya.

Keluarga ini keluarga bahagia pada awalnya. Sekalipun punya kesibukan masing-masing, mereka mendapatkan kemesraan di malam hari. Makcik Keumala adalah perempuan berhati mulia. Dia yang mengubah hidupku. Sejak umur sepuluh tahun dia mengasuhku seperti seorang ibu. Aku sangat senang  ketika Makcik Keumala mengambilku dari panti asuhan. Katanya dia ingin sekali mempunyai anak perempuan. Sejak itu aku menghuni rumah ini.

Ketika Pakcik menuduh Makcik Keumala selingkuh dengan karyawannya di toko baju, keadaan rumah ini menjadi runyam. Aku tidak begitu yakin dengan tuduhan Pakcik. Selain dari umur Makcik yang sudah mendekati kepala lima, selama ini dia juga tidak nampak gatal. Tapi kepala Pakcik Husen terlanjur dirasuki Setan dan ia tidak bisa menahan amarahnya. Suatu sore dia mendatangiku untuk memintai bantuan. Dia mengancam akan memperkosa dan membunuhku jika aku menolak. Aku ketakutan luar biasa. Pakcik Husen menjelaskan beberapa hal yang perlu aku lakukan pada malam harinya.

Tengah malam, Pakcik masuk kamarku dan memintaku bergegas. Setelah itu dia masuk dengan tenang ke kamarnya. Sejenak aku berdiri di depan pintu. Dia menyeretku dan dengan bahasa isyarat dia memintaku melakukannya sebagaimana pelatihan singkat yang diberikannya sore tadi. Aku menarik kaki Makcik dan menekan sekuat tenaga. Tubuhku yang gemuk bisa membuat kaki itu tak berkutik. Aku melihat dengan nyata perlawanan Makcik. Namun tangan kekar Pakcik Husen di leher Makcik Keumala membuat badannya lemah, lalu mati. Manusia jahanam itu menangis dan dengan segera memerintahkanku menghubungi tetangga. Paginya, tanpa begitu banyak pertanyaan, mayat Makcik Keumala dikuburkan.

Sejak pagi jahanam itu aku mulai bungkam. Berkali-kali Pakcik Husen mengingatkanku pada ancamannya. Aku tidak membantah. Bayangan kematian Makcik Keumala membuatku terguncang. Aku merasa dikejar-kejar oleh bayangan perempuan berjasa itu. Rumah ini menjadi sebuah museum mengerikan untuk ditempati. Setelah keadaan tenang dan orang-orang melupakan pembunuhan seorang pengumpul barang antik apa yang harus aku lakukan adalah pergi dari rumah terkutuk ini.[]

 * Vina Sabila, siswa kelas X Labschool Unsyiah dan tercatat sebagai murid kelas cerpen Sekolah Menulis Remaja Komunitas Jeuneurob (SMR-Jeuneurob).

0 komentar:

Posting Komentar